Apa gerangan tragedi
besar ini, begitu besarnya
sampai gunung dan
sahara pun berguncang.
Apa gerangan
rintihan-rintihan lantang ini!
Seolah-olah rintihan
ini menjilat-jilat
–bagaikan api- karena
hati yang terbakar.
Apa gerangan mata-mata
melinangkan air
sampai mengaliri paras
manusia.
Seolah-olah terompet
Israfil telah ditiup
dan kiamat telah
bangkit, orang-orang seperti mabuk
padahal mereka sadar
dan tidak mabuk.
Muhammad Mahdi adalah
putera Sayid Murtadha Thaba'thaba'i Burujurdi, dari keturunan Imam Hasan
Mujtaba as., dia lahir di tengah rumah tangga ruhaniawan yang bertakwa,
tepatnya pada malam Jum'at bulan Syawal 1115 H. / 1113 HS. di kota Karbala
Mu'alla. [1] Pada malam itu, sang ayah bermimpi melihat Imam Ali
Ridha as. memerintahkan Muhammad bin Isma'il bin Buzai' –salah satu sahabat
Imam Musa Kazdim as., Imam Ali Ridha as., dan Imam Muhammad Jawad as.- untuk
menyalakan lilin di atas atap rumah Sayid Murtahda (ayah Sayid Muhammad Mahdi).
Ketika Muhammad bin Isma'il menyalakan lilin itu, maka cahaya lilin itu
menjulang tinggi ke langit sampai tidak diketahui kemana ujungnya. [2]
Setelah terjaga dari tidur dan mimpi
itu, dia diberitahu kalau anaknya baru saja lahir ke dunia.
Guru
Sejak kecil, dia
mengenyam pendidikan akhlak dan sopan santun Islami dari pelukan hangat ibu dan
pengawasan ayahnya yang mulia. Setelah menyelesaikan jenjang-jenjang ilmu
pengantar dan tingkat menengah fikih dan ushul fikih, dia menginjakkan kakinya
ke jenjang pendidikan tingkat tinggi fikih dan ushul –yang dikenal dengan
sebutan Kharij- yang diasuh langsung oleh ayahnya. Lima tahun kemudian, dia
berhasil mencapai tingkatan sebagai seorang mujtahid yang spesialis di bidang
ilmu-ilmu itu. [3]
Di samping itu, Sayid
Muhammad Mahdi juga belajar dari guru-guru besar Hauzah Karbala dan Najaf
Asyraf, seperti Muhammad Baqir Wahid Bahbahani (1118 – 1208 H.), Syaikh Yusuf
Bahrani (1107 – 1186 H.), Muhammad Taqi Duraqi Najafi (1186 H.) dan Mahdi
Fatuni Nabathi Ameli (1183 H.). [4]
Sementara di bidang
ilmu hikmah dan filsafat, dia menimba ilmu dari Aqha Mirza Abu Qasim Mudarris.
Sebaliknya, filsuf ternama itu menimba ilmu fikih dan ushul fikih dari dia. [5]
Marja' ternama, Wahid
Bahbahani di akhir-akhir hayatnya membimbing masyarakat untuk kembali kepada
Sayid Muhammad Mahdi dalam urusan fatwa dan persoalan mereka. [6]
Dia menyebutnya sebagai mujtahid yang memenuhi syarat sebagai panutan
masyarakat.
Pada tahun 1186 H.,
Sayid Muhammad Mahdi pergi ke kota Masyhad Iran untuk menziarahi pemakaman suci
Imam Ali Ridha as. dan bertemu dengan ulama besar negeri itu. Selama enam atau
tujuh tahun tinggal di negeri itu, [7] selain diskusi ilmiah dengan
para ulama dan ramah tamah ilmiah dengan masyarakat dia juga ikut menghadiri
pelajaran Ustad Mirza Mahdi Isfahani Khurasani (1153 – 1218 H.), dari guru
besar itu dia menambah ilmu di bidang filsafat, akidah dan teologi.
Julukan Bahrul Ulum
untuk pertama kalinya digunakan oleh guru besar ini untuk Sayid Muhammad Mahdi
Thaba'thaba'i. Ketika sang guru menyaksikan bakat dan kecerdasannya yang luar
biasa dan menakjubkan, dia menyapanya di depan murid-murid yang lain dan di
tengah-tengah pelajaran seraya berkata, 'Saudaraku, kamu adalah Bahrul Ulum.'
Sejak itu, julukan Bahrul Ulum yang berarti lautan ilmu menjadi julukan masyhur
Sayid Muhammad Mahdi Thaba'tahaba'i. [8]
Perjalanan ke Hijaz
Di penghujung tahun
1193 H., Sayid Bahrul Ulum (Sayid Muhammad Mahdi Thaba'thaba'i) pergi ke Hijaz.
Sambutan hangat masyarakat dan komunitas intelektual setempat dari kedatangan
dia membuatnya terpaksa tinggal selama dua tahun di sisi rumah suci Tuhan
tersebut untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah di sana.
Penguasaannya yang
luar biasa terhadap fikih Ahli Sunnah dan perilaku santun serta kedemawanannya
di tengah masyarakat setempat, khususnya di kalangan ahli ilmu, membuat dirinya
sosok yang dicintai oleh mereka semua, sehingga setiap hari pasti ada
sekelompok orang dan ulama yang mendatanginya untuk mendapat anugerah darinya.
Di antara sesuatu yang
menakjubkan dari keberadaan Sayid Bahrul Ulum di sana adalah, masing-masing
dari pengikut mazhab tertentu menganggap dia sebagai pengikut mazhab yang sama
dengan mereka. Selama itu, dia
senantiasa bertaqiyah untuk mereka, dia mengajarkan ilmu kalam atau teologi
Islam berdasarkan empat mazhab. Lalu, pada masa-masa akhir domisilinya di
Mekkah, dia memberitahu mereka apa mazhab yang dianutnya. Ketika berita tentang mazhab anutannya sampai ke telinga para penganut
mazhab-mazhab yang lain, mereka berdatangan ke sisinya untuk bertukar pikiran
dan diskusi, dengan bekal ilmu yang berlimpah dia unggul atas mereka semua dan
mengajak mereka kepada hakikat agama Islam yang sebenarnya dengan bukti-bukti
yang kuat, rasional dan logis. [9]
Penentuan dan
penetapan posisi amalan-amalan haji dan sentralisasi Miqat-Miqat untuk ihram
yang sekiranya sah dan sesuai dengan syariat Islam, begitu pula rehabilitasi
stasiun-stasiun haji adalah sebagian dari langkah-langkah praktis dan berharga
Sayid Bahrul Ulum selama kehadirannya di Mekkah. Hal itu karena sebelumnya,
tempat-tempat suci tersebut tidak teridentifikasi secara jelas dan pasti.
Selain itu, dia juga
menggantikan batu-batu inorganik atau yang terhampar di Haram dan menjadi
tempat sujud para jama'ah haji dengan batu-batu yang menurut semua mazhab Islam
sah untuk dijadikan sebagai tempat sujud shalat.
Salah satu pengaruh spirititual
kehadiran Sayid Bahrul Ulum di sana adalah kesyi'ahan imam shalat Jum'ah di
Mekkah pada usianya yang kedelapan puluh tahun. [10]
Murid
Ulama besar dan
bertakwa ini juga telah mengkader murid-murid ternama yang masing-masing dari
mereka merupakan sumber jasa besar bagi dunia Islam. Di bawah ini akan kami
sebutkan beberapa nama dari mereka:
1.Syaikh Ja'far Najafi yang dikenal dengan julukan Kasyiful Ghitha' (1154 – 1227 H.);
2.Sayid Muhammad Jawad Ameli yang dikenal dengan julukan Shahib Miftahul Karamah (1164 – 1226 H.);
3.Mulla Ahmad Naraqi, penulis buku Mi‘rôj Al-Sa‘âdah (1185 – 1260 H.);
4.Muhammad Baqir Syefti Rasyti yang dikenal dengan julukan Hujjatul Islam (1175 – 1260 H.);
5.Sayid Ya'qub Kuh Kamari (1176 – 1256 H.);
6.Sayid Shadrudin Ameli (1263 H.);
7.Sayid Deldar Ali Naqawi Radhawi Nashir Abadi Lakhunawi (1165 – 1235 H.);
8.Syaikh Muhammad Ibrahim Kalbasi (1180 – 1262 H.);
9.Zainul Abidin Salmasi (1266 H.);
10. Syaikh Abdulhusain Ala'im (1177 – 1247 H.);
11. Sayid Ali bin Sayid Muhammad (1161 – 1231 H.);
12. Sayid Qaishar Muhammad bin Ma'shum Radhawi Khurasani (1180 – 1255 H.);
13. Asadullah Kazdemi (1236 H.);
14. Abu'ali Ha'eri, penulis buku Muntahâ Al-Maqôl (1159 – 1216 H.);
15. Sayid Abdullah Syir (1244 H.);
16. Syaikh Muhammad Taqi Isfahani Iwanegi, penulis buku Hasyiyah Al-Ma‘âlim (1248 H.);
17. Sayid Muhammad Mujahid, penulis buku Al-Manâhil (1242 H.);
18. Muhsin A'raji (1227 H.);
19. Mirza Muhammad Abdulshani' Nisyaburi Akhbari;
20. Syaikh Husain Najaf. [11]
Karya Ilmiah
Karya-karya ilmiah
Sayid Bahrul Ulum yang pernah dinukil oleh para ulama –ada yang sudah dicetak
dan ada yang belum-, antara lain adalah:
1. Al-Mashôbîh fî Al-Fiqh (3 jilid);
2. Al-Fawâ'id fî Al-Ushûl;
3. Misykâh Al-Hidâyah;
4. Al-Durroh Al-Najafiyah (buku tentang fikih);
5. Risâlah fî ‘Ashîr Al-Zabîbî;
6. Syarh Al-Wâfiyah (buku tentang ushul fikih);
7. Tuhfah Al-Kirôm (buku tentang sejarah Mekkah dan Baitullah Al-Haram);
8. Manâsik Al-Hajj;
9. Hâsyiyah atau komentar atas kitab Al-Syarô'i‘, bab Thaharah;
10. Hâsyiyah atau komentar atas kitab Al-Dzakhîroh karya Sabzawari;
11. Al-Durroh Al-Bahiyah fî Nazdm Ru'ûs Al-Masâ'il Al-Ushûliyah;
12. Kitâb Al-Rijâl, dikenal dengan nama Fawâ'id Al-Rijâliyah;
13. Diwon-e Sye‘r dan buku berbahas persi tentang Ketuhanan. [12]
Bakti Sosial
Meskipun dengan adanya
kesibukan dan tanggung jawab Sayid Bahrul Ulum yang berat di ranah pendidikan
dan keilmuan, akan tetapi kita dapat menyaksikan bakti sosial dia yang berharga
sekali, antara lain adalah:
1. Menentukan letak makam dan posisi tempat Imam Mahdi af. secara spesifik di Masjid Sahlah, lalu membangun kubah di atas tempat tersebut;
2. Membangun menara berkamar kecil di halaman bagian selatan Haram Imam Ali as. dan mereparasi tembok yang memagari halaman itu, begitu pula kamar-kamar di sekitarnya yang mengalami kerusakan;
3. Memberi motivasi dan bimbingan untuk memperbaiki Masjid Syaikh Thusi di kota Najaf Asyraf;
4. Mendirikan perpustakaan kitab-kitab tulisan tangan, Maktabah Bahrul Ulum;
5. Menambah ketinggian posisi Masjid Kufah untuk memudahkan proses penyucian dan pembersihannya;
6. Menentukan letak Masjdi Ra'sul Husain secara spesifik di kota Najaf Asyraf;
7. Menentukan letak pemakaman Nabi Hud as. dan Nabi Shaleh as. secara spesifik di kota Najaf Asyraf;
8. Menambahkan luas tanah kawasan Haram suci dan membuat badan-badan perlengkapan yang dibutuhkan di sekitarnya. [13]
Puisi
Di bidang sastra dan
puisi, Sayid Bahrul Ulum juga terhitung sebagai ahli dan luar biasa, banyak
puisi-puisinya tentang fikih, ushul fikih dan ilmu rijal, antara lain menyusun
nama-nama Ashabul Ijma' dalam bentuk puisi yang indah. Di sini, kami hanya akan
menukil sebagian dari puisi dia berkenaan dengan Imam Husain as.:
Allôhu akbar mâdzâ al-hâdits al-jalal
Wa qod tazalzala sahlu al-ardhi wa al-jabal?!
Mâ hâdzihi al-zafarôt al-shô‘idâtu asâ
Ka'annahâ min lahîb al-qolb tasyta‘il
Mâ li al-‘uyûni minhâ al-dam‘u jâriyah
Minhâ takhuddu khudûdan wa hiya tanhamil
Ka'anna fafkhotu shûr al-hasyri qon faja'at
Fa al-nâsu sakro wa lâ sakra wa lâ tsamil [14]
Artinya:
Apa gerangan tragedi
besar ini, begitu besarnya
sampai gunung dan
sahara pun berguncang.
Apa gerangan
rintihan-rintihan lantang ini!
Seolah-olah rintihan
ini menjilat-jilat
–bagaikan api- karena
hati yang terbakar.
Apa gerangan mata-mata
melinangkan air
sampai mengaliri paras
manusia.
Seolah-olah terompet
Israfil telah ditiup
dan kiamat telah
bangkit, orang-orang seperti mabuk
padahal mereka sadar
dan tidak mabuk.
Lambang Keutamaan
Sayid Bahrul Ulum
adalah sosok keutamaan dan takwa, teladan akhlak mulia para nabi yang sempurna.
Guru besar akhlak dan kemanusiaan serta contoh konrktit budi pekerti itu adalah
sosok istimewa yang digambarkan oleh muridnya yang ternama sebagai berikut:
Jama‘ta min al-akhlâqi
kulla fadhîlatin
fa lâ fadhla illâ ‘an janâbika shôdiru [15]
fa lâ fadhla illâ ‘an janâbika shôdiru [15]
Artinya:
Semua keutamaan dan
akhlak mulia telah engkau
kumpulkan, sehingga
tidak ada
satu keutamaan pun
kecuali muncul darimu.
Dari sisi
ketawadhu'an, dia berada di tingkatan yang tinggi sekali, dia menghormati orang
lain lebih dari diri sendiri, bagi mereka dia adalah seorang ayah yang penuh
kasih sayang. Gaya bicara dan jalannya, membuat orang lain terpana. Di tengah
masyarakat ketika dia berjalan, mereka melihat seolah-olah malaikat yang sedang
berjalan. Dia berbicara demi Tuhan dan senantiasa mengingat Tuhan.
Dalam pembinaan
akhlak, dia menduduki posisi yang sangat tinggi sehingga banyak orang yang
kesulitan untuk mengetahui kedudukannya tersebut.
Dia membagi waktu
untuk kegiatan-kegiatannya secara disiplin. Ketika gelapnya malam telah
menyelimuti, untuk beberapa waktu dia belajar dan melakukan penelitian serta
mempersiapkan pelajaran atau diskusi, setelah itu dia pergi ke Masjid Kufah
untuk bermunajat dengan Tuhan. [16]
Dia juga sangat peduli
dengan urusan ibadah murid-muridnya, dia merasa sakit apabila ada muridnya yang
lalai atau teledor dalam urusan itu. Pernah suatu hari dia meninggalkan
rutinitasnya mengajar mereka, maka seseorang mewakili mereka untuk datang
kepadanya menanyakan apa gerangan yang membuatnya meliburkan pelajaran? Sayid
Bahrul Ulum menjawabnya bahwa, ‘di antara kalian aku tidak mendengar rintihan
tengah malam untuk bermunajat kepada Allah, padahal hampir setiap malam aku
berjalan di gang-gang kota Najaf. Tentu saja pelajar-pelajar seperti ini tidak
layak untuk aku ajari sesuatu.’ Ketika mereka mendengar alasan dia tidak datang
untuk mengajar hari itu, mereka pun terjaga dari kelalaian, dan sejak itu
mereka kembali aktif bermunajat dengan Allah Swt. di jantung malam. Dan
manakala sang guru melihat ada perubahan pada diri mereka, maka dia pun mulai
mengajar lagi untuk mereka. [17]
Jerih payah Sayid
Bahrul Ulum untuk melindungi lapisan masyarakat yang lemah dan miskin harus
ditanyakan dari malam-malam yang gelap dan gang-gang kota Najaf yang sempit
serta orang-orang yang lemah dan miskin itu sendiri. Setiap malam dia berjalan
di gang-gang kota itu dengan membawa roti dan makanan untuk dibagikannya kepada
mereka[18].
Rahasia Cinta
Untuk mengenal lebih
jauh kebesaran dan kemuliaan Sayid Bahrul Ulum, kami akan membawakan beberapa
contoh hubungan dan pertemuan dia dengan Imam Mahdi af.:
a. Pengendara unta
Salah satu murid dan
sahabat Sayid Bahrul Ulum yang bernama Akhund Mulla Zainul Abidin Salmasi
menceritakan, ‘Suatu hari ketika aku masih bersama Sayid Bahrul Ulum di sekitar
Baitullahil Haram, kita kehabisan perbekalan dan sama sekali tidak punya
apa-apa di dalam rumah. Kondisi ini kemudian aku ceritakan kepadanya. Dia tidak
berkomentar apa-apa. Dia punya kebiasaan di pagi dini hari berthawaf mengitari
Ka’bah, setelah itu pulang ke rumah dan langsung menuju kamar khususnya,
kemudian aku datang ke sana dengan membawa Kalyan (sejenis perlengkapan untuk
mengisap asap seperti rokok, tapi berpipa, berair, wangi dan lain-lain). Dia
mengisapnya dan memberi keterangan kepada setiap kelompok yang datang sesuai
dengan mazhab mereka masing-masing.
Hari itu, yaitu hari
dimana aku menyampaikan kondisi rumah yang kosong dari perbekalan pokok,
sebagaimana biasanya aku membawa Kalyan untuk dia, tiba-tiba ada yang mengetuk
pintu, dan seketika itu pula wajah Sayid tampak gelisah dan tidak seperti
biasanya, lalu dia berkata kepadaku, ‘ambillah kembali Kalyan ini dan bawalah
dari sini.’ Dia langsung menuju pintu dan membukanya. Tampak sosok mulia dengan
berbaju Arab masuk ke ruangan dan duduk di sana, Sayid pun duduk sopan di
hadapannya. Mereka duduk bersama dan saling berbicara. Tapi tidak lama kemudian
dia membuka pintu dan mencium tangan tamu yang mulia tersebut. Tamu yang
berwibawa itu kemudian mengendarai unta yang didudukkan di depan rumah. Tamu
itu pergi sedangkan Sayid Bahrul Ulum masih dengan wajah yang tidak seperti
biasanya seraya memberiku selembar cek dan berkata, ‘Ini adalah cek untuk money
changer di pasar Shafa. Pergilah ke sana dan ambillah sesuai dengan isi cek
itu.’ Aku pun segera pergi ke orang yang dimaksud, ketika orang itu menerima
cek tersebut, dia langsung melihat dan menciuminya seraya berkata, ‘Ambillah empat
gerobak dan ajaklah empat kuli.’ Aku ambil empat gerobak bersama empat kuli
sekiranya mereka kuat membawa uang zaman itu sampai ke rumah. Setelah itu, aku
ingin kembali ke orang yang memberikan uang tersebut untuk mengetahui siapa dia
dan siapa orang yang menuliskan cek itu. Ternyata waktu aku kembali ke sana,
tidak ada orang itu bahkan tidak ada pula toko tempat aku mengambil uang tadi.
Aku coba tanyakan orang-orang di sekitar sana tentang orang dan toko itu,
mereka menjawab bahwa di sini sama sekali tidak ada toko money changer. [19]
b. Laksana Samudera
Mirza Qumi –penulis
buku Qowânîn- menceritakan: aku dan Allamah Bahrul Ulum adalah teman diskusi
tentang pelajaran Ustad Wahid Bahbahani. Lebih sering aku yang menerangkan
pelajaran ustad untuk dia, sampai kemudian aku pulang ke Iran. Lambat laun,
popularitas keilmuan Sayid Bahrul Ulum terdengar di mana-mana, sehingga
membuatku heran. Sampai suatu saat, Allah memberiku taufik untuk ziarah ke
Atabat Aliyat (kota-kota suci di Irak, seperti Karbala dan Najaf). Di sana aku
bertemu dengan Sayid. Ketika itu ada persoalan yang terlontar, dan aku melihat
Sayid laksana samudera ilmu yang berombak besar dan dalam. Aku bertanya
kepadanya, ‘Sayid, kita dulu sama-sama belajar dan diskusi, tapi waktu itu aku
tidak melihatmu sampai pada tingkatan ini, malah engkau sering mendapat
keterangan dariku. Tapi sekarang, aku melihatmu laksana samudera? Dia menjawab,
‘Mirza, ini adalah bagian dari rahasia yang akan aku beritahukan kepadamu, tapi
jangan pernah memberitahukannya kepada orang lain selama aku masih hidup.’ Aku
pun berjanji untuk menyimpan rahasia itu selama dia masih hidup. Kemudian dia
melanjutkan, ‘Bagaimana mungkin aku tidak jadi seperti ini ketika suatu malam
Tuanku (Imam Mahdi af.) menempelkanku ke dadanya yang penuh berkah?!’ [20]
c. Tilawatul Qur’an
Mirza Husain Lahiji
meriwayatkan sebuah cerita nyata dari Syaikh Zainul Abidin Salmasi seraya
mengatakan: Suatu hari, Sayid Bahrul Ulum memasuki wilayah pemakaman suci Imam
Ali bin Abi Thalib as., kemudian dia melantunkan puisi dengan suara lirih:
Ceh khusy ast shout-e Qur’on
Ze tu delrubo syenidan
Beh rakht nezdoreh kardan
Sukhan-e Khudo syenidan
Artinya:
Betapa indah suara
Qur’an ini, siapa pun
yang mendengarnya
darimu pasti tertawan,
bersimbah untuk
memandangmu
dan mendengarkan
firman-firman Tuhan.
Setelah itu, aku bertanya
kepada Sayid Bahrul Ulum gerangan apa yang membuatnya melantunkan puisi-puisi
itu, dia menjawab, ‘Waktu aku memasuki wilayah Haram Imam Ali as., aku
menyaksikan Tuanku Imam Mahdi af. di atas sedang membaca Al-Qur’an dengan suara
lantang, waktu aku mendengar suara tilawatul Qur’an beliau langsung aku
melantunkan puisi-puisi itu.’ [21]
Wafat
Setelah sekian lama
sakit dan tidak sanggup lagi aktif mengajar murid-muridnya, melainkan hanya
bisa tinggal di rumah dengan kesibukan belajar dan menulis, akhirnya Sayid
Bahrul Ulum meninggal dunia pada tanggal 24 Dzulhijjah (atau bulan Rajab) 1212
H. dan terbang ke alam yang lebih tinggi serta mulia.
Kepergian Sayid
menaruh dampak yang dalam pada dunia Islam dan membuat orang-orang Syi’ah
khususnya hanyut dalam kesedihan. Setelah dishalati, jenasah suci Sayid Bahrul
Ulum diantar sejumlah besar masyarakat sampai ke sisi kuburan Syaikh Thusi di
kota Najaf dan dimakamkan di sana.
Catatan:
1. Fawâ’id
Al-Ridhowiyah, Syaikh Abbas Qumi, hal. 676; Mustadrok Al-Wasâ’il, Mirza Husain
Nuri, jld. 3, hal. 383; Qishosh Al-‘Ulamâ’, Mirza Muhammad Tankabuni, hal. 168;
A‘yân Al-Syî‘ah, Muhsin Amin Ameli, jld. 10, hal. 158.
2. Fawâ’id Al-Ridhowiyah, hal, 476; Qishosh Al-‘Ulamâ’, hal. 168; Akhtaron-e Tobnok, Dzabihullah Mahallati, jld. 1, hal. 412.
3. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 33; Fuqaho-ye Nomdor-e Syi‘eh, Aqiqi Bakhsyasyi, hal. 291.
4. Sayid Bahrul ‘Ulûm Daryo-ye bi Sohel, Nurudin Ali Lu, hal. 25 – 32.
5. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah.
6. Makârim Al-Âtsâr, jld. 1, hal. 417 – 421.
7. A‘yân Al-Syî‘ah, jld. 10, hal. 159.
8. Roudhôt Al-Jannât, Sayid Muhammad Baqir Khansari, jld. 7, hal. 204.
9. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 35.
10. Makârim Al-Âtsâr, jld. 1, hal. 417.
11. Mustadrok Al-Wasâ’il, jld. 3, hal. 385; A‘yân Al-Syî‘ah, jld. 6, hal. 225; jld. 7, hal. 167; Ma‘ârif Al-Rijâl, Muhammad Hirzudin, jld. 2, hal. 59; Syu‘arô Al-Ghurô, jld. 12, hal. 129 – 159; Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 67 – 70.
12. A‘yân Al-Syî‘ah, jld. 10, hal. 160; Syu‘arô Al-Ghurô, jld. 12, hal. 139.
13. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 95 – 96; Mâdhî Al-Najaf wa Hâdhiruhâ, jld. 1, hal. 96, 105 dan 246.
14. Akhtaron-e Tobnok, jld. 1, hal. 428.
15. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 35.
16. Ibid., hal. 38.
17. Qishosh Al-‘Ulamâ’, hal. 173.
18. Ibid., hal. 171.
19. Muntahâ Al-Âmâl, Syaikh Abbas Qumi, jld. 2, hal. 547; Fawâ’id Al-Ridhowiyah, hal. 680.
20. Ganjineh-e Donesymandon, Muhammad Syarif Razi, jld. 8, hal. 371.
21. Fawâ’id Al-Ridhowiyah, hal. 682.
2. Fawâ’id Al-Ridhowiyah, hal, 476; Qishosh Al-‘Ulamâ’, hal. 168; Akhtaron-e Tobnok, Dzabihullah Mahallati, jld. 1, hal. 412.
3. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 33; Fuqaho-ye Nomdor-e Syi‘eh, Aqiqi Bakhsyasyi, hal. 291.
4. Sayid Bahrul ‘Ulûm Daryo-ye bi Sohel, Nurudin Ali Lu, hal. 25 – 32.
5. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah.
6. Makârim Al-Âtsâr, jld. 1, hal. 417 – 421.
7. A‘yân Al-Syî‘ah, jld. 10, hal. 159.
8. Roudhôt Al-Jannât, Sayid Muhammad Baqir Khansari, jld. 7, hal. 204.
9. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 35.
10. Makârim Al-Âtsâr, jld. 1, hal. 417.
11. Mustadrok Al-Wasâ’il, jld. 3, hal. 385; A‘yân Al-Syî‘ah, jld. 6, hal. 225; jld. 7, hal. 167; Ma‘ârif Al-Rijâl, Muhammad Hirzudin, jld. 2, hal. 59; Syu‘arô Al-Ghurô, jld. 12, hal. 129 – 159; Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 67 – 70.
12. A‘yân Al-Syî‘ah, jld. 10, hal. 160; Syu‘arô Al-Ghurô, jld. 12, hal. 139.
13. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 95 – 96; Mâdhî Al-Najaf wa Hâdhiruhâ, jld. 1, hal. 96, 105 dan 246.
14. Akhtaron-e Tobnok, jld. 1, hal. 428.
15. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 35.
16. Ibid., hal. 38.
17. Qishosh Al-‘Ulamâ’, hal. 173.
18. Ibid., hal. 171.
19. Muntahâ Al-Âmâl, Syaikh Abbas Qumi, jld. 2, hal. 547; Fawâ’id Al-Ridhowiyah, hal. 680.
20. Ganjineh-e Donesymandon, Muhammad Syarif Razi, jld. 8, hal. 371.
21. Fawâ’id Al-Ridhowiyah, hal. 682.
Sumber: www.sadeqin.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar