Sabtu, 27 September 2014

Dasar Teologis dan Argumen Rasional Wilayatul Faqih




Wilayatul faqih adalah niyabah (pemegang wewenang sementara) Imam Mahdi afs dalam memimpin umat islam dan menegakkan hukum Allah swt yang merupakan mandat dari beliau afs. Wilayatul faqih merupakan pancaran cahaya, sinaran inti bintang dan ranting dari dahan pohon suci beliau afs.

Al-wilayah, perlindungan

Harus diketahui bahwa agama menetapkan wilayah (otoritas atau kekuasaan untuk mengatur, memerintah dan melarang) sebagian orang atas sebagian yang lain adalah untuk menjaga orang yang berada didalam naungan wilayah tersebut. Misalnya, wilayah (perwalian) seorang ayah atas anaknya yang masih kecil, perwalian seorang ayah dalam menikahkan anak gadisnya dst. Wilayatul faqih berfungsi menjaga kepentingan umum dan melindungi masyarakat dari penyimpangan, kerusakan dll. Wilayah terikat untuk menjaga kepentingan orang yang berada di naungan perwalian, sang wakil tidak berhak mengatur berdasarkan hawa nafsu, kepentingan dan hasrat pribadinya.

Argumentasi pertama

Wilayatul faqih pada masa kegaiban imam Mahdi afs didukung beberapa argumen berikut ini :
Argumen rasional yang tersusun dari pendahuluan berikut.

Akal menghukumi bahwa harus ada undang-undang bagi masyarakat manusia ini. Hal ini dikarenakan manusia yang merupakan makhluk sosial membutuhkan undang-undang untuk mengatur hubungan sosial serta berbagai urusan hidupnya agar tidak terjadi pertikaian, benturan, dan kedzaliman di antara manusia.

Undang-undang tersebut mustahil terlaksana sendirinya. Harus ada sosok pelaku yang dapat menjamin pelaksanaan, penegakan serta penerapannya secara sempurna. Hal ini senada dengan ucapan Imam Ali as ketika beliau menjawab slogan khawarij ‘tiada hukum kecuali hukum Allah’ beliau as berkata ‘kalimat itu benar. Namun ditujukan untuk kebatilan. Benar, tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Akan tetapi mereka hendak mengatakan ‘tidak ada pemerintahan kecuali pemerintahan Allah’ padahal pada hakikatnya manusia harus memiliki pemimpin…’ (Nahjul Balaghah, khutbah ke 40)

Berpegang pada pendahuluan di atas, dapat kita katakan bahwa undang-undang yang paling tepat untuk diterapkan terhadap manusia adalah undang-undang ilahi yang disampaikan Nabi Muhammad saww. undang-undang inilah yang tersempurna, terlengkap, yang meliputi segenap hudud (batas-batas agama) dan ahkam (hukum-hukum) yang terkandung di dalamnya. Juga, dapat kita katakan bahwa seorang penegak hukum yang mengemban misi dan tanggung jawab  untuk melaksanakan dan menerapkan undang-undang harus memiliki sifat-sifat :

Al-ilmu at-tam (berpengetahuan lengkap) tentang undang-undang. Dalam artian, dia haruslah seorang faqih (pakar ilmu islam)  yang benar-benar mengamalkan ilmunya.

Al-hasanah al-akhlaqiyyah (keterjagaan secara moral). Syarat wajib tegaknya undang-undang ilahiah adalah sang penegak hukum haruslah berada di kondisi tertinggi dari sifat al-‘adalah (keadilan), al-wara’ (keterjauhan dari dosa, maksiat ataupun syubhat) dan at-taqwa (ketakwaan). Ini disebabkan karena undang-undang ilahiah merupakan amanat teragung yang mesti dijalankan secara sempurna.

Al-kaafah al-idariyyah (berkemampuan mengatur). Mengemban tanggung jawab ini menuntut banyak keahlian serta pengalaman manajerial, sosial, politik,  dst yang sangat berperan penting bagi tercapainya tujuan undang-undang secara sempurna.

Jika Allah telah menetapkan seseorang untuk menegakkan pemerintahan dan menunjuknya untuk mengemban tanggung jawab ini, maka setiap manusia wajib mematuhi perintahnya serta merujuk kepadanya. Allah swt tidak menitipkan tanggung jawab dan amanat besar ini kecuali pada orang yang berjiwa suci, berakal sempurna dan berniat tulus. Lalu, Dia membebankan amanat kepadanya dan menjaganya dengan wahyu. Sebagaimana para nabi dan rasul serta para imam as. Allah telah memerintahkan umat manusia untuk mematuhi, berpegang teguh dan berwilayah kepada mereka (menjadikan mereka pemimpin).

Namun, sebagaimana yang kita tahu, imam Mahdi afs mengalami kegaiban. Jika kita berpendapat bahwa tak ada nash yang menjelaskan para imam suci telah menetapkan seseorang sebagai pemegang amanat kepemimpinannya (wakilnya), maka akan terdapat tiga kemungkinan sebagai berikut :

[1] Imam membiarkan  manusia hidup tanpa wali (pemimpin) dan penegak hukum . hal ini mustahil terwujud. Karena ini bertentangan dengan prinsip dakwah para nabi dan juga dengan pendahuluan diatas. Tidak ada akal yang dapat menerima kemungkinan ini.

[2] Imam membuka peluang bagi siapapun untuk mengendalikan pemerintahan sementara tanpa mempertimbangkan al-faqahah (pengetahuan mendalam) dan al-‘adalah (sifat adil) serta tanpa syarat apapun. Kemungkinan ini juga harus ditolak. Karena jika seorang wali itu tidak memahami islam secra mendalam, tidak memiliki sifat adil, maka keinginan Allah dalam kehidupan manusia, penerapan hukum ilahi, penegakan batas-batasnya dan terbangunnya pilar keadilan tidak mungkin terjadi.

[3] Imam mendelegasikan kekuasaan pada seorang faqih yang memahami syariat beserta hukum dan batasan-batasannya, bersikap adil, taqwa, wara’, benar-benar menghayati perintah Allah dan mampu menegakkannya, sangat ahli dalam berpolitik dst. Kemungkinan ini yang justru menjadi kriteria pemimpin yang diharapkan. Dan hanya kemungkinan ini yang dapat diterima.

Argumentasi kedua

Bisa dikatakan, kemutlakan seluruh argumen dan nash yang di dalamnya terdapat hukum-hukum yang terkait dengan system umum, al-hudud, al-qadha’ (keputusan yuridis), jihad dsb menunjukkan bahwa syariat mengharuskan adanya wilayatul amr (otoritas memimpin) di setiap masa. Jika tidak demikian, maka syariat hanya terbatas pada masa hidup imam ma’shum. Akibatnya, syariat mesti ‘diliburkan’ pada masa kegaiban imam. Padahal, kita berkeyakinan bahwa tidak boleh ada hukum ilahi yang dikesampingkan atau diliburkan.

Di sisi lain, penguasa tiran yang jahat tidak mungkin menghantarkan manusia pada tujuan tersebut. Sebab, terdapat larangan untuk menjadikan mereka sebagai pemimpin dan ketidak-bolehan memberikan dukungan kepada mereka. Imam Husain as meriwayatkan bahwa Rasulullah saww bersabda ‘‘barangsiapa melihat penguasa jahat menghalalkan apa yang diharamkan Allah, melanggar perintah Allah, menentang sunnah Rasulullah saww dan memperlakukan hamba-hamba Allah dengan cara-cara dosa dan permusuhan, kemudia tidak berupaya merubah kondisi itu dengan pernyataan dan tindakan, maka Allah layak memasukkannya ke dalam neraka.’’

Ini saja, sebenarnya, sudah cukup membuktikan wilayatul faqih (otoritas kepemimpinan seorang faqih). Argumen-argumen kewajiban amr ma’ruf dan nahi munkar juga memberikan bukti nyata mesti adanya wilayatul faqih. Ya, kebaikan apakah yang lebih bernilai dari menegakkan syariat dan batasan-batasan agama, menjaga hak, darah dan kehormatan, serta mengibarkan panji islam dengan penuh kemuliaan? Hal-hal di atas merupakan buah dari tegaknya pemerintahan islam dan wilayatul faqih. Untuk menutup pembahasan ini, kami sebutkan sebuah nash yang merupakan argumen pendukung dan kemestian wilayatul faqih di masa keghaiban.

Surat  Ishaq bin Ya’qub yang menuturkan sebagai berikut. Saya meminta Muhammad bin Utsman al-amri (wakil khusus Imam Mahdi afs) agar mengantarkan surat saya yang berisi pertanyaan mengenai beberapa persolan. Kemudian, saya mendapat surat balasan bertanda tangan imam Mahdi-jiwa kita rela berkorban demi debu yang menempel di kaki beliau- yang menyatakan, ‘…adapun peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kaum muslim, maka kembalikanlah kepada para periwayat hadits kami. Karena sesungguhnya mereka adalah hujjahku atas kalian dan aku adalah hujjah Allah atas mereka. (Kamaluddin, hal 484)

Dari segi argumentasi, riwayat ini sangat jelas. Sebab, yang dimaksud dengan ‘peristiwa-peristiwa yang terjadi’ adalah peristiwa yang biasanya orang-orang mengacu pada pemimpin dan pembesar mereka, dan yang mereka lakukan itu bukan sekedar untuk mengetahui hukum-hukum fiqih saja. Inilah yang telah berlaku umum di kalangan mereka. Sementara, yang dimaksud dengan ‘para perawi hadits’ bukanlah sekedar orang yang meriwayatkan sabda dan riwayat, namun juga fuqaha, yaitu orang-orang ynag meriwayatkan hadits, menerapkannya, dan menyimpulkan hukum darinya. Pernyataan imam Mahdi afs, ‘karena sesungguhnya mereka adalah hujjahku atas kalian dan aku adalah hujjah Allah,’ menunjukkan kesamaan argumentasi. Sebagaimana diketahui, keberadaan, hidup dan perbuatan imam ma’shum merupakan hujjah. Merekalah hujjah-hujjah Allah bagi umat manusia.

Dari pembahasan ini, kita bisa pahami bahwa wilayatul faqih adalah sebuah konsep yang memang harus diterapkan oleh mereka yang ingin selalu berada dalam wilayah Allah, Nabi-Nya, dan para washi Nabi-Nya.

‘Yang paling berhak di antara semua manusia untuk urusan ini (kepemimpinan) adalah yang mampu di antara mereka untuk menegakkannya dan paling mengetahui perintah-perintah Allah tentang itu.’ (Imam Ali bin Abi Thalib as dalam Nahjul Balaghah,  khutbah ke 173.)

Selasa, 16 September 2014

Tasawuf Menurut Murtadha Muthahhari –Bagian Terakhir




“Dengan demikian –menilik integritas dan kualitas individu sang imam, maka dengan sendirinya seorang imam adalah mursyid tertinggi dalam perjalanan ruhani kaum mukminin”

Oleh Sabara Nuruddin al-Raniri (Doktor Filsafat UIN Alauddin Makassar)

Dalam menempuh perjalanan suluk pada umumnya, kaum sufi sepakat akan perlunya seorang pembimbing spiritual yang benar-benar telah mengalami sendiri perjalanan itu dan sangat mengetahui prosedur pada setiap tahap. Muthahhari menganggap adanya seorang pembimbing spiritual (mursyid) sebagai sebuah kemestian dalam menempuh jalan suluk. Tanpa bimbingan seorang mursyid (syeikhi) yang berpengalaman, maka seorang salik kemungkinan besar akan tersesat dan gagal dalam menempuh perjalanan suluknya.[58]

Dalam mazhab Syi’ah Imamiyah, keyakinan akan imam sebagai pengganti Nabi Muhammad saw [59] –yang tidak hanya berfungsi sebagai penjaga risalah nabi, melainkan juga menjadi pemimpin spiritual umat manusia. Dalam pandangan Syi’ah, imam merupakan penjaga dan pemelihara ilmu Rasul. Imam adalah individu yang paling sempurna dan manusia teladan dari segi agama. Imam adalah pemimpin manusia dan telah melewati jalan kesempurnaan dan kebahagiaan dan memberi bimbingan serta petunjuk kepada orang lain untuk menapak di jalan yang lurus.[60] Dengan demikian, menilik integritas dan kualitas individu sang imam, maka dengan sendirinya seorang imam adalah mursyid tertinggi dalam perjalanan ruhani kaum mukminin.

Dalam perspektif Syi’ah, imam memiliki kedudukan wilayah atas kaum muslimin. Walayah secara harfiah berarti pertolongan, pemimpin, dan penanggung jawab. Kemudian secara praksis, peran walayah imam memiliki beberapa bagian penting, yaitu wala' al-mahabbah (kecintaan), wala' imamah (kepemimpinan), wala' zi'amah (penanggungjawab), dan wala' al-tasarruf (penguasaan), dan wala' batiniyah.[61] Kelima posisi dan peran imam tersebut meniscayakan posisi imam sebagai pemilik otoritas tertinggi atas seluruh manusia –khususnya dalam wilayah spiritualitas manusia. Berkenaan dengan wilayah irfan seorang imam memiliki peran walayah batiniyah yang meniscayakan kedudukan dan ooritas dia sebagai pemimpin spiritual manusia atau mursyid bagi seluruh umat manusia.[62]

Pribadi seorang imam digambarkan oleh Muthahhari sebagai pribadi yang memiliki daya tarik yang begitu kuat secara spiritualitas dan moral kepada mereka yang mengikuti jalannya dan memiliki gaya tolak yang kuat pula kepada mereka yang mengingkari kebenaran.[63] Tahapan wilayah tertinggi menurut Muthahhari adalah walayah yang mencakup dimensi batiniah manusia. Wilayah batiniyah yang dimaksud di sini –disatu sisi berhubungan dengan kekuatan manusia yang tersembunyi untuk mencapai kesempurnaan –dan di sisi lain berhubungan dengan ikatan yang ada antara seorang manusia dengan Allah. Walayah batiniah yang diyakini oleh Syi’ah merupakan otoritas para imam dari kalangan ahlul bait Nabi saw, didasarkan pada integritas dan kualitas intelektual, moral, sosial, dan spiritual yang mereka miliki. Sehingga Allah menetapkan sebuah ketentuan Walayah gaib yang diberikan oleh Allah swt memiliki makna kedudukan beliau yang begitu tinggi, hingga ia menjadi pemimpin kafilah spiritualitas manusia, pemimpin hati nurani manusia, saksi atas perbuatan-perbuatan mereka, dan penguasa tertinggi pada zamannya. Dunia tidak akan pernah kosong dari pemimpin spiritual yang demikian. Dengan kata lain dunia tak pernah ada tanpa seorang manusia yang sempurna.[64]

Kemestian akan senantiasa adanya sosok manusia sempurna yang tampil menjadi pemimpin kafilah ruhani manusia –didasarkan pada asumsi akan fundamennya kebutuhan manusia akan pencapaian spiritualitas. Oleh karena dalam melakukan perjalanan spiritual seorang manusia tak mungkin berjalan sendiri tanpa pembimbing spiritual yang telah mencapai taraf kesempurnaan sejati –maka hadirnya seorang manusia sempurna sebagai pemimpin spiritual merupakan sebuah kemestian dan perwujudan keadilan Tuhan kepada manusia. Imam adalah seseorang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi pemimpin jalan wilayah. Dialah yang memegang kendali wilayah esoteris di tangannya. Dia adalah pusat “sinar-sinar wilayah” yang memantau hati manusia.[65]

Dengan pengakuan terhadap otoritas imam sebagai pemimpin dan pembimbing spiritualitas manusia yang tertinggi, tidak meniscayakan hilangnya peran seorang arif tertentu sebagai mursyid individual yang membimbingnya secara khusus murid-muridnya. Hanya saja otoritas seorang arif yang menjadi mursyid tersebut berada dalam otoritas wilayah imam sebagai mursyid tertinggi

Dalam pandangan Muthahhari antara tasawuf (irfan) dengan akhlak (etika) merupakan dua hal yang memiliki keeratan dan persamaan. Yaitu keduanya sama-sama membicarakan ihwal mengenai "apa yang seharusnya dilakukan".[66] Meskipun demikian, akhlak dalam tinjauan tasawuf memiliki perbedaan yang mendasar dengan akhlak (etika) dalam definisi yang umum. Menurut Muthahhari –keduanya memiliki beberapa perbedaan mendasar. Yaitu, akhlak dalam irfan membicarakan hubungan manusia dengan dirinya, dengan dunia, dan dengan Tuhan, dan perhatian utamanya adalah hubungan manusia dengan Tuhan sebagai fondasi akhlak. Sedangkan akhlak pada umumnya tidak terlalu membahas hubungan manusia dengan Tuhan.

Yang kedua, akhlak dalam irfan bersifat dinamis, sedangkan akhlak (dalam arti awam) bersifat statis. Yakni, irfan membicarakan tahap awal dan akhir perjalanan serta urutan tahap yang mesti ditempuh dari akhlak yang dilakukan. Dan yang ketiga, unsur-unsur spiritual dalam etika hanya terbatas pada konsep-konsep dan gagasan-gagasan yang dipahami kebanyakan orang. Sementara itu, unsur-unsur spiritual dalam irfan jauh lebih mendalam dan luas. Yakni, dalam perjalanan ruhani irfan misalnya, banyak dibicarakan tentang hati dan keadaan-keadaan yang akan dialaminya sepanjang perjalanannya tanpa sepengetahuan orang-orang di sekitar.[67]

Dalam melaksanakan irfan amali, seorang salik mesti mengikuti aturan-aturan akhlak yang sangat ketat –dibandingkan pelaksanaan akhlak bagi manusia pada umumnya. Akhlak bagi seorang arif merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam menempuh perjalanan suluknya dermi mencapai jenjang maqam tertinggi. Sedangkan akhlak pada hal-hal tertentu bagi orang kebanyakan terkadang bukan sebagai kewajiban yang mesti dilaksanakan, melainkan hanya pilihan yang dilaksanakan untuk mencapai fadhilah. Menurut Murtadha Muthahhari, basis perbuatan akhlak didasarkan pada asumsi rasional-filsoofis mengenai fitrah manusia, meskipun demikian nilai dan manfaat yang didapat dari perbuatan akhlak terkadang tidak bisa dicerap oleh akal manusia.[68]

Menurut Muthahhari, kecenderungan manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan akhlaki bersifat fitrah [69] –sebagaimana fitrah manusia yang lain seperti fitrah bertuhan dan beragama. Perbuatan akhlaki merupakan perbuatan luar biasa yang dilakukan oleh seorang manusia, karena untuk melaksanakan perbuatan tersebut memestikan upaya dan ikhtiyar yang sungguh-sungguh dan ikhlas untuk mengalahkan egoisme dan hawa nafsu yang membelenggu. Muthahhari menyebutkan perbuatan akhlak sebagai perbuatan ksatria (–futuwwah) yang memiliki nilai lebih tinggi dari perbuatan biasa.[70]

Perbuatan akhlaki selain perbuatan yang didasarkan pada asumsi rasionalitas, juga didasarkan pada kesadaran intuitif (spiritual). Mengutip Immanuel Kant, Muthahhari menyebutkan perbuatan akhlaki merupakan perbuatan yang mendapatkan sinaran cahaya Ilahi. Dan hal tersebut tak mungkin terrealisasi tanpa didasari oleh keimanan yang paripurna kepada Allah swt.[71]

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan antara irfan dan akhlak merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dengan menempuh jalan suluk, maka seorang arif akan semakin tertempa kesadaran jiwanya untuk semakin merealisasikan perbuatan akhlak secara praksis. Karena perbuatan akhlak merupakan syarat mesti untuk mencapai kesempurnaan jalan suluk. Dengan mencapai kematangan intelektualitas pemahaman akan hakekat diri, manusia, dan dunia secara filosofis. Yang kemudian dilanjutkan dengan penajaman intuitif dengan melakukan pengelanaan jiwa menempuh jalan suluk (spiritualitas). Maka buah yang dihasilkan secara praksis dalam sikap hidup seorang arif adalah perbuatan akhlaki yang berefek positif bukan hanya bagi sang arif tersebut melainkan dirasakan efeknya bagi manusia yang ada di sekitaranya.

Berdasarkan paparan di atas, Murtadha Muthahhari menganut pandangan tasawuf falsafi atau irfan yakni pandangan tasawuf yang didasarkan pada asumsi-asumsi rasional filosofis dalam memahami realitas alam batin (ruhani) atau irfan ilmi (teoritis) dan pada praktek-praktek penajaman intuitif dengan menempuh jalan suluk atau irfan amali (praktis). Di sini, ma'rifat filosofis terhadap realitas Ilahiyah (Tuhan) merupakan pangkal dari agama dan perjalanan suluk, yang kemudian dipraksiskan dalam pengamalan syari'at, untuk mencapai jalan tareqat sebagai perjalanan menuju kebenaran sejati (haqeqat), dan ketiganya adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Sementara itu, maqamat adalah apa yang dicapai oleh seorang arif melalui upayanya –sedangkan hal adalah apa yang menghinggapi kalbu seorang arif. Dalam irfan ada enam maqam yang dilalui, yaitu maqam nafs, maqam qalb, maqam, ruh, maqam sirr, maqam khafy, dan maqam akhfa.

Irfan meniscayakan keberadaan seorang imam yang memiliki peran walayah batiniyah yang meniscayakan kedudukan dan otoritas dia sebagai pemimpin spiritual manusia atau mursyid bagi seluruh umat manusia. Antara irfan dan akhlak merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dengan menempuh jalan suluk, maka seorang arif akan semakin tertempa kesadaran jiwanya untuk semakin merealisasikan perbuatan akhlak secara praksis.

Pustaka

Abduh, Muhammad, Syarh Nahj al-Balaghah. Diterjemahkan oleh Muhammad Bagir dengan Judul Mutiara Nahj al-Balaghah : Wacana dan Surat-surat Imam Ali. Bandung : Mizan. 2003.

Amini, Ibrahim, Hamed Bayad Bedonand. Diterjemahkan oleh Faruq Dhiya dengan Judul Semua Perlu Tahu: Buku Pintar Ushuluddin. Jakarta : al-Huda Islamic Centre. 2006.

Arasateh, A. Reza, Growth to Selfhood the Sufi Contribution. Diterjemahkan oleh Ilzamuddin Ma'mur dengan Judul Sufisme dan Penyempurnan Diri. Jakarta : Srigunting Press, 2002.

Arbery, A. J. Sufism and Account of the Mistics of Islam. Diterjemahkan oleh Bambang Herawan dengan Judul Tasawuf Versus Syari'at. Bandung : Hikmah, 2000.

Bagir, Haedar. Buku Saku Tasawuf. Bandung : Arasy, 2006. Bahtiar, Laleh. Sufi : Exspression of the Mystic Quest. Diterjemahkan oleh Purwanto dengan Judul Perjalanan Menuju Tuhan. Bandung : Nuansa, 2001.

Haeri, Fadhullah. The Elements of Sufism. Diterjemahkan oleh Muhammad Hasyim Assegaf dengan Judul Belajar Mudah Tasawuf. Jakarta : Lentera Basritama, 2002. Ilahi, Ibrahim Ghazur.

The Scret of ana al-Haqq. Diterjemahkan oleh Bandaharo dan Joebaar Ajoeb dengan Judul Menyingkap Misteri Sufi Besar "Mansur al-Hallaj". Jakarta : Srigunting Press, 2002.

Kazhim, Musa. Belajar Menjadi Sufi. Jakarta : Lentera Basritama, 2002. Labib, Muhsin. Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan. Jakarta : Lentera Basritama, 2004.

_______, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Shadra. Jakarta ; al-Huda Islamic Centre, 2005.

Muhammad, Hasyim. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2002.

Muthahhari, Murtadha. Filsafah al-Hikmah. Diterjemahkan oleh Tim Penerbit Mizan dengan Judul Filsafat Hikmah : Pengantar Pemikiran Shadra. Bandung : Mizan, 2002.

 _______, Falsafa-ye Akhlake. Diterjemahkan oleh Muhammad Babul Ulum dan Eddy Hendri dengan Judul Filsafat Moral Islam. Jakarta : al-Huda Islamic Centre, 2004.

_______, al-Fitrah. Diterjemahkan oleh Afif Muhammad dengan Judul Fitrah. Jakarta : Lentera Basritama. 1999.

 _______, Glimpses of the Nahj al-Balaghah. Diterjemahkan oleh Arif Mulyadi dengan Judul Tema-tema Pokok Nahj al-Balaghah. Jakarta : al-Huda Islamic Centre. 2002.

_______, Introduction to Irfan. Diterjemahkan oleh Ramli Bihar Anwar dengan Judul Mengenal Irfan. Jakarta : Hikmah. 2002.

 _______, Introduction to Kalam, diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Mengenal Ilmu kalam. Jakarta Pustaka Zahra. 2002.

_______, Man and Universe. Diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Manusia dan Alam Semesta. Jakarta : Lentera Basritama. 2002.

_______, Master and Mastership. Diterjemahkan oleh Yudhi Nur Rahman dengan Judul Kepemimpinan Islam. Banda Aceh : Gua Hira. 1991.

_______, Polarization Around the Character of Ali bin Abi Thalib. Diterjemahkan oleh Muhammad Hashem dengan Judul Karakter Agung Ali bin Abi Thalib. Jakarta : Pustaka Zahra. 2002.

_______, Syesy Makoleh. Diterjemahkan oleh Muhammad Jawad Bafaqih dengan Judul Kumpulan Artikel Pilihan. Jakarta : Lentera Basritama. 2003.

_______, Tarbiyatul Islam. Diterjemahkan oleh Muhammad Baharuddin dengan Judul Konsep Pendidikan Islam. Depok : Iqra Kurnia Gumilang, 2005.

_______, The Causes Responsible For Materialist Tendencies in the West, Doterjemahkan oleh Akmal Kamil dengan Judul Kritik Islam Terhadap Materialisme. Jakarta : al-Huda Islamic Centre.

2001. Nicholson, Reynold A. The Mystics of Islam. Diterjemahkan oleh Nashir Budiman dengan Judul Aspek Ruhaniah Peribadatan Islam di dalam Mencari Keridhaan Allah. Jakarta : Srigunting Press. 1997.

Fritjouf Schoun. Sufisme : Veil and Quintesence. Diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budhi Santoso dengan Judul Proses Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti. Jakarta : Srigunting Press. 2000.

Solihin, Mukhtar dan Rosihan Anwar. Hakekat Manusia : Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam. Bandung : Pustaka Setia. 2005.

Sukardi (ed). Kuliah-kuliah Tasawuf. Bandung : Pustaka Hidayah. 2000.

Catatan:

[1] Kata tasawuf berasal dari bahasa Arab yairu Shafa atau shafih yang berarti kesucian, ada juga yang berpendapat berasal dari kata shafwah yang berarti orang yang terpilih. Sebagian lain berpendapat tasawuf berasal dari kata shaf yang berarti baris yang berarti kaum muslimin yang berada di baris pertama dalam shalat atau perang suci. Sebagian ahli juga berpendapat kata ini berasal dari kata shuffah yakni serambi rendah yang terbuat dari tanah liat di mesjid Nabi di Madinah tempat orang-orang miskin yang baik hati dan mengikuti beliu berkumpul. Ada juga yang berpendapat kalau kata tasawuf berasal dari kata shuf yang berarti bulu domba, yaitu bahan jubah yang sering dipakai oleh para sufi. Namun ada juga yang berpendapat tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu sophia yang berarti hikmah atau kebijaksanaan. Lihat Fadhullah Haeri, The Elements of Sufism, Diterjemahkan oleh Muhammad Hasyim Assegaf dengan Judul Belajar Mudah Tasawuf, (Cet. IV ; Jakarta : Lentera Basritama, 2002), h. 1. [2] Mukhtar Solihin dan Rosihan Anwar, Hakekat Manusia : Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam, (Cet. I ; Bandung : Pustaka Setia, 2005), h. 1-2. [3] Musa Kazhim, Belajar Menjadi Sufi, (Cet. I ; Jakarta : Lentera Basritama, 2002), h. 9. [4] A. J. Arbery, Sufism and Account of the Mistics of Islam, diterjemahkan oleh Bambang Herawan dengan Judul Tasawuf Versus Syari'at, (Cet. I ; Bandung : Hikmah, 2000), h. 1. [5] A. Reza Arasateh, Growth to Selfhood the Sufi Contribution, diterjemahkan oleh Ilzamuddin Ma'mur dengan Judul Sufisme dan Penyempurnan Diri, (Cet. II ; Jakarta : Srigunting Press, 2002), h. 1 [6] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan, (Cet, I ; Jakarta : Lentera Basritama, 2004), h. 25. [7] Musa Kazhim, op, cit., h. 15. [8] Muhsin Labib, loc, cit. [9] Bid., h. 52. [10] Haedar Bagir, Buku Saku Tasawuf, (Cet. II ; Bandung : Arasy, 2006), h. 101. [11] Muhsin Labib, op, cit., h. 53. [12] Murtadha Muthahhari, The Causes Responsible For Materialist Tendencies in the West, Doterjemahkan oleh Akmal kamil dengan Judul Kritik Islam Terhadap Materialisme, (Cet, I ; Jakarta : al-Huda islamic centre, 2001), h. 9. [13] Muhsin labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Shadra, (Cet, I ; Jakarta ; al-Huda Islamic Centre, 2005), h. 278. [14] Murtadha Muthahhari, Introduction to Kalam, diterjemahkan oleh Muhammad ilyas Hasan dengan Judul Mengenal Ilmu kalam, {Cet, I ; Jakarta Pustaka Zahra, 2002), h. 7. [15] Hamid Algar, "Hidup dan karya Murtadha Muthahhari", dalam Pendahuluan buku Murtadha Muthahhari, Filsafah al-Hikmah, Diterjemahkan oleh Tim Penerbit Mizan dengan Judul Filsafat Hikmah : Pengantar Pemikiran Shadra, (Cet. I ; Bandung : Mizan, 2002), h. 30. [16] Murtadha Muthahhari, The Cause, op, cit.,h. 10. [17] Ibid., h. 10-11. [18] Ibid. [19] Muhsin Labib, Para Filosof, op, cit., h. 280. [20] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, opm cit., h. 31. [21] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, Diterjemahkan oleh Ramli Bihar Anwar dengan Judul Mengenal Irfan, (Cet, I ; Jakarta : hikmah, 2002), h. 3. [22] Agus Effendi, "Tasawuf dalam Perspektif Mazhab Ahlul Bait", dalam Sukardi (ed), Kuliah-kuliah Tasawuf, (Cet. I ; Bandung : Pustaka Hidayah, 2000), h. 83. [23] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, op cit., h. 77. [24] Ibid., h. 83. [25] Kata sayr wa suluk secara etimologis berasal dari dua kata yang sinonim, yaitu sayr yang berarti berjalan dan suluk yang juga artinya berjalan. [26] Murtadha Muthahhari, Introductioin to Irfan, loc, cit. [27] Agus Effendi, op, cit., h. 83-84. [28] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan op, cit.,, h. 7 [29] Murtadha Muthahhari, Glimpses of the Nahj al-Balaghah, diterjemahkan oleh Arif Mulyadi dengan Judul Tema-tema Pokok Nahj al-Balaghah, (Cet. I ; Jakarta : al-Huda Islamic Centre, 2002), h. 92. [30] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, loc, cit. [31] Ibid., h. 8-9. [32] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, op, cit., h. 76. [33] Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balaghah, Diterjemahkan oleh Muhammad Bagir dengan Judul Mutiara Nahj al-Balaghah : Wacana dan Surat-surat Imam Ali, (Cet, III ; Bandung : Mizan, 2003), h. 22. [34] Murtadha Muthhahhari, Glimpses, op, cit., h. 81. [35] Murtadha Muthahhari, Man and Universe, Diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Manusia dan Alam Semesta, (Cet. II ; Jakarta : Lentera Basritama, 2002), h. 74. [36] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 12-13. [37] Fritjouf Schoun, Sufisme : Veil and Quintesence, Diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budhj Santoso dengan Judul Proses Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, (Cet. I ; Jakarta : Srigunting Press, 2000), h. 151. [38] M urtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 13. [39] Fritjouf Schoun, loc, cit. [40] Haedar Bagir, op, cit., h. 139-140. [41] Ibrahim Ghazur Ilahi, The Scret of ana al-Haqq, Diterjemahkan oleh Bandaharo dan Joebaar Ajoeb dengan Judul Menyingkap Misteri Sufi Besar "Mansur al-Hallaj", (Cet, IV ; Jakarta : Srigunting Press, 2002), h. 89. [42] Muhktar Solihin dan Rosihan Anwar, op, cit., h. 48. [43] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, loc, cit. [44] Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam, Diterjemahkan oleh Nashir Budiman dengan Judul Aspek Ruhaniah Peribadatan Islam di dalam Mencari Keridhaan Allah, (Cet, II ; Jakarta : Srigunting Press, 1997), h. 45. [45] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, loc, cit. [46] Ibid., h. 15 [47] Maqamat dan ahwal dalam bentuk jamak. [48] Haedar Bagir, op, cit., h. 131-132. [49] Ibid., h. 132. [50] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 100-101. [51] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, (Cet, I ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), h. 27. [52] Untuk lebih jelasnya mengenai maqamat dalam tasawuf Sunni, lihat ibid., h. 26-47. [53] Agus Effendi, op, cit., h. 83. [54] Ibid., h. 90. [55] Laleh Bahtiar, Sufi : Exspression of the Mystic Quest, Diterjemahkan oleh Purwanto dengan Judul Perjalanan Menuju Tuhan, (Cet, I ; Bandung : Nuansa, 2001), h. 63. [56] Ibid., h. 88-89. [57] Ibid., h. 89. [58] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 3. [59] Dalam keyakinan Syiah Imamiyah ada dua belas imam pengganti Nabi Muhammad saw, yaitu Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Hasan bin Ali, Imam Husein bin Ali, Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ja'far al-Shadiq, Imam Musa al-Kazhim, Imam Ali al-Ridha, Imam Muhammad al-Jawad, Imam Ali al-Hadi, Imam Hasan al-Askari, dan Imam Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar. [60] Ibrahim Amini, Hamed Bayad Bedonand, Diterjemahkan oleh Faruq Dhiya dengan Judul Semua Perlu tahu : Buku Pintar Ushuluddin, (Cet, i ; Jakarta : al-Huda Islamic Centre, 2006), h. 34. [61] Murtadha Muthahhari, Syesy Makoleh, Diterjemahkan oleh Muhammad jawad Bafaqih dengan Judul Kumpulan Artikel pilihan, (Cet. I ; Jakarta : Lentera Basritama, 2003), h. 120-121. [62] Lihat Murtadha Muthahhari, Master and Mastership, Diterjemahkan oleh Yudhi Nur Rahman dengan Judul Kepemimpinan Islam, (Cet, I ; Banda Aceh : Gua Hira, 1991), h. 30. [63] Lihat Murtadha Muthahhari, Polarization Around the Character of Ali bin Abi Thalib, Diterjemahkan oleh Muhammad hashem dengan Judul Karakter Agung Ali bin Abi Thalib, (Cet, I ; Jakarta : Pustaka Zahra, 2002), h. 31-34. [64] Murtadha Muthahhari, Master and, op, cit., h. 26. [65] Ibid., h. 134. [66] Murtadha muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 5. [67] Ibid., h. 6 [68] Murtadha Muthahhari, Falsafa-ye Akhlake, Diterjemahkan oleh Muhammad Babul Ulum dan Eddy Hendri dengan Judul Filsafat Moral Islam, (Cet, I ; Jakarta : al-Huda Islamic Centre, 2004), h. 21. [69] Lihat Murtadha Muthahhari, al-Fitrah, Diterjemahkan oleh Afif muhammad dengan Judul Fitrah, (Cet, II ; Jakarta : Lentera Basritama, 1999), h. 55. [70] Murtadha Muthahhari, iFalsafaye Akhlake, op, cit., h. 23. [71] Murtadha Muthahhari, Tarbiyatul Islam, Diterjemahkan oleh Muhammad Baharuddin dengan Judul Konsep Pendidikan Islam, (Cet, I ; Depok : Iqra Kurnia Gumilang, 2005), h. 117.

Tasawuf Menurut Murtadha Muthahhari –Bagian Ketiga



“Menurut Muthahhari, jiwa manusia bagaikan organisme yang dinamis. Manusia dalam melakukan perjalanan menuju Allah mestilah melewati safar demi safar (perjalanan demi perjalanan) ruhaniah. Manusia harus melewati perjalanan atau safar yang cukup jauh –yang di dalamnya ia harus singgah dari satu terminal ke terminal lainnya”

Oleh Sabara Nuruddin al-Raniri (Doktor Filsafat UIN Alauddin Makassar)

Kaum arif meyakini, bahwa syariat memiliki sisi batiniah yang disebut dengan tariqat –yakni suatu jalan menuju kebenaran sejati (haqiqah) atau pencapaian keesaan Allah yang sesungguhnya (Tauhid).[38] Dalam bahasa Fritjof Schoun (Muhammad Isa Nur al-Din), tareqat sebagaimana yang disinggung dalam sebuah hadis adalah ihsan, yaitu tindakan kebajikan yang memberikan kepercayaan dan melaksanakan nilai-nilai yang menyempurnakan. Dengan kata lain, ihsan adalah mengintensifkan dan memperdalam iman dan amal. Ihsan atau tareqat secara ringkas adalah ketulusan dari kehendak dan intelegensia –ia adalah keterikatan total kita kepada hukum Allah.[39]

Menempuh jalan tareqat tidaklah terpisahkan dari ketaatan pada syari'at. Dalam pandangan kaum arif, tidak ada jalan lain dalam menempuh jalan tareqat –kecuali dengan melalui penyelenggaraan ibadah-ibadah syar'i secara intensif. Atau dengan kata lain, tingkat kearifan seseorang dalam irfan sangat ditentukan oleh tingkat intensitas ibadah yang dilakukannya.[40] Jika kaum awam menganggap ibadah kepada Allah semata-mata hanya aturan khusus yang diwajibkan –sedangkan kaum arif menganggap ibadah kepadaNya sebagai pelekat (tali kasih) yang menghubungkan antara pecinta (isyq) dan yang dicintai (ma'syuq).[41] Ibadah yang dipahami sebagai refleksi cinta seperti inilah yang akan mengantarkan seorang arif pada bangkitnya kesadaran spiritualnya [42] untuk melakukan perjalanan demi perjumpaan dengan Sang Kekasih.

Penempuhan jalan tareqat selain dilakukan dengan mengintensifkan ibadah kepadaNya, juga mesti dilakukan dengan mengikhlaskan hati secara paripurna –yang hanya bisa dilakukan dengan "melenyapkan" ego sang arif. [43] Seorang arif menggambarkan intisari penempuhan jalan tareqat adalah dengan untaian kalimat berikut: "Tahap pertama dari zikir adalah melupakan diri dan pada tahap terakhir adalah hilangnya sang hamba ke dalam gerak ibadah kepadaNya".[44] Dengan lenyapnya ego sang arif dalam gerak ibadahnya, maka itulah tujuan akhir dari proses menempuh jalan suluk –yaitu ketika tercapainya kebersatuan atau kemanunggalan degan Allah (“manunggaling kawula lan gusti”). Kebersatuan dengan Sang khalik tersebut adalah haqeqat dari ibadah dalam pandangan kaum arif. Kaum arif mempercayai –syari'at, tareqat, dan haqeqat adalah tiga hal yang saling berangkai dan terkait. Syari'at adalah sarana untuk mencapai tareqat –dan tareqat adalah sarana untuk mencapai haqeqat. Syari'at adalah kulit dari tareqat, dan tareqat adalah kulit dari haqeqat.[45]

Ketiga cabang tersebut dianalogikan dengan manusia yang terdiri dari tiga bagian –yaitu tubuh, jiwa, dan ruh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan bahkan membentuk satu kesatuan utuh antara aspek-aspek lahir dan batin. Syari'at adalah kulit luar, tareqat adalah biji dalam, sedangkan haqeqat adalah bijinya biji. Namun demikian, kaum arif juga percaya bahwa eksistensi manusia bisa memiliki lebih dari tiga tahapan. Yakni mereka percaya bahwa adanya satu tahap yang diluar jangkauan intelek (akal) manusia.[46]

Dalam menempuh perjalanan suluk, seorang salik (arif) pasti akan mengalami maqam dan hal.[47] Maqam dan hal dipahami secara berbeda-beda oleh para sufi. Meskipun demikian, para sufi (arif) sepakat bahwa maqamat (jamak dari maqam) adalah kedudukan seorang pejalan sprititual (salik) di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras ibadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), melakukan latihan-latihan keruhanian (riyadhah), sehingga ia mencapai keluhuran budi pekerti (adab) yang memampukannya untuk memiliki persyaratan-persyaratan dan melakukan upaya-upaya untuk melakukan berbagai kewajiban (dengan sebaik-baiknya) untuk mencapai kesempurnaan. Sedangkan hal (jamak ahwal) adalah suasana atau keadaan yang menyelimuti kalbu yang diciptakan oleh Allah dalam hati manusia –tanpa sang sufi mampu menolak jika ia datang, dan tanpa mampu ia mempertahankan apabila pergi.[48]

Konsep maqamat dan ahwal diperkenalkan sebagai bagian dari pemahaman tasawuf sebagai suatu perjalanan spiritual (suluk). Maqamat adalah terminal-terminal (station-station) yang mesti dilewati seorang salik sebelum ia mencapai ujung perjalanan spiritual. Sedangkan hal adalah keadaan spiritual sesaat yang dialami oleh para pejalan spiritual di tengah-tengah perjalanan ini.[49]

Menurut Murtadha Muthahhari, maqamat adalah apa yang dicapai oleh seorang arif melalui upayanya –sedangkan hal adalah apa yang menghinggapi kalbu seorang arif tanpa diinginkannya. Hal bersifat sementara sedangkan maqam bersifat permanen. Konon, hal dalam pandangan kaum arif seperti kilatan cahaya yang cepat berlalu. Kaum arif menyebut kilatan-kilatan cahaya itu dengan istilah lawaih, lawamih, dan tawalih. Istilah-istilah tersebut dipakai untuk menandakan perbedaan tingkat intensitas dalam lamanya berbagai kilatan cahaya yang dirasakan.[50]

Jika ditelaah lebih mendalam keberadaan maqamat dan ahwal dalam tradisi tasawuf, tidak lain adalah dalam rangka lebih mempertegas komitmen seorang muslim dalam syahadah (persaksian) Tauhid. Dengan persaksiannya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaha illallah). Atau dengan kata lain, maqamat merupakan penjabaran dari syahadah Tauhid. Sedangkan hal tidak lebih merupakan bagian dari manifestasi tercapainya maqam sesuai dengan hasil usaha spiritual yang sungguh-sungguh dengan amalan-amalan yang baik dan dengan penuh kepasrahan kepada Allah [51]. Dengan kata lain antara maqam dan hal adalah dua hal yang tak terpisahkan dalam rangkaian perjalanan suluk.

Tercapainya satu jenjang maqam yang diperoleh oleh seorang salik meniscayakan hal sebagai konsekuensi yang ia dapatkan dari rangkaian perjalanan spiritualnya. Perbedaan mendasar antara konsep maqam dan hal antara tasawuf dualistik (tasawuf Sunni) dan tasawuf monistik (tasawuf falsafi atau irfan –tasawuf Syi’ah) terletak pada struktur maqam yang dilalui dan hal yang didapatkannya berdasarkan jenjang maqam tersebut. Dalam tasawuf Sunni, jenjang maqam yang dilalui bersifat statis –karena jiwa tidak melakukan pengembaraan spiritual menembus lintasan-lintasan alam. Maqamat yang dipahami dalam tasawuf Sunni hanyalah keadaan jiwa yang telah dihiasi dengan ter-tajalli dan ter-tahalli-kannya asma-asma Allah. Dengan kata lain, maqamat sebenarnya hanyalah upaya penyempurnaan kualitas jiwa dalam beribadah kepada Allah. Jenjang-jenjang maqamat dalam taswuf Sunni misalnya taubah, wara, zuhud, faqir, Shabr, dan ridha.[52]

Jenjang maqamat dalam irfan didasarkan pada pandangan filsofis tentang jiwa manusia yang merupakan mikro dan sekaligus makrokosmos –dengan demikian jiwa manusia dapat melakukan gerak secara dinamis menembus tingkatan alam-alam makro. Menurut Muthahhari, jiwa manusia bagaikan organisme yang dinamis. Manusia dalam melakukan perjalanan menuju Allah mestilah melewati safar demi safar (perjalanan demi perjalanan) ruhaniah. Manusia harus melewati perjalanan atau safar yang cukup jauh –yang di dalamnya ia harus singgah dari satu terminal ke terminal lainnya. Oleh karena itu, dalam pandangan irfan seorang salik akan melalui maqam-maqam berupa tingkatan-tingkatn alam –dari satu alam yang lebih rendah ke alam yang lebih tinggi. [53]

Jiwa manusia yang merupakan organisme yang dinamis –yang oleh karena itu, menurut Muthahhari, kalau manusia ingin mencapai satu tujuan yang sangat tinggi, maka ia harus mengikuti dan melewati sistematika yang sudah ditentukan dalam alam ruhaniah tersebut.[54] Hal ini dilakukan dengan melakukan ibadah, mujahadah, dan riyadhah yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran dengan melalukan persepsi intuitif terhadap dua kalimat syahadat yang dengannnya seseorang menyatakan diri sebagai seorang muslim.[55] Dengan bangkitnya kesadaran dan persepsi intuitif tersebut maka seorang arif akan mampu melakukan perjalanan menuju jenjang maqam dalam tingkatan alam semesta.

Dalam pandangan Muthahhari, ada enam jenjang maqam yang mesti dilalui oleh seorang salik untuk mencapai al-Haqq. Keenam jenjang maqam tersebut secara umum dibagi ke dalam dua klasifikasi utama safar. Yang pertama adalah maqam nafs, yaitu upaya langkah awal yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk membebaskan jiwanya dari kecenderungan-kecenderungan material. Setelah itu perjalanan selanjutnya adalah mencapai maqam qalb –yaitu, alam ruhani pertama yang mesti dilalui manusia, di satu sisi alam qalb merupakan maqam, namun di sisi lain alam qalb merupakan hijab bagi seorang salik. Jika alam nafs memberikan hijab berupa kenikmatan materi, sedangkan alam qalb memberikan cahaya yang bisa menjadi anugerah tapi sekaligus bisa menjadi hijab jika seorang salik terpukau padanya.

Selanjutnya adalah mencapai maqam alam ruh. Setelah seorang salik mampu mengalahkan keterpukauan terhadap cahaya-cahaya qalb (hal yang didapat dalam maqam qalb), maka jiwa manusia akan melintas maqam menuju maqam ruh. Di maqam ruh inilah akhir dari safar pertama manusia –yang dalam bahasa Mulla Sadra, perjalanan dari makhluk menuju Tuhan.[56] Setelah melewati tiga maqam dalam safar pertama, seorang salik akan memasuki safar kedua di alam lahut. Safar dalam alam ini terbagi atas tiga jenjang maqam. Yang pertama, maqam sirr, yaitu merupakan maqam fana fi al al-Dzat. Pada maqam ini para arif sering mengalami ekstase atau syatahat (kemabukan) bersama dengan Sang Kekasih. Yang kedua adalah maqam khafy yaitu maqam fana' dalam Sifat Allah. Dan yang ketiga adalah maqam akhfa –yaitu maqam fana' pada Zat dan Sifat Allah sekaligus.[57]

Safar kedua ini seperti safar kedua dalam al-asfar al-arba'ah Mulla Sadra –yaitu perjalanan di dalam Tuhan bersama Tuhan. Keterlenaan pada hal yang didapatkan pada setiap jenjang maqam tersebut akan mengakibatkan stagnasi spiritual yang dialami oleh sang arif hingga ia tak mampu melanjutkan perjalanan hingga ke jenjang maqam berikutnya. Kebanyakan para sufi atau kaum arif mengalami keterlenaan pada kilatan-kilatan pesona cahaya qalb dan ruh –serta mengalami syatahat (ekstase) pada maqam fana fi al-Dzat (maqam sirr) sebagaimana yang dialami oleh Mansur al-Hallaj.