Rabu, 14 Januari 2015

Sayid Muhammad Mahdi Bahrul Ulum




Apa gerangan tragedi besar ini, begitu besarnya
sampai gunung dan sahara pun berguncang.
Apa gerangan rintihan-rintihan lantang ini!
Seolah-olah rintihan ini menjilat-jilat
–bagaikan api- karena hati yang terbakar.
Apa gerangan mata-mata melinangkan air
sampai mengaliri paras manusia.
Seolah-olah terompet Israfil telah ditiup
dan kiamat telah bangkit, orang-orang seperti mabuk
padahal mereka sadar dan tidak mabuk.

Muhammad Mahdi adalah putera Sayid Murtadha Thaba'thaba'i Burujurdi, dari keturunan Imam Hasan Mujtaba as., dia lahir di tengah rumah tangga ruhaniawan yang bertakwa, tepatnya pada malam Jum'at bulan Syawal 1115 H. / 1113 HS. di kota Karbala Mu'alla. [1] Pada malam itu, sang ayah bermimpi melihat Imam Ali Ridha as. memerintahkan Muhammad bin Isma'il bin Buzai' –salah satu sahabat Imam Musa Kazdim as., Imam Ali Ridha as., dan Imam Muhammad Jawad as.- untuk menyalakan lilin di atas atap rumah Sayid Murtahda (ayah Sayid Muhammad Mahdi). Ketika Muhammad bin Isma'il menyalakan lilin itu, maka cahaya lilin itu menjulang tinggi ke langit sampai tidak diketahui kemana ujungnya. [2]  Setelah terjaga dari tidur dan mimpi itu, dia diberitahu kalau anaknya baru saja lahir ke dunia.

Guru

Sejak kecil, dia mengenyam pendidikan akhlak dan sopan santun Islami dari pelukan hangat ibu dan pengawasan ayahnya yang mulia. Setelah menyelesaikan jenjang-jenjang ilmu pengantar dan tingkat menengah fikih dan ushul fikih, dia menginjakkan kakinya ke jenjang pendidikan tingkat tinggi fikih dan ushul –yang dikenal dengan sebutan Kharij- yang diasuh langsung oleh ayahnya. Lima tahun kemudian, dia berhasil mencapai tingkatan sebagai seorang mujtahid yang spesialis di bidang ilmu-ilmu itu. [3]

Di samping itu, Sayid Muhammad Mahdi juga belajar dari guru-guru besar Hauzah Karbala dan Najaf Asyraf, seperti Muhammad Baqir Wahid Bahbahani (1118 – 1208 H.), Syaikh Yusuf Bahrani (1107 – 1186 H.), Muhammad Taqi Duraqi Najafi (1186 H.) dan Mahdi Fatuni Nabathi Ameli (1183 H.). [4]

Sementara di bidang ilmu hikmah dan filsafat, dia menimba ilmu dari Aqha Mirza Abu Qasim Mudarris. Sebaliknya, filsuf ternama itu menimba ilmu fikih dan ushul fikih dari dia. [5]

Marja' ternama, Wahid Bahbahani di akhir-akhir hayatnya membimbing masyarakat untuk kembali kepada Sayid Muhammad Mahdi dalam urusan fatwa dan persoalan mereka. [6] Dia menyebutnya sebagai mujtahid yang memenuhi syarat sebagai panutan masyarakat.

Pada tahun 1186 H., Sayid Muhammad Mahdi pergi ke kota Masyhad Iran untuk menziarahi pemakaman suci Imam Ali Ridha as. dan bertemu dengan ulama besar negeri itu. Selama enam atau tujuh tahun tinggal di negeri itu, [7] selain diskusi ilmiah dengan para ulama dan ramah tamah ilmiah dengan masyarakat dia juga ikut menghadiri pelajaran Ustad Mirza Mahdi Isfahani Khurasani (1153 – 1218 H.), dari guru besar itu dia menambah ilmu di bidang filsafat, akidah dan teologi.

Julukan Bahrul Ulum untuk pertama kalinya digunakan oleh guru besar ini untuk Sayid Muhammad Mahdi Thaba'thaba'i. Ketika sang guru menyaksikan bakat dan kecerdasannya yang luar biasa dan menakjubkan, dia menyapanya di depan murid-murid yang lain dan di tengah-tengah pelajaran seraya berkata, 'Saudaraku, kamu adalah Bahrul Ulum.' Sejak itu, julukan Bahrul Ulum yang berarti lautan ilmu menjadi julukan masyhur Sayid Muhammad Mahdi Thaba'tahaba'i. [8]

Perjalanan ke Hijaz

Di penghujung tahun 1193 H., Sayid Bahrul Ulum (Sayid Muhammad Mahdi Thaba'thaba'i) pergi ke Hijaz. Sambutan hangat masyarakat dan komunitas intelektual setempat dari kedatangan dia membuatnya terpaksa tinggal selama dua tahun di sisi rumah suci Tuhan tersebut untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah di sana.

Penguasaannya yang luar biasa terhadap fikih Ahli Sunnah dan perilaku santun serta kedemawanannya di tengah masyarakat setempat, khususnya di kalangan ahli ilmu, membuat dirinya sosok yang dicintai oleh mereka semua, sehingga setiap hari pasti ada sekelompok orang dan ulama yang mendatanginya untuk mendapat anugerah darinya.

Di antara sesuatu yang menakjubkan dari keberadaan Sayid Bahrul Ulum di sana adalah, masing-masing dari pengikut mazhab tertentu menganggap dia sebagai pengikut mazhab yang sama dengan mereka. Selama itu, dia senantiasa bertaqiyah untuk mereka, dia mengajarkan ilmu kalam atau teologi Islam berdasarkan empat mazhab. Lalu, pada masa-masa akhir domisilinya di Mekkah, dia memberitahu mereka apa mazhab yang dianutnya. Ketika berita tentang mazhab anutannya sampai ke telinga para penganut mazhab-mazhab yang lain, mereka berdatangan ke sisinya untuk bertukar pikiran dan diskusi, dengan bekal ilmu yang berlimpah dia unggul atas mereka semua dan mengajak mereka kepada hakikat agama Islam yang sebenarnya dengan bukti-bukti yang kuat, rasional dan logis. [9]

Penentuan dan penetapan posisi amalan-amalan haji dan sentralisasi Miqat-Miqat untuk ihram yang sekiranya sah dan sesuai dengan syariat Islam, begitu pula rehabilitasi stasiun-stasiun haji adalah sebagian dari langkah-langkah praktis dan berharga Sayid Bahrul Ulum selama kehadirannya di Mekkah. Hal itu karena sebelumnya, tempat-tempat suci tersebut tidak teridentifikasi secara jelas dan pasti.

Selain itu, dia juga menggantikan batu-batu inorganik atau yang terhampar di Haram dan menjadi tempat sujud para jama'ah haji dengan batu-batu yang menurut semua mazhab Islam sah untuk dijadikan sebagai tempat sujud shalat.

Salah satu pengaruh spirititual kehadiran Sayid Bahrul Ulum di sana adalah kesyi'ahan imam shalat Jum'ah di Mekkah pada usianya yang kedelapan puluh tahun. [10]

Murid

Ulama besar dan bertakwa ini juga telah mengkader murid-murid ternama yang masing-masing dari mereka merupakan sumber jasa besar bagi dunia Islam. Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa nama dari mereka:

1.Syaikh Ja'far Najafi yang dikenal dengan julukan Kasyiful Ghitha' (1154 – 1227 H.);
2.Sayid Muhammad Jawad Ameli yang dikenal dengan julukan Shahib Miftahul Karamah (1164 – 1226 H.);
3.Mulla Ahmad Naraqi, penulis buku Mi‘rôj Al-Sa‘âdah (1185 – 1260 H.);
4.Muhammad Baqir Syefti Rasyti yang dikenal dengan julukan Hujjatul Islam (1175 – 1260 H.);
5.Sayid Ya'qub Kuh Kamari (1176 – 1256 H.);
6.Sayid Shadrudin Ameli (1263 H.);
7.Sayid Deldar Ali Naqawi Radhawi Nashir Abadi Lakhunawi (1165 – 1235 H.);
8.Syaikh Muhammad Ibrahim Kalbasi (1180 – 1262 H.);
9.Zainul Abidin Salmasi (1266 H.);
10. Syaikh Abdulhusain Ala'im (1177 – 1247 H.);
11. Sayid Ali bin Sayid Muhammad (1161 – 1231 H.);
12. Sayid Qaishar Muhammad bin Ma'shum Radhawi Khurasani (1180 – 1255 H.);
13. Asadullah Kazdemi (1236 H.);
14. Abu'ali Ha'eri, penulis buku Muntahâ Al-Maqôl (1159 – 1216 H.);
15. Sayid Abdullah Syir (1244 H.);
16. Syaikh Muhammad Taqi Isfahani Iwanegi, penulis buku Hasyiyah Al-Ma‘âlim (1248 H.);
17. Sayid Muhammad Mujahid, penulis buku Al-Manâhil (1242 H.);
18. Muhsin A'raji (1227 H.);
19. Mirza Muhammad Abdulshani' Nisyaburi Akhbari;
20. Syaikh Husain Najaf. [11]

Karya Ilmiah

Karya-karya ilmiah Sayid Bahrul Ulum yang pernah dinukil oleh para ulama –ada yang sudah dicetak dan ada yang belum-, antara lain adalah:

1. Al-Mashôbîh fî Al-Fiqh (3 jilid);
2. Al-Fawâ'id fî Al-Ushûl;
3. Misykâh Al-Hidâyah;
4. Al-Durroh Al-Najafiyah (buku tentang fikih);
5. Risâlah fî ‘Ashîr Al-Zabîbî;
6. Syarh Al-Wâfiyah (buku tentang ushul fikih);
7. Tuhfah Al-Kirôm (buku tentang sejarah Mekkah dan Baitullah Al-Haram);
8. Manâsik Al-Hajj;
9. Hâsyiyah atau komentar atas kitab Al-Syarô'i‘, bab Thaharah;
10. Hâsyiyah atau komentar atas kitab Al-Dzakhîroh karya Sabzawari;
11. Al-Durroh Al-Bahiyah fî Nazdm Ru'ûs Al-Masâ'il Al-Ushûliyah;
12. Kitâb Al-Rijâl, dikenal dengan nama Fawâ'id Al-Rijâliyah;
13. Diwon-e Sye‘r dan buku berbahas persi tentang Ketuhanan. [12]

Bakti Sosial

Meskipun dengan adanya kesibukan dan tanggung jawab Sayid Bahrul Ulum yang berat di ranah pendidikan dan keilmuan, akan tetapi kita dapat menyaksikan bakti sosial dia yang berharga sekali, antara lain adalah:

1. Menentukan letak makam dan posisi tempat Imam Mahdi af. secara spesifik di Masjid Sahlah, lalu membangun kubah di atas tempat tersebut;
2. Membangun menara berkamar kecil di halaman bagian selatan Haram Imam Ali as. dan mereparasi tembok yang memagari halaman itu, begitu pula kamar-kamar di sekitarnya yang mengalami kerusakan;
3. Memberi motivasi dan bimbingan untuk memperbaiki Masjid Syaikh Thusi di kota Najaf Asyraf;
4. Mendirikan perpustakaan kitab-kitab tulisan tangan, Maktabah Bahrul Ulum;
5. Menambah ketinggian posisi Masjid Kufah untuk memudahkan proses penyucian dan pembersihannya;
6. Menentukan letak Masjdi Ra'sul Husain secara spesifik di kota Najaf Asyraf;
7. Menentukan letak pemakaman Nabi Hud as. dan Nabi Shaleh as. secara spesifik di kota Najaf Asyraf;
8. Menambahkan luas tanah kawasan Haram suci dan membuat badan-badan perlengkapan yang dibutuhkan di sekitarnya. [13]

Puisi

Di bidang sastra dan puisi, Sayid Bahrul Ulum juga terhitung sebagai ahli dan luar biasa, banyak puisi-puisinya tentang fikih, ushul fikih dan ilmu rijal, antara lain menyusun nama-nama Ashabul Ijma' dalam bentuk puisi yang indah. Di sini, kami hanya akan menukil sebagian dari puisi dia berkenaan dengan Imam Husain as.:

Allôhu akbar mâdzâ al-hâdits al-jalal
Wa qod tazalzala sahlu al-ardhi wa al-jabal?!
Mâ hâdzihi al-zafarôt al-shô‘idâtu asâ
Ka'annahâ min lahîb al-qolb tasyta‘il
Mâ li al-‘uyûni minhâ al-dam‘u jâriyah
Minhâ takhuddu khudûdan wa hiya tanhamil
Ka'anna fafkhotu shûr al-hasyri qon faja'at
Fa al-nâsu sakro wa lâ sakra wa lâ tsamil [14]

Artinya:

Apa gerangan tragedi besar ini, begitu besarnya
sampai gunung dan sahara pun berguncang.
Apa gerangan rintihan-rintihan lantang ini!
Seolah-olah rintihan ini menjilat-jilat
–bagaikan api- karena hati yang terbakar.
Apa gerangan mata-mata melinangkan air
sampai mengaliri paras manusia.
Seolah-olah terompet Israfil telah ditiup
dan kiamat telah bangkit, orang-orang seperti mabuk
padahal mereka sadar dan tidak mabuk.

Lambang Keutamaan

Sayid Bahrul Ulum adalah sosok keutamaan dan takwa, teladan akhlak mulia para nabi yang sempurna. Guru besar akhlak dan kemanusiaan serta contoh konrktit budi pekerti itu adalah sosok istimewa yang digambarkan oleh muridnya yang ternama sebagai berikut:

Jama‘ta min al-akhlâqi kulla fadhîlatin
fa lâ fadhla illâ ‘an janâbika shôdiru [15]

Artinya:

Semua keutamaan dan akhlak mulia telah engkau
kumpulkan, sehingga tidak ada
satu keutamaan pun kecuali muncul darimu.

Dari sisi ketawadhu'an, dia berada di tingkatan yang tinggi sekali, dia menghormati orang lain lebih dari diri sendiri, bagi mereka dia adalah seorang ayah yang penuh kasih sayang. Gaya bicara dan jalannya, membuat orang lain terpana. Di tengah masyarakat ketika dia berjalan, mereka melihat seolah-olah malaikat yang sedang berjalan. Dia berbicara demi Tuhan dan senantiasa mengingat Tuhan.

Dalam pembinaan akhlak, dia menduduki posisi yang sangat tinggi sehingga banyak orang yang kesulitan untuk mengetahui kedudukannya tersebut.

Dia membagi waktu untuk kegiatan-kegiatannya secara disiplin. Ketika gelapnya malam telah menyelimuti, untuk beberapa waktu dia belajar dan melakukan penelitian serta mempersiapkan pelajaran atau diskusi, setelah itu dia pergi ke Masjid Kufah untuk bermunajat dengan Tuhan. [16]

Dia juga sangat peduli dengan urusan ibadah murid-muridnya, dia merasa sakit apabila ada muridnya yang lalai atau teledor dalam urusan itu. Pernah suatu hari dia meninggalkan rutinitasnya mengajar mereka, maka seseorang mewakili mereka untuk datang kepadanya menanyakan apa gerangan yang membuatnya meliburkan pelajaran? Sayid Bahrul Ulum menjawabnya bahwa, ‘di antara kalian aku tidak mendengar rintihan tengah malam untuk bermunajat kepada Allah, padahal hampir setiap malam aku berjalan di gang-gang kota Najaf. Tentu saja pelajar-pelajar seperti ini tidak layak untuk aku ajari sesuatu.’ Ketika mereka mendengar alasan dia tidak datang untuk mengajar hari itu, mereka pun terjaga dari kelalaian, dan sejak itu mereka kembali aktif bermunajat dengan Allah Swt. di jantung malam. Dan manakala sang guru melihat ada perubahan pada diri mereka, maka dia pun mulai mengajar lagi untuk mereka. [17]

Jerih payah Sayid Bahrul Ulum untuk melindungi lapisan masyarakat yang lemah dan miskin harus ditanyakan dari malam-malam yang gelap dan gang-gang kota Najaf yang sempit serta orang-orang yang lemah dan miskin itu sendiri. Setiap malam dia berjalan di gang-gang kota itu dengan membawa roti dan makanan untuk dibagikannya kepada mereka[18].

Rahasia Cinta

Untuk mengenal lebih jauh kebesaran dan kemuliaan Sayid Bahrul Ulum, kami akan membawakan beberapa contoh hubungan dan pertemuan dia dengan Imam Mahdi af.:

a. Pengendara unta

Salah satu murid dan sahabat Sayid Bahrul Ulum yang bernama Akhund Mulla Zainul Abidin Salmasi menceritakan, ‘Suatu hari ketika aku masih bersama Sayid Bahrul Ulum di sekitar Baitullahil Haram, kita kehabisan perbekalan dan sama sekali tidak punya apa-apa di dalam rumah. Kondisi ini kemudian aku ceritakan kepadanya. Dia tidak berkomentar apa-apa. Dia punya kebiasaan di pagi dini hari berthawaf mengitari Ka’bah, setelah itu pulang ke rumah dan langsung menuju kamar khususnya, kemudian aku datang ke sana dengan membawa Kalyan (sejenis perlengkapan untuk mengisap asap seperti rokok, tapi berpipa, berair, wangi dan lain-lain). Dia mengisapnya dan memberi keterangan kepada setiap kelompok yang datang sesuai dengan mazhab mereka masing-masing.

Hari itu, yaitu hari dimana aku menyampaikan kondisi rumah yang kosong dari perbekalan pokok, sebagaimana biasanya aku membawa Kalyan untuk dia, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, dan seketika itu pula wajah Sayid tampak gelisah dan tidak seperti biasanya, lalu dia berkata kepadaku, ‘ambillah kembali Kalyan ini dan bawalah dari sini.’ Dia langsung menuju pintu dan membukanya. Tampak sosok mulia dengan berbaju Arab masuk ke ruangan dan duduk di sana, Sayid pun duduk sopan di hadapannya. Mereka duduk bersama dan saling berbicara. Tapi tidak lama kemudian dia membuka pintu dan mencium tangan tamu yang mulia tersebut. Tamu yang berwibawa itu kemudian mengendarai unta yang didudukkan di depan rumah. Tamu itu pergi sedangkan Sayid Bahrul Ulum masih dengan wajah yang tidak seperti biasanya seraya memberiku selembar cek dan berkata, ‘Ini adalah cek untuk money changer di pasar Shafa. Pergilah ke sana dan ambillah sesuai dengan isi cek itu.’ Aku pun segera pergi ke orang yang dimaksud, ketika orang itu menerima cek tersebut, dia langsung melihat dan menciuminya seraya berkata, ‘Ambillah empat gerobak dan ajaklah empat kuli.’ Aku ambil empat gerobak bersama empat kuli sekiranya mereka kuat membawa uang zaman itu sampai ke rumah. Setelah itu, aku ingin kembali ke orang yang memberikan uang tersebut untuk mengetahui siapa dia dan siapa orang yang menuliskan cek itu. Ternyata waktu aku kembali ke sana, tidak ada orang itu bahkan tidak ada pula toko tempat aku mengambil uang tadi. Aku coba tanyakan orang-orang di sekitar sana tentang orang dan toko itu, mereka menjawab bahwa di sini sama sekali tidak ada toko money changer. [19]

b. Laksana Samudera

Mirza Qumi –penulis buku Qowânîn- menceritakan: aku dan Allamah Bahrul Ulum adalah teman diskusi tentang pelajaran Ustad Wahid Bahbahani. Lebih sering aku yang menerangkan pelajaran ustad untuk dia, sampai kemudian aku pulang ke Iran. Lambat laun, popularitas keilmuan Sayid Bahrul Ulum terdengar di mana-mana, sehingga membuatku heran. Sampai suatu saat, Allah memberiku taufik untuk ziarah ke Atabat Aliyat (kota-kota suci di Irak, seperti Karbala dan Najaf). Di sana aku bertemu dengan Sayid. Ketika itu ada persoalan yang terlontar, dan aku melihat Sayid laksana samudera ilmu yang berombak besar dan dalam. Aku bertanya kepadanya, ‘Sayid, kita dulu sama-sama belajar dan diskusi, tapi waktu itu aku tidak melihatmu sampai pada tingkatan ini, malah engkau sering mendapat keterangan dariku. Tapi sekarang, aku melihatmu laksana samudera? Dia menjawab, ‘Mirza, ini adalah bagian dari rahasia yang akan aku beritahukan kepadamu, tapi jangan pernah memberitahukannya kepada orang lain selama aku masih hidup.’ Aku pun berjanji untuk menyimpan rahasia itu selama dia masih hidup. Kemudian dia melanjutkan, ‘Bagaimana mungkin aku tidak jadi seperti ini ketika suatu malam Tuanku (Imam Mahdi af.) menempelkanku ke dadanya yang penuh berkah?!’ [20]

c. Tilawatul Qur’an

Mirza Husain Lahiji meriwayatkan sebuah cerita nyata dari Syaikh Zainul Abidin Salmasi seraya mengatakan: Suatu hari, Sayid Bahrul Ulum memasuki wilayah pemakaman suci Imam Ali bin Abi Thalib as., kemudian dia melantunkan puisi dengan suara lirih:

Ceh khusy ast shout-e Qur’on
Ze tu delrubo syenidan
Beh rakht nezdoreh kardan
Sukhan-e Khudo syenidan

Artinya:

Betapa indah suara Qur’an ini, siapa pun
yang mendengarnya darimu pasti tertawan,
bersimbah untuk memandangmu
dan mendengarkan firman-firman Tuhan.

Setelah itu, aku bertanya kepada Sayid Bahrul Ulum gerangan apa yang membuatnya melantunkan puisi-puisi itu, dia menjawab, ‘Waktu aku memasuki wilayah Haram Imam Ali as., aku menyaksikan Tuanku Imam Mahdi af. di atas sedang membaca Al-Qur’an dengan suara lantang, waktu aku mendengar suara tilawatul Qur’an beliau langsung aku melantunkan puisi-puisi itu.’ [21]

Wafat

Setelah sekian lama sakit dan tidak sanggup lagi aktif mengajar murid-muridnya, melainkan hanya bisa tinggal di rumah dengan kesibukan belajar dan menulis, akhirnya Sayid Bahrul Ulum meninggal dunia pada tanggal 24 Dzulhijjah (atau bulan Rajab) 1212 H. dan terbang ke alam yang lebih tinggi serta mulia.

Kepergian Sayid menaruh dampak yang dalam pada dunia Islam dan membuat orang-orang Syi’ah khususnya hanyut dalam kesedihan. Setelah dishalati, jenasah suci Sayid Bahrul Ulum diantar sejumlah besar masyarakat sampai ke sisi kuburan Syaikh Thusi di kota Najaf dan dimakamkan di sana.

Catatan:

1. Fawâ’id Al-Ridhowiyah, Syaikh Abbas Qumi, hal. 676; Mustadrok Al-Wasâ’il, Mirza Husain Nuri, jld. 3, hal. 383; Qishosh Al-‘Ulamâ’, Mirza Muhammad Tankabuni, hal. 168; A‘yân Al-Syî‘ah, Muhsin Amin Ameli, jld. 10, hal. 158.
2. Fawâ’id Al-Ridhowiyah, hal, 476; Qishosh Al-‘Ulamâ’, hal. 168; Akhtaron-e Tobnok, Dzabihullah Mahallati, jld. 1, hal. 412.
3. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 33; Fuqaho-ye Nomdor-e Syi‘eh, Aqiqi Bakhsyasyi, hal. 291.
4. Sayid Bahrul ‘Ulûm Daryo-ye bi Sohel, Nurudin Ali Lu, hal. 25 – 32.
5. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah.
6. Makârim Al-Âtsâr, jld. 1, hal. 417 – 421.
7. A‘yân Al-Syî‘ah, jld. 10, hal. 159.
8. Roudhôt Al-Jannât, Sayid Muhammad Baqir Khansari, jld. 7, hal. 204.
9. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 35.
10. Makârim Al-Âtsâr, jld. 1, hal. 417.
11. Mustadrok Al-Wasâ’il, jld. 3, hal. 385; A‘yân Al-Syî‘ah, jld. 6, hal. 225; jld. 7, hal. 167; Ma‘ârif Al-Rijâl, Muhammad Hirzudin, jld. 2, hal. 59; Syu‘arô Al-Ghurô, jld. 12, hal. 129 – 159; Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 67 – 70.
12. A‘yân Al-Syî‘ah, jld. 10, hal. 160; Syu‘arô Al-Ghurô, jld. 12, hal. 139.
13. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 95 – 96; Mâdhî Al-Najaf wa Hâdhiruhâ, jld. 1, hal. 96, 105 dan 246.
14. Akhtaron-e Tobnok, jld. 1, hal. 428.
15. Muqoddimah Fawâ’id Al-Rijâliyah, hal. 35.
16. Ibid., hal. 38.
17. Qishosh Al-‘Ulamâ’, hal. 173.
18. Ibid., hal. 171.
19. Muntahâ Al-Âmâl, Syaikh Abbas Qumi, jld. 2, hal. 547; Fawâ’id Al-Ridhowiyah, hal. 680.
20. Ganjineh-e Donesymandon, Muhammad Syarif Razi, jld. 8, hal. 371.
21. Fawâ’id Al-Ridhowiyah, hal. 682.

Sumber: www.sadeqin.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar