Minggu, 15 Juli 2018

Hizbullah: Gerakan Perlawanan yang Lahir dari Spirit Asyura


oleh Yahya Hasan Al-Bantani

“Selain Rusia dan Iran, Hizbullah adalah pemain kunci yang turut mengalahkan begundal-begundal ISIS buatan Amerika, Israel, NATO Arab yang digawangi Rezim Wahabi Saudi dkk. Paramiliter Islam Syi’ah ini didirikan oleh para petinggi agama di Iran, Libanon, dan Irak, dengan melandasi diri mereka pada semangat Asyura. Sementara itu, penyumbang persenjataan terbesar mereka adalah Iran, selain mereka juga menggunakan persenjataan buatan Rusia”.

Tanpa revolusi Imam Husain, maka Islam akan berubah menjadi pemberi stempel pemerintahan imperialis sebagaimana yang terjadi sebelum Islam

HIZBULLAH adalah organisasi politik dan paramiliter Muslim Syi’ah yang berbasis di Libanon. Hizbullah didirikan pada tahun 1982 dan mempunyai pengaruh besar dalam politik Libanon dengan memberikan pelayanan sosial, mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, membuka daerah pertanian serta perlayanan lainnya untuk ribuan Muslim Syi’ah Libanon. Dengan sendirinya, Hizbullah kemudian dianggap sebagai cermin gerakan perlawanan di dunia Arab dan Muslim dunia.

Pada awalnya para pemimpin Hizbullah mengatakan bahwa gerakan ini bukanlah sebagai sebuah organisasi, oleh karena itu tidak mempunyai kartu anggota, hiraki kepemimpinan dan struktur organisasi yang jelas. Sejarah kelahiran Hizbullah memiliki kaitan erat dengan revolusi Islam di Iran –di bawah pimpinan Ruhullah Al-Musawi Khomeini pada tahun 1979. Semenjak tahun 1982 Hizbullah mulai mendapatkan legalitas dalam memberikan perlawanan terhadap penjajah Israel di Lebanon. Pada tahun 1985 Hizbullah secara resmi mendukung Revolusi Islam di Lebanon. Strategi politik dan militer Hizbullah pun dinilai sukses, terbukti dengan hengkangnya Zionis Israel yang didukung Amerika, Perancis dkk dari tanah Libanon pada tahun 2000.

Berdirinya organisasi Hizbullah tidak terlepas dari spirit Islam Syi’ah yang berkiblat ke Madrasah Ad-Diniyah Najaf Irak dan partai dakwah Islam yang diketuai oleh Muhammad Baqir As-Shadr di Irak. Lembaga ini telah mencetak generasi-generasi militan Syi’ah di Lebanon. Satu di antaranya adalah Musa As-Shadr, pendiri Harakah AMAL (Batalyon Perlawanan Libanon).

Ketika kancah perpolitikan Libanon mulai nampak keruh pada tahun 1978, Musa As-Shadr tiba-tiba menghilang dari kancah perpolitikan. Bersamaan dengan itu muncullah nama Muhammad Husain Fadlullah sebagai figur di dunia pendidikan dan politik, yang secara tidak langsung memengaruhi kondisi perpolitikan di Libanon. Namanya kian mencuat seiring dengan berdirinya Hizbullah. Bahkan ia sempat dinobatkan sebagai pimpinan spiritual Hizbullah. Akan tetapi ia menolaknya. Namun tak seorang pun memungkiri kiprah Fadlullah dalam memajukan Hizbullah –baik dalam bidang politik maupun militer.

Berbicara Hizbullah sangat dekat dengan organisasi Muslim Syi’ah di Libanon dan memiliki hubungan dengan Negara Islam Iran. Sebab, pendiri utama Hizbullah adalah kebanyakan dari kalangan Tokoh Muslim Syi’ah. Salah seorang Tokoh kalangan Syiah adalah Musa Al-Shadr, yang lahir di kota Qum, Iran, di salah satu daerah yang bernama Zaqaq ‘Isyaq Ali (Asyqali). Musa Al-Shadr disebut sebagai Bapak Spiritual Hizbullah. Pada tanggal 25 Agustus 1978, Musa Al-Shadr pergi ke Libya dan bertemu dengan Kolonel Moammar Qaddafi.

Namun setelah itu beliau hilang tanpa jejak. Beberapa media mengatakan bahwa Libya dicurigai telah membunuh Musa Al-Shadr akibat perselisihan tajam antara Qaddafi dengan Musa Al- Shadr perihal peran Libya di balik perang saudara Libanon pada tahun 1970-an.

Strategi dan Doktrin Hizbullah


Paradigma baru Hizbullah tidak terlepas dari peran ideolog sekaligus pemimpin Hizbullah, Sayid Hasan Nasrallah. Pasca tewasnya Imad Mughniyeh, sang komandan perangnya yang dibom agen Israel di Damaskus, 12 Februari 2008, Nasrallah menjelaskan pergeseran paradigma dan doktrin perang Hizbullah. Menurut Nasrallah, gerakan perlawanan telah memasuki proses tahapan ketiga dari “perlawanan bersenjata yang mengandalkan perlawanan rakyat secara spontan” menjadi “aksi militer bersenjata yang terorganisir”. Kini perlawanan memasuki tahap akhir, dengan “memanfaatkan mazhab baru perang yang belum ada sebelumnya, yakni kombinasi peran tentara regular dengan pejuang gerilya”.

Hizbullah sukses mensintesiskan metode konvensional dengan non-konvensional, baik strategi, taktik, senjata maupun organisasi. Hizbullah bergerak dari sebuah kelompok perlawanan menjadi tentara perlawanan. Dalam level strategi, gerakan Hizbullah berevolusi dari kelompok gerilya klasik yang berhasil memaksa Israel mundur dari Lebanon selatan di tahun 2000 menjadi “kekuatan perlawanan quasi konvensional” yang mampu mencegah pasukan Israel melakukan pendudukan lagi.

Nasrallah menjelaskan perubahan radikalnya tersebut sebagai berikut: “Saya membedakan antara kelompok perlawanan yang berperang melawan tentara regular yang menduduki suatu wilayah dan mereka melakukan operasinya dari dalam wilayah tersebut atau sering disebut perang gerilya dengan kelompok perlawanan yang melawan agresi yang hendak mencaplok wilayah dengan mencegah mereka dari melakukan hal itu dan menimpakan kekalahan atas mereka. Kelompok perlawanan tidak lagi membebaskan wilayah itu namun mencegah agresi musuh.”

Hingga tahun 2000, konsep perlawanan Hizbullah sejalan dengan pengertian konvensional, kelompok pembebasan rakyat yang berjuang melawan pendudukan asing. Misi satu-satunya adalah mengusir penjajah. Namun pasca penarikan mundur tentara Israel di tahun 2000, Hizbullah mengembangkan doktrin militernya yang difokuskan mencegah Israel menyerang Libanon. Oleh karena itu, definisi perlawanan diperluas dengan mencakup kemampuan menghadapi invasi dan melawan ancaman pendudukan. Melalui rekonstruksi konsep perlawanan seperti ini, yakni menjalankan misi mempertahankan wilayah Libanon dari serangan musuh, maka gerakan ini memerankan diri mereka sebagai aparat militer negara.

Penggabungan kedua strategi itu terefleksikan dalam kemampuan mereka menggunakan pelbagai jenis persenjataan dasar yang biasanya dipakai kalangan gerilyawan, disamping juga sistem persenjataan modern yang sebanding dengan persenjataan yang dimiliki beberapa negara. Bukan hanya itu saja yang membentuk keunikan gerakan perlawanan itu selama perang, karena keterbatasannya, Hizbullah juga mampu mensistesiskan keterampilan atas keduanya (penggunaan senjata dasar dan modern) secara lebih kreatif.

Misalnya, Hizbullah sukses melumpuhkan Israel Utara dengan tembakan rutin roket jarak pendek Katyusha tipe kuno. Hizbullah mampu menghindari sergapan tameng anti misil Israel yang canggih. Hizbullah mampu memetik nilai strategis dari persenjataan kuno yang dimilikinya. Meski demikian, Hizbullah juga menggunakan roket artileri jarak menengah yang lebih modern sehingga mampu menghantam kota-kota besar Israel termasukTel Aviv.

Yang cukup mengejutkan, Hizbullah mampu memberikan serangan kejutan atas kapal perang Israel dengan misil anti kapal yang dipandu radar. Misil ini diduga adalah varian dari misil China C-802. Selain mengembangkan model baru yang sejenis, Hizbullah juga menggunakan misil anti tank model kuno buatan Rusia seperti AT-3 Sagger, AT-4 Spigot dan AT-5 Spandrel serta model yang lebih canggih seperti AT-14 Kornet, AT-13 Metis-M dan RPG 29. Hasilnya, Hizbullah sukses menewaskan banyak prajurit Israel, selain menghantam ratusan tank dan kendaraan tempur mereka.

Dalam perang elektronik, Hizbullah berhasil menetralisir keunggulan teknologi Israel dengan cara yang sangat sederhana. Dalam berkomunikasi, Hizbullah hanya mengandalkan sistem fiber optik darat ketimbang memanfaatkan jaringan nir-kabel yang lebih canggih. Hizbullah dapat menghindari upaya pengacauan sinyal elektronik Israel. Dengan demikian, pasukan Hizbullah dapat bergerak leluasa, lepas dari pantauan peralatan elektronik Israel. Walhasil, sistem kendali komando tetap berjalan dengan baik selama perang.

Sebaliknya, Hizbullah berhasil menyusup kedalam sistem elektronik Israel dan mengumpulkan data intelijen secara canggih. Keberhasilan itu tidak terlepas dari pesawat pengintai tanpa awak Mirsad-1 buatan Iran yang dimilikinya. Pesawat itu mampu menembuh wilayah udara Israel di 2004 tanpa terdeteksi. Pesawat itu mampu menyadap pembicaraan telpon selular antara para tentara Israel dengan keluarganya. Hizbullah juga mampu memecah sandi komunikasi radio Israel sehingga dapat melacak pergerakan tank Israel serta memonitor laporan korban dan rute suplai.

Faktor itu pula yang mendorong Israel mengembangkan Trophy System (TAPS). Sistem ini dilengkapi radar untuk melacak misil yang datang. Agustus 2009, Israel menanam alat ini dalam tank Merkava generasi terbarunya. Sebelumnya, banyak tank Israel yang menjadi korban dalam perang tahun 2006.

Ideologi Gerakan Hizbullah


Syaikh Naim Qassem, Wakil Sekretaris Jenderal Hizbullah, suatu kali pernah menegaskan bahwa Hizbullah memiliki model gerakan yang berbeda dengan model-model gerakan Islam lain. Salah satu dasar perbedaan itu ialah perbedaan dalam memaknai konsep jihad di antara gerakan-gerakan Islam itu sendiri. Hizbullah, misalnya, memiliki konsep jihad yang defensif dan bersandarkan pada legitimasi moral keagamaan yang kuat, yang secara konsisten diistilahkan dengan muqâwamah (perlawanan, resistence) sebagai ganti dari istilah generik jihad. Penggunaan istilah khas ini bertujuan untuk memisahkan Hizbullah dari ideologi-ideologi gerakan Islam lain yang mengagungkan jihad ofensif (ibtidâi) tanpa dasar-dasar legitimasi moral keagamaan yang kokoh. Hal ini terungkap semakin jelas dengan digunakannya nama Al-Muqâwamah Al-Islâmiyyah (Perlawanan Islam) pada sayap militer Hizbullah.

Watak defensif dari ideologi jihad Hizbullah semakin tampak jelas melalui tema dan figur utama yang diangkatnya, yakni jihad Imam Husain di hari Asyura yang datang dengan segelintir keluarga dan sahabatnya yang berjumlah tidak lebih dari 72 orang untuk menghadapi ribuan pasukan Yazid di Karbala. Imam Husain menjadi model pengorbanan dan darah yang mengalahkan pedang. Imam Husain mengajarkan prioritas masyarakat di atas individu, betapa pun agung dan suci individu tersebut. Jika perbaikan suatu masyarakat dan penegakan keadilan membutuhkan pada pengorbanan individu atau sekelompok orang, maka individu atau kelompok itu wajib berkorban di jalan tersebut. Meskipun Imam Husain seolah-olah mengalami kekalahan militer di hari Asyura, namun kemenangan abadi justru telah diraihnya dengan gugur sebagai syahid di jalan kebenaran dan keadilan.

Tanpa revolusi Imam Husain, maka Islam akan berubah menjadi pemberi stempel pemerintahan imperialis sebagaimana yang terjadi sebelum Islam.

Dalam hampir semua diskursus Hizbullah tentang jihad, semangat perlawanan Asyura itulah yang paling ditonjolkan –semangat melawan tanpa kenal menyerah dan menjadikan kesyahidan sebagai sarana menggapai kemenangan abadi di hadapan keganasan dan kebrutalan yang tidak mengenal batas. Asyura merupakan ideologi dan strategi jihad yang menempatkan pengorbanan diri di jalan maslahat kebenaran, kebaikan dan keadilan terbesar.

Disamping itu, ideologi jihad Hizbullah terikat secara keagamaan dengan lembaga wilâyah al-faqîh yang berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap aktivitas jihad. Dengan demikian, Hizbullah meletakkan ideologi dan strategi jihadnya dalam kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan ideologi berjalan secara terpisah dari strateginya. Interaksi ideologi dan strategi ini melahirkan konsep jihad yang utuh, koheren dan berpijak pada Islam yang autentik.

Hizbullah menolak takfir –dan dengan demikian tidak menyatakan permusuhan dengan kelompok-kelompok Muslim lain. Bahkan, dalam banyak kesempatan, Hizbullah menekankan pada pentingnya persatuan dan kesatuan umat Islam.

Selasa, 10 Juli 2018

Di Andalusia Maut Memanggilmu


oleh Dian Basuki

Suatu malam yang gelap. Tubuh yang lebam itu akhirnya dijemput ajal saat dua butir peluru menembus punggungnya. Tiga tubuh lainnya, tengah meregang nyawa, lebih dulu menantinya di liang tanah. Orang-orang Falangis, pendukung Jenderal Franco yang fasis, mengumpat: ”Dua butir peluru itu untukmu, karena kamu homo dan kamu merah!” 

Orang mencatat, 19 Agustus 1936 waktu itu. Lelaki yang ditembus peluru itu bukanlah pemberontak. Ia seorang penyair, dramawan —menulis naskah dan memainkannya di panggung-panggung teater, juga bermain musik. Di usianya yang 38 tahun, energi kreatifnya yang tengah memuncak terputus tiba-tiba oleh maut, ketakutan, horor, kegilaan akan kuasa, yang ditebarkan oleh kaum kanan dan pasukan-pembunuh Franco, la escuadra negra (skuadron hitam). 

Jadilah ia martir: pada pukul lima sore hari selebihnya adalah kematian, dan kematian semata 

Simbol ketertindasan itu bernama Federico Garcia Lorca, lelaki yang meramalkan kematiannya sendiri. Di belantara New York, 1929, yang ia sebut ”Senegal yang dilengkapi mesin”, Lorca menulis sebuah puisi [bahwa ia akan dibunuh dan jasadnya tak akan pernah ditemukan]. Puisi itu ia selesaikan 19 Agustus 1931, dan lima tahun kemudian kekuatan fasis membenarkan ramalannya. 

Di sebuah bangsa yang hidup dalam tradisi yang sadar akan kematian —maut yang siap menjemput matador di gelanggang pertarungan dengan banteng, ramalan Lorca itu tetap saja tak ubahnya obsesi. Kematian adalah tontonan akbar, kata Lorca. Ia menulis banyak puisi perihal kematian. Banyak orang akrab dengan Lament for the Death of a Bullfighter (1935), yang ia tulis untuk mengenang sahabatnya, Ignacio Sanchez Mejias. 

Setelah tujuh tahun pensiun, Mejias kembali ke gelanggang. Lorca tahu, secara naluriah, matador itu sedang menjemput maut. Ketika itu terbukti benar, Lorca memberitahu kawannya: ”Kematian Ignacio itu seperti kematianku. Godaan itu datang menghampiriku.” Ia, kata Lorca, ”sudah melakukan setiap hal yang ia sanggup agar lolos dari kematiannya, tapi setiap hal itu hanya menolongnya mengencangkan tali jaring.” 

Begitu pula Lorca. Di awal perang saudara, ia semestinya berada di Mexico bersama aktris favoritnya, Margarita Xirgu, yang akan mementaskan dramanya. Tapi Lorca enggan meninggalkan Spanyol. Ketika kekerasan oleh militer mulai marak di Madrid, Lorca memutuskan kembali ke rumah asalnya, Granada. Berulang kali ia diingatkan, jangan tinggalkan Madrid. ”Tetaplah di sini. Kamu jauh lebih aman berada di Madrid,” pinta Luis Bunuel, sutradara film, sahabat Lorca. 

Namun, seperti figur dalam puisinya, Primer romancero gitano (Gypsy Ballads, 1928), yang terpanggil untuk berkencan dengan kematian, Lorca tetap pulang ke Granada. Ke kaki gunung Sierra Nevada ia menjemput takdirnya. ”Hidup adalah gelak tawa di tengah-tengah tasbih kematian,” ujarnya suatu ketika. 

Begitu sederhana, begitu semeleh: sebagaimana aku tidak cemas dilahirkan aku pun tak cemas menghadapi mati 

Kebangkitan kaum fasis di Spanyol adalah kematian suri karya Lorca. Buku-bukunya dibakar di Plaza del Carmen, sebuah pentas kekuasaan Jenderal Franco. Menyebut nama Lorca pun dilarang. Sebagian kecil karyanya baru boleh muncul, dengan sensor amat ketat, pada 1953. Lorca mengusung nilai-nilai yang dianggap kaum kanan sebagai mengotori masyarakat Spanyol. Juga, karena ia pendukung Republik kendati tak aktif dalam politik. 

Tanpa kuasa menolak, Franco menemui ajalnya 1975. Karya- karya Lorca perlahan kembali menembus ruang-ruang percakapan, tanpa sensor. Para politikus sibuk mengusung isu transisi ke arah demokrasi, tapi rakyat tahu sebagian besar mereka tergabung dalam ”pakta diam” ketika Franco menebar teror. Loyalis Franco setuju transisi damai, dengan syarat: lupakan masa lalu. Tak ubahnya di banyak tempat di bumi ini, amnesia yang dipaksakan meninggalkan korban Franco tertidur selamanya di pekuburan masal tak bertanda. 

Mereka, yang membayar hidupnya demi mendukung demokrasi di Spanyol, hanya tinggal angka. Mereka adalah orang-orang yang mewarnai karya-karya Lorca—puisi dan dramanya. Juga Cordova dan Granada, di mana cahaya malam memantul dari rumah-rumah putih, udara bersih masih memenuhi angkasa Sierra, lanskap pohon zaitun dan ara selepas pandang, dan perempuan tua yang menikmati sore di depan pintu rumah. 

Di tengah rasa damai itulah Lorca dilahirkan, di sebuah hari, 5 Juni 1898. Desa Fuente Vaqueros menjadi saksi bagaimana Lorca menempuh masa kecilnya dalam keluarga tani yang makmur: bermain piano, bernyanyi. Seperti kebanyakan orang muda ketika itu, Lorca belajar filsafat dan hukum di Universitas Granada. Tapi darah seni terlalu kuat untuk ia tolak. Ia pun pindah ke Madrid, beralih belajar sastra, seni, dan teater. Di usia 20 tahun terbit kumpulan prosa pertamanya, Impresiones y paisajes (Impressions and Landscapes). 

Di kampus Universitas Madrid, 1919, ia membentuk kelompok teater, membaca puisi di hadapan publik. Di sini ia berteman dengan anak muda yang di kemudian hari menjadi seniman berpengaruh di Spanyol: Salvador Dali dan Luis Bunuel—mereka kemudian dikenal sebagai penggiat Generasi 27. Bersama Dali sebagai penata panggung, Lorca mementaskan drama pertamanya, Mariana Pineda. 

Lorca adalah manusia teater. Bersama kelompoknya, La Barraca, memainkan kisah-kisah tragedi di pedesaan Andalusia. Di saat yang sama ia mulai terperangkap dalam homoseksualitas yang tak mampu ia rahasiakan dari keluarga dan teman- temannya. Sambutan yang luar biasa atas Romancero Gitano (1928, diterjemahkan sebagai Gypsy Ballads, 1953) membuat Lorca kian kesakitan: ia terjebak di dalam dikotomi antara seniman sukses, yang memaksanya tampil di hadapan publik dengan penuh senyum, dan diri yang tersiksa karena kehidupan privatnya. 

Sebuah gagasan keluarga membawa Lorca ke New York. Di Columbia University ia belajar, tak lama. Itulah pengalaman pertamanya, sebagai orang dewasa, tinggal di negeri yang didominasi hidup serba-materi. Keterasingannya melahirkan kumpulan puisi, Poeta en Neuva York (Poet in New York)—yang terbit sesudah kematiannya. Kumpulan syair ini memadukan ”kecaman terhadap peradaban urban modern—kekosongan spiritual yang dipancarkan New York—dan tangisan gelap kesunyian metafisik.” Seperti disebut kritikus Christopher Muerer, ada tiga tema dalam kumpulan ini: ketidakadilan sosial, cinta yang gelap, dan keyakinan yang hilang. 

Sesudah New York, Kuba dan Argentina adalah tujuan berikutnya. Di negeri ini ia disambut meriah. Sukses pertunjukan teaternya di Argentina pada 1933-34 begitu rupa sehingga penyair Chili Pablo Neruda menyebutnya ”kejayaan terbesar yang pernah dicapai oleh penulis dari ras kita.” Bertahun kemudian Neruda mengenang dengan nostalgia yang intens bulan- bulan yang mendahului perang saudara di Madrid sebagai ”hari-hari besar dalam kehidupan saya. Hari-hari itu adalah kelahiran kembali yang luar biasa kehidupan kreatif bangsa Spanyol yang belum pernah saya lihat lagi.” 

Lorca kembali ke Spanyol, 1931, ketika Eropa mulai menggeliat oleh kekuatan fasis. Tanggal 19 Agustus 1931, Federico Garcia Lorca menyelesaikan naskah drama baru, Asi qu pasen cinco anos (When Five Years Pass). Ia mengabarkan kegembiraannya kepada kawannya, seorang pemetik gitar, Regino Sainz de la Maza: ”kepuasan yang luar biasa”. Ia juga bercerita sudah menyelesaikan karya yang lain untuk Margarita Xirgu, hampir pasti itu adalah Bodas de sangre (Blood Wedding, naskah ini pernah dipentaskan oleh Teater Populer dengan sutradara Teguh Karya). 

Seakan mencium aroma kematian dirinya kian dekat, Lorca mendaki ke puncak kreatifnya. Sepanjang 1931 hingga tahun kematiannya, ia amat produktif. Sejumlah kumpulan puisinya terbit: Poema del cante jondo (Poem of Deep Song, 1931), Sonetos del amor oscuro (Sonnets of Dark Love, 1935), Primeras canciones (First Songs, 1936). Naskah dramanya meluncur dari tangannya. Yang paling masyhur lahir di masa ini: trilogi Bodas de sangre (Blood Wedding, 1932), Yerma (1934), dan La casa de Bernarda Alba (The House of Bernarda Alba, 1936). 

Namun capaian-capaian puncak itulah yang kian menempatkan Lorca dalam daftar penting rezim Franco di antara orang-orang yang mesti dilenyapkan. Ada banyak bintang di langit Spanyol, kata Neruda, namun Lorca yang paling terang. Dan bintang paling terang itu mesti dipadamkan. Namun, terbukti sudah, berpuluh tahun setelah kematiannya, suara Lorca masih terdengar nyaring seperti pada 19 Agustus malam ketika peluru kaum fasis mencoba membungkamnya. 


Sabtu, 02 Juni 2018

Membincang Kopi dan Segala Ihwal Tentangnya


Tidak seperti forum sebelumnya, kali ini Forum Seniman Banten menggelar diskusi seputar kopi, dari sejarahnya hingga permainan korporasi global. Di Diva Coffee (Banyu Biru Nusantara) Ciceri, Kota Serang, Banten pada 31 Mei 2018 mulai pukul 21.00 WIB itu, Kang Ari sebagai narasumber yang dipandu seniman grafis Wahyu Widyantono, mengupas banyak aspek tentang kopi. Mulai dari menerangkan di mana kopi bisa tumbuh, jenis-jenis kopi, hingga permainan korporasi global yang meraup untung dari komoditas dagang, yang ternyata telah diperebutkan sejak era kolonial, selain tak lupa juga Kang Ari Banyu Biru mempraktekkan bagaimana meracik kopi asli yang enak untuk dinikmati.

Dalam diskusi yang akrab itu, Kang Ari Banyu Biru juga memaparkan segala sisi ironis tentang negeri kita Indonesia, sebagai penghasil kopi terbesar keempat di dunia, namun belum punya brand sebagaimana kopi Brazil atau Vietnam, padahal segala macam kopi yang ada di dunia berasal dari Indonesia, seperti dari Gayo, Kerinci, Jawa Barat, Bali, Flores dan masih banyak lagi tempat-tempat di Indonesia sebagai penghasil kopi.

Dan ternyata, yang lebih mengenaskan lagi, kepemilikan penanaman dan pengolahan hingga distribusi dan penjualan kopi Indonesia yang banyak ragam dan jenisnya itu masih dikuasai PMA (Penanaman Modal Asing), hingga nyaris asing lah yang paling mendapat keuntungan ekonomi dari keberadaan kopi Indonesia. Belum lagi, seperti dipaparkan Kang Ari Banyu Biru, kelompok-kelompok separatis di Indonesia, semisal OPM dan yang lainnya itu adalah boneka asing (yang dalam hal ini Amerika) dalam rangka mengamankan lahan bisnis mereka agar tak ada investor lain yang datang. Itulah kenapa gerakan-gerakan separatis di Indonesia tidak merongrong aset-aset Amerika, Freeport misalnya.

Tidak luput pula dipaparkan Kang Ari Banyu Biru, bagaimana korporasi-korporasi global mengerahkan modal mereka untuk menguasai bisnis kopi ini, semisal Starbucks, yang lagi-lagi berani mengeluarkan dana yang tak kecil untuk menguasai kopi Indonesia, tapi tidak mencantumkan nama Indonesia sebagai brand mereka. Miris sekali! Namun, selain membahas itu semua, Kang Ari Banyu Biru, tak lupa menerangkan bagaimana seorang barista yang piawai dalam meracik kopi bisa dimaknai sebagai seorang seniman yang butuh kepekaan rasa.


Diskusi yang dihadiri para seniman, yang diantaranya adalah Edi Bonetski, Qbro Pandamprana, Deden Mulyana, Kang Uki, Peri Sandi, juga dari kalangan dosen seperti Hendra Sutan Pangeran, penggerak ekonomi kreatif seperti Kang AG, fotografer Ade Wahyu, jurnalis Kabar Banten Gito Waluyo juga yang lainnya, tampak khidmat meski dalam suasana rileks diselingi canda tawa sembari menikmati hidangan kopi yang disediakan para barista Diva Coffee (Banyu Biru Nusantara). Sementara itu, pihak penyelenggara yang diwakili Sulaiman Djaya (penyair) menyatakan bahwa obrolan itu kemungkinan akan dilanjutkan dalam bentuk acara yang lebih cair untuk publik yang lebih luas. 








Sabtu, 31 Maret 2018

Sastra, Hoax, Medsos



oleh Sulaiman Djaya*

Disampaikan dalam acara Bunga Rampai Sastra Cinta Damai yang Diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Banten di Le Dian Hotel 9 November 2017.

Saya ingin berbagi terkait pengalaman pribadi, dalam kaitannya dengan forum diskusi hari ini. Sepertinya hari ini inti bahasan yang sesungguhnya adalah fenomena terorisme dan bagaimana ‘mencegah’ merebaknya terorisme di dalam masyarakat, tetapi saya ingin memulainya dari soal media sosial hingga teologi, sebelum saya akan mengkomparasikan dan mengkoherensikannya dengan fungsi sastra dalam rangka melahirkan kecerdasan bagi masyarakat, menggalakkan budaya intelek dan literer, substansi dari sastra itu sendiri. Hari ini, soal-soal keagamaan tak dapat dilepaskan dari aktivitas orang-orang di media sosial di mana media sosial itu pula yang menjadi ‘media’ penyebaran doktrin-doktrin yang diklaim sebagai ajaran dan nilai religius yang setiap saat melakukan agitasi dan penghasutan kepada para pengguna media sosial.

Yang kedua, dan ini juga tak kalah peliknya, media sosial itu seakan telah menjadi ‘pesantren’ singkat tak resmi, yang sayangnya lebih sering menyebarkan teologi yang devian, dan yang lebih buruknya lagi, adalah justru telah melahirkan budaya oral ketimbang membuat orang-orang terbiasa melakukan analisa, berpikir kritis, dan membaca narasi panjang yang bernas. Setiap hari, media sosial menghadirkan ‘bujukan’ informasi yang sifatnya kilasan dengan pergantian dan durasi yang demikian cepat, semisal di fesbuk, instagram, twitter, dan yang sejenisnya, yang oleh orang-orang yang tak punya daya kritis dan analitis yang memadai akan ditelan mentah-mentah begitu saja, meski informasi-informasi itu ternyata tak lebih hasutan, propaganda, atau hoax.

Mereka yang menjadi ‘korban’ hasutan dan propaganda yang tersebar di media sosial itu kemudian menjadi para penyebar propaganda dan hoax pula dan begitu seterusnya. Mereka membagikan terus-menerus propaganda, hoax, dan hasutan tersebut, seperti di fesbuk, yang ketika sedemikian menjadi massif lalu akan dianggap sebagai ‘kebenaran’ yang tak terbantahkan. Di sini sesungguhnya saya juga hendak mengatakan bahwa ketika media-media atau situs-situs yang narasi dan isinya adalah hasutan, bahkan ujaran kebencian tersebut begitu mudah dianggap sebagai ‘kebenaran’, publik terpengaruh dan mereka seakan memiliki ‘pembenaran’ atau laku membenci pihak lain yang ‘difitnah’, dan ujung-ujungnya mereka merasa memiliki ‘dasar’ yang sah untuk mempraktikkan kekerasan. Inilah yang saya sebut teologi devian.

Di era digital dan jaman android sekarang ini, ketika orang-orang lebih sibuk dan lebih senang menghabiskan waktu keseharian mereka untuk berselancar di media sosial: fesbuk, instagram, twitter dan yang sejenisnya, ketimbang membaca buku, betapa mudahnya hasutan dan propaganda ‘teologi devian’ disebarkan dan lalu dikonsumsi banyak orang. Tak jarang orang-orang begitu mudahnya menganggap yang hoax sebagai fakta dan kebenaran, yang tak lain adalah mereka yang menjadi korban hasutan tersebut, tiba-tiba merasa yang paling benar dan paling beriman. Inilah jaman ketika akal dan analisis dibunuh oleh tekhnologi internet, yang justru diciptakan manusia, bahkan tak sedikit yang kemudian menjadi mesin perang yang berubah menjadi zombi-zombi yang akalnya mati sebelum tubuh mereka sendiri menjadi jenazah atau mayat, semisal mereka yang menjadi para pelaku teror dan pelaku praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Karena itulah, tak diragukan lagi, di jaman ketika mesin telah membunuh akal dan intelegensia, yaitu era android dan internet kita saat ini, para penyair dan para sastrawan, kaum akademik dan intelektual, mestilah menjalankan tugas ‘profetik’ sebagai para pencerah, dan tentu saja menjadi para penyuluh masyarakat yang sanggup memberi lentera dan pelita bagi hidupnya akal manusia melalui karya-karya mereka, yang mereka tuliskan, yang mereka terbitkan dan mereka bukukan. Sebab jika tidak, intelek dan bahkan jiwa manusia akan remuk ditelan tekhnologi internet yang diciptakannya sendiri, yang belakangan menjadi medan penyebaran hoax, hasutan, ujaran kebencian, propaganda politik dan perang, di saat internet tersebut juga menjadi media penyebaran ‘teologi devian’.

‘Terbunuhnya’ intelek inilah yang membuat orang mudah diindoktrinasi dengan ajaran-ajaran teologi devian dan memiliki pandangan bahwa agama tidak memiliki kekariban dan koherensi dengan akal. Di sini, saya teringat apa yang pernah dinyatakan Imam Ali bin Abi Thalib, yang kira-kira bunyinya: “Kadar keberagamaan seseorang sesuai dengan kadar akalnya.” Bukankah dalam Islam, sebagai contoh, syarat kelayakan ibadah seseorang adalah ketika ia ‘aqil balig? Kita tidak diwajibkan berpuasa Ramadhan, misalnya, ketika kita belum aqil balig. Hidupnya intelek ini dimungkinkan dengan aktivitas daras dan membaca, mengaji dan mengkaji, terkait dengan kapasitas literer seseorang. Menurut Imam Ali bin Abi Thalib, akal atau intelek ini terbagi dua: “akal tabi’i (natural), kedua adalah akal tajribi (eksperimentasi dan pengalaman), kedua dari pembagian akal manusia ini memberikan manfaat dan faedah kepada manusia, dan seseorang harus menyakini bahwa ia memiliki akal dan agama” (Biharul Anwar jilid 78 hal 128).

Khazanah sastra menyediakan dirinya mengajak orang untuk berempati, berwelas-asih, toleran, dan berpikir terbuka, karena ia mengajak kita untuk mengakrabi dan menemui kehidupan itu sendiri secara intim, adil, tidak langsung menghakimi, melainkan merayu kita untuk berdialog dan berdiskusi. Karena laku dan fungsinya yang demikian itulah, sastra mengajarkan kita tanpa harus menggurui untuk tidak mudah terjerembab dalam ‘dogma’ yang membunuh intelek dan nurani manusia. Terkait hal ini, haruslah diakui, ada masalah ketika indoktrinasi dogmatis yang membunuh intelek juga ternyata ‘mengatasnamakan diri’ sebagai sastra, semisal karya-karya dan pernak-pernik budaya pop yang mencamtumkan diri dengan label ‘Islami’, yang secara estetik dan artistik acapkali tak memenuhi ‘syarat’ untuk disebut karya sastra, yang malah sama saja melakukan pola dan laku teologi devian.

Penting untuk dipahami dan dimengerti, karya sastra menjadi unik karena merayakan konotasi, ambivalensi, dan polifoni demi menghidupkan watak simbolik sastra itu sendiri dengan mengoptimalkan metafor, alegori, personifikasi, hiperbola, ironi, dan lain sebagainya? Bukankah sastra menjadi unik karena terus-menerus bersimpati pada ironi dan subjektivitas bukannya objektivitas? Dan karena sifat dan lakunya yang demikian itulah, sastra mengajarkan sikap terbuka dan mempraktikkan polah dan laku yang toleran bagi para pembacanya.

Juga sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sastra yang melukiskan segi-segi umum dan kebanyakan hanya akan berujung pada kegagalan etos dan watak sastra itu sendiri. Ia tak ubahnya ilmu sosial. Sastra menjadi hidup justru karena menghidupkan polisemi kata, memaksimalkan konotasi, dan menggalakkan ironi, dan tentu saja tidak hanya menciptakan kebaruan makna referensial, tetapi juga makna tekstual. Dalam hal ini, fungsi bahasa bukan hanya untuk menjelaskan, tetapi juga untuk menyembunyikan. Sastra menjadi unik bukan karena verbalisme-nya, melainkan karena kelihaiannya untuk menyembunyikan makna. Umberto Eco akan menyebutnya sebagai Opera Aperta atau The Open Work (karya terbuka), di mana suatu teks sastra menjadi kaya dan unik karena teks tersebut menciptakan suatu dunia, suasana, dan peristiwa yang bisa ditafsirkan secara bebas (heterogen) oleh pembacanya dan lebih informatif ketimbang traktat sains.

Sementara pada tingkatan yang lebih ekstrem, Jacques Derrida menyebutnya sebagai disseminasi, penyebaran keragaman penerimaan (pembacaan), penafsiran, dan pemaknaan, di mana makna tidak selalu berkaitan dengan referensi, nilai dan keyakinan metafisis, penanda transendental dan rujukan moral, tetapi oleh kumungkinan jalinan kata dan bahasa dalam teks itu sendiri. Dengan demikian citra dalam sastra selalu bersifat simbolik, seringkali menerobos formalisme bahasa dan menjadikannya sebagai ekspressi yang personal. Milan Kundera akan menyebutnya dengan polifoni-teks. Laku dan polah simbolik sastra itulah yang memungkinkan sastra bersifat universal, menjadi perekat keragaman, bahasa bersama dalam perbedaan: MENJADI BAHASA PERDAMAIAN ummat manusia.

*Lahir di Kragilan, Kabupaten Serang, Provinsi Banten dari keluarga petani bersahaja. Sewaktu mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta aktif di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI), Ketua Bidang Kajian dan Intelektual HMI Cabang Ciputat, dan Jurnal Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, diantaranya: Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), Tifa Nusantara 2 (Antologi Puisi Pertemuan Penyair Nusantara di Tangerang, Banten Tahun 2015), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Resital Puisi Sundakala karya Sulaiman Djaya oleh Novia Fitria dan RBI Banten

 Resital Puisi Sundakala karya Sulaiman Djaya oleh Novia Fitria dan RBI Banten di House of Salbai, Kota Serang, Banten 17 Februari 2018.