Simone Weil (1951)
“Kehidupan seperti sebuah
tempat belajar, membutuhkan waktu dan usaha. Barangsiapa yang sudah
menyelesaikan masa belajarnya akan mengenali setiap hal dan peristiwa, dimana
saja selalu, sebagai vibrasi dari Tuhan yang sama dan kata-kata yang sangat
indah.”
“Persahabatan mengandung
sesuatu yang universal. Persahabatan berisi cinta terhadap sesama manusia,
seperti kita seharusnya bisa mencintai setiap jiwa, terutama semua jiwa yang
pergi untuk membentuk ras manusia”
Inilah kata kata yang
ditulis oleh Simone Weil dalam bukunya Waiting for God, yang ditulis pada
tahun 1951. Simone Weil lahir di Paris, sejak remaja ia menyukai filsafat,
pernah menjadi guru sekolah sampai kemudian ia bertemu dengan pastor Katolik,
Pastor Perrin, yang menjadi teman dan mentornya selama tahun tahun terakhir
hidupnya.
Waiting for God diantaranya berisi sejumlah surat yang ditulis Weil
untuk Pastor Perrin, ditambah beberapa esai. Buku ini tidak pernah dimaksudkan
menjadi buku yang diterbitkan setelah kematiannya, tetapi buku itu merupakan
jalan masuk yang sempurna untuk memahami pemikirannya.
Santa “orang luar”
Sebagai seorang
murid dan kemudian guru filsafat dan agitator untuk perubahan sosial, Weil
berusaha menyelesaikan masalah dunia melalui cara intelektual. Tetapi dalam
beberapa kunjungan ke situs dan gereja Katolik, termasuk gereja dimana St.
Fransiskus dari Asisi pernah berdoa, ia mengalami semacam keadaan trans
spiritual setelah ia menganggap dirinya sebagai “budak Tuhan”
Meski Weil tahu bahwa ia
mendapatkan panggilan, tetapi dibabtis dan menjadi biarawati tidak pernah benar
benar menjadi pilihannya. Sepanjang hidupnya ia tidak mempercayai semua bentuk
institusi, maka sekarang pun ia tidak berniat masuk ke institusi, sekalipun
institusi itu adalah Gereja Katolik. Ia merasa bahwa menjadi anggota suatu
organisasi akan berujung pada sikap mengabaikan orang lain. Dan meskipun ia
kemudian mempercayai Tuhan, ia tidak ingin memisahkan dirinya dari banyak orang
yang tidak percaya, atau mereka yang dipandang sebagai orang religius. Ditambah
lagi, Weil terlalu mencintai iman dan budaya lain untuk membatasi dirinya dalam
agama Kristen. Sebagai seseorang yang mempelajari kesusasteraan Yunani dan
Romawi kuno, ia tidak tahan menghadapi sikap Agama Kristen yang merendahkan
filsuf Stoa Yunani seperti Marcus Aurelius, yang tujuan spiritualnya, ia merasa
, paling tidak setara dengan agama Kristen. Dan ia tidak bisa melupakan
inkusisi, yang telah membunuh dan menyiksa ribuan orang atas nama dogma, dan
hasrat historis Gereja untuk mendukung perang.
Weil tidak bisa menerima
ketidakjujuran intelektual atau cara Gereja, melalui dogma, membuat orang
merasa nyaman karena tidak perlu berpikir. Meski ia mengkhayalkan rasa memiliki
yang bisa didapat dengan bergabung dengan Gereja, Weil tahu bahwa panggilannya
yang lebih tinggi adalah mencari kebenaran di luar lingkup agama.
Ia mencurigai
“patriotisme” yang dirasakan orang ketika mereka bergabung dengan suatu
iman, dan ia takut melihat kerusakan yang bisa ditimbulkan oleh perasaan
kolektif, karena mengetahui bahwa ia adalah tipe orang yang akan tersapu oleh
semangat yang terdapat dalam lagu perang Nazi. Mengingat kecenderungan terhadap
keadaan tidak sadar spiritual yang menyerupai St.Teresa dari Avila, ia tahu
bahwa ia harus bersikap objektif terhadap gagasan dan keyakinan spiritual yang
berhubungan dengannya, misalnya materialisme dan ateisme.
Berikut ini adalah
gambaran singkat tentang tiga tema yang terkenal dalam Waiting for God dan cara pemikiran
Weil secara umum:
Cinta dunia
Weil menuliskan tentang
tiga cinta yang merupakan perwujudan cinta akan Tuhan(“cinta tak langsung”)
tetapi itu bisa kita rasakan ketika kita hidup di bumi ini: perayaan religius,
cinta sesama, keindahan dunia, dan persahabatan.
Cinta kita terhadap
peningkatan, kemewahan dan keindahan katanya, bukan cinta semata mata terhadap
hal hal itu sendiri, melainkan pada apa yang ada di belakang mereka. Kita
mencintai benda benda dan seni karena pintu menuju keindahan universal yang
mereka bukakan. Bagi banyak orang, melihat keindahan sering kali menjadi satu
satunya cara agar Tuhan bisa masuk ke pikiran mereka : “Kecenderungan alami
jiwa untuk mencintai keindahan adalah perangkap yang paling sering
digunakan Tuhan untuk memenangkannya dan membukanya terhadap embusan nafas dari
atas”. Hal hal indah di dunia ini merupakan representasi keindahan Tuhan yang
mendasari mereka semua.
Demikian juga, cinta
terhadap sesama bukanlah suatu tindakan moral yang dilakukan secara sadar,
melainkan merupakan cara kita untuk mengenali cinta. Tuhan yang ada di balik setiap
orang. Orang Samaria yang baik hati itu berhenti dan menolong, bukan karena
tindakan itu membuatnya merasa baik, tetapi karena cinta yang baik bersifat
adil; ia mengetahui bahwa keteraturan alam semesta dilandasi oleh cinta.
Misteri penderitaan
Kemalangan, bukan
penderitaan, adalah salah satu misteri kehidupan. Bukan hal yang mengherankan
jika orang diperbudak atau hanyut dalam banjir atau disiksa, tetapi memang
mengherankan jika orang yang sepertinya tidak melakukan sesuatu yang buruk
ternyata mengalami “kegelapan jiwa”, gangguan psikologis atau spiritual.
Perbedaan lain antara
penderitaan dan kemalangan adalah bahwa kemalangan lebih menyerupai sakit
fisik. Bagi manusia yang spiritual, hal ini menimbulkan perasaan bahwa Tuhan
telah meninggalkan anda. Tetapi jika Anda bisa bangkit dari kegelapan, iman
Anda akan jadi lebih dalam dan anda akan merasakan salah satu misteri besar
kehidupan.
Gagasannya tentang cinta
yang baik berarti mampu berkata kepada seseorang: “Apa yang sedang kamu
alami?”. Tidak perlu ada perasaan merendahkan atau kasihan, hanya pengenalan
tentang seperti apa kemalangan itu dari seseorang ke orang lain.
Kewajaran kepatuhan
Weil meyakini, bodoh
sekali bahwa kita tidak bisa bersikap patuh terhadap Tuhan, karena segala
sesuatu di alam ini mematuhi hukum Tuhan hampir dalam pengertian mekanis. Kita
punya pilihan untuk mau atau tidak mau patuh, tetapi pada akhirnya kita semua
mematuhinya, karena hukum spiritual sama pastinya dengan hukum gravitasi.
Tindakan kejahatan, katanya, ibarat “genteng yang lepas dari atap”. Mungkin
mereka sengaja melepaskan diri mereka dari atap agar bisa bebas, tetapi
gravitasi pasti akan membuat mereka jatuh ke tanah.
Ia berkata bahwa semakin
patuh seorang budak kepada tuannya, semakin besar jarak yang ada antar mereka.
Tetapi semakin patuh manusia kepada Tuhan, manusia itu akan semakin menjadi
ekpresi Tuhan.
Seperti halnya para filsuf
Stoa kuno, Weil adalah seseorang yang universal, terlalu mencintai dunia untuk
mengikat dirinya ke dalam satu iman atau intepretasi tentang Tuhan. Kewaspadaan
terhadap agama yang terorganisi sekarang merupakan bagian dari pandangan
modern, tetapi di jaman ia hidup, Weil berani mempertahankan posisi ini.
Kebimbangannya apakah hendak dibabtis atau tidak (ia tidak pernah dibabtis)
sekarang mungkin nampak sedikit aneh, tetapi tekad untuk menjaga agar
spiritualitasnya tetap bersifat pribadi adalah yang kita kagumi dalam dirinya
sekarang ini.
Waiting for God adalah
buku yang padat, tetapi jika kita memberi perhatian sepenuhnya, buku ini bisa
sangat memuaskan. Weil tidak pernah bermaksud mengabdikan hidupnya untuk Tuhan.
Ia sedang mencari kebenaran, dan kebetulan saja kebenaran itu tampak melalui
jendela kaca warna warni gereja. Ia melihat keindahan dalam teologi dan ritual
Katolik, tetapi tetap mejadi orang luar baik secara fakta maupun spiritual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar