“Dengan demikian –menilik integritas dan kualitas
individu sang imam, maka dengan sendirinya seorang imam adalah mursyid
tertinggi dalam perjalanan ruhani kaum mukminin”
Oleh Sabara
Nuruddin al-Raniri (Doktor Filsafat UIN Alauddin Makassar)
Dalam menempuh perjalanan
suluk pada umumnya, kaum sufi sepakat akan perlunya seorang pembimbing
spiritual yang benar-benar telah mengalami sendiri perjalanan itu dan sangat
mengetahui prosedur pada setiap tahap. Muthahhari menganggap adanya seorang
pembimbing spiritual (mursyid) sebagai sebuah kemestian dalam menempuh jalan
suluk. Tanpa bimbingan seorang mursyid (syeikhi) yang berpengalaman, maka
seorang salik kemungkinan besar akan tersesat dan gagal dalam menempuh
perjalanan suluknya.[58]
Dalam mazhab Syi’ah
Imamiyah, keyakinan akan imam sebagai pengganti Nabi Muhammad saw [59] –yang tidak hanya berfungsi
sebagai penjaga risalah nabi, melainkan juga menjadi pemimpin spiritual umat
manusia. Dalam pandangan Syi’ah, imam merupakan penjaga dan pemelihara ilmu
Rasul. Imam adalah individu yang paling sempurna dan manusia teladan dari segi
agama. Imam adalah pemimpin manusia dan telah melewati jalan kesempurnaan dan
kebahagiaan dan memberi bimbingan serta petunjuk kepada orang lain untuk
menapak di jalan yang lurus.[60] Dengan demikian, menilik integritas dan
kualitas individu sang imam, maka dengan sendirinya seorang imam adalah mursyid
tertinggi dalam perjalanan ruhani kaum mukminin.
Dalam perspektif Syi’ah,
imam memiliki kedudukan wilayah atas kaum muslimin. Walayah secara harfiah berarti pertolongan, pemimpin, dan penanggung
jawab. Kemudian secara praksis, peran walayah imam memiliki beberapa bagian
penting, yaitu wala' al-mahabbah (kecintaan), wala' imamah (kepemimpinan),
wala' zi'amah (penanggungjawab), dan wala' al-tasarruf (penguasaan), dan wala'
batiniyah.[61] Kelima posisi dan
peran imam tersebut meniscayakan posisi imam sebagai pemilik otoritas tertinggi
atas seluruh manusia –khususnya dalam wilayah spiritualitas manusia. Berkenaan
dengan wilayah irfan seorang imam memiliki peran walayah batiniyah yang
meniscayakan kedudukan dan ooritas dia sebagai pemimpin spiritual manusia atau
mursyid bagi seluruh umat manusia.[62]
Pribadi seorang imam
digambarkan oleh Muthahhari sebagai pribadi yang memiliki daya tarik yang
begitu kuat secara spiritualitas dan moral kepada mereka yang mengikuti
jalannya dan memiliki gaya tolak yang kuat pula kepada mereka yang mengingkari
kebenaran.[63] Tahapan wilayah
tertinggi menurut Muthahhari adalah walayah yang mencakup dimensi batiniah
manusia. Wilayah batiniyah yang dimaksud di sini –disatu sisi berhubungan
dengan kekuatan manusia yang tersembunyi untuk mencapai kesempurnaan –dan di
sisi lain berhubungan dengan ikatan yang ada antara seorang manusia dengan
Allah. Walayah batiniah yang diyakini oleh Syi’ah merupakan otoritas para imam
dari kalangan ahlul bait Nabi saw, didasarkan pada integritas dan kualitas
intelektual, moral, sosial, dan spiritual yang mereka miliki. Sehingga Allah
menetapkan sebuah ketentuan Walayah gaib yang diberikan oleh Allah swt memiliki
makna kedudukan beliau yang begitu tinggi, hingga ia menjadi pemimpin kafilah
spiritualitas manusia, pemimpin hati nurani manusia, saksi atas
perbuatan-perbuatan mereka, dan penguasa tertinggi pada zamannya. Dunia tidak
akan pernah kosong dari pemimpin spiritual yang demikian. Dengan kata lain
dunia tak pernah ada tanpa seorang manusia yang sempurna.[64]
Kemestian akan senantiasa
adanya sosok manusia sempurna yang tampil menjadi pemimpin kafilah ruhani
manusia –didasarkan pada asumsi akan fundamennya kebutuhan manusia akan
pencapaian spiritualitas. Oleh karena dalam melakukan perjalanan spiritual
seorang manusia tak mungkin berjalan sendiri tanpa pembimbing spiritual yang
telah mencapai taraf kesempurnaan sejati –maka hadirnya seorang manusia
sempurna sebagai pemimpin spiritual merupakan sebuah kemestian dan perwujudan
keadilan Tuhan kepada manusia. Imam adalah seseorang yang dipilih oleh Allah
untuk menjadi pemimpin jalan wilayah. Dialah yang memegang kendali wilayah
esoteris di tangannya. Dia adalah pusat “sinar-sinar wilayah” yang memantau
hati manusia.[65]
Dengan pengakuan terhadap
otoritas imam sebagai pemimpin dan pembimbing spiritualitas manusia yang
tertinggi, tidak meniscayakan hilangnya peran seorang arif tertentu sebagai
mursyid individual yang membimbingnya secara khusus murid-muridnya. Hanya saja
otoritas seorang arif yang menjadi mursyid tersebut berada dalam otoritas
wilayah imam sebagai mursyid tertinggi
Dalam pandangan Muthahhari
antara tasawuf (irfan) dengan akhlak (etika) merupakan dua hal yang memiliki
keeratan dan persamaan. Yaitu keduanya sama-sama membicarakan ihwal mengenai
"apa yang seharusnya dilakukan".[66]
Meskipun demikian, akhlak dalam tinjauan tasawuf memiliki perbedaan yang
mendasar dengan akhlak (etika) dalam definisi yang umum. Menurut Muthahhari –keduanya
memiliki beberapa perbedaan mendasar. Yaitu, akhlak dalam irfan membicarakan
hubungan manusia dengan dirinya, dengan dunia, dan dengan Tuhan, dan perhatian
utamanya adalah hubungan manusia dengan Tuhan sebagai fondasi akhlak. Sedangkan
akhlak pada umumnya tidak terlalu membahas hubungan manusia dengan Tuhan.
Yang kedua, akhlak dalam
irfan bersifat dinamis, sedangkan akhlak (dalam arti awam) bersifat statis.
Yakni, irfan membicarakan tahap awal dan akhir perjalanan serta urutan tahap
yang mesti ditempuh dari akhlak yang dilakukan. Dan yang ketiga, unsur-unsur spiritual
dalam etika hanya terbatas pada konsep-konsep dan gagasan-gagasan yang dipahami
kebanyakan orang. Sementara itu, unsur-unsur spiritual dalam irfan jauh lebih
mendalam dan luas. Yakni, dalam perjalanan ruhani irfan misalnya, banyak
dibicarakan tentang hati dan keadaan-keadaan yang akan dialaminya sepanjang
perjalanannya tanpa sepengetahuan orang-orang di sekitar.[67]
Dalam melaksanakan irfan
amali, seorang salik mesti mengikuti aturan-aturan akhlak yang sangat ketat –dibandingkan
pelaksanaan akhlak bagi manusia pada umumnya. Akhlak bagi seorang arif
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam menempuh perjalanan suluknya
dermi mencapai jenjang maqam tertinggi. Sedangkan akhlak pada hal-hal tertentu
bagi orang kebanyakan terkadang bukan sebagai kewajiban yang mesti
dilaksanakan, melainkan hanya pilihan yang dilaksanakan untuk mencapai
fadhilah. Menurut Murtadha Muthahhari, basis perbuatan akhlak didasarkan pada
asumsi rasional-filsoofis mengenai fitrah manusia, meskipun demikian nilai dan
manfaat yang didapat dari perbuatan akhlak terkadang tidak bisa dicerap oleh
akal manusia.[68]
Menurut Muthahhari,
kecenderungan manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan akhlaki bersifat
fitrah [69] –sebagaimana fitrah
manusia yang lain seperti fitrah bertuhan dan beragama. Perbuatan akhlaki
merupakan perbuatan luar biasa yang dilakukan oleh seorang manusia, karena
untuk melaksanakan perbuatan tersebut memestikan upaya dan ikhtiyar yang
sungguh-sungguh dan ikhlas untuk mengalahkan egoisme dan hawa nafsu yang
membelenggu. Muthahhari menyebutkan perbuatan akhlak sebagai perbuatan ksatria (–futuwwah)
yang memiliki nilai lebih tinggi dari perbuatan biasa.[70]
Perbuatan akhlaki selain
perbuatan yang didasarkan pada asumsi rasionalitas, juga didasarkan pada
kesadaran intuitif (spiritual). Mengutip Immanuel Kant, Muthahhari menyebutkan
perbuatan akhlaki merupakan perbuatan yang mendapatkan sinaran cahaya Ilahi.
Dan hal tersebut tak mungkin terrealisasi tanpa didasari oleh keimanan yang
paripurna kepada Allah swt.[71]
Dari pernyataan di atas,
dapat disimpulkan antara irfan dan akhlak merupakan dua hal yang tak
terpisahkan. Dengan menempuh jalan suluk, maka seorang arif akan semakin
tertempa kesadaran jiwanya untuk semakin merealisasikan perbuatan akhlak secara
praksis. Karena perbuatan akhlak merupakan syarat mesti untuk mencapai
kesempurnaan jalan suluk. Dengan mencapai kematangan intelektualitas pemahaman
akan hakekat diri, manusia, dan dunia secara filosofis. Yang kemudian
dilanjutkan dengan penajaman intuitif dengan melakukan pengelanaan jiwa
menempuh jalan suluk (spiritualitas). Maka buah yang dihasilkan secara praksis
dalam sikap hidup seorang arif adalah perbuatan akhlaki yang berefek positif
bukan hanya bagi sang arif tersebut melainkan dirasakan efeknya bagi manusia
yang ada di sekitaranya.
Berdasarkan paparan di
atas, Murtadha Muthahhari menganut pandangan tasawuf falsafi atau irfan yakni pandangan
tasawuf yang didasarkan pada asumsi-asumsi rasional filosofis dalam memahami
realitas alam batin (ruhani) atau irfan ilmi (teoritis) dan pada
praktek-praktek penajaman intuitif dengan menempuh jalan suluk atau irfan amali
(praktis). Di sini, ma'rifat filosofis terhadap realitas Ilahiyah (Tuhan)
merupakan pangkal dari agama dan perjalanan suluk, yang kemudian dipraksiskan
dalam pengamalan syari'at, untuk mencapai jalan tareqat sebagai perjalanan
menuju kebenaran sejati (haqeqat), dan ketiganya adalah kesatuan yang tak
terpisahkan. Sementara itu, maqamat adalah apa yang dicapai oleh seorang arif
melalui upayanya –sedangkan hal adalah apa yang menghinggapi kalbu seorang
arif. Dalam irfan ada enam maqam yang dilalui, yaitu maqam nafs, maqam qalb,
maqam, ruh, maqam sirr, maqam khafy, dan maqam akhfa.
Irfan meniscayakan keberadaan seorang imam yang
memiliki peran walayah batiniyah yang meniscayakan kedudukan dan otoritas dia
sebagai pemimpin spiritual manusia atau mursyid bagi seluruh umat manusia. Antara irfan dan akhlak merupakan dua hal yang tak
terpisahkan. Dengan menempuh jalan suluk, maka seorang arif akan semakin
tertempa kesadaran jiwanya untuk semakin merealisasikan perbuatan akhlak secara
praksis.
Pustaka
Abduh, Muhammad, Syarh
Nahj al-Balaghah. Diterjemahkan oleh Muhammad Bagir dengan Judul Mutiara Nahj
al-Balaghah : Wacana dan Surat-surat Imam Ali. Bandung : Mizan. 2003.
Amini, Ibrahim, Hamed
Bayad Bedonand. Diterjemahkan oleh Faruq Dhiya dengan Judul Semua Perlu Tahu:
Buku Pintar Ushuluddin. Jakarta : al-Huda Islamic Centre. 2006.
Arasateh, A. Reza, Growth
to Selfhood the Sufi Contribution. Diterjemahkan oleh Ilzamuddin Ma'mur dengan
Judul Sufisme dan Penyempurnan Diri. Jakarta : Srigunting Press, 2002.
Arbery, A. J. Sufism and
Account of the Mistics of Islam. Diterjemahkan oleh Bambang Herawan dengan
Judul Tasawuf Versus Syari'at. Bandung : Hikmah, 2000.
Bagir, Haedar. Buku Saku
Tasawuf. Bandung : Arasy, 2006. Bahtiar, Laleh. Sufi : Exspression of the
Mystic Quest. Diterjemahkan oleh Purwanto dengan Judul Perjalanan Menuju Tuhan.
Bandung : Nuansa, 2001.
Haeri, Fadhullah. The
Elements of Sufism. Diterjemahkan oleh Muhammad Hasyim Assegaf dengan Judul
Belajar Mudah Tasawuf. Jakarta : Lentera Basritama, 2002. Ilahi, Ibrahim
Ghazur.
The Scret of ana al-Haqq.
Diterjemahkan oleh Bandaharo dan Joebaar Ajoeb dengan Judul Menyingkap Misteri
Sufi Besar "Mansur al-Hallaj". Jakarta : Srigunting Press, 2002.
Kazhim, Musa. Belajar
Menjadi Sufi. Jakarta : Lentera Basritama, 2002. Labib, Muhsin. Mengurai
Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan. Jakarta : Lentera Basritama, 2004.
_______, Para Filosof
Sebelum dan Sesudah Shadra. Jakarta ; al-Huda Islamic Centre, 2005.
Muhammad, Hasyim. Dialog
Antara Tasawuf dan Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2002.
Muthahhari, Murtadha.
Filsafah al-Hikmah. Diterjemahkan oleh Tim Penerbit Mizan dengan Judul Filsafat
Hikmah : Pengantar Pemikiran Shadra. Bandung : Mizan, 2002.
_______, Falsafa-ye Akhlake. Diterjemahkan
oleh Muhammad Babul Ulum dan Eddy Hendri dengan Judul Filsafat Moral Islam.
Jakarta : al-Huda Islamic Centre, 2004.
_______, al-Fitrah.
Diterjemahkan oleh Afif Muhammad dengan Judul Fitrah. Jakarta : Lentera
Basritama. 1999.
_______, Glimpses of the Nahj al-Balaghah.
Diterjemahkan oleh Arif Mulyadi dengan Judul Tema-tema Pokok Nahj al-Balaghah.
Jakarta : al-Huda Islamic Centre. 2002.
_______, Introduction to
Irfan. Diterjemahkan oleh Ramli Bihar Anwar dengan Judul Mengenal Irfan.
Jakarta : Hikmah. 2002.
_______, Introduction to Kalam, diterjemahkan
oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Mengenal Ilmu kalam. Jakarta Pustaka
Zahra. 2002.
_______, Man and Universe.
Diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Manusia dan Alam Semesta.
Jakarta : Lentera Basritama. 2002.
_______, Master and
Mastership. Diterjemahkan oleh Yudhi Nur Rahman dengan Judul Kepemimpinan
Islam. Banda Aceh : Gua Hira. 1991.
_______, Polarization
Around the Character of Ali bin Abi Thalib. Diterjemahkan oleh Muhammad Hashem
dengan Judul Karakter Agung Ali bin Abi Thalib. Jakarta : Pustaka Zahra. 2002.
_______, Syesy Makoleh.
Diterjemahkan oleh Muhammad Jawad Bafaqih dengan Judul Kumpulan Artikel
Pilihan. Jakarta : Lentera Basritama. 2003.
_______, Tarbiyatul Islam.
Diterjemahkan oleh Muhammad Baharuddin dengan Judul Konsep Pendidikan Islam.
Depok : Iqra Kurnia Gumilang, 2005.
_______, The Causes
Responsible For Materialist Tendencies in the West, Doterjemahkan oleh Akmal
Kamil dengan Judul Kritik Islam Terhadap Materialisme. Jakarta : al-Huda
Islamic Centre.
2001. Nicholson, Reynold
A. The Mystics of Islam. Diterjemahkan oleh Nashir Budiman dengan Judul Aspek
Ruhaniah Peribadatan Islam di dalam Mencari Keridhaan Allah. Jakarta :
Srigunting Press. 1997.
Fritjouf Schoun. Sufisme :
Veil and Quintesence. Diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budhi Santoso dengan Judul
Proses Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti. Jakarta : Srigunting Press.
2000.
Solihin, Mukhtar dan
Rosihan Anwar. Hakekat Manusia : Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri
dalam Psikologi Islam. Bandung : Pustaka Setia. 2005.
Sukardi (ed). Kuliah-kuliah
Tasawuf. Bandung : Pustaka Hidayah. 2000.
Catatan:
[1] Kata tasawuf berasal
dari bahasa Arab yairu Shafa atau shafih yang berarti kesucian, ada juga yang
berpendapat berasal dari kata shafwah yang berarti orang yang terpilih.
Sebagian lain berpendapat tasawuf berasal dari kata shaf yang berarti baris
yang berarti kaum muslimin yang berada di baris pertama dalam shalat atau
perang suci. Sebagian ahli juga berpendapat kata ini berasal dari kata shuffah
yakni serambi rendah yang terbuat dari tanah liat di mesjid Nabi di Madinah
tempat orang-orang miskin yang baik hati dan mengikuti beliu berkumpul. Ada
juga yang berpendapat kalau kata tasawuf berasal dari kata shuf yang berarti
bulu domba, yaitu bahan jubah yang sering dipakai oleh para sufi. Namun ada
juga yang berpendapat tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu sophia yang
berarti hikmah atau kebijaksanaan. Lihat Fadhullah Haeri, The Elements of
Sufism, Diterjemahkan oleh Muhammad Hasyim Assegaf dengan Judul Belajar Mudah
Tasawuf, (Cet. IV ; Jakarta : Lentera Basritama, 2002), h. 1. [2] Mukhtar
Solihin dan Rosihan Anwar, Hakekat Manusia : Menggali Potensi Kesadaran
Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam, (Cet. I ; Bandung : Pustaka Setia,
2005), h. 1-2. [3] Musa Kazhim, Belajar Menjadi Sufi, (Cet. I ; Jakarta :
Lentera Basritama, 2002), h. 9. [4] A. J. Arbery, Sufism and Account of the
Mistics of Islam, diterjemahkan oleh Bambang Herawan dengan Judul Tasawuf
Versus Syari'at, (Cet. I ; Bandung : Hikmah, 2000), h. 1. [5] A. Reza Arasateh,
Growth to Selfhood the Sufi Contribution, diterjemahkan oleh Ilzamuddin Ma'mur
dengan Judul Sufisme dan Penyempurnan Diri, (Cet. II ; Jakarta : Srigunting
Press, 2002), h. 1 [6] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan, (Cet,
I ; Jakarta : Lentera Basritama, 2004), h. 25. [7] Musa Kazhim, op, cit., h.
15. [8] Muhsin Labib, loc, cit. [9] Bid., h. 52. [10] Haedar Bagir, Buku Saku
Tasawuf, (Cet. II ; Bandung : Arasy, 2006), h. 101. [11] Muhsin Labib, op,
cit., h. 53. [12] Murtadha Muthahhari, The Causes Responsible For Materialist
Tendencies in the West, Doterjemahkan oleh Akmal kamil dengan Judul Kritik
Islam Terhadap Materialisme, (Cet, I ; Jakarta : al-Huda islamic centre, 2001),
h. 9. [13] Muhsin labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Shadra, (Cet, I ;
Jakarta ; al-Huda Islamic Centre, 2005), h. 278. [14] Murtadha Muthahhari,
Introduction to Kalam, diterjemahkan oleh Muhammad ilyas Hasan dengan Judul
Mengenal Ilmu kalam, {Cet, I ; Jakarta Pustaka Zahra, 2002), h. 7. [15] Hamid
Algar, "Hidup dan karya Murtadha Muthahhari", dalam Pendahuluan buku
Murtadha Muthahhari, Filsafah al-Hikmah, Diterjemahkan oleh Tim Penerbit Mizan
dengan Judul Filsafat Hikmah : Pengantar Pemikiran Shadra, (Cet. I ; Bandung :
Mizan, 2002), h. 30. [16] Murtadha Muthahhari, The Cause, op, cit.,h. 10. [17]
Ibid., h. 10-11. [18] Ibid. [19] Muhsin Labib, Para Filosof, op, cit., h. 280.
[20] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, opm cit., h. 31. [21] Murtadha Muthahhari,
Introduction to Irfan, Diterjemahkan oleh Ramli Bihar Anwar dengan Judul
Mengenal Irfan, (Cet, I ; Jakarta : hikmah, 2002), h. 3. [22] Agus Effendi,
"Tasawuf dalam Perspektif Mazhab Ahlul Bait", dalam Sukardi (ed),
Kuliah-kuliah Tasawuf, (Cet. I ; Bandung : Pustaka Hidayah, 2000), h. 83. [23]
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, op cit., h. 77. [24] Ibid., h. 83. [25] Kata
sayr wa suluk secara etimologis berasal dari dua kata yang sinonim, yaitu sayr
yang berarti berjalan dan suluk yang juga artinya berjalan. [26] Murtadha
Muthahhari, Introductioin to Irfan, loc, cit. [27] Agus Effendi, op, cit., h.
83-84. [28] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan op, cit.,, h. 7 [29]
Murtadha Muthahhari, Glimpses of the Nahj al-Balaghah, diterjemahkan oleh Arif
Mulyadi dengan Judul Tema-tema Pokok Nahj al-Balaghah, (Cet. I ; Jakarta :
al-Huda Islamic Centre, 2002), h. 92. [30] Murtadha Muthahhari, Introduction to
Irfan, loc, cit. [31] Ibid., h. 8-9. [32] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, op,
cit., h. 76. [33] Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balaghah, Diterjemahkan oleh Muhammad
Bagir dengan Judul Mutiara Nahj al-Balaghah : Wacana dan Surat-surat Imam Ali,
(Cet, III ; Bandung : Mizan, 2003), h. 22. [34] Murtadha Muthhahhari, Glimpses,
op, cit., h. 81. [35] Murtadha Muthahhari, Man and Universe, Diterjemahkan oleh
Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Manusia dan Alam Semesta, (Cet. II ; Jakarta
: Lentera Basritama, 2002), h. 74. [36] Murtadha Muthahhari, Introduction to
Irfan, op, cit., h. 12-13. [37] Fritjouf Schoun, Sufisme : Veil and
Quintesence, Diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budhj Santoso dengan Judul Proses
Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, (Cet. I ; Jakarta : Srigunting
Press, 2000), h. 151. [38] M urtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, op,
cit., h. 13. [39] Fritjouf Schoun, loc, cit. [40] Haedar Bagir, op, cit., h.
139-140. [41] Ibrahim Ghazur Ilahi, The Scret of ana al-Haqq, Diterjemahkan
oleh Bandaharo dan Joebaar Ajoeb dengan Judul Menyingkap Misteri Sufi Besar
"Mansur al-Hallaj", (Cet, IV ; Jakarta : Srigunting Press, 2002), h.
89. [42] Muhktar Solihin dan Rosihan Anwar, op, cit., h. 48. [43] Murtadha
Muthahhari, Introduction to Irfan, loc, cit. [44] Reynold A. Nicholson, The
Mystics of Islam, Diterjemahkan oleh Nashir Budiman dengan Judul Aspek Ruhaniah
Peribadatan Islam di dalam Mencari Keridhaan Allah, (Cet, II ; Jakarta :
Srigunting Press, 1997), h. 45. [45] Murtadha Muthahhari, Introduction to
Irfan, loc, cit. [46] Ibid., h. 15 [47] Maqamat dan ahwal dalam bentuk jamak.
[48] Haedar Bagir, op, cit., h. 131-132. [49] Ibid., h. 132. [50] Murtadha
Muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 100-101. [51] Hasyim Muhammad,
Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, (Cet, I ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2002), h. 27. [52] Untuk lebih jelasnya mengenai maqamat dalam tasawuf Sunni,
lihat ibid., h. 26-47. [53] Agus Effendi, op, cit., h. 83. [54] Ibid., h. 90.
[55] Laleh Bahtiar, Sufi : Exspression of the Mystic Quest, Diterjemahkan oleh
Purwanto dengan Judul Perjalanan Menuju Tuhan, (Cet, I ; Bandung : Nuansa,
2001), h. 63. [56] Ibid., h. 88-89. [57] Ibid., h. 89. [58] Murtadha
Muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 3. [59] Dalam keyakinan Syiah
Imamiyah ada dua belas imam pengganti Nabi Muhammad saw, yaitu Imam Ali bin Abi
Thalib, Imam Hasan bin Ali, Imam Husein bin Ali, Imam Ali Zainal Abidin
al-Sajjad, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ja'far al-Shadiq, Imam Musa al-Kazhim,
Imam Ali al-Ridha, Imam Muhammad al-Jawad, Imam Ali al-Hadi, Imam Hasan
al-Askari, dan Imam Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar. [60] Ibrahim Amini, Hamed
Bayad Bedonand, Diterjemahkan oleh Faruq Dhiya dengan Judul Semua Perlu tahu :
Buku Pintar Ushuluddin, (Cet, i ; Jakarta : al-Huda Islamic Centre, 2006), h.
34. [61] Murtadha Muthahhari, Syesy Makoleh, Diterjemahkan oleh Muhammad jawad
Bafaqih dengan Judul Kumpulan Artikel pilihan, (Cet. I ; Jakarta : Lentera
Basritama, 2003), h. 120-121. [62] Lihat Murtadha Muthahhari, Master and
Mastership, Diterjemahkan oleh Yudhi Nur Rahman dengan Judul Kepemimpinan
Islam, (Cet, I ; Banda Aceh : Gua Hira, 1991), h. 30. [63] Lihat Murtadha
Muthahhari, Polarization Around the Character of Ali bin Abi Thalib,
Diterjemahkan oleh Muhammad hashem dengan Judul Karakter Agung Ali bin Abi
Thalib, (Cet, I ; Jakarta : Pustaka Zahra, 2002), h. 31-34. [64] Murtadha
Muthahhari, Master and, op, cit., h. 26. [65] Ibid., h. 134. [66] Murtadha
muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 5. [67] Ibid., h. 6 [68]
Murtadha Muthahhari, Falsafa-ye Akhlake, Diterjemahkan oleh Muhammad Babul Ulum
dan Eddy Hendri dengan Judul Filsafat Moral Islam, (Cet, I ; Jakarta : al-Huda
Islamic Centre, 2004), h. 21. [69] Lihat Murtadha Muthahhari, al-Fitrah,
Diterjemahkan oleh Afif muhammad dengan Judul Fitrah, (Cet, II ; Jakarta :
Lentera Basritama, 1999), h. 55. [70] Murtadha Muthahhari, iFalsafaye Akhlake,
op, cit., h. 23. [71] Murtadha Muthahhari, Tarbiyatul Islam, Diterjemahkan oleh
Muhammad Baharuddin dengan Judul Konsep Pendidikan Islam, (Cet, I ; Depok :
Iqra Kurnia Gumilang, 2005), h. 117.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar