Sabtu, 23 Agustus 2014

Berdialog Soal Tuhan dan Agama Bersama Simone Weil




Simone Weil (1951)

“Kehidupan seperti sebuah tempat belajar, membutuhkan waktu dan usaha. Barangsiapa yang sudah menyelesaikan masa belajarnya akan mengenali setiap hal dan peristiwa, dimana saja selalu, sebagai vibrasi dari Tuhan yang sama dan kata-kata yang sangat indah.”

“Persahabatan mengandung sesuatu yang universal. Persahabatan berisi cinta terhadap sesama manusia, seperti kita seharusnya bisa mencintai setiap jiwa, terutama semua jiwa yang pergi untuk membentuk ras manusia”

Inilah kata kata yang ditulis oleh Simone Weil dalam bukunya Waiting for God,  yang ditulis pada tahun 1951. Simone Weil lahir di Paris, sejak remaja ia menyukai filsafat, pernah menjadi guru sekolah sampai kemudian ia bertemu dengan pastor Katolik, Pastor Perrin, yang menjadi teman dan mentornya selama tahun tahun terakhir hidupnya.

Waiting for God diantaranya berisi sejumlah surat yang ditulis Weil untuk Pastor Perrin, ditambah beberapa esai. Buku ini tidak pernah dimaksudkan menjadi buku yang diterbitkan setelah kematiannya, tetapi buku itu merupakan jalan masuk yang sempurna untuk memahami pemikirannya.

Santa “orang luar”

Sebagai seorang  murid dan kemudian guru filsafat dan agitator untuk perubahan sosial, Weil berusaha menyelesaikan masalah dunia melalui cara intelektual. Tetapi dalam beberapa kunjungan ke situs dan gereja Katolik, termasuk gereja dimana St. Fransiskus dari Asisi pernah berdoa, ia mengalami semacam keadaan trans spiritual setelah ia menganggap dirinya sebagai “budak Tuhan”

Meski Weil tahu bahwa ia mendapatkan panggilan, tetapi dibabtis dan menjadi biarawati tidak pernah benar benar menjadi pilihannya. Sepanjang hidupnya ia tidak mempercayai semua bentuk institusi, maka sekarang pun ia tidak berniat masuk ke institusi, sekalipun institusi itu adalah Gereja Katolik. Ia merasa bahwa menjadi anggota suatu organisasi akan berujung pada sikap mengabaikan orang lain. Dan meskipun ia kemudian mempercayai Tuhan, ia tidak ingin memisahkan dirinya dari banyak orang yang tidak percaya, atau mereka yang dipandang sebagai orang religius. Ditambah lagi, Weil terlalu mencintai iman dan budaya lain untuk membatasi dirinya dalam agama Kristen. Sebagai seseorang yang mempelajari kesusasteraan Yunani dan Romawi kuno, ia tidak tahan menghadapi sikap Agama Kristen yang merendahkan filsuf Stoa Yunani seperti Marcus Aurelius, yang tujuan spiritualnya, ia merasa , paling tidak setara dengan agama Kristen. Dan ia tidak bisa melupakan inkusisi, yang telah membunuh dan menyiksa ribuan orang atas nama dogma, dan hasrat historis Gereja untuk mendukung perang.

Weil tidak bisa menerima ketidakjujuran intelektual atau cara Gereja, melalui dogma, membuat orang merasa nyaman karena tidak perlu berpikir. Meski ia mengkhayalkan rasa memiliki yang bisa didapat dengan bergabung  dengan Gereja, Weil tahu bahwa panggilannya yang lebih tinggi adalah mencari kebenaran di luar lingkup agama.

Ia mencurigai “patriotisme”  yang dirasakan orang ketika mereka bergabung dengan suatu iman, dan ia takut melihat kerusakan yang bisa ditimbulkan oleh perasaan kolektif, karena mengetahui bahwa ia adalah tipe orang yang akan tersapu oleh semangat yang terdapat dalam lagu perang Nazi. Mengingat kecenderungan terhadap keadaan tidak sadar spiritual yang menyerupai St.Teresa dari Avila, ia tahu bahwa ia harus bersikap objektif terhadap gagasan dan keyakinan spiritual yang berhubungan dengannya, misalnya materialisme dan ateisme.

Berikut ini adalah gambaran singkat tentang tiga tema yang terkenal dalam Waiting for God dan cara pemikiran Weil secara umum:

Cinta dunia

Weil menuliskan tentang tiga cinta yang merupakan perwujudan cinta akan Tuhan(“cinta tak langsung”) tetapi itu bisa kita rasakan ketika kita hidup di bumi ini: perayaan religius, cinta sesama, keindahan dunia, dan persahabatan.

Cinta kita terhadap peningkatan, kemewahan dan keindahan katanya, bukan cinta semata mata terhadap hal hal itu sendiri, melainkan pada apa yang ada di belakang mereka. Kita mencintai benda benda dan seni karena pintu menuju keindahan universal yang mereka bukakan. Bagi banyak orang, melihat keindahan sering kali menjadi satu satunya cara agar Tuhan bisa masuk ke pikiran mereka : “Kecenderungan alami jiwa untuk mencintai keindahan adalah perangkap yang paling sering  digunakan Tuhan untuk memenangkannya dan membukanya terhadap embusan nafas dari atas”. Hal hal indah di dunia ini merupakan representasi keindahan Tuhan yang mendasari mereka semua.

Demikian juga, cinta terhadap sesama bukanlah suatu tindakan moral yang dilakukan secara sadar, melainkan merupakan cara kita untuk mengenali cinta. Tuhan yang ada di balik setiap orang. Orang Samaria yang baik hati itu berhenti dan menolong, bukan karena tindakan itu membuatnya merasa baik, tetapi karena cinta yang baik bersifat adil;  ia mengetahui bahwa keteraturan alam semesta dilandasi oleh cinta.

Misteri penderitaan

Kemalangan, bukan penderitaan, adalah salah satu misteri kehidupan. Bukan hal yang mengherankan jika orang diperbudak atau hanyut dalam banjir atau disiksa, tetapi memang mengherankan jika orang yang sepertinya tidak melakukan sesuatu yang buruk ternyata mengalami “kegelapan jiwa”, gangguan psikologis atau spiritual.

Perbedaan lain antara penderitaan dan kemalangan adalah bahwa kemalangan lebih menyerupai sakit fisik. Bagi manusia yang spiritual, hal ini menimbulkan perasaan bahwa Tuhan telah meninggalkan anda. Tetapi jika Anda bisa bangkit dari kegelapan, iman Anda akan jadi lebih dalam dan anda akan merasakan salah satu misteri besar kehidupan.

Gagasannya tentang cinta yang baik berarti mampu berkata kepada seseorang: “Apa yang sedang kamu alami?”. Tidak perlu ada perasaan merendahkan atau kasihan, hanya pengenalan tentang seperti apa kemalangan itu dari seseorang ke orang lain.

Kewajaran kepatuhan

Weil meyakini, bodoh sekali bahwa kita tidak bisa bersikap patuh terhadap Tuhan, karena segala sesuatu di alam ini mematuhi hukum Tuhan hampir dalam pengertian mekanis. Kita punya pilihan untuk mau atau tidak mau patuh, tetapi pada akhirnya kita semua mematuhinya, karena hukum spiritual sama pastinya dengan hukum gravitasi. Tindakan kejahatan, katanya, ibarat “genteng yang lepas dari atap”. Mungkin mereka sengaja melepaskan diri mereka dari atap agar bisa bebas, tetapi gravitasi pasti akan membuat mereka jatuh ke tanah.

Ia berkata bahwa semakin patuh seorang budak kepada tuannya, semakin besar jarak yang ada antar mereka. Tetapi semakin patuh manusia kepada Tuhan, manusia itu akan semakin menjadi ekpresi Tuhan.

Seperti halnya para filsuf Stoa kuno, Weil adalah seseorang yang universal, terlalu mencintai dunia untuk mengikat dirinya ke dalam satu iman atau intepretasi tentang Tuhan. Kewaspadaan terhadap agama yang terorganisi sekarang merupakan bagian dari pandangan modern, tetapi di jaman ia hidup, Weil berani mempertahankan posisi ini. Kebimbangannya apakah hendak dibabtis atau tidak (ia tidak pernah dibabtis) sekarang mungkin nampak sedikit aneh, tetapi tekad untuk menjaga agar spiritualitasnya tetap bersifat pribadi adalah yang kita kagumi dalam dirinya sekarang ini.

Waiting for God adalah buku yang padat, tetapi jika kita memberi perhatian sepenuhnya, buku ini bisa sangat memuaskan. Weil tidak pernah bermaksud mengabdikan hidupnya untuk Tuhan. Ia sedang mencari kebenaran, dan kebetulan saja kebenaran itu tampak melalui jendela kaca warna warni gereja. Ia melihat keindahan dalam teologi dan ritual Katolik, tetapi tetap mejadi orang luar baik secara fakta maupun spiritual. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar