Seputar Sejarah dan Konsep Tafsir Ilmi
Sejatinya, tujuan utama
setiap usaha menafsirkan Al-Qur'an, sejak dahulu hingga kini, adalah
menjelaskan kehendak Allah swt dan operasionalisasi kehendak itu di bidang
akidah dan hukum-hukum syar'i yang dikandungnya, serta nilai-nilai etis dan
keadaban yang dibawa oleh Al-Qur'an untuk perbaikan dan pembersihan jiwa
manusia. Di era puncak keemasan peradaban Islam, ilmu-ilmu bahasa, filsafat dan
sains telah dikodifikasi. Begitu juga dengan mazhab-mazhab fikih dan aliran
kalam. Perkembangan yang sangat maju dirasakan juga di bidang penerjemahan
karya-karya klasik dari peradaban pra-Islam seperti Yunani, Persia, dan India.
Pada fase peradaban inilah, muncul pelbagai metode dan aliran tafsir Al-Qur'an.
Selain ditemukan corak-corak tafsir yang berorientasi seperti: fiqhi, kalami,
balaghi, dan isyari/shufi, bahkan falsafi, maka ditemukan pula metode tafsir
'ilmi yang berorientasi pada pemanfaatan hasil temuan di bidang sains untuk
membuktikan berbagai kebenaran fakta ilmiah yang pernah disebutkan oleh
Al-Qur'an. Tokoh-tokoh seperti Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H), Fakhr al-Din
al-Razi (w 606 H), Ibnu Abi al-Fadl al-Mursi (570-655 H) adalah representasi
pemikir muslim klasik yang menandakan gelombang pertama berupa isyarat
keharusan menafsirkan Al-Qur'an dengan bantuan penemuan sains di zamannya.
Tesis penafsiran sains juga diperkuat dalam literatur 'Ulum Al-Qur'an, terutama
dua karya "babon" yang fenomenal yaitu 'al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an'
yang disusun oleh Badr al-Din al-Zarkasyi (w 794 H) dan 'al-Itqan fi 'Ulum
al-Qur'an' yang ditulis oleh Jalal al-Din al-Suyuthi (w 911 H).
Maksud daripada sains di
sini adalah ilmu-ilmu pengetahuan tentang alam semesta seperti: ilmu teknik,
astronomi, matematika, biologi, kimia, ekonomi-sosial, flora-fauna, geologi dan
lain sebagainya. Ada beberapa definisi yang diberikan beberapa pakar tentang
tafsir ilmi/saintifik ini, diantaranya:
1) Definisi yang diajukan oleh Prof. Amin al-Khuli adalah: "Tafsir yang memaksakan istilah-istilah keilmuan kontemporer atas redaksi Al-Qur'an, dan berusaha menyimpulkan berbagai ilmu dan pandangan-pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur'an itu." (Manahij Tajdid: 287 dan al-Tafsir wa al-Mufassirun, III/140)
2) Definisi yang diajukan
oleh Dr. 'Abdul Majid 'Abdul Muhtasib adalah: "Tafsir yang
mensubordinasikan redaksi Al-Qur'an ke bawah teori dan istilah-istilah
sains-keilmuan dengan mengerahkan segala daya untuk menyimpulkan pelbagai
masalah keilmuan dan pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur'an itu."
(Ittijahat al-Tafsir fi al-'Ashr al-Hadits: 247)
Kedua definisi diatas
tampak mirip, dan dapat kita berikan catatan dalam dua hal yaitu: yang pertama,
kedua definisi tersebut mendiskreditkan model tafsir saintifik, sebab memberi
kesan bagi orang awam yang membaca definisi itu bahwa corak tafsir itu agar
dihindari karena dinilai telah "menundukkan redaksi Al-Qur'an" ke
dalam teori-teori sains yang kerap berubah-ubah. Lagi pula sosok Amin Khuli dan
Abdul Muhtasib ini dikenal berada di barisan ulama yang kontra dan tak merestui
corak tafsir ini. Kedua, definisi tersebut tak mampu menggambarkan konsep yang
sebenarnya diinginkan para pendukung tafsir ilmi. Para pendukungnya tak pernah
berkeinginan untuk memaksakan istilah-istilah keilmuan modern kepada redaksi
Al-Qur'an, atau menundukkan redaksi Al-Qur'an itu kepada teori-teori sains yang
selalu berubah. Apa yang dimaksudkan para ulama pendukung corak tafsir ini
adalah berupaya menjelaskan salah satu aspek kemukjizatan Al-Qur'an agar mudah
difahami oleh manusia modern, terlebih di saat rasa dan cita kebahasaan Arab
sudah sangat melemah, di kalangan orang Arab sekalipun. Apalagi kini, ilmu dan
sains telah menyerbu seluruh sendi kehidupan umat manusia.
Oleh sebab itu kiranya, definisi yang lebih tepat untuk corak tafsir ilmi dan sesuai dengan realitas di lapangan adalah: "Tafsir yang berbicara tentang istilah-istilah sains yang terdapat dalam Al-Qur'an dan berusaha sungguh-sungguh untuk menyimpulkan pelbagai ilmu dan pandangan filosofis dari istilah-istilah Al-Qur'an itu." (al-Ta'bir al-Fanni fi al-Qur'an: 125). Atau definisi lain yang boleh kita kemukakan di sini adalah: "Tafsir yang diupayakan oleh penafsirnya untuk: 1) Memahami redaksi-redaksi Al-Qur'an dalam sinaran kepastian yang dihasilkan oleh sains modern, dan 2) Menyingkap rahasia kemukjizatannya dari sisi bahwa Al-Qur'an telah memuat informasi-informasi sains yang amat dalam dan belum dikenal oleh manusia pada masa turunnya Al-Qur'an, sehingga ini menunjukkan bukti lain akan kebenaran fakta bahwa Al-Qur'an itu bukan karangan manusia, namun ia bersumber dari Allah swt, pencipta dan pemilik alam semesta ini."
Urgensitas Tafsir Saintifik Al-Qur'an untuk Dakwah
Tak diragukan lagi bahwa
Allah swt telah menjabarkan petunjuk-Nya, pelbagai ilmu pengetahuan, dan
hakikat-hakikat tentang alam semesta di dalam Al-Qur'an yang akan menjamin
kemaslahatan ummat manusia dan mampu mensejahterakan mereka jika mau konsisten
untuk menjalankan ajaran-Nya. Setiap generasi yang datang silih berganti tentu
saja berusaha mengambil format petunjuk Allah untuk kehidupan ini apa saja yang
cocok dan sesuai dengan masanya, dan tingkat pencapaian ilmu pengetahuan.
Petunjuk Al-Qur'an pasti berlaku universal dan komprehensif untuk semua manusia di setiap zaman dan tempat. Oleh sebab itu, penjelasan format petunjuk ilahi dengan metode yang menarik hati dan memotivasi nalar manusia untuk merenungi kebenarannya, serta usaha mendekatkan prinsip-prinsip ajaran Islam kepada jiwa manusia dan terbebas dari kontaminasi superstisi dan legenda, tentu adalah media yang efektif untuk menyampaikan risalah Islam. (Al-Qur'an: Hidayatuh wa I'jazuh: 152-153) Al-Qur'an mengandung prinsip keimanan yang ditegakkan oleh argumentasi tanda-tanda kebesaran Allah yang kawniah baik dalam diri manusia maupun alam semesta. Inilah intisari hidayah Al-Qur'an yang dengannya dan untuknya Al-Qur'an itu diturunkan oleh Allah swt. Di dalam Al-Qur'an tak kurang terdapat 800 ayat-ayat kawniah dalam hitungan Muhammad Ahmad al-Ghamrawi dan menurut Prof. Zaghlul al-Najjar ada 1000 ayat yang tegas (shorih) dan ratusan lainnya yang tidak langsung terkait dengan fenomena alam semesta.
Tafsir ilmiah atas ratusan ayat-ayat Al-Qur'an itu dengan bantuan ilmu pengetahuan dan sains modern yang disikapi berbeda-beda oleh para pakar Al-Qur'an. Penyikapan yang berbeda atas upaya ini terutama sekali setelah iptek dan filsafat peradaban lain telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan gerakan kodifikasi ilmu pengetahuan mengalami puncaknya. Pertanyaan seputar hal ini berkisar pada satu masalah yaitu: apakah teks Al-Qur'an mengandung seluruh ilmu pengetahuan seperti filsafat, ilmu terapan, sosiologi, etika religi, ataukah Al-Qur'an itu hanya sebagai kitab petunjuk dan pedoman bagi umat, adapun jika ada isyarat ilmiah yang dikandungnya tak lain adalah untuk direnungi, dipelajari dengan ilmu yang baik dan pembuktian yang jujur? Para pakar Al-Qur'an berbeda pandangan menyikapi pertanyaan mendasar tadi. Kelompok pertama, percaya dan berusaha menafsirkan istilah keilmuan dalam Al-Qur'an berikut redaksinya sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan kontemporer. Kelompok kedua, menolak kecenderungan pertama dengan membedakan secara tegas mana yang menjadi hakikat keagamaan yang menjadi inti Al-Qur'an dan mana yang merupakan konklusi ilmiah dan sebatas produk inovasi dan penelaahan akal manusia yang terbatas. (Ittijahat al-Tafsir fi Mishr fi al-'Ashr al-Hadits: 371)
Banyak ayat Al-Qur'an yang berisikan isyarat ilmiah. Dengan penafsiran ayat-ayat tersebut secara saintifik akan memudahkan penyebaran dakwah di abad modern. Dengan tafsir ilmiah ini kita akan terjaga dari kesalahan penyebutan informasi tentang beberapa fenomena alam dalam Al-Qur'an. Beberapa kitab tafsir bil ma'tsur misalnya menyatakan bahwa 'Ra'd' adalah nama malaikat yang menggiring awan, suara yang dikeluarkan ra'd adalah suara tasbihnya, sementara 'Baraq' adalah dampak dari cemeti yang dipakai ra'd untuk menggiring awan. Bumi adalah dataran yang berada di atas punggung 'Hut' (ikan paus). Dan banyak contoh tafsir-tafsir yang usang dan ketinggalan zaman, karena semata mengandalkan periwayatan dan tidak mengaitkannya dengan fakta ilmiah modern. Tentu saja ketika seorang da'i di masyarakat negara maju ditanya tentang hal semacam ini lalu memberikan jawaban sesuai penafsiran ulama klasik maka akan menjadi bahan tertawaan dan cemoohan serta merugikan citra Islam yang berwatak ilmiah dan progresif.
Kontribusi Prof. Zaghlul al-Najjar di Bidang Tafsir
Saintifik Al-Qur'an
Prof. Dr. Zaghlul
al-Najjar yang bernama lengkap Zaghlul Raghib Muhammad an-Najjar adalah seorang
pakar geologi asal Mesir yang lahir pada tanggal 17 November 1933 di salah satu
desa di Provinsi al-Gharbiyyah (Thanta). Beliau lahir dari keluarga muslim yang
taat. Kakeknya adalah seorang imam tetap di masjid kampungnya. Ayahnya adalah
seorang penghafal Al-Qur'an. Ia sendiri telah mengkhatamkan hafalan
Al-Qur'annya sebelum genap berusia 9 tahun. Pada usia 9 tahun bersama ayahnya,
Zaghlul cilik hijrah ke Kairo dan masuk sekolah dasar. Ia belajar di Fakultas
Sains Jurusan Geologi, Cairo University dan lulus pada tahun 1955 dengan
yudicium 'Summa Cum Laude'. Sebagai lulusan terbaik ia diberikan "Baraka
Award" untuk kategori bidang geologi. Ia kemudian meraih gelar Ph.D bidang
geologi dari Walles University of England pada tahun 1963. Di tahun 1972 ia
dikukuhkan sebagai guru besar, professor geologi. Karir akademiknya tak
berhenti di situ, pada tahun 2000-2001 ia dipilih sebagai Rektor Markfield
Institute of Higher Education England dan sejak tahun 2001 menjadi Ketua Komisi
Kemukjizatan Sains Al-Qur'an dan al-Sunnah di "Supreme Council of Islamic
Affairs" Mesir.
Prof. Zaghlul berkeyakinan penuh bahwa Al-Qur'an adalah kitab mukjizat dari aspek bahasa dan sastranya, akidah-ibadah-akhlaq (tasyri'), informasi kesejarahannya, dan tak kalah pentingnya adalah dari sudut aspek isyarat ilmiahnya. (Qadliyyat al-I'jaz al-'Ilmiy li al-Qur'an al-Karim wa Dlawabith al-Ta'amul Ma'aha: 41). Dimensi kemukjizatan yang disebut terakhir ini maksudnya adalah keunggulan kitab ini yang memberikan informasi yang menakjubkan dan akurat tentang hakikat alam semesta dan fenomenanya yang mana ilmu terapan belum sampai ke hakikat itu kecuali setelah berabad-abad turunnya Al-Qur'an. Sehingga tidak mungkin bagi orang yang berakal menetapkan sumber hakikat ilmiah itu selain dari pada Allah swt. Hal ini adalah bukti penguat bagi ahli ilmu pengetahuan di zaman ini bahwa Al-Qur'an itu benar-benar firman Allah yang telah menurunkannya kepada Rasul terakhir atas dasar ilmu-Nya dan berfungsi untuk membenarkan Nabi Muhammad saw. (Ibid.: 42)
Al-Qur'an yang menantang ummat manusia sejak pertama kali diturunkan itu harus berpijak pada dasar yang kokoh, oleh sebab itu menurut Prof. Zaghlul, kita hanya diperkenankan untuk membuktikan kemukjizatan ilmiah Al-Qur'an dengan memanfaatkan fakta dan hukum sains yang tetap saja tak berubah lagi, meski dimungkinkan adanya penambahan dan penguatan hakikat itu di masa mendatang. (Ibid.: 45) Ketentuan ini berlaku umum bagi ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Al-Qur'an, dengan pengecualian ayat-ayat penciptaan; baik terkait alam semesta, kehidupan, dan manusia. Karena dalam pandangan Prof. Zaghlul, proses "penciptaan" (Creation) adalah bersifat gaib dan absolut karena tak ada seorang manusia pun yang menyaksikan kejadian besar itu, dan karenanya, tak dapat tunduk kepada penglihatan dan indera manusia. Allah swt berfirman: Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan tidaklah Aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong. (al-Kahfi: 51). Meski demikian, Al-Qur'an tetap menyuruh umat manusia untuk merenungi proses penciptaan –yang tak pernah disaksikan oleh manusia- dalam banyak ayat, diantaranya:
• Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (al-'Ankabut: 19-20)
• Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka
peliharalah kami dari siksa neraka. (Ali Imran: 190-191) Prof. Zaghlul menilai dalam rangka mengkompromikan konteks dan tujuan ayat-ayat
di atas, penciptaan langit dan bumi, kehidupan, juga manusia yang memang
terjadi di luar kesadaran manusia yang mutlak. Namun Allah swt menyisakan
beberapa bukti di lempengan bumi dan lapisan langit yang dapat membantu manusia
untuk menyatakan asumsi proses penciptaan. Akan tetapi asumsi yang bisa diraih
ilmuan di bidang ini baru sebatas hipotesa dan teori belaka, dan belum sampai
pada tingkatan hakikat/fakta keilmuan. Prof. Zaghlul menilai bahwa ilmu terapan
di bidang hakikat penciptaan tak dapat melampaui teorisasi belaka. Varian teori
penciptaan ini pun tergantung asumsi dan keyakinan para pencetusnya. Kesimpulan
ilmuan yang beriman akan berbeda dengan ilmuan atheis atau yang netral agama.
(Ibid.: 46)
Pada posisi inilah, bagi
ilmuwan muslim tersedia cahaya Allah swt yang terdapat dalam ayat Al-Qur'an
atau hadis Nabi. Cahaya yang diberikan "gratis" oleh Allah dan
Rasul-Nya itu dapat membantu ilmuwan muslim untuk mengangkat salah satu teori
dan asumsi sains ke tingkat hakikat ilmiah, bukan karena ilmu terapan itu yang
menetapkannya, akan tetapi lebih karena terdapat isyarat hakikat ilmiah itu
dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Artinya kita telah memenangkan ilmu
dengan informasi Al-Qur'an atau Sunnah dan bukan sebaliknya, memenangkan
Al-Qur'an dengan bantuan ilmu. Di sinilah letak keunikan dan keistimewaan teori
i'jaz yang diajukan Prof. Zaghlul.
Dengan kepiawaiannya di
bidang tafsir Al-Qur'an berbasis sains, ia rutin menulis artikel tetap di
rubrik "Min Asrar al-Qur'an", (Rahasia Kemukjizatan Al-Qur'an) setiap
hari senin di Harian Al-Ahram Mesir yang bertiras 3 juta eksemplar setiap harinya.
Hingga kini telah dimuat lebih dari 250 artikel tentang kemukjizatan sains
dalam Al-Qur'an.
Demikian sekilas urgensi penafsiran saintifik Al-Qur'an terhadap isyarat-isyarat ilmiah yang terkandung di dalam wahyu Allah swt yang final dan absolut itu. Kajian yang lebih komprehensif tentang hal ini dan kontribusi para ilmuan dan pakar dari berbagai bidang keilmuan amat diperlukan untuk mendakwahkan kebenaran Al-Qur'an. Model tafsir saintifik ini sangat baik untuk dijadikan mata kuliah, tak hanya di jurusan tafsir, namun juga di jurusan dakwah dan falsafah. Tegaknya sebuah "Ilmu Kalam Baru" yang berorientasi positif terhadap kandungan Al-Qur'an sangat dinantikan, karena kita sudah jengah dengan perdebatan-perdebatan ilmu kalam klasik yang kontra produktif bagi perkembangan dakwah Islamiah di zaman modern ini. Wallahu A'lam. (Fahmi Salim MA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar