Selasa, 29 April 2014

Kebudayaan dan Kekuasaan




Oleh Muhammad Taufiqurrohman

Di Indonesia bulan Mei 1998, orang masih melihat jejak-jejak ‘Mataram, Hindia Timur Belanda, dan Guansaikanbu Balatentara Dai Nippon tetap masih hadir segar bugar dan kuat belum terkalahkan di negeri kami sampai sekarang’ (Y.B. Mangunwijaya, 1998:3)[1][2].

Here, too, culture is in advance of politics, military history, or economic process (Edward W. Said, Culture and Imperialism, 1993:241).

Pertengahan abad ke-20, dunia mengalami perkembangan yang sangat bersejarah, yaitu berakhirnya perang dunia kedua sekaligus menandai berakhirnya imperialisme Barat atas bangsa-bangsa jajahan mereka. Bangsa-bangsa jajahan memerdekakan diri dan lahirlah negara-negara baru. Periode sejarah dunia ini menentukan perkembangan pengetahuan humaniora, khususnya dalam bidang kajian sastra, sehingga melahirkan apa yang disebut sebagai “poskolonialisme” sebagai respon teoretis maupun praktis atas perkembangan baru tersebut.

Pada akhir tahun 1970an, istilah poskolonialisme banyak digunakan oleh para ahli dalam berbagai tulisan humaniora, khususnya kritik sastra. Tidak jelas siapa yang pertama kali menciptakan istilah tersebut. Yang tercatat, mula-mula istilah tersebut digunakan oleh para kritikus sastra untuk mendiskusikan berbagai macam dampak kultural kolonialisme yang terefleksikan dalam berbagai karya sastra, baik kesusastraan Barat dan terutama kesusastraan di luar Barat. Sebagai suatu studi tentang pengaruh imperialisme Barat di negara-negara jajahannya, momen kelahiran poskolonialisme seringkali dihubungkan dengan terbitnya buku  Orientalism (1978), magnum opus Edward Said. Disusul kemudian Gayatri Spivak dengan teori “sub-altern studies”-nya, Homi K. Bhabha dengan teori “hybridity”-nya dan pemikir-pemikir kajian poskolonial lain. Lebih ‘tua’ dari ketiganya yang tak bisa dilupakan adalah Frantz Fanon, pemikir sekaligus pejuang kemerdekaan Aljazair melawan imperialisme Prancis melalui dua bukunya yang sangat terkenal Black Skin White Masks (terjemahan dari Peau Noire, Masques Blanc, 1952) dan The Wretched of the Earth (terjemahan Les damnés de la terre, 1961). [Sekiranya pada abad ke 20, sudah ada yang menerjemahkan karya-karya intelektual awal Indonesia ke dalam Bahasa Inggris, mungkin karya-karya mereka akan menjadi rujukan karya poskolonial se dunia. Misalnya tulisan-tulisan subversif anti-kolonial Tirto Adi Soerjo, H.O.S. Tjokroaminoto, Hayim Ay’ari,  Soekarno, Tan Malaka, Mohamad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, , dll.]

Meskipun demikian, istilah “poskolonialisme” itu sendiri tidak digunakan dalam studi awal tersebut—setidaknya oleh keempat nama besar di atas dalam karya awal mereka. Meskipun demikian beberapa ahli bersilang pendapat tentang pengertian istilah poskolonialisme, sehingga menimbulkan tidak adanya satu definisi yang tunggal. [Catatan: Gayatri Spivak lebih memilih menggunakan istilah poskolonialitas (postcoloniality) dari pada poskolonialisme (postcolonialism)—untuk penjelasan ini akan dibahas di bagian selanjutnya.]

Tulisan ini merupakan ikhtiar penulis dalam melakukan eksplorasi atas “poskolonialisme” atau sering disebut sebagian pemikir sebagai “kajian poskolonial”, baik sebagai teori maupun sebagai praksis. Sebagai permulaan, penulis memulai dengan merujuk secara khusus kepada buku An Introduction to Post-Colonial Theory, karya Peter Childs dan R.J. Patrick Williams (London and New York: Prentice Hall, 1997). Bagian utama yang menjadi rujukan adalah bab buku berjudul “Introduction: Points of Departure”. Untuk menjelaskan ataupun menambahi keterangan yang diperlukan, penulis menambahkan di sana-sini keterangan pribadi dan kutipan dari pemikir-pemikir lain dari buku atau sumber lainnya. Adapun sumber-sumber lain yang disajikan dalam tulisan ini secara keseluruhan akan ditampilkan dalam Bibliografi sebagaimana biasanya sebagai pertanggungjawaban ilmiah.    

Kapankah Poskolonial itu: After Colonialism, Colonialism Effects/After the Imprint of Colonialism, Anti Colonialism

After Colonialism: “Now”

Poskolonialisme sebagai “after colonialism” (pasca kolonialisme). Dalam pengertian ini, poskolonialisme dimaknai sebagai segala sesuatu yang terjadi “setelah berakhirnya kolonialisme”—secara harfiah adalah “after independence” (pasca kemerdekaan) atau “after the end of empire” (setelah runtuhnya kekuasaan penjajah) dalam masyarakat yang pernah terjajah oleh dominasi Barat (Eropa). [Untuk pengertian ini, biasanya digunakan istilah “post-colonialism” (dengan hyphen -), meskipun tidak selalu begitu dalam pengguanaannya]. Dalam konteks historis, periode ini dimulai sejak berakhirnya perang dunia kedua[2][3] yang melahirkan kemerdekaan “negara-negara dunia ketiga” dari cengkeraman penjajahan negara-negara Eropa. Apa yang disebut sebagai “negara dunia ketiga” ini identik dengan sebutan “negara berkembang” yang menunjuk pada negara-negara bekas jajahan Eropa yang meliputi berbagai negara di belahan Asia, Afrika dan Amerika Latin (biasa disingkat dengan “A3”).

Keberatan atas definisi di atas adalah jika poskolonialisme dimaknai sebagai kondisi “after colonialism” maka pertanyaan selanjutnya adalah kolonialisme siapa dan kekuasaan kolonial yang mana? Jika kita merujuk pada periode pasca perang dunia kedua maka yang dimaksud adalah imperialisme Barat (Western imperialism), khususnya negara-negara Eropa Barat, antara lain Inggris, Prancis, Belanda, Portugis, Spanyol, Belgia, Italia dan Jerman. Imperialisme negara-negara Barat tersebut terjadi mulai abad ke-16, berpuncak pada abad ke-19 dan akhirnya mulai meredup pada pertengahan abad ke-20 yang lalu. Dari beberapa imperialme negara-negara di atas, pada akhir imperialisme negara yang manakah yang dimaksud sebagai poskolonialisme tersebut? Jika merujuk pada pertengahan abad ke-20, tentu saja catatan sejarah menunjukkan pada periode akhir dari imperialisme Inggris, Prancis dan Belanda di kawasan Asia dan Afrika, tetapi bagaimana dengan akhir imperialisme Portugis dan Spanyol pada awal abad ke-19 di Amerika Latin? Juga, kemerdekaan Amerika Serikat pada akhir abad ke delapan belas? Dengan merujuk pada fakta sejarah di atas, maka tidak ada satu periode yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “after colonialism”. Sebab, jika yang dimaksud adalah lahirnya negara baru yang terbebas dari negara jajahannya, maka Amerika Serikat dan negara-negara Amerika Latin pada akhir abad ke 18 dapat dijadikan suatu model “post-colonialism”, tidak hanya negara-negara dunia ketiga bekas jajahan Inggris, Prancis dan Belanda di pertengahan abad ke 20.

Kerumitan lain yang dihasilkan dari definisi “after colonialism” di atas terletak pada seolah-olah sebelum imperialisme Barat tersebut tidak ada kolonialisme yang lain. Dengan kata lain, pengertian “post-colonialism” menjadi terlalu luas dengan mencakup berbagai macam imperialisme sebelum imperialisme Barat. Misalnya, imperialisme suku Inca, kekhalifahan Usman (the Ottoman empire) dan imperialisme bangsa Cina, seperti yang ditulis oleh Aijaz Ahmad:

But I have seen articles in a great many places, in the special issue of Social Text on postcoloniality, which push the use of the term ‘colonialism’ back to such configurations as the Incas, the Ottomans, and the Chinese, well before the European colonial empires began; and then bring the term forward to cover all kinds of national oppression, as, for example, the savagery of the Indonesian government in East Timor. ‘Colonialism’ then becomes a trans-historical thing, always present and always in process of dissolution in one part of the world or another, so that everyone gets the privilege, sooner or later, at one time or another, of being coloniser, colonised and post-colonial – sometimes all at once, in the case of Australia, for example. (Childs, p.2)

Tulisan Ahmad di atas merespon berbagai artikel tentang poskolonialitas yang memaksakan definisi “colonialism” sebagai penjajahan yang merujuk pada konfigurasi imperialisme kuno semacam kolonialisme Inca, kekhalifahan Usman dan kerajaan-kerajaan Cina jauh hari sebelum imperialisme Barat dimulai. Pada sisi yang lain, “colonialism” juga digunakan untuk mencakup semua bentuk opresi nasional suatu negara atas suatu kawasan lain, contohnya penindasan (savagery) pemerintah Indonesia di wilayah Timor Timur yang semula bukan bagian dari Indonesia. [Dalam hal ini, terjadi perbedaan wacana yang dibangun oleh pemerintah Indonesia dan bangsa Timor Timur—akan dibahas lebih lanjut pada pertemuan selanjutnya]. Sebagai contoh suatu opresi suatu negara, penyebutan kasus penindasan Indonesia atas Timor Timur oleh Ahmad memang patut mendapat perhatian khusus. Sebab, sebagai negara bekas jajahan yang baru beberapa tahun merdeka dari Belanda, Indonesia justru melakukan bentuk “penjajahan” baru atas tetangganya. Dalam hal ini, Indonesia dan negara-negara lain di dunia—seperti  Australia dalam tulisan Ahmad—pada saat yang sama dapat berperan sebagai  bangsa penjajah, bangsa terjajah dan ada dalam kondisi pasca penjajahan. Jika demikian halnya, maka definisi poskolonialisme sebagai “after colonialism” tidak dapat memberikan jawaban yang tepat dan memuaskan atas pertanyaan; kapankah setelah kolonialisme itu? Kecuali, jawabannya adalah “Now” (sekarang). Sebab, setiap negara (masyarakat dan budaya yang berkembang di dalamnya) selalu berada dalam suatu kondisi “after colonialism”.

Colonialism Effects/After the Imprint of Colonialism: “Then and Now”

Definisi kedua datang dari para penulis buku The Empire Writes Back, Bill Ashcroft, Gareth Griffiths dan Helen Tiffin, ialah poskolonialisme sebagai “colonialism effects”. Seperti termaktub dalam sub-judulnya “theory and practice in post-colonial literatures”, ketiga pemikir ini tidak berfokus pada “after colonialism” tetapi mencoba menjadikan poskolonialisme sebagai “teori” sekaligus sebagai “praktis” dalam kajian sastra poskolonial yang tentu saja membahas perihal efek atau respon atas kolonialisme.  Dalam buku tersebut, “post-colonialism” ada…to cover all the culture affected by the imperial process from the moment of colonization to the present day. This is because there is a continuity of preoccupations throughout the historical process initiated by European imperial aggression. We also suggest that it is most appropriate as the term for the new cross-cultural criticism which has emerged in recent years and for the discourse through which this is constituted. (2002:2)

Dengan jelas sekali dalam definisi di atas bahwa poskolonialisme mencakup segala bentuk kebudayaan yang terpengaruh oleh proses imperialisme sejak momen penjajahan dimulai hingga masa sekarang, masa pasca kolonialisme. Artinya, poskolonialisme bukan hanya tidak berfokus pada “periode historis” masa pasca kolonialisme, tetapi lebih berfokus pada “pengaruh” imperialisme terhadap kebudayaan yang bersinggungan dengannya, dalam hal ini terutama kebudayaan bangsa terjajah, baik ketika masa penjajahan itu masih berlangsung atau ketika penjahahan telah berakhir. Dalam konteks kajian sastra, maka kesusasteraan atau karya-karya sastra menjadi situs utama terjadinya proses pengaruh-mempengaruhi kuasa imperialisme atas kebudayaan manusia bangsa terjajah. Dengan demikian, baik kesusasteraan bangsa terjajah maupun kesusasteraan bangsa penjajah sama-sama merekam proses keterpengaruhan imperialisme dalam karya-karya mereka. Sastrawan di sini memainkan peran yang amat besar sebagai agensi, baik dari sastrawan dari pihak bangsa terjajah maupun dari pihak bangsa penjajah. Poskolonialisme dengan demikian menjadi bagian dari gelombang besar bernama “cross-cultural criticism” yang berideologi emansipatoris—yang lintas teks, lintas generasi, dan terutama lintas waktu, baik “dulu di masa penjajahan maupun sekarang”, “then and now”.

Definisi serupa datang dari Karen Piper (1999:19), “’Post-colonial’, in my definition, does not mean simply ‘after colonialism’ or ‘resisting colonialism’. There is no ‘after’ to the territorial, judicial and economic codes generated by colonization. Rather, I define ‘post-colonialism’ as ‘after the imprint of colonialism’. In this sense, post-colonialism began the moment the colonizer established his presence on foreign soil and continues through today.” Menurut Piper, kondisi ‘after’ dalam konteks poskolonial adalah kondisi yang tidak mungkin, karena kode-kode hukum, wilayah dan ekonomi yang sudah ditancapkan oleh kekuasaan kolonial tak bisa dihapus begitu saja. Piper mendefinisikannya sebagai ‘setelah jejak kolonialisme’ (‘after the imprint of colonialism’). Dengan demikian, poskolonialisme mulai sejak momen penjajah menjejeakkan kakinya di bumi tanah terjajah dan meneruskannya hingga sekarang.

Definisi serupa ditulis oleh Meenakshee Mukherjee, dikutip oleh Shrikant B. Shawant (2012:120-121), yang menggambarkan poskolonialisme sebagai berikut: Post-colonialism is not merely a chronological label referring to the period after the demise of empires. It is ideologically an emancipatory concept particularly for the students of literature outside the Western world, because it makes us interrogate many concepts of the study of literature that we were made taken for granted, enabling us not only to read our own texts in our own terms, but also to re-interpret some of the old canonical texts from Europe from the perspective of our specific historical and geographical location.

Menurut Mukherjee, poskolonialisme bukanlah suatu label kronologis atas periode setelah berakhirnya kekuasaan penjajah (after the demise of empires).  Lebih lanjut, Mukherjee mengatakan bahwa secara ideologis poskolonialisme merupakan suatu konsep emansipatoris yang digunakan oleh khususnya mahasiswa sastra yang berasal dari luar dunia Barat. Dengan ini Mukherjee memberikan suatu batasan yang tidak hanya bersifat historis maupun geografis, tetapi juga batasan disiplin ilmu, yaitu susastra.

Mengapa mahasiswa sastra non Barat? Karena dengan konsep emansipatoris tersebut mereka dapat mempertanyakan konsep-konsep kajian sastra yang berasal dari diktum pengetahuan Barat yang selama itu diterima secara taken for granted (apa adanya, tanpa adanya pertanyaan kritis). Tidak hanya itu, mereka—mahasiswa di luar Barat—dapat membaca karya-karya sastra mereka dengan menggunakan istilah-istilah mereka sendiri tanpa harus berkiblat secara mutlak dengan istilah-istilah atau konsep-konsep Barat. Lebih jauh lagi, poskolonialisme juga menjadi alat baca mereka terhadap teks-teks sastra kanon Barat dengan perspektif mereka yang khas dan unik, baik secara historis maupun geografis. Singkatnya, poskolonialisme merupakan konsep atau ide tentang upaya emansipatoris masyarakat bekas terjajah dengan bekas penjajahnya dalam berbagai bidang kebudayaan, terutama kesusasteraan.

Bahkan Charles E. Bressler (1999:265) membatasi pengertian poskolonialisme sebagai “an approach to literary analysis that concerns itself particularly with literature written in English in formerly colonized countries”. Bressler membatasi poskolonialisme hanya pada kajian sastra berbahasa Inggris di bekas negara-negara terjajah. Dengan demikian, Bressler tidak memasukkan sastra Inggris atau sastra Amerika dalam kajian poskolonialisme dan hanya berkonsentrasi pada sastra berbahasa Inggris di negara-negara koloni Barat seperti Australia, Asia, Afrika, Amerika Latin dan sebagainya.

Resistence/Anti-colonialism

Selanjutnya definisi ketiga adalah poskolonialisme sebagai “anti-colonialism” atau resistensi atas kolonialisme. Definisi ini sesungguhnya hampir mirip dengan definisi kedua, yaitu sama-sama berfokus pada efek kolonialisme terhadap kebudayaan. Akan tetapi, dengan menekankan pada “anti-kolonialisme” sebagai ideologi, definisi ini membedakan dirinya dengan definisi pertama (yang menekankan pada periode sejarah pasca kolonialisme) dan juga membedakan dirinya dengan definisi kedua (yang berfokus pada pengaruh imperialisme terhadap kebudayaan), khususnya sastra. Sementara definisi ketiga ini menitikberatkan poskolonialisme sebagai suatu bentuk resistensi atas kolonialisme atau “anti-colonialism” yang berarti bahwa ia lahir dan berkembang sebagai suatu “cultural criticism” atau “counter ideology” atas ideologi dominan yang dibangun dan dimapankan oleh kekuasaan imperial. Stephen Slemon mendefinisikan poskolonialisme sebagai berikut:

Definitions of the ‘post-colonial’ of course very widely, but for me the concept proves most useful not when it is used synonymously with a post-independence historical period in once-colonised nations, but rather when it locates a specifically anti- or post-colonial discursive purchase in culture, one which begins in the moment that colonial power inscribes itself onto the body and space of its Others and which continues as an often occulted tradition into the modern theater of neo-colonialist international relations. (Childs, p.3)

Meskipun menyadari bahwa definisi tentang poskolonialisme sangat beragam, Slemon lebih memilih definisi poskolonialisme sebagai suatu bentuk anti-kolonialisme atau anti terhadap wacana kolonial yang berbungkus kebudayaan dari pada dimaknai sebagai “after colonialism”. Apa yang dimaksud oleh Slemon sebagai wacana kolonial berbungkus kebudayaan tersebut telah dimulai pada saat pertama kali kekuasaan kolonial “mulai bersentuhan secara langsung dengan tubuh dan ruang Yang Liyan” (in the moment when colonial power inscribes itself onto the body and space of its Others). Yang Liyan (Others) itu tak lain adalah tubuh dan ruang bangsa-bangsa terjajah. Wacana kolonial itu, lanjut Slemon, tidak hanya berlangsung ketika kekuasaan kolonial masih bercokol, tetapi wacana tersebut tetap berlangsung meskipun kekuasaan kolonial tersebut sudah berakhir. Inilah yang kemudian disebut sebagai “neo-kolonialisme” dalam bingkai hubungan internasional antara negara-negara dunia pertama, dunia kedua dan ketiga.   

Dengan definisi semacam ini maka suatu teks dikatakan sebagai teks poskolonial tidak harus mensyaratkan teks tersebut ditulis di masa sebelum (pra-), sesudah (pasca) atau ketika  kolonialisme masih berlangsung. Suatu teks disebut sebagai teks poskolonial jika teks tersebut merupakan suara perlawanan terhadap wacana kolonial dengan menolak premis-premis utama wacana kebudayaan yang dibawa oleh kolonialisme. Dengan kata lain, teks tersebut merupakan teks anti-kolonial sejauh ia melakukan suatu “counter-ideology” atau “counter-discourse” yang melampaui kolonialisme dan berusaha menumbangkan argumen-argumen yang dibangun oleh wacana kolonial.

Paradoks dari pengertian poskolonialisme sebagai perjumpaan awal antara kebudayaan kolonial dengan kebudayaan bangsa terjajah terletak pada kenyataan bahwa “penulisan” (inskripsi) tentang masyarakat terjajah yang dilakukan bangsa Barat, baik dilakukan secara resmi oleh pemerintah kolonial maupun oleh para novelis atau penyair, sudah dikerjakan jauh hari sebelum kolonialisme itu dimulai dalam bentuk pendudukan wilayah kekuasaan. Artinya, jika teks poskolonial dimaknai sebagai teks anti wacana kolonial Barat yang mulai dibangun pada momen kolonialisme (at the moment of colonization)—seperti versi Slemon dan versi The Empire Writes Back, maka paradoks terjadi ketika fakta sejarah menunjukkan bahwa praktik “kolonialisme secara ideologis” dalam bentuk inskripsi-inskripsi teks budaya (novel, puisi, esai, dan seterusnya) sudah dimulai beberapa tahun sebelum “kolonialisme secara fisik” dimulai.     

Dari beberapa definisi di atas yang menggunakan periode sejarah sebagai basis makna poskolonialisme, tampak berbagai paradoks atau problem yang mengikutinya. Hal ini membawa kita pada perdebatan lama seputar apakah modernism dan posmodernisme dimaknai berdasarkan suatu periode historis (historical period) atau sebagai suatu corak sastra/budaya (literary/cultural style). Dalam Past the Last Post[3][4], sebagaimana posmodernisme, poskolonialisme mempunyai dua arsip “archives”.  

The first archive here constructs it as writing (more usually than architecture or painting) … from countries or regions which were formerly colonies of Europe. The second archive of post-colonialism is intimately related to the first, though not co-extensive with it. Here, the post-colonial is conceived of a set of discursive practices, prominent among which is resistence to colonialism, colonialist ideologies and their contemporary forms and subjectificatory legacies (Childs, p.4)

Arsip pertama poskolonialisme adalah tulisan (writing) dari negara-negara atau kawasan bekas koloni Eropa. Sementara arsip kedua berupa sebentuk praktik diskursif yang terutama berbentuk resistensi terhadap kolonialisme, ideologi kolonial dan bentuk-bentuk kontemporernya serta warisan-warisan yang ditinggalkannya.

Keberatan lain dari definisi poskolonialisme berbasis periode adalah kenyataan bahwa kolonialisme masih ada hingga saat ini (the persistence of colonialism). Kendati pada pertengahan abad ke 20 imperialisme Barat telah berakhir sebagaimana telah kita bicarakan di atas, tetapi kenyataannya dalam kasus di beberapa negara, imperialisme Barat masih berlangsung. Misalnya, imperial Inggris di Hong Kong, Falklands/Malvinas dan Irlandia Utara (meskipun tidak diakui secara resmi). Pengabaian kenyataan semacam ini membuat pembicaraan tentang poskolonialisme kehilangan nuansanya yang lebih kompleks, yang tak jarang tak dilihat oleh para kritikus sebagai kompleksitas yang penting dalam membicarakan poskolonialisme.

Beberapa definisi yang diberikan oleh para ahli di atas tidak melahirkan konsensus tunggal tentang definisi, isi, dan cakupan studi poskolonialisme. Sebagai suatu ideologi kritis yang emansipatoris, poskolonialisme memiliki berbagai macam tafsir yang dilahirkan para pemikir dan penganjurnya. 

Neo-kolonialisme: Poskolonialisme sebagai “Not yet”

Kompleksitas lain dari poskolonialisme berbasis periode adalah apa yang disebut sebagai “neo-kolonialisme”—dalam bahasa Slemon “the modern theatre of neo-colonialist international relations”. Periode dekolonisasi atau kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah memang telah mengubur dalam-dalam kekuasan imperialisme Barat atas tanah bangsa-bangsa terjajah. Dalam perspektif Althusserian[4][5], dibuktikan dengan tumbangnya “aparatus represif negara” kolonial, seperti bubarnya birokrasi pemerintahan resmi kolonial dan hengkangnya militer kolonial. Namun, dekolonisasi semacam itu tidak dengan serta merta menumbangkan “apparatus ideologis negara” kolonial, karena kekuasaan kolonial masih mengendalikan negara-negara bekas jajahannya via jaringan politik, jaringan budaya dan tentu saja yang paling berpengaruh, jaringan ekonomi (politic, cultural and economic channel). Ketiga jaringan tersebut, dalam implementasi pemapanan kapitalisme via imperialisme, tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lainnya. Kebudayaan nasional suatu bangsa-negara, dengan demikian, harus dilihat dalam relasinya dengan jaringan politik dan ekonomi global.

Dalam konteks historis yang lebih luas, proses neo-kolonialisme semacam itu sebenarnya tak lebih hanya meneruskan tradisi kolonialisme di masa-masa yang lampau, hanya berbeda dalam cara dan strateginya. Tujuannya sama, yaitu untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari negara-negara jajahan untuk kepentingan industri dalam sistem kapitalisme negara-negara Barat yang sedang berkembang sangat cepat. Sejak akhir abad ke-15, kapitalisme Eropa Barat telah memulai ekspansi kapitalisme, hingga pada sampai pertengahan abad ke-20 bahkan hingga sampai hari ini. Dalam konteks pemapanan kapitalisme, imperialisme Barat hampir tak tertahankan sebagai suatu kekuasaan paling dominan dan tak ada negara di belahan dunia manapun yang tak terkena dampaknya.

Dalam konteks semacam itu, penjelasan Marx dan Engels menemukan kebenarannya, ‘The need for a constantly expanding market for its goods chases the bourgeoisie over the whole surface of the globe. It must nestle everywhere, settle everywhere, establish connections everywhere.’ (Childs, p.5). Singkatnya, kebutuhan imperial Barat untuk melakukan ekspansi pasar memaksa para kaum borjuis—kaum kapitalis Barat—untuk memburu pasar di seluruh penjuru dunia. Dari kebutuhan inilah, imperialisme lahir dan kemudian melahirkan kolonialisme. Namun, bagi sebagian pemikir, penjelasan semacam itu kurang memadai. Bagi mereka, “a much more plausible explanation is the search for low cost labour forces”, kebutuhan untuk mendapatkan upah tenaga kerja yang lebih murah adalah faktor utama imperialimse dan kolonialisme. Contohnya, perpindahan secara masal jutaan budak Afrika, pekerja-pekerja kasar dari Asia, dan suku Indian merupakan fakta sejarah yang tak terelekkan dimana kolonialisme mengangkut jutaan orang dengan  upah murah untuk dipindahkan ke tempat-tempat produksi industri kapitalisme di negara-negara Eropa.

Berakhirnya kolonialisme, dengan demikian, menandai berakhirnya upaya pemindahan masal manusia secara fisik ke tempat-tempat produksi, seperti Carribean sugar plantation,  South African diamond mines, dll. Dalam perkembangan terbaru bentuk imperialisme, pemindahan masal semacam itu sudah tidak lagi dilakukan, tetapi sebaliknya yang dilakukan adalah pemindahan tempat produksi mendekati tempat asal tenaga kerja berupah rendah, seperti di Amerika Latin, Asia dan Afrika. Dalam konteks semacam inilah, pendirian perusahaan-perusahaan multi nasional (multi national corporate) dari negara-negara Barat di kawasan dunia ketiga menandai kemapanan kejayaan neo-kolonialisme Barat.

Kemapanan neo-kolonialisme, dengan demikian, tidak dapat dipisahkan dari kondisi politik global-internasional karena stabilitas nasional negara-negara, terutama “negara dunia ketiga”, sangat tergantung dengan konstelasi global tersebut. Pada pertengahan abad ke 20 ini, misalnya, runtuhnya komunisme yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet memuluskan proyek pemapanan imperialisme Barat via imperialisme ekonomi melalui pendirian perusahaan-perusahaan asing di negara-negara “jajahan”nya. Kasus Indonesia menjadi contoh yang menarik, dimana pemerintahan nasional Indonesia pasca perang dingin di bawah rezim Soeharto adalah suatu komprador-mitra sejati imperialisme ekonomi Barat—dalam hal ini terutama Amerika Serikat dan Inggris.

Pada pembukaan bukunya Culture and Imperialism, Edward Said mendefinisikan imperialisme sebagai “a word and an idea today so controversial, so fraught with all sorts of questions, doubts, polemics and ideological premises as nearly to resist use altogether” (Childs, p.6). Dalam pandangan Said, imperialisme telah menjadi suatu ide yang sangat kontroversial di era sekarang dengan segala macam pertanyaaan, keraguan, polemik dan premis-premis ideologis yang mengikutinya. Dalam kurang lebih 500 tahun terakhir ini, ekspansi kapitalisme sebagai bentuk paling nyata imperialisme Barat telah mewujud sebagai “big picture” dimana di dalamnya terdapat fase kolonialisme dan poskolonialisme—beserta perdebatan periodisasi sejarah yang mengikutinya. Singkatnya, polemik tentang periodisasi poskolonialisme seperti telah panjang lebar dibahas di atas tidak terlepas dari ketidakjelasan periodisasi imperialisme itu sendiri sebagai “gambaran besar” latar sejarah perkembangan dunia pada masa lima abad terakhir ini.

Ketidakjelasan periodisasi ini nampak dalam berbagai pernyataan para pemikir poskolonial. Misalnya, Ella Shohat mempertanyakan, ‘When exactly does the “post-colonial’ begin? Terhadap pertanyaan tersebut, sejarawan Arif Dirlik memberi jawaban, ‘Misreading the question deliberately [supplies] an answer that is only partially facetious: When Third World intellectuals have arrived in First World academe’ (Childs, p.6-7). Dengan jawaban ini, Dirlik memberikan alternatif jawaban yang lain sekaligus membawa wacana poskolonialisme tidak melulu soal occupation of territory melainkan lebih memusatkan perhatiannya pada occupation of knowledge atau peran intelektual (negara jajahan). Artinya, poskolonialisme ditentukan sejak intelektual non-Barat (negara jajahan) memasuki dan bersentuhan langsung dengan akademi pengetahuan Dunia Barat (Barat). Dengan demikian, kekuasaan imperial di sini dipusatkan pada “ideological power” ketimbang “repressive power” sebagai faktor utama periodisasi poskolonialisme. Sejak kapan poskolonialisme dimulai? Ialah sejak lahirnya intelektual-intelektual bangsa terjajah yang bersentuhan dengan akademi pengetahuan bangsa penjajahnya. Dalam konteks kekinian, jika kolonialisme tetap melahirkan neo-kolonialisme, maka imperialisme juga melahirkan neo-imperialisme. 

Perspektif yang berbeda datang dari Lorna Goodison dengan mengajukan pertanyaan, ‘When is post-coloniality going to end? How long does the post-colonial continue?’. Pertanyaan semacam ini menyiratkan suatu paradoks. Jika kolonialisme dan imperialisme mempunyai akhir (ending), maka sudah semestinya poskolonialisme sebagai suatu peristiwa sejarah juga mempunyai akhir. Jika demikian halnya, maka kapan akhir dari poskolonialisme tersebut? Akankah juga datang apa yang disebut “post-postcolonialism”? Jika iya, apakah definisinya dan kapankah masa itu akan datang, bagaimana mendefinisikan dan mengukurnya? Jika definisi poskolonialisme sebagai “after colonialism” memberikan jawaban yang jelas dan tegas bahwa poskolonialisme mulai sejak “Saat ini” (Now) dan jika para penulis The Empire Writes Back memberikan jawaban yang agak rumit bahwa poskolonialisme mulai sejak “saat dimulainya penjajahan dan sampai saat ini” (Then and now), maka salah satu jawaban alternatif yang bisa diberikan kepada pertanyaan yang dilontarkan oleh Goodison adalah “Belum” (Not (quite) yet).  Sejak kapankah poskolonialisme dimulai? Jawabannya adalah belum. Poskolonialisme belum pernah dimulai. Sebab, dunia belum pernah meninggalkan kolonialisme. Inilah mengapa Anne McClintock mengejek poskolonialisme sebagai “premature celebratory” (perayaan yang prematur). Sebab, kita menggunakan suatu istilah—bahkan merayakan istilah tersebut ke seluruh penjuru dunia—untuk  sesuatu yang sebenarnya belum pernah terjadi, yaitu suatu kondisi nir-kolonialisme (ketiadaan kolonialisme). Sebagian ahli barangkali bisa mengelak bahwa poskolonialisme memang bukanlah sesuatu yang sudah terjadi, tetapi ia merupakan suatu wacana antisipatif atas suatu kondisi yang sedang dibayangkan dimana kolonialisme akan lenyap dari muka bumi, kendati kondisi semacam itu belum pernah ada sepanjang sejarah peradaban manusia.

Kenyataan semacam itu mengingatkan kita pada Fredric Jameson dalam The Political Unconscious bahwa tiap teori, ideologi maupun praktik intelektual selalu mengandung dalam dirinya suatu dimensi Utopia—ialah segala hal yang terbayangkan ideal yang akan terjadi di masa yang akan datang, entah kapan masa itu tiba (Childs, p.7). Dalam konteks perkembangan politik global dan perkembangan ilmu humaniora yang mengikutinya, bagaimanakah poskolonialisme sebagai teori, ideologi dan sekaligus praktik intelektual dapat mengartikulasikan aspirasi idealnya—tentu saja berdasarkan sejarah dan pengalaman masyarakat “bekas terjajah” (atau “masih terjajah” dalam konteks neo-kolonialisme)? Itulah tugas yang disandang oleh poskolonialisme dan para penganjurnya, meskipun mengandung paradoks dalam dirinya; poskolonialisme menggunakan kata “post-“ untuk menandai suatu kondisi kemerdekaan yang belum sepenuhnya ada ketika pada saat yang sama “colonialism” juga belum sepenuhnya hilang.  Barangkali paradoks “kondisi antara” semacam itulah yang secara tepat menggambarkan karakter poskolonial. Gayatri Spivak menyimpulkannya sebagai, “We live in a post-colonial neo-colonized world”. Dengan kata lain, poskolonialisme adalah neo-kolonialisme itu sendiri.

Aspek Sejarah

Last but not least, aspek terakhir dan terpenting dalam membahas kapan poskolonialisme dimulai adalah pertanyaan tentang sejarah itu sendiri—bagaimana sejarah itu diteorikan, dikategorikan, dinarasikan dan ditulis. Kolonial Barat, misalnya, memiliki rekaman berlimpah yang menyudutkan dan sekaligus membungkan sejarah yang amat berharga atas bangsa-bangsa terjajah. Pada saat yang sama, kekuasaan kolonial juga merusak kebudayaan-kebudayaan yang mengandung sejarah tersebut. Berlimpah ruahnya rekaman sejarah yang ditulis oleh para orientalis tentang sejarah negara-bangsa di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin merupakan rekaman sejarah yang amat nyata tentang kuasa ideologis kaum imperialis. Di sinilah letak dimensi pentingnya karya-karya poskolonial sebagai pemulihan (recovery) dan penilaian kembali sejarah bumiputera (revaluing of indigenous histories). Dengan demikian, orang-orang terjajah bumiputera (indigenous people) telah sedang dan harus secara aktif membuat dan menulis sejarahnya sendiri ketimbang secara pasif menjadi pelaku dalam sejarah yang ditulis oleh orang lain, yakni kaum penjajah, kaum orientalis. Kendati  harga untuk usaha “menciptakan sejarah” semacam itu akan tercatat dalam sejarah versi kuasa imperial sebagai “pemberontakan”, “makar”, “teror”, dan seterusnya.

Salah satu penolakan terhadap penulisan sejarah yang Western-concept oriented datang dari kritikus India, Gayan Prakash. Dalam konteks penulisan sejarah India, ia mengatakan pendapatnya:

We cannot thematize Indian history in terms of the development pf capitalism and simultaneously contest capitalism’s homogenization of the contemporary world. Critical history cannot simply document the process by which capitalism becomes dominant, for that amounts to repeating the history we seek to displace. (Childs, p.8)

Bagi Prakash, peran kapitalisme Barat di abad ke 20 (dan sampai saat ini) dalam
membentuk formasi sejarah kontemporer India sama besarnya dan sama pentingnya dengan peran imperialisme Barat dalam melakukan penaklukan-penaklukan wilayah di awal-awal abad ke 15. Oleh karena itu, sejarah India—dan negara-negara bekas jajahan lainnya—harus dilepaskan dari bayang-bayang perkembangan kapitalisme Barat karena merupakan kepanjangan tangan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Penulisan sejarah dengan demikian harus berorientasikan keberpihakan untuk menarasikan suara bumiputera yang selama ini terbungkam dan dihancurkan oleh rezim ideologi kolonial.

Bagi sebagian pemikir yang lain, penulisan sejarah dengan orientasi Barat adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan, terutama penulisan sejarah di universitas-universitas yang kebanyakan berkiblat utama ke Barat. Pada saat yang sama, justru di universitas-universitas tersebut, para pemikir dapat menulis sejarah dari perspektif bumiputera sebagai suatu “counter-discourse” terhadap penulisan sejarah dalam perspektif orientalis yang hegemonik. Sementara itu, di luar institusi-institusi resmi-akademik semacam universitas, masyarakat dapat menuliskan sejarah dengan versi mereka sendiri. Praktik penulisan sejarah semacam itu akan menciptakan kemungkian penulisan sejarah yang luas, sejarah yang “lain”, yang non-institusional dan non-akademik. Dengan demikian, beragamnya sejarah dengan beragam ideologi yang dibawa oleh para penulisnya dapat menciptakan “demokratisasi kebenaran sejarah”—dimana kebenaran sejarah tidak hanya milik satu otoritas kebenaran, yaitu ideologi imperial Barat (Eurocentrism), tetapi kebenaran sejarah terletak dimana-mana, terutama terletak pada suara kaum bumiputera sendiri.

Dimanakah Poskolonial itu?

Sebagaimana kesulitan mendefinisikan poskolonialisme dari aspek periodisasi waktu, mendefinisikan poskolonialisme dari aspek tempat (geographical space) juga menimbulkan berbagai kesulitan. Pertama, kita mulai dari batasan yang paling “jelas”, yaitu aspek geografis dari poskolonialisme itu sendiri—ialah wilayah atau kawasan yang pernah dijajah oleh kekuasaan kolonial Barat. Catatan Edward Said, misalnya, telah menunjukkan betapa luasnya wilayah kekuasaan kolonial Barat.

Consider that in 1800 the Western power claimed 55% but actually held 35% of the earth’s surface, and that by 1878 the proportion was 67%, a rate of increase of 83,000 square miles per year. By 1914, the annual rate had risen to an astonishing 240,000 square miles, and Europe held a grand total of roughly 85% of the earth as colonies, protactorates, dependencies, dominions and commonwealths. No other set of colonies in history was at large, none so totally dominated, none so unequal in power to the Western metropolis.(Childs, p.10)

Data di atas menunjukkan betapa luas wilayah kekuasaan imperial Barat. Pada tahun 1800, kekuasaan Barat sudah mencapai 35% wilayah dunia. Lalu, kekuasaan tersebut semakin melebar pada tahun 1878 menjadi 67% dan  pada tahun 1914 menjadi 85% wilayah dunia yang telah menjadi daerah koloni Barat. Jika kita lihat perkembangannya hingga hari ini, dalam konteks neo-kolonialisme, maka tak ada satu pun negara di dunia ini yang tak “terpengaruh” oleh hegemoni imperial Barat dalam hal politik dan ekonomi global.

Pada saat yang sama, data di atas juga menunjukkan fakta yang penting terkait kolonialisme, yaitu ketidaksamaan pengalaman kolonialisme—ialah bahwa dalam rentang waktu dan rentang ruang geografis yang luas itu, kita berhadapan dengan jenis kekuasaan (empire) yang berbeda-beda dengan kebutuhan, strategi, dan jejak penaklukan yang berbeda. Misalnya, ada beberapa negara yang tidak menjadi koloni imperial Barat tetapi lebih terpengaruh oleh kolonialisme dari pada negara-negara lainnya, seperti negara-negara Timur Tengah dan China. 

Contoh lain adalah pengalaman dan sejarah yang berbeda dalam menyongsong kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah. Beberapa negara mengalami proses kemerdekaan dengan damai dan tenang seperti Ghana, Nigeria dan Senegal, sementara beberapa yang lain harus mengalami berbagai macam peperangan yang berdarah-darah, tragis dan bengis, seperti Aljazair, Kenya, Mozambique, Vietnam dan juga Indonesia. Di sisi yang lain, beberapa proses kemerdekaan sudah berakhir mulus, sementara beberapa yang lain masih terkatung-katung, seperti Palestina. Inilah mengapa Anne McClintok secara konsisten mengkritik poskolonialisme sebagai proyek yang terlalu dini untuk dibicarakan.

Ireland may at a pinch be ‘post-colonial’, but for the inhabitants of British-occupied Northern Ireland, not to mention the Plaestinian inhabitants of the Israeli Occupied territories and the West Bank, there may be  nothing ‘post’ about colonialism at all. Is South Africa ‘post-colonial’? East Timor? Australia? By what fiat of historical amnesia can the United States of America, in particular, qualify as ‘post-colonial’ – a term which can only be a monumental affront to the native American peoples currently opposing the confetti triumphalism in 1992? (Childs, p.11)

Sederet pertanyaan yang diajukan McClintok di atas merupakan pertanyaan yang penting kendati tidak mudah untuk dijawab secara tepat. Dalam hal Palestina dan Timor Timur (masa 1970-an), misalnya untuk hanya menyebut dua contoh saja, meskipun keduanya tidak mengalami agresi imperial Barat, tetapi perkembangan konflik politik nasional keduanya—dalam hal ini antara konflik Palestina dan Israel serta antara Timor Timur dan Indonesia—sangat terpengaruh oleh imperial barat, khususnya Amerika Serikat sebagai negara superpower yang mengendalikan imperilaimse global dalam kebudayaan, politik dan ekonomi, serta sebagai pengendali utama aksi kuasi-militer di seluruh penjuru dunia.

Kasus lain adalah pengalaman Inggris dan Prancis dalam “memerdekakan” bangsa-negara jajahannya. Dalam kasus Inggris, yang terjadi adalah imigrasi secara masal penduduk dari Inggris ke wilayah baru, seperti Australia, Kanada dan Selandia Baru. Inilah yang disebut sebagai “internal colonization”, karena yang menjadi penjajah dan terjajah adalah satu bangsa sendiri. Apakah pengalaman semacam itu (internal colonization) dapat disebut sebagai poskolonialisme? Tidak mudah menjawabnya karena tidak mudah menentukan batasan dan kategorinya.

Kesulitan lain dalam memberikan batasan poskolonial adalah konfigurasi “ruang dan geografi” yang lebih rumit. Misalnya, konflik antara pusat dan pinggiran dalam jaringan ekonomi kolonial yang sama, empire versus empire yang memperebutkan blok-blok kekuasaan (kasus India abad 18), dan terbentuknya sekutu kolaboratif yang membagi-bagi kekuasaan atas suatu benua (kasus Afrika abad 19).  Dalam hal Inggris, lahirnya “British Commonwealth” merupakan suatu bentuk “memerdekakan” jajahan dengan cara yang lebih halus, seperti halnya Prancis dengan sistem “Coopération”. Modus pemapanan kolonialisme dalam mengelola kekuasaan wilahyahya semacam itu adalah via terbentuknya wilayah negara-bangsa bekas negara jajahan dan kemudian menjadikannya menjadi wilayah-wilayah koloni. Ide tentang “negara” dengan demikian dianggap menjadi warisan hadiah kolonialisme yang diagung-agungkan sepanjang zaman.

Di seberang yang lain, para kritikus seperti Basil Davidson berpendapat bahwa “hadiah” semacam itu malah menjadi cawan beracun yang tidak berguna dan tidak relevan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat bangsa terjajah, bahkan dapat membunuh kehidupan kebudayaan, ekonomi dan politik mereka. Warisan kolonialisme berupa koloni-koloni semacam itu juga merupakan irrelevansi sejarah karena penekanan poskolonialisme telah bergeser dari entitas negara yang terikat (bounded territory) menuju pada apa yang oleh Masao Miyoshi disebut sebagai “borderless world”. Kondisi demikian ini sebenarnya hanyalah perulangan dari modus kolonialisme dalam melakukan intensifikasi segala bentuk transnasionalisme yang fanatik buta. Bahkan sebagian pemikir menganggap telah datangnya era “the end of nation-state”.
“We hear a good deal these days about the postnational status of global capitalism and postcoloniality. Such conclusions ignore the ferocious recoding power of the concept/metaphor ‘nation state’ and remain locked in the reversal of capital logic and colonialism”. (Childs, p.12)

Dalam perspektif semacam di atas, seolah-olah status postnational kapitalisme global telah beradaptasi dengan baik dengan kondisi poskolonialitas dimana “batas” antar negara tidak lagi ada. Konklusi semacam itu bisa menyesatkan karena mengelak dari fakta bahwa relasi wilayah poskolonial justru dipenuhi dengan pengalaman mempertahankan “batas wilayah” negara-bangsa terhadap segala tekanan yang melawannya, terutama transnasionalise yang bervisi “borderless world” tersebut. Dengan kata lain, poskolonialisme sebenarnya cenderung tidak kompatibel dengan kapitalisme-imperialisme-transnasionalisme.       

Siapakah Poskolonial itu?

Seperti halnya pertanyaan tentang kapan dan dimana, pertanyaan tentang siapakah poskolonial itu juga sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Jawaban yang “jelas” adalah semua penduduk bekas bangsa-bangsa terjajah imperial Barat. Jika ruang geografis (terirorial) tidak dapat dijadikan sebagai batasan ruang poskolonial, maka apakah penduduknya dapat dijadikan sebagai batasan?

Salah satu kompleksitas untuk menjawab pertanyaan di atas adalah fenomena diaspora—yang menjadi penanda utama hubungan antara kolonialisme dan poskolonialisme. Banyaknya penduduk yang beridentitas diaspora—akibat dari kolonialisme di masa lalu—membawa kesulitan sendiri untuk mengidentifikasikannya sebagai penduduk poskolonial. Kesulitan tersebut terletak pada bahwa praktik diaspora terjadi tidak hanya setelah kolonialisme berakhir, tetapi juga pada masa sebelum (pre-) dan ketika kolonialisme masih terjadi. Apalagi, asal dan tujuan perpindahan penduduk yang terjadi secara acak dan tidak sistematis. Migrasi jutaan manusia, baik dari maupun ke negeri penjajah, telah membentuk suatu identitas diaspora yang tak mudah dikategorikan. Contoh yang terpenting adalah masyarakat diaspora Afrika dan Asia, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah kolonialisme berakhir. Perbedaan hanya terdapat pada bagaimana cara migrasi itu dilakukan. Jika pada masa sebelum akhir kolonialisme, migrasi terjadi dengan cara yang cenderung menggunakan kekerasan, seperti migrasi penduduk untuk kepentingan buruh kerja murah, dan seterusnya, maka dalam masa “after colonialisme” migrasi cenderung terjadi dengan modus yang lebih damai dan sukarela.  Inilah wajah demografi dunia yang baru, dunia dalam naungan “internationalism”—dunia seolah-olah tanpa batas geografi. For the demography of the new internationalism is the history of post-colonial migration, the narratives of cultural and political diaspora, the major social displacements of peasants and aboriginal communities, the poetics of exile, the grim prose of political and economic refugees. (Childs, p.13)

Demografi baru yang nyata pada periode pasca kolonialisme adalah cerita tentang migrasi poskolonial. Kedatangan jutaan manusia dari bekas tanah jajahan kepada pusat wilayah bekas penjajah mereka, dan sebaliknya, telah menjadi fenomena kebudayaan yang memberikan dampak besar dalam pembentukan identitas diaspora tersebut. Migrasi poskolonial semacam ini memaparkan berbagai macam narasi, diantaranya diaspora politik dan budaya, isu utama tentang pengusiran masyarakat pedesaan dan komunitas aborigin, puisi-puisi yang diciptakan oleh para orang buangan, dan prosa-prosa muram oleh para pengungsi ekonomi dan politik. Dengan kompleksitas semacam itu, siapakah poskolonial itu?

Pertanyaan semcam di atas mengandaikan suatu identitas yang “stabil”, “jelas” dan “tidak berubah”. Padahal, identitas diaspora atau yang sering dikatakan sebagai “identitas migran” merupakan identitas yang “berubah” dan “tidak stabil”. Dalam pengertian bahwa identitas yang terbentuk tidak lagi sepenuhnya lagi beridentitas negeri asalnya, dan pada saat yang sama, juga belum beridentitas sepenuhnya pada negeri barunya. Misalnya, para migran dari Asia dan Afrika yang berpindah ke Amerika Serikat maupun Inggris. Mereka tidak bisa sepenuhnya lepas dari identitasnya sebagai orang Asia atau Afrika, tetapi pada saat yang sama belum bisa menjadi sepenuhnya orang Amerika Serikat maupun Inggris. Dengan demikian, apakah mereka poskolonial padahal mereka berada di jantung negeri para mantan penjajah mereka, dan mereka juga bukan berada di Nigeria atau India, merupakan suatu pertanyaan yang juga selalu memiliki jawaban yang tidak stabil.

Dimensi lain diaspora tertuju pada golongan khusus yang selalu merepresentasikan aspirasi dalam masyarakat terjajah, yaitu kaum intelektual dan aktivis poskolonial. Di antara kaum intelektual dan aktivis tersebut, antara lain Edward Said (asal Palestina dan menjadi Amerika), Gayatri Spivak (asal India dan menjadi Amerika), lalu Frantz Fanon (asal Prancis dan menjadi Aljazair), dan seterusnya. Peran penting yang dimainkan oleh mereka adalah menjadi pelaku sejarah perjuangan anti-imperialisme, sekaligus menjadi teoretisi gerakan anti-imperialisme tersebut. Peran yang unik semacam itu menempatkan mereka pada posisi “heroic status” yang dianggap berjasa besar dalam gerakan anti-kolonial. Dalam Bahasa Sartre, mereka disebut sebagai “the interpreter of the situation”[5][6]. Inilah ironi kolonialisme dimana ia mampu melahirkan para pengutuknya sendiri. Dengan latar belakang pendidikan kolonial Barat, para intelektual dan aktivis anti-imperialisme menjadi duri dalam daging kekuasaan Barat. Meskipun tidak semua intelektual dan aktivis mendapatkan puja dan puji, di antara mereka sendiri justru banyak yang menjadi pemuja fanatik formasi pengetahuan Barat dan dengan sendiri menjadi penjaga status quo imperialisme Barat.

Anthony Appiah  menyebut kaum intelektual semacam itu sebagai “a comprador intelligentsia”—suatu kelompok intelektual yang menjadi kaki tangan kolonial yang beroperasi di wilayah kebudayaan dan intelektual. Mereka berperan sebagaimana apa yang dilakukan oleh para komprador borjuis ekonomi pada masa awal poskolonial yang hanya menjadi parasit perjuangan nasional, dan hanya mementingkan kejayaan kepriyayian mereka sendiri.  Namun, bagi Gayatri Spivak, kekhawatiran tidak terletak pada individu-individu sebagai agensi, tetapi pada institusi-institusi dan praktik-praktik yang dilakukan.

Adapun jawaban alternatif atas siapakah poskolonial itu adalah Bukan aku (“Not me”). Bagi beberapa penulis yang tidak mempedulikan labelisasi atas status poskolonial atau tidak, labelisasi merupakan suatu yang membatasi kebebasan mereka. Ketiadaan label adalah bentuk dari resistensi mereka terhadap poskolonialisme. Seperti yang terjadi beberapa penulis perempuan berkulit hitam, mereka enggan dan menolak untuk diberi label “Afrika” atau “poskolonial”, mereka lebih memilih untuk diberi label “penulis perempuan”(a woman writer) saja. Jika demikian halnya, maka identitas poskolonial menjadi sesuatu yang terus tak pernah jelas bentuknya.

Apakah poskolonial itu?

Bagian ini akan membahas “definisi negatif” poskolonialisme sekaligus kritik terhadapnya. Salah satunya tentang terminologi mana yang tepat, apakah poskolonialisme (postcolonialism) atau poskolonialitas (poscoloniality), meskipun bagi sebagian besar pemikir kedua istilah tersebut digunakan secara saling berkelindan. Gayatri Spivak, misalnya, membedakannya secara tajam.

Neo-colonialism is not simply the continuation of colonialism; it is a different thing. That is what I call ‘postcoloniality’, and I find the word postcolonialism just totally bogus. (Childs, p.16)

Neo-kolonialisme bukanlah sekadar terusan dari kolonialisme. Itulah yang dia sebut sebagai poskolonialitas, dan bukan poskolonialisme. Penolakan Spivak terhadap istilah poskolonialisme barangkali dikarenakan tidak adanya kemungkinan untuk keluar dari kondisi “colonialism”, sehingga tidak ada “postcolonialism”. Yang ada hanyalah kondisi atau sifat  poskolonialitas. Spivak masih melihat sisi positif poskolonialitas, “’In postcoloniality, every metropolitan definition is dislodged. The general mode for the postcolonial is citation, reinscription, rerouting the historical’”. Bagi Spivak, tiap definisi atas segala hal—kebudayaan, ekonomi, politik, dan seterusnya—yang datang dari metropolitan (penjajah) harus dilepas-keluarkan. Modus umum poskolonial dengan demikian adalah kutipan, penulisan kembali dan menapak ulang sejarah.

Pendapat yang lain datang dari beberapa pemikir yang menekankan relasi antara teorisasi studi poskolonial dengan perjuangan atau gerakan anti-kolonial atau anti-imperial. Ella Shohat, misalnya, berpendapat,“The globalizing gesture of ‘the postcolonial condition’ or ‘postcoloniality’, downplays multiplicities of location and temporality as well as the possible discursive and political linkages between ‘post-colonial’ theories and contemporary anti-colonial, or anti-neo colonial struggles and discourses” (Childs, p. 16). Multiplisitas lokasi dan temporalitas waktu menjadi penanda penting kehadiran poskolonialitas atau kondisi poskolonial. Seperti halnya hubungan antara praktik politik dan diskursif antara teori-teori poskolonial dengan anti-kolonial dan anti-neo-kolonial, baik sebagai wacana maupun sebagai gerakan. Poskolonialitas dengan demikian bukanlah hanya sebuah label akademik, tetapi juga mewujud menjadi fakta sejarah yang harus menunjukkan kehadirannya, dengan berbagai multiplisitas lokas dan keadaan.

Oleh karena itu, ketiadaan multiplisitas, bagi Anne McClintock, merupakan suatu problem: If the theory promises a decentering of history in hybridity, syncretism, multi-dimensional time, and so forth, the singularity of the term [postcolonialism] effects a re-centering of global history around the single rubric of European time. Colonialism returns at the moment of its disappearance. (Childs, p.16)  

Jika poskolonialisme menjanjikan decentering sejarah dalam hibriditas, sinkretisme, waktu multidimensional, dan seterusnya, maka penunggalan (singularity) istilah poskolonialisme berefek pada pemusatan (re-centering) sejarah global di sekitar rubric tunggal waktu Eropa. Jika demikian halnya, maka kolonialisme telah hidup kembali tepat pada momen keruntuhannya.

Sedangkan menurut Aijaz Ahmad mengkritik poskolonialisme sebagai amnesia sejarah (a kind of historical amnesia)—suatu bentuk pelupaaan dan pengabaian fakta sejarah bahwa istilah poskolonial telah muncul dalam teori politik, ketika terjadi perdebatan awal tentang komposisi negara pasaca dekolonisasi. Artinya, bahwa istilah poskolonialisme tidak bisa dianggap sebagai istilah yang tunggal yang dalam konteks pembagian disiplin ilmu hanya dimiliki oleh ilmu humaniora (budaya dan sastra), tetapi telah menjadi bagian dari bidang ilmu yang lain. Dengan kata lain kajian poskolonial merupakan suatu kajian multidisipliner atau interdisipliner—seperti yang dicontohkan oleh Edward Said dalam karya-karyanya. Tak kurang pentingnya adalah kajian tentang ilmu sosiologi dan ekonomi politik yang sangat berkait erat dengan poskolonialitas dan terutama neo-kolonialisme.

Bentuk lain dari amnesia sejarah dari poskolonialisme, seperti dikatakan oleh Arif Dirlik, adalah “Postcolonial, in other words, is applicable to not to all of the postcolonial period, but only to that period after colonialism when, among other things, a forgetting of its effects has begun to set in” (Childs, p.17). Pendapat Dirlik ini merupakan kritik keras terhadap poskolonialisme. Poskolonial dapat diaplikasikan tidak kepada semua periode poskolonial, tetapi hanya pada masa poskolonial dimana ketika suatu pelupaan terhadap efek-efeknya mulai dibangun. Dengan kata lain, dalam perspektif semacam ini, poskolonial tampak sebagai patologi, penyakit yang berbahasa di masanya.

Beberapa kritikus yang lain menyebut poskolonialisme sebagai sebentuk “urban myth” yang hanya merupakan repetisi saja dalam perbincangan akademik, tanpa menimbang substansi atau koherensinya. Sebagian yang lain menghubungkan ketidakterpisahan antara poskolonialisme dan posmodernisme. Perbincangan tentang poskolonialisme menurut pendapat tersebut harus dihubungkan dengan posmodernisme sebagai “legitimizing narrative”. Poskolonialisme, dengan demikian, hanyalah merupakan kepanjangan tangan proyek-proyek posmodernisme.

Sementara dalam konteks keterlibatan kaum intelektual, beberapa kritikus menyebutnya sebagai bentuk pelacuran kaum intelektual. Salah satunya Anthony Appiah mengatakan, Postcoloniality is the condition of what we might ungenerously call a comprador intelligentsia: a relatively small, Western-style, Western-trained group of writers and thinkers who mediate the trade in cultural commodities of world capitalism at the periphery. In the West they are known through the Africa they offer; their compatriots know them both through the West they present to Africa and through an Africa they have invented for the world, for each other and for Africa. (Childs, p. 18)

Pendapat Appiah di atas tampak sebagai pendapat yang pesimis tentang poskolonialisme. Hal tersebut karena menurutnya poskolonialitas itu sendiri merupakan suatu kondisi pesimisme—ialah dimana keterlibatan intelektual dalam poskolonialisme, sebagai wacana dan gerakan, justru menjadi gambaran suram ketimbang menjadi enlightening groups. Bagaimana penjelasannya? Poskolonialistas ditandai terutama dengan lahirnya kaum “comprador intelligentsia”, kaum intelektual yang menjadi komprador (sekutu) Barat. Jumlah mereka terbilang relatif kecil, biasanya Western-style, biasanya juga merupakan kelompok penulis atau pemikir yang Western-trained dalam orientasinya. Mereka memediasi perdagangan dalam komoditas budaya yang dibungkus dalam kapitalisme global di kawasan-kawasan pinggiran (baca: “dunia ketiga”). Rekan senegara mereka mengenal mereka melalui Barat yang mereka bawakan ke Afrika dan melalui Afrika yang mereka temukan dan persembahkan kepada Barat, dan Afrika sekaligus. Poskolonialitas, dengan demikian, hanya menjadi bagian dari komoditas materialistis yang digunakan sebagian intelektual dalam perdagangan kebudayaan. Intelektual semacam ini tak lebih dari “penjual” kebudayaan mereka dan mendapatkan kompensasi atau gengsi material, baik berupa kekayaan maupun jabatan atau posisi strategis dalam masyarakat. Mereka sudah tidak lagi menjadi apa yang disebut Jean-Paul Sartre sebagai “the interpreter  of the situation” atas kondisi masyarakatnya.

Senyampang dengan pesimisme di atas, penekanan poskolonialitas dengan menghubungkannya hanya dengan beberapa jenis intelektual membawa kesulitan lain. Yaitu adanya saling klaim diantara mereka sebagai yang paling poskolonial atau poskolonial sejati. Lalu siapakah ataukah yang manakah intelektual poskolonial sejati? Jawabannya adalah tidak ada yang paling sejati. Karena jika ada homogenisasi poskolonialitas (bahkan dalam level terminologi sekalipun), maka dengan sendirinya poskolonialitas itu sendiri sudah berakhir. Hal ini sependapat dengan Mishra dan Hodge, ‘Postcolonialism, we have stressed, is not a homogenous category, either across all postcolonial societies, or even within a single one. Rather, it refers to a typical configuration which is always in the process of change, never consistent with itself.’ (Childs, p.19)

Kesimpulan?

Setelah membahas panjang lebar keterangan di atas, dan terutama pada tentang “definisi negatif” poskolonialisme, tentu tidak mudah bagi kita untuk membuat kesimpulan. Dengan membuat kesimpulan sebaliknya dari definisi negatif di atas, maka kita bisa mengatakan bahwa poskolonialisme bukanlah abstraksi ahistoris yang tunggal, bukan pula semata kepanjangan tangan proyek posmodernisme,  bukan pula semata suatu tindakan para “comprador intelligentsia” atau sekelompok intelektual jahat. Namun sebaliknya, poskolonialisme sebagai suatu periode sejarah merupakan suatu fase imperialisme atau dalam konteks neo-kolonialisme berbentuk kapitalisme global—meskipun tidak serta merta selalu dikaitkan dengan kategori-kategori semacam itu. Artinya, poskolonialisme sebagai kajian tidak bisa dilepaskan dari dimensi global. Namun, bukan berarti bahwa poskolonialisme secara total/penuh (totalizing in a bad sense) bisa menguasai dan menjelaskan segala hal. Meskipun memiliki keterbatasan, berbagai pakar, kritikus dan teoretisi dapat menggunakannya sejauh mungkin untuk menjelaskan hal ihwal “apa yang sedang terjadi” secara “total” (in a good sense, not in a reductive way).

Praktik pembacaan “good totalizing” semacam itu mengingatkan kita kepada Fredric Jameson yang mendefinisikannya sebagai tak lebih dari “making connections between phenomena”, menghubungkan berbagai fenomena. Dalam level praksis, pembacaan semacam ini berguna dalam menentukan strategi politik yang tetap menjadi tujuan para teoritisi poskolonial—meskipun dalam level tertentu dapat berpotensi menciptakan bahaya baru, yaitu institusionalisasi poskolonialisme. Dalam level teoretis, poskolonialisme mencakup pendekatan-pendekatan, baik yang bertujuan untuk suatu penjelasan persoalan dalam skala besar maupun untuk suatu penelitian yang lebih kecil-lokal (dalam perspektif Foucauldian micro-analysis). Pendekatan-pendekatan semacam itu sangat tepat dalam konteks dimana tarikan-tarikan antara kekuatan yang saling berkonflik yang berakibat pada mengglobalnya dan sekaligus memfragmentasinya berbagai fenomena, baik dalam level ekonomi, budaya maupun politik. Bukan berarti pula bahwa dengan mengatakan demikian maka teori hanya berhenti menjadi refleksi murni atas peristiwa-peristiwa dalam “dunia nyata”.

Dalam konteks produksi budaya, analisis poskolonial biasanya mencakup berbagai macam bentuk, mulai dari buku dengan tema-tema besar semacam Culture and Imperialism-nya Edward Sai atau buku-buku dengan pembacaan yang hanya berkonsentrasi pada satu teks atau salah satu aspek dari suatu teks. Dengan demikian, homogenitas dan keseragaman dalam produksi budaya poskolonial dapat dihindari. Teori-teori yang digunakan dalam analilisi bersifat dialogis, terkadang bersifat kolaboratif antara teori satu dengan teori lain, terkadang bersifat sangat kritis—yang mencakup teori-teori kritis utama yang sedang mutakhir, semisal feminism, Marxisme, post-structuralisme dan juga posmodernisme—dengan berbagai macam perdebatan internal di dalamnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kajian poskolonial merupakan kajian interdisipliner. Meskipun kajian semacam ini mendapatkan respon yang baik, tetapi tetap memiliki berbagai kelemahan. Salah satunya adalah problem over-spesialisasi bidang keilmuan. Formasi pengetahuan modern yang mensyaratkan spesialisasi yang berlebihan mengakibatkan akademisi “malu” atau bahkan “tidak berani” melakukan kajian interdispliner. Kajian-kajian yang hanya menitikberatkan pada satu disiplin keilmuan (misalnya politik, hubungan internasional, sastra, dst.) kurang meyakinkan untuk disebut sebagai kajian poskolonial. Dampaknya, pembacaan interdispliner tak jarang menjadikan para pemikir yang melakukannya menjadi obyek kecemburuan, hujatan dan kritik dari mereka yang memuja over-spesialisasi. Edward Said, misalnya, sebagai seorang profesor kajian sastra perbandingan, dikritik sebagai seorang sejarawan sebagai “bukan sejarawan yang baik”[6][7]. Kelemahan semacam ini memang harus diakui karena para pemikir-ilmuwan poskolonial bukanlah seseorang yang terlatih dalam semua disiplin ilmu, tetapi di sisi yang lain, tidak ada strategi lain karena visi-misi poskolonial untuk “menghubungkan berbagai fenomena” hanya bisa dijalankan dengan cara interdispliner semacam itu.

Dalam konteks Orientalism, misalnya, “expertise” menjadi suatu bentuk aspek superioritas imperial yang rasial. Para orientalis menjadi penentu kuasa pengatahuan atas “Orient” dan menganggap yang di luar mereka—apalagi suara dari bumiputera—sebagai bentuk pengetahuan yang tidak ilmiah karena tidak berdasarkan ekspertise tertentu. Over-spesialisasi atau over-ekspertise, dalam skala yang luas, berbahaya karena memapankan rezim kuasa pengetahuan tertutup, baik kepada para “pemikir” yang bukan “expert” atau kepada “disiplin” ilmu di luarnya. Kajian poskolonial-interdispliner, dengan demikian, menjadi suatu yang produktif, mencerahkan dan memberi harapan—karena praktik pembacaan interdisipliner lebih menunjukkan suatu bentuk keterlibatan (engagement) dengan para pemikir dan berbagai isu, ketimbang hanya menjadi penguasaan (mastery) atas berbagai wilayah teoretis.

Bibliografi

Althusser, Louis
1971    Ideology and Ideological State Apparatus and Lenin and Philosphy and other Essays. trans. by B. Brewster. London: New Left Books 

Ashcroft, B.,  Griffiths, G. dan Tiffin, H.
1989    The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures. London dan New York: Routledge
Childs, Peter dan Williams, R.J.P.
1997    An Introduction to Post-Colonial Theory. London and New York: Prentice Hall
Day, Tony dan Foulcher, Keith
2008  ‘Bahasan Poskolonial dalam Sastra Indonesia Modern’ dalam buku Sastra Indonesia Modern : Kritik Poskolonial. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia
Fanon, Frantz
1963.   The Wretched of the Earth. (trans. by Constance Farrington). New York: Grove Press
Piper, Karen
1999    ‘Post-Colonialism in the United States: Diversity or Hybridity’ dalam Post-Colonial Literatures: Expanding the Canon (Deborah L. Madsen, ed.). London: Pluto Press
Said, Edward W.
1994    Culture and Imperialism. London: Vintage
Shawant, S.B.
2012    Postcolonial Theory:Meaning and Significance. [Proceedings of National Seminar on Postmodern Literary Theory and Literature, Nanded, January 27-28, 2012]



[7][1] Tulisan ini merupakan tulisan pertama untuk seri kelas “Kebudayaan dan Kekuasaan” yang diselenggarakan oleh Rumah Buku Simpul Semarang (RBSS) dari dua belas kali pertemuan yang direncanakan pada tiap akhir bulan sepanjang tahun 2014. 


[1][2] Dikutip dari Tony Day dan Keith Foulcher, ‘Bahasan Poskolonial dalam Sastra Indonesia Modern’ dalam buku Sastra Indonesia Modern : Kritik Poskolonial, 2008: hal. 5.
[2][3] Kapankah akhir perang dunia kedua? Tahun berapa? Ditandai dengan apa?
[3][4] Stephen Slemon, ‘Modernism’s Last Post’, in Ian Adam and Helen Tiffin (eds.), Past the Last Post: Theorizing Post-Colonialism and Post-modernism, Hemel Hemstead; Harvester Wheatsheaf, 1991, p. 3.
[4][5] Louis Althusser membagi apparatus negara menjadi dua, yaitu Ideological State Aparatus dan Repressive State Apparatus. Lebih lanjut tentang ini, baca Louis Althusser Ideology and Ideological State Apparatus and Lenin and Philosphy and other Essays, trans. by B. Brewster, London: New Left Books, 1971.
[5][6] Baca kata pengantar Jean-Paul Sartre untuk buku Frantz Fanon The Wretched of the Earth, 1963, hal. 14. Sastre menyebut Fanon (dan intelektual sejenisnya—penulis) sebagai ”the interpreter of the situation”. Mereka merupakan “pembaca situasi” masyarakatnya karena mereka adalah pemikir cum aktivis yang terlibat secara langsung dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya.
[6][7] Untuk kritikan semacam itu, mungkin ada benarnya. Misalnya, dalam bukunya Culture and Imperialism, hal. 240, Edward Said  menyebut Indonesia merdeka dari Belanda pada sebelum 1950. Said tidak menunjukkan, persis tahun kemerdekaan Indonesia. Dalam buku tersebut, misalnya, Said tidak menyebutkan sumber sejarah yang dia pakai. Kita tidak tahu dari mana dia mendapatkan sumber semacam itu, baik sejarah versi versi Belanda—kemerdekaan Indonesia adalah “hadiah” dari mereka yang diberikan kepada bangsa Indonesia pada 27 Desember 1949, sementara sejarah resmi versi bangsa Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Kesalahan “kecil” semacam ini memberitahu kita bahwa kajian poskolonial yang berorientasi pada kajian interdidipliner—yang memasuki wilayah disiplin “orang lain”—memiliki kelemahan seperti pengalaman Edward Said tersebut. Namun, kesadaran atas kelemahan semacam ini tidak seharusnya menjadi pengahalang tetapi harus dijadikan himbauan agar menjadi motivasi untuk lebih teliti, tekun dan hati-hati memasuki “wilayah disiplin ilmu orang lain” (apalagi, memasuki “wilayah kebudayaan orang lain”).