Jumat, 03 April 2015

Harmoni Indonesia dari Universitas Paramadina




Acara bertajuk diskusi budaya dengan tema “Indonesia Dalam Harmoni Kebhinekaan” yang digelar pada Jum’at 13 Juni 2014 lalu, berhasil berjalan dengan hikmat dan penuh antusias dari para pengunjung. Sedikitnya, terdapat 150 orang dari berbagai golongan yang hadir dalam acara yang dilaksanakan di Aula Nurcholis Madjid, Universitas Paramadina tersebut. Acara dibuka dengan sambutan dari seorang pembawa acara yang kemudian dilanjutkan oleh sang moderator, yakni Aan Rukmana yang akan memandu jalannya acara diskusi sore itu.

Dalam pidatonya, Eros Djarot mengatakan bahwa terdapat sebuah grand design agar bangsa ini selalu disibukan oleh konflik, sehingga bangsa ini tidak mampu tumbuh menjadi bangsa yang besar. Beliau juga menambahkan, bahwa kekalahan intelektual yang paling mendasar bagi bangsa ini adalah ketidaktahuan tentang grand design tersebut.

"Sebenarnya saya sudah menaruh curiga semenjak meninggalnya Soekarno hingga saat ini. Ada sebuah grand design yang membuat bangsa ini tidak mungkin dibiarkan besar. Oleh karenanya, sebenarnya kekalahan intelektual yang paling mendasar bangsa ini adalah tidak mengetahui hal itu. Sebenarnya tidak terjadi apa-apa pada bangsa ini, tapi sekarang menjadi apa-apa, karena ada yang berusaha membuatnya menjadi apa-apa." Begitulah ujar politikus senior tersebut.
     
Sementara itu, dalam acara tersebut Radhar Panca Dahana juga mengatakan bahwa Kebhinekaan di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Seorang budayawan yang identik dengan ciri khas menggulung lengan baju panjangnya tersebut, sangat meyakini bahwa kebhinekaan di negara ini pasti terjadi.
     
Kemudian setelah pembicaraan kedua tokoh nasional tersebut, acara dilanjutkan dengan pembicara ketiga, yaitu Kyai Alawi Al-Bantani yang merupakan seorang tokoh keagamaan. Beliau adalah seseorang yang sangat menghargai kebhinekaan dalam proporsinya sebagai seorang ulama. Hal tersebut, tercermin dari salah satu karyanya, yaitu sebuah buku yang berjudul "Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa Merah MUI dan DDII". Dalam buku tersebut, Kyai Alawi membantah fatwa-fatwa yang mendiskreditkan muslim Syi'ah.

Ulama kelahiran Bandung, 24 Maret 1973 ini juga mengatakan bahwa buku yang mengkampanyekan tuduah kesesatan Syi'ah yang mengatasnamakan MUI, merupakan ulah oknum MUI, dan bukan sebuah buku terbitan resmi lembaga agama tersebut. Lebih lanjut lagi, beliau juga mengatakan bahwa terdapat sebuah instansi besar yang membiayai penyebaran buku yang belakangan beredar luas dan dibagi-bagikan secara gratis tersebut.

"Buku yang berjudul kesesatan Syi’ah yang katanya keluaran MUI itu, sebenernya bukan keluaran MUI. Tapi ada oknum anggotanya yang mengatasnamakan MUI. Bahkan informasi valid yang saya dapatkan bahwa buku tersebut telah dicetak sebanyak 6.000.000 eksemplar dan disebarkan secara gratis di seluruh Indonesia. Bisa dibayangkan berapa duit yang harus dikeluarkan? Oleh karenanya, pasti ada yang membiayai, dan bukan perseorangan." Ujar Kyai yang aktif dalam Tim Aswaja Center Lembaga Takmir Masjid PBNU.
     
Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa tidak pernah ada masalah antara muslim Sunni dan Syi'ah. Terlebih dalam Risalah Amman, Syi'ah merupakan sebuah mazhab yang diakui dan boleh diikuti. Beliau juga menambahkan, bahwa letak perbedaan antara Sunni-Syi'ah lebih sedikit daripada persamaannya.

"Sunni-Syi'ah itu sudah dari zaman dulu hidup rukun berdampingan. Perbedaan Sunni-Syi'ah itu cuma sedikit dan hanya terletak pada furu'uddin (cabang agama). Tapi coba liat ushuluddin-nya? Apalagi Syi'ah itu adalah salah satu mazhab yang diakui dalam hasil keputusan Risalah Amman, yang memutuskan itukan ulama seluruh dunia." Ujar ulama yang bernama lengkap KH Alawi Nurul Alam Al-Bantani ini.
     
Setelah ketiga tokoh pria tersebut menyampaikan pandangannya,  kini giliran tokoh wanita satu-satunya yang menyampaikan gagasannya dalam forum kebhinekaan ini, yaitu Debra H Yatim. Dalam diskusi tersebut, Debra mengutip kata-kata Anies Baswedan dalam bukunya yang berjudul "Merajut Tenun Kebangsaan Kebhinekaan". Pada buku tersebut,  Anies Baswedan mengatakan bahwa "Kebhinekaan di Nusantara adalah fakta dan bukan masalah. Tenun kebangsaan dirajut dari kebhinekaan adat, suku, agama, keyakinan, bahasa, dan geografis yang sangat unik. Setiap benang membawa warna sendiri, simpulannya yang erat menghasilkan kekuatan. Namun rajutan tenun ini belum selesai."
     
Menutup sesi diskusi sore itu, moderator mempersilakan para hadirin untuk melakukan diskusi langsung (tanya-jawab) kepada para narasumber. Kemudian sebelum menutup acara, para narasumber juga melakukan orasi terakhir dengan bersama-sama membacakan "7 Butir Kebersamaan Sikap" yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut. Iringan musik grup band Qisa yang menyanyikan lagu berjudul “Di Bawah Tiang Bendera” karya Iwan Fals dan Franky pun akhirnya menutup segala rangkaian acara diskusi ini.