Sabtu, 31 Januari 2015

Mata-Mata Bertopeng Besi




Oleh Basfin Siregar

Lewat buku ini, saya mendapat banyak informasi tentang karakter Mossad, juga istilah-istilah yang kerap digunakan oleh badan intelijen Israel itu. Misalnya, Kidon: tim pembunuh Mossad, Katsa: agen lapangan, Sayanim: warga sipil yang diam-diam membantu Mossad, dan Mabuah: informan Mossad non-Yahudi. Satu bab buku ini, yang aslinya berjudul The Spy in The Ironmask (diterjemahkan menjadi Mata-mata Bertopeng Besi) khusus bercerita tentang Rafi Eitan, deputi Mossad yang legendaris kelihaiannya (apalagi kalau merencanakan pembunuhan).

Bab itu berjudul Mata-mata Bertopeng Besi, karena Eitan, kalau lagi tak ada kerjaan membunuhi orang, punya hobi membuat patung dari logam.  Ia semacam seniman amatir: suka mengumpulkan besi-besi tua, kuningan, tembaga, lalu melasnya menjadi sebuah “karya seni”. Nah, ketika asyik membuat patung itu ia mengenakan topeng las –dari situlah judul Mata-Mata Bertopeng Besi muncul. Ia bahkan pernah memamerkan karya-karya patung lasnya dalam sebuah pameran amatir.

Saya suka membaca bab tentang Eitan karena karakternya  yang berdarah dingin, khas sypmaster papan atas. Berikut saya kasih sedikit spoiler tentang isi dari bab Mata-Mata Bertopeng Besi itu. Bab itu banyak bercerita bagaimana Eitan memimpin sebuah operasi Mossad untuk menculik Adolf Heizman, mantan perwira Nazi dari persembunyiannya di Argentina. Penculikan yang terjadi bulan Mei 1960. Mossad mendapat info kalau Heizman, 55 tahun, telah berganti nama menjadi Ricardo Klement dan bekerja sebagai mandor di pabrik Mercedez Benz di Buenos Aires, Argentina. Satu tim pemburu Mossad yang dikomandani Eitan pun dikirim.

Malam 11 Mei 1961, Eichman lagi menunggu bis di jalan habis pulang kerja. Dua orang agen mendekat –EItan salah satunya– dan segera merenggut Eichman dari pinggir jalan. Eitan memiting leher mantan perwira Nazi itu, agen satunya segera membuka pintu mobil, dan Eichmann didorong masuk (sempat dipukul tengkuknya hingga nyaris pingsan). Drama penculikan di pinggir jalan itu berlangsung tidak lebih dari lima detik. Mobil itu kemudian menuju sebuah rumah aman sekitar 5 km dari Buenos Aires.

Tidak ada yang bicara dengannya. Dengan diam-diam, mereka tiba di rumah aman mereka, sekitar 5 km jauhnya. Rafi Eitan memberi aba-aba kepada Eichmann untuk menanggalkan seluruh pakaiannya. Lalu ia membandingkan segala ciri fisiknya dengan rincian yang tertera dalam sebuah berkas SS yang diperolehnya. Ia tidak terkejut melihat Eichmann entah bagaimana berhasil menghilangkan tato SS-nya. Tapi berbagai ciri fisik lainnya cocok dengan berkas itu – ukuran kepalanya, jarak di antara siku dengan pergelangan tangan, antara lutut dan tumit. Ia kemudian merantai Eichmann di tempat tidur. Selama sepuluh jam ia ditinggalkan tanpa sama sekali diajak bicara. Rafi Eitan “ingin menumbuhkan perasaan putus asa”.

Persis sebelum matahari terbit, kondisi mental Eichmann mencapai titik paling rendah. Saya menanyakan namanya. Ia mengucapkan nama Spanyolnya. Saya berkata, bukan, bukan, bukan, nama Jerman kamu. Ia mengatakan nama Jerman samarannya – nama yang digunakannya untuk lari dari Jerman. Saya kembali berkata, bukan, bukan, bukan, nama kamu yang benar, nama SS kamu. Ia lalu berbaring lurus di tempat tidurnya, seakan-akan berdiri dalam sikap sempurna, lalu berkata dengan suara keras dan jelas, ‘Adolf Eichmann.’ Saya tak bertanya apa-apa lagi kepadanya. Itu tak lagi perlu.”

Adolf Eichmaan akhirnya digantung pada 31 Mei 1962 di penjara Ramla. Pada hari eksekusinya, Rafi Eitan hadir. Meski beberapa saat lagi akan digantung, Eichman tetap tidak kehilangan sikapnya. Ia bersikap sempurna layaknya perwira SS dan menatap tajam ke Eitan. “Eichmann memandangi saya dan berkata, ‘Waktumu pasti tiba, Yahudi,’ dan saya menjawab, ‘Tapi bukan hari ini Adolf, bukan hari ini.’

Selain soal Eitan, masih banyak lagi bab (total ada 15 bab) yang menceritakan berbagai aksi Mossad: bagaimana mereka mendapatkan teknologi nuklir, berperang melawan badan intelijen Cina di Afrika, pembunuhan terhadap petinggi PLO Khalid Ibrahim al Wazir (ditembak di depan anak dan istrinya), penculikan terhadap mantan pelarian Nigeria Umnaro Dikko, keterlibatan Mossad dalam skandal Iran-contra, info tentang pembunuhan terhadap Paus Yohannes Paulus II, skandal seks Bill Clinton-Monica Lewinsky, hingga keterlibatan Mossad dalam kecelakaan yang menewaskan Putri Diana dan Dodi Al-Fayed.

Pengarang buku ini, Gordon Thomas, adalah wartawan. Jadi gaya penulisannya sederhana, enak, khas bahasa jurnalistik. Thomas mendapat banyak info dari dunia intelijen karena bapak mertuanya, Joachim Kraner, adalah perwira dinas intelijen Inggris, M16, yang mengendalikan jaringan di Dresden setelah Perang Dunia II. Thomas juga menjalin hubungan akrab dengan WIlliam Francis Buckley, mantan kepala stasiun CIA di Beirut yang kemudian “dihabisi” oleh Hezbollah –paramiliter sipil Muslim Syi’ah paling disegani yang disokong Iran.

Terakhir, sebagai catatan, lazimnya karya investigasi jurnalistik (buku ini memang kurang lebih seperti itu), Thomas berulang kali menggunakan sumber anonim untuk mendukung informasi yang ia sampaikan. Tentang eksekutor yang menembak Khalid Ibrahim al Wazir, ia hanya menyebut orang itu dengan nama “Pedang”. Ia juga menggunakan banyak sumber anonim untuk melukiskan intrik di internal Mossad.

Dari segi validitas, penggunaan sumber anonim ini mungkin menganggu. It’s not verifiable. Kita hanya bisa percaya atau tidak percaya. Namun bukan berarti tulisan Thomas ini sekadar fiksi. Ada beberapa nama, terutama dari mantan agen Mossad yang kemudian ‘didepak’ hingga akhirnya jadi ‘pembangkang’ yang juga disebut di buku ini. My advice is, buku ini layak dibaca, tapi kita harus hati-hari mencerna informasi di dalamnya. Ada banyak review yang pro maupun kontra terhadap buku ini. Yang anti-Israel biasanya pro, sedang yang pro-Israel biasanya kontra. Sekadar info, ketika buku ini terbit (pada 1999), juru bicara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, David Bar-Illan mengecam tuduhan Thomas terhadap Netanyahu di buku ini sebagai “beyond the pale and beneath contempt”


(Foto: Omer Goldman memang bukan seorang model. Ia adalah salah seorang perempuan cantik yang menolak kerahan wajib militer hingga ia dijebloskan dalam penjara. Bersama 40 rakannya dari organisasi Anarki Anti Tembok Pemisah, ia pernah mengedarkan risalah menentang penjajahan Israel terhadap Tebing Barat dan Semenanjung Gaza di gerbang sekolahnya) 

(Foto: Rafael Eitan, agen Mossad yang berhasil membekuk Eichmann di Argentina)

Jumat, 30 Januari 2015

Energi Sebagai Pemusnah



Oleh Andrew Marshall (Sumber: www.joyousness.org/articles.html, November 2007)

Ini adalah artikel terakhir dari seri enam artikel yang dipublikasikan pada tahun 2007 yang juga bisa dilihat secara online.

Barangkali hanya sedikit pemikiran kita mengenai peranan energi sebagai pemusnah, kecuali dalam contoh-contoh seperti penggunaan militer, kecelakaan, dan sebagainya; meskipun begitu, energi harus memusnahkan agar bisa membangun. Potensi energi untuk membangun setara dengan kapasitasnya untuk memusnahkan, dan kemampuan memusnahkan yang selalu dikaitkan dengan energi adalah membersihkan alam semesta dari bentuk-bentuk yang tidak lagi dibutuhkan untuk tanda kehidupan.

Kedengarannya agak menakutkan ketika kita sebagai manusia begitu konsen terutama pada pembangunan hal-hal untuk diri kita dan menciptakan bentuk-bentuk. Ada sesuatu dalam psikis manusia yang menganggap semua hal bersifat permanen –meski kita tahu dari sedikit pemikiran bahwa faktanya tidak demikian dan bahwa segala sesuatu di alam semesta adalah tidak permanen. Ada juga sesuatu dalam psikis manusia yang menyukai kemusnahan. Perhatikanlah pesona ketika menara pendingin megah dirobohkan, contohnya, atau intrik yang terkadang dimiliki anak kecil untuk merusak permukaan pasir di pantai atau salju yang baru turun. Bukankah kadang kala pula ada rasa kepuasan ketika melucuti wallpaper (kertas dinding) lama dari dinding dalam rangka dekorasi ulang?

Tujuan dari artikel ini bukanlah untuk menimbulkan kesukaan kepada kemusnahan tapi lebih untuk memahami peranan kemusnahan dan mengapa energi harus diungkapkan dengan cara ini. Dalam artikel sebelumnya (Universal Healing Force), kita telah mempertimbangkan sudut pandang bahwa tubuh hanya dapat memiliki tanda kehidupan selama terdapat kebutuhan akan itu. Dengan kata lain, ketika Anda atau saya telah memenuhi tujuan hidup kita (yang mungkin tidak kita ketahui secara sadar) pada satu titik tubuh akan mulai mogok karena jiwa di dalamnya secara perlahan menarik keinginannya untuk hidup. Dengan kata lain, ketika pekerjaan kita di Bumi selesai, kita tak lagi membutuhkan “pakaian kerja”, yakni tubuh.

Meskipun demikian, pada skala lebih besar, kemusnahan bentuk sedikit lebih sulit untuk dipahami. Contoh, ketika terjadi bencana alam, seperti gempa bumi, yang mengakibatkan banyak korban jiwa manusia (dan mungkin juga binatang), tempat tinggal, dan seterusnya, bagaimana kita bisa memahami tujuan lebih besar – jika memang ada – yang bermanfaat dari bencana semacam itu? Itu hampir tidak mungkin dicatat sebagai upaya untuk mengendalikan populasi manusia yang terus bertambah, karena bencana-bencana paling besar sekalipun hanya memusnahkan sedikit persentase nyawa manusia. Mereka yang berpaham agamis mungkin akan mengatakan, “Ini Kehendak Tuhan”, sedangkan mereka yang memiliki pendekatan lebih sekuler dalam kehidupan mungkin akan mencari sebab-sebabnya pada gangguan geologis semata. Barangkali kedua pendekatan mempunyai perbedaan dalam pengertian bahwa pendekatan pertama diinterpretasikan berkaitan dengan “tujuan kehidupan di planet ini” dan pendekatan kedua adalah benar secara ilmiah, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip yang lebih dalam.

Sebenarnya kita tidak mungkin betul-betul paham –tapi kita bisa paham, atau belajar memahami, bahwa bentuk di Bumi tidaklah permanen dan bahwa kekuatan energi yang memeliharanya pada akhirnya juga akan memusnahkannya. Dan kita bisa cukup berani untuk berasumsi bahwa prinsip kehidupan di Bumi berkaitan dengan pemeliharaannya atau kelangsungannya, dan ketika Grand Life itu menarik diri disebabkan oleh berakhirnya periode pembelajaran atau keberfungsian dalam bentuk tersebut, tubuh luar, yakni Bumi yang kita kenal, akan terdegradasi. Sebagaimana bunyi pepatah tua, “As above, so below”. Tapi itu mungkin lompatan yang terlalu jauh bagi pikiran beberapa orang.

Yang harus kita sepakati adalah bahwa kehidupan memiliki tujuan, bahwa kehidupan membutuhkan bentuk untuk berfungsi di alam semesta kita ini, dan bahwa ketika tujuan tersebut telah terpenuhi dalam bentuk tersebut, maka bentuk tersebut tak lagi dibutuhkan. Prinsip ini pasti berlaku pada milyaran benda angkasa, matahari, bintang, dan sistem planetnya di seluruh angkasa, kecuali kalau kita berpikir bahwa Bumi merupakan satu-satunya benda berkehidupan di alam semesta.

Jadi peran apa yang dimiliki manusia terkait sifat destruktif energi? Apa yang harus dilakukan manusia adalah belajar bertanggung jawab. Pada saat ini, kita sebagai ras manusia baru saja melewati tahap kanak-kanak –beberapa orang mungkin mengatakan bahwa kita bahkan belum semaju itu. Alam tidak akan mempercayakan kekuatan destruktifnya kepada pikiran orang-orang yang tidak sanggup menanganinya. Di sisi lain, manusia telah cukup mengetahui (hingga mengoyak-ngoyaknya dan mengubah keadaan mental dan emosionalnya yang rentan menjadi jahat) bahwa untuk beberapa saat stabilitas tidak akan bersama kita. Yang harus manusia pahami adalah bahwa destruksi adalah untuk tujuan konstruksi. Dengan kata lain, kemusnahan bentuk pasti bertepatan dengan penciptaan bentuk-bentuk yang lebih baru dan lebih baik, dan bentuk-bentuk lebih baru dan lebih baik itu pasti menopang kehidupan dan perkembangan. Dengan kata lain, jika manusia menopang Alam dan mengikuti Hukum Alam, Alam akan membantu dengan penciptaan bentuk-bentuk baru dan pemusnahan bentuk lama. Sebaliknya, jika Hukum Alam dilanggar, yang saat ini sering terjadi, bentuk-bentuk baru yang diciptakan manusia akan menjadi korban kekuatan destruktif alami yang inheren di Alam.

Yang penting dalam hal ini adalah pertumbuhan dan kemajuan kesadaran, karena kemajuan kesadaran inilah yang menopang perkembangan dan, demikian pula, perkembangan menopang pertumbuhan kesadaran. Kemajuan teknologi adalah baik dan bermanfaat dan tak diragukan lagi pada waktunya akan membawa manusia lebih jauh, tapi tidak akan bermanfaat tanpa kemajuan atau peningkatan kesadaran, dan ini hanya bisa terjadi jika manusia secara kolektif lebih berhubungan dengan esensi/sifat (nature)-nya. Semakin manusia mengenal esensinya, yang merupakan kesadaran sejati, semakin sehat dan semakin holistik pendekatan kita terhadap kehidupan, terhadap lingkungan, dan terhadap satu sama lain.

Begitu kita semakin selaras dengan esensi riil eksistensi kita, aspek destruktif energi sebagai medium yang baik akan menjadi semakin nyata. Begitu nilai-nilai hati kita – cinta, kebaikan hati, dan perasaan kasihan – meningkat, perhatikan bagaimana elemen-elemen kasar dalam kehidupan menurun secara bertahap. Semakin dekat kita kepada kesadaran sejati, semakin beradab aspek-aspek kehidupan kita. Contoh, beberapa orang melihat bagaimana selera mereka terhadap jenis makanan atau musik tertentu berubah atau bagaimana hal-hal yang sebelumnya terasa begitu penting dalam hidup kemudian tak lagi demikian. Kita mungkin tak pernah berpikir perubahan ini terjadi disebabkan oleh aspek destruktif energi, padahal sesungguhnya demikian. Semakin sejati kesadaran yang tercermin dalam kehidupan, hiasan-hiasan kehidupan semakin harus berubah untuk sesuai dengan tujuan inti.

Sekarang pikirkan prinsip yang berlaku pada skala lebih luas. Begitu perkembangan kesadaran berjalan, bentuk-bentuk yang dapat dikenali pasti berubah. Bentuk lama harus dimusnahkan sebelum yang baru bisa tumbuh secara utuh. Terkadang kita mungkin merasa bahwa proses destruktif tersebut kejam tapi bukankah sebenarnya itu justru merupakan kebaikan? Begitu kesadaran kita berkembang, kualitas hati menjadi lebih kuat dan secara bertahap kita menjadi lebih bergembira. Ini adalah hasil alami dari penghancuran kecenderungan kasar. Mungkinkah kita akan tetap seperti sebelumnya, kurang bergembira? Tentu saja tidak. Jadi walaupun kita tidak bisa mengetahui apa yang sedang terjadi pada skala lebih besar, kita bisa percaya kepada prinsip-prinsip umum kehidupan dan memungkinkan kita untuk berpikir bahwa aspek destruktif energi tak lain hanya sedang menyapu yang lama untuk menyiapkan jalan bagi yang baru. Ini juga berlangsung dalam sistem tata surya, sebagaimana pada manusia atau bahkan semut. Begitu kita berkembang dan lebih mengenali esensi sejati eksistensi kita, siapa atau apa kita sebenarnya, kita akan tahu berdasarkan intuisi, dan mungkin akhirnya berdasarkan pengalaman, bahwa ada sebuah kesatuan kesadaran; dan kesatuan tersebut mengandung arti bahwa tak ada yang perlu ditakuti. Pada akhirnya, yang musnah hanyalah bentuk luar yang ilusi. Realitas tak pernah bisa musnah. 


Selasa, 27 Januari 2015

Kebudayaan Yunani Berasal dari Mesir



Oleh Philip Coppens (Sumber: www.philipcoppens.com)

Selama berabad-abad para akademisi mengenal kebudayaan Yunani sebagai sumber peradaban Barat. Tapi bagaimana jika kebudayaan Yunani sendiri merupakan warisan – koloni – bangsa Mesir kuno?

Sekolah-sekolah masih mengajarkan bahwa peradaban Barat adalah keturunan Yunani. Sampai beberapa dekade lalu, banyak sekolah tidak menyebutkan pencapaian budaya Mesir atau Sumeria – dan banyak sekolah di Eropa masih belum memperhatikan kebudayaan Inca, Toltecs, dan lain-lain. Tapi ketika tiba pada pembahasan peradaban Yunani dan Mesir, sayangnya, dijelaskan bahwa peradaban Mesir itu “primitif” dibandingkan dengan pencapaian budaya dan, khususnya, filsafat Yunani.

Situasi ini lambat laun kini mulai berubah, meski jurang antara kebudayaan Yunani dan Mesir masih tersisa. Walau secara geografis kedua negara saling berdekatan, dan mengingat banyaknya bangsa Yunani yang kemudian berkunjung ke Mesir, ada asumsi bahwa bangsa Mesir, sebuah peradaban yang dua milenium mendahului peradaban Yunani, pada masa itu tidak pernah berlayar ke arah berlawanan. Meski bangsa Mesir kuno mempunyai perahu laut yang layak – contohnya perahu pemakaman dalam kabin perahu di dataran tinggi Gizeh – status quo-nya adalah bahwa mereka tak pernah melintasi Laut Mediterania menuju Yunani.

Richard Poe dalam “Black Spark, White Fire” menyebutkan bahwa asumsi bahwa bangsa Mesir kuno tidak menyeberangi Laut Mediterania adalah sebuah mitos ilmiah yang dikonstruksi secara teliti. Bukti bahwa bangsa Mesir kuno melakukan hal itu sama banyaknya dengan bukti bahwa bangsa Phoenician dan Minoan mengarungi laut tersebut. Para ilmuwan bersedia mengakui kemampuan kebudayaan-kebudayaan [Phoenician dan Minoan] tersebut dalam mengarungi lautan, tapi anehnya membatasi kemampuan bangsa Mesir untuk melakukan hal yang sama.

Masih ada bukti kuat untuk menunjukkan bahwa bangsa Mesir betul-betul pergi melampaui Nil. Diketahui pula bahwa mereka mempunyai armada besar. Dan Thor Heyerdahl menunjukkan bahwa “perahu primitif” mereka pun mampu menaklukkan arus lautan – dengan demikian sudah sangat cukup untuk menaklukkan perairan Laut Mediterania yang jauh lebih tenang.

Selubung penolakan yang sama dipertahankan ketika beralih pada pembahasan filsafat. Baik Plato maupun Pythagoras, yang dikenal sebagai ikon filsafat Yunani, menyatakan bahwa mereka dan filsuf besar Yunani lainnya mempelajari dan mendengar pengetahuan [filsafat] tersebut di Mesir. Banyak yang telah belajar selama bertahun-tahun di sekolah-sekolah Mesir, lalu pulang ke Yunani sebagai “filsuf pertama”.

Lamblichus menulis bahwa Thales dari Milete harus menjelaskan kepada Pythagoras supaya pergi ke Memphis, Mesir, untuk belajar. Thales menambahkan bahwa para pendeta Mesir-lah sumber pengetahuan dan informasi yang benar. Thales menyatakan ini ketika dirinya menjadi filsuf Yunani paling terkenal dan dihargai, meskipun anak didiknya-lah, Pythagoras, yang sekarang ini paling diingat sebagai “filsuf pertama”.

Setelah kematian Socrates, Plato pergi ke Mesir, di mana dia belajar selama 13 tahun. Mentornya adalah Sechnuphis, seorang pendeta Heliopolis (Kairo modern dan dekat dengan Great Pyramid).

Bertahun-tahun kemudian, Strabo bepergian melewati Mesir. Penunjuk jalan Mesirnya menunjukinya di mana Plato tinggal. Begitulah Plato mengetahui fabel Thoth dan Amun, yang dia tulis di Phaedros. Meski sumber Mesirnya sangat jelas, banyak “akademisi” menafsirkan risalat tersebut sebagai naskah “khas Yunani”. Mereka “menjelaskan” pemikiran ganjil mereka dengan menyatakan bahwa bangsa Yunani “suka membual”. Mereka menyatakan bahwa bangsa Yunani ingin membuat filsafat mereka terlihat jauh lebih tua dari kenyataannya. Meskipun ini mungkin, sudah jelas bukti yang ada (yang tidak bisa kami sajikan di sini satu persen pun) dalam kasus ini tidak membenarkan kesimpulan seperti itu. Jika bangsa Yunani menyatakan bahwa mereka mempelajari filsafat mereka dari bangsa Mesir, mengapa tidak mengakuinya saja?

Jawabannya jelas: sementara bangsa Yunani kuno benar-benar nyaman dengan warisan filsafat Mesir mereka, akademisi modern tidak. Alhasil, akademisi modern harus menjalankan pengujian teliti untuk menjelaskan beberapa tulisan Plato.

Meski banyak yang mempertimbangkan cerita Atlantis dan sumber Mesirnya, filsafat Plato-lah yang sebenarnya menjadi contoh terbaik untuk anomali ini. Plato menyatakan bahwa banyak jiwa dari makhluk mati bereinkarnasi, baik hewan maupun manusia. Konsep ini tidak dikenal di Yunani; di sana diyakini bahwa kematian mengisyaratkan akhir, hanya “underworld” yang terdapat di belakang kabut kematian. Bangsa Mesir-lah yang meyakini bahwa kematian hanya sebuah perlaluan, dan jiwa/arwah terus eksis setelah peristiwa tersebut.

Mitos-mitos Yunani membawa bukti lebih jauh. Mereka menyatakan dengan jelas bahwa “orang Yunani” pertama adalah bangsa Mesir, yang menjajah pulau-pulau kecil dan daratan Yunani. Diodorus Siculus menulis bahwa Kekrops berasal dari Mesir dan mendirikan Athena sebagai koloni kota Sais Mesir. Dewi Athena sebenarnya adalah Neith Mesir, pelindung kota Sais. Dua keluarga Yunani, Eumolpidae dan Ceryces, konon merupakan keturunan pendeta-pendeta Mesir. Kedua keluarga tersebut ditugasi melaksanakan ritual dewi Athena. Disebutkan: “dan persembahan mereka dan upacara tua mereka dipraktekkan oleh penduduk Athena dengan cara yang sama dengan yang dilakukan oleh bangsa Mesir kuno. [Kedua keluarga ini] adalah satu-satunya orang Yunani yang bersumpah atas Isis dan wajah serta sikap mereka menyerupai bangsa Mesir.”

Martin Bernal menambahkan bahwa Neith tertulis sebagai “Ht” dalam bahasa Mesir. Ini dilafalkan “Ath” atau “At”. Artinya di Sais pun dewi kuno Neith disapa sebagai “Athanait”, di mana kemudian orang Yunani memilih memanggil akhiran “nait” untuk Neith daripada “Athan” untuk Athena. Dengan senam verbal rendah, diketahui bahwa penulis Yunani, Charax dari Pergamon, pada sekitar tahun 200 M, menulis bahwa penghuni Sais menyebut kota mereka sebagai “Athenai”

Di samping Athena, Dodona merupakan gagasan Mesir lainnya. Herodotus menulis bahwa orang Yunani mengetahui dan menyatakan bahwa Mysteries of Dodona berawal di Mesir. Dalam perjalanan Herodotus di Mesir, para pendeta memberitahunya bahwa dua pendeta wanita diculik oleh bangsa Phoenician. Salah satu korban konon ditemukan di tempat ibadah (sanctuary) Dodona. Karena itu Herodotus menyatakan bahwa baik di Yunani maupun di Mesir dirinya berulangkali mendengar betapa peradaban Yunani merupakan keturunan Nil. Bagaimana para akademisi menghadapi teka-teki ini? Herodotus, sebagaimana biasa, diberi reputasi sebagai “pendusta” – lebih buruk dari nasib Plato, yang hanya dilabeli sebagai “pengkhayal dunia ideal” kala dia mengatakan mengenai Atlantis.

Lagi, konon Mysteries of Demeter di Eleusis juga berasal dari Mesir. Mereka berasal dari Erechteus, yang konon menciptakan Mysteries tersebut sebagai tiruan Mysteries of Isis and Osiris. Tapi, sekali lagi, para akademisi bersikukuh bahwa orang Yunani tersebut keliru. Bagaimanapun, tidakkah diketahui bahwa semua mitos dan legenda bukan berdasarkan realitas, melainkan khayalan?

Siapa yang menciptakan “selubung penolakan” yang mengawal pemisahan Yunani dan Mesir kuno sebagai Tirai Besi ilmiah? Jawabannya bisa ditemukan di akhir abad 19, dan situasi rasial pada era tersebut. Pertanyaan sentralnya adalah dari ras apa bangsa Mesir itu. Hubungan antara Eropa kulit hitam dan kulit putih merupakan isu sosial yang berpengaruh di AS dan Inggris; pada tahun 1879, Inggris menguasai seperempat dunia. Pada masa itulah para akademisi mulai menyadari bahwa Mesir mempunyai kebudayaan yang kuat; pada masa itulah Yunani dikenali sebagai tempat lahir peradaban Barat. Sebagian besar akademisi kulit putih-lah yang melakukan segala hal untuk memastikan bahwa kulit hitam tidak akan menemukan tempat dalam sejarah…meski itu bisa menimbulkan konsekuensi sosial yang serius. Kulit hitam tentu saja tidak mungkin merupakan akar peradaban Yunani yang menakjubkan? Itu “pasti” keliru. Pasti mustahil…

Namun argumen tersebut sulit dipertahankan, dan mitos Atlantis pun digunakan untuk menguji dan menyelamatkan situasi problematik ini: seandainya Atlantis eksis, ia pasti “ras putih”, dan “ras putih” inilah yang memasuki Mesir dan memberi peradaban, kebudayaan, dan filsafat kepada penduduk aslinya yang berkulit hitam. Masalah terpecahkan…

Sikap ini bertentangan dengan sikap Yunani, meskipun sulit untuk dipercaya, setelah lebih dari seabad pencucian otak berkenaan dengan pemikiran Yunani kuno. Bangsa Yunani tidak punya masalah ketika menyatakan bahwa pengetahuan mereka berasal dari Afrika; mereka sama sekali tidak menyebutkan “dewa kulit putih” atau “pemimpin kulit putih” di tengah-tengah kebudayaan kulit hitam yang memberi mereka filsafat.

Poe dan analis lain beralasan bahwa arkeologi modern, karena dibentuk oleh pemikiran barat, tidak bisa hidup dengan konsep bahwa kebudayaan Yunani – dan peradaban barat secara keseluruhan – adalah warisan Mesir yang kulit hitam. Ini menimbulkan perdebatan yang hampir menyenangkan tentang bagaimana bangsa Mesir kuno boleh jadi bukan Afrika – atau sikap umum yang tampaknya berlaku hari ini, tidak menetapkan identitas ras mereka. Bagaimanapun, ras Arab kini merupakan ras dominan di Mesir (terutama di utara), dan penyebutan seperti “leluhur kami” seringkali mengimplikasikan bahwa bangsa Mesir kuno adalah Arab.

Fakta-fakta sangat bertentangan dengan pemikiran revisionis semacam itu. Kota Thebes (Yunani) didirikan oleh dua bersaudara, Amphion dan Zethos. Mereka diklaim sebagai putra Zeus, bersama satu makhluk yang dikenal sebagai Antiope. Adalah konsep khas Mesir ketika seorang raja menyatakan dirinya sebagai keturunan dewa. Ini simbolis belaka – tapi harus diketahui bahwa ini juga simbol untuk Yunani kuno.

Pada 1971, arkeolog Yunani, Theodore Spyropoulus, memulai penggalian di bukit Amphion, yang merupakan lokasi pemakaman legendaris dari kedua bersaudara kembar itu. Dia segera menemukan sebuah kamar batu, jauh di dalam gundukan pekuburan. Kamar tersebut berisi perhiasan, termasuk empat gantungan berbentuk lili…motif khas Mesir. Dia juga menemukan sebuah terowongan bawah tanah yang menuju ke beberapa arah. Spyropoulus menjulukinya sebagai “makam khas Mesir”. Riset lebih jauh memperlihatkan bahwa makam tersebut berasal dari 2900-2400 SM, menjadikan temuan Yunani ini sebagai anomali nyata: belum ada peradaban Yunani pada masa itu…namun peradaban Mesir sudah ada.

Ini bukanlah temuan arkeologis pertama yang menunjukkan bukti semacam itu. Legenda Yunani menceritakan bahwa seorang raja Mesir, Danaos, mendarat di Apobathmi, di Peloponnesus, dengan sebuah armada besar. Dia mengangkat dirinya sebagai penguasa dan memerintahkan penduduk asli untuk menyebut diri mereka sebagai “bangsa Danaan”. Homer menyatakan bahwa orang Yunani tidak menyebut diri sebagai bangsa Yunani atau Hellene, melainkan Danaan. Kebetulan kah? Pada masa Yunani-Romawi, turis-turis melakukan perjalanan ibadah ke Apobathmi dan bahkan pergi sejauh mungkin, yang menegaskan bahwa tahun persis pendaratan itu dapat ditetapkan terjadi pada 1511 SM, berdasarkan tulisan ukir pada Parian Marble.

Beberapa firaun Mesir mengklaim kepemilikan atas “Haunebut”, yang artinya “Di balik Pulau-pulau”. Bagian Yunani dari teks Rosetta Stone dengan jelas menerjemahkan frase Haunebu – yang berarti “penduduk Haunebut” – sebagai Yunani atau Hellene. Dan Yunani memang terletak “di balik pulau-pulau” Laut Aegean, jika dipandang dari Mesir. Thutmosis III membual bahwa dirinya telah “mengikat…Haunebut” dan menyerang orang-orang yang tinggal “di tengah-tengah Great Green Sea” (Laut Mediterania). Dalam setahun, dia mengklaim telah mengumpulkan 36.692 deben emas dari penduduk yang ditaklukkannya – setara dengan tiga metrik ton – di mana yang 27.000 kilonya secara spesifik dikatakan berasal dari provinsi-provinsi Asia dan pulau-pulau di tengah Great Green Sea (pulau-pulau Yunani).

Pada 1964, Spyridon Marinatos, dikenal atas karyanya tentang Thera (Akrotiri), menemukan serangkaian gudang biji-bijian di Boiotia. Marinatos juga yakin bahwa bangsa Mycenaea membantu Mesir mengusir Hyksos dan kemudian mereka dihadiahi dengan emas yang telah ditemukan di makam terowongan, demikian disebutnya, di Mycenae. Makam-makam ini berasal dari 80 tahun pertama setelah pengusiran Hyksos. Beberapa makam memperlihatkan pengaruh Mesir, walaupun bangsa Mycanaea sangat tidak perduli pada orang mati dibanding bangsa Mesir. Mengenai gudang biji-bijian, Marinatos menyatakan bahwa gudang-gudang itu amat mirip dengan gudang bangsa Mesir. Tentu saja kolega-koleganya tak bisa menerima pembandingan semacam itu.

Salah satu dari gudang-gudang ini berukuran tinggi 30 meter dan lebar 100 meter. Seluruh produksi biji-bijian di Argolid dapat disimpan di kompleks ini, hanya negara terorganisir yang dapat dan mungkin menggunakan mekanisme seperti itu. Sedangkan Yunani tidak memiliki negara terorganisir pada masa gudang-gudang itu dibangun dan digunakan. Kesimpulan logis bahwa daratan Yunani pernah digunakan sebagai suplai biji-bijian yang diekspor ke Mesir “tentu saja” mustahil, karena kita semua “tahu” bahwa perkembangan kebudayaan Yunani sepenuhnya independen dari segala hal yang terjadi di tempat lain di dunia.

Artikel ini tampil pertama kali dalam Frontier Magazine 5.3 (Mei-Juni 1999) dan sedikit disadur.