Apabila saya telah
memerintahkan pembunuhannya maka saya adalah pembunuhnya, tetapi apabila saya
telah mencegah orang lain membunuhnya maka saya adalah penolongnya.
Kedudukannya sedemikian rupa sehingga sekarang orang yang menolongnya tak dapat
mengatakan bahwa ia lebih baik daripada orang yang meninggalkannya. Saya akan
mengajukan ke hadapan Anda perkaranya. Ia memperkaya diri dan
menyalahgunakannya. Anda memprotes atasnya dan berbuat melampaui batas di
dalamnya. Pada Allah terletak keputusan yang sesungguhnya antara si pengambil
hak orang dan si pemrotes.
Syarah:
[1] ‘Utsman
adalah Khalifah Bani Umayyah yang pertama; ia menduduki kekhalifahan pada 1 Muharam
24 H. dalam usia tujuh puluh tahun. Setelah berkuasa penuh atas urusan kaum
Muslim selama dua belas tahun, ia tewas di tangan mereka pada 18 Zulhijah 35 H.
dan dimakamkan di Hasysy Kaukab.
Suatu kenyataan yang tak
tersangkal, pembunuhan ‘Utsman adalah akibat kelemahannya dan perbuatan keji
para pejabatnya. Bila tidak demikian maka tak ada alasan bahwa kaum Muslim akan
sepakat membunuhnya, sementara beberapa orang dari keluarganya mendukung dan
membelanya. Kaum Muslim tentulah menenggang rasa terhadap usianya, kedudukannya
yang senior, harkat dan keistimewaannya sebagai sahabat Nabi, tetapi cara dan
perbuatannya begitu merusak suasana sehingga nampaknya tak ada orang bersedia
untuk menaruh simpati dan memihak kepadanya. Penindasan dan kesewenang-wenangan
yang dilakukan terhadap para sahabat Nabi tingkat tinggi telah menimbulkan
suatu gelombang kepedihan dan keberangan di kalangan suku-suku Arab.
Masing-masingnya berang dan melihat kesombongan dan perbuatan buruk mereka
dengan mata menghina. Penghinaan terhadap Abu Dzarr menyinggung kehormatan dan
menyingkirkan Bani Ghifar serta suku-suku yang berkaitan dengannya. Pemukulan
tak manusiawi terhadap ‘Abdullah Ibn Mas’ud menyebabkan Bani Hudzail dan
sekutu-sekutunya tersinggung. Pematahan rusuk ‘Ammar Ibn Yasir, menjauhkan Bani
Makhzum, dan sekaitan dengannya juga suku Bani Zuhrah menaruh kebencian. Karena
persekongkolan untuk membunuh Muhammad Ibn Abu Bakar, timbul kebencian besar
Bani Taim.
Kaum Muslim di kota-kota
lain juga sudah melimpah dengan keluhan karena perbuatan para pejabat yang
karena mabuk harta dan pengaruh kemewahan melakukan apa saja dan menghancurkan
siapa saja yang mereka kehendaki. Mereka tak takut akan hukuman dari pusat,
juga tak cemas akan pengusutan. Rakyat sedang bingung untuk melepaskan diri
dari cengkeraman penindasan, tetapi tak seorang pun yang mau memperhatikan
jerit kesakitan dan keresahannya. Rasa benci sedang meningkat tinggi, tetapi
tak ada perhatian untuk meredakannya.
Para sahabat Nabi pun
telah muak atasnya. Mereka melihat bahwa kedamaian telah hancur, pemerintahan
jungkir balik dan wajah Islam sedang diubah. Kaum miskin dan kelaparan
merindukan remah-remah roti kering sementara Bam Umayyah bergelimang dalam
kemewahan. Khalifah telah dijadikan alat untuk membuncitkan perut dan sarana
untuk menumpuk harta. Akibatnya, mereka pun tidak tinggal diam dalam menyiapkan
lahan untuk membunuhnya. Malah, justru karena surat-surat dan pesan mereka maka
rakyat Kufah, Bashrah dan Mesir berkumpul di Madinah. Memperhatikan kelakuan rakyat
Madinah. ‘Utsman menulis surat kapada Mu’awiah,
“Amma ba ‘du, pastilah
rakyat Madinah telah menjadi murtad, telah mengubah keimanan menjadi
pembangkangan dan memutuskan baiat. Maka kirimkanlah kepada saya para prajurit
Suriah dengan kuda-kuda yang cepat dan kuat.”
Kebijakan yang ditempuh
Mu’awiah ketika menerima surat ini pun memberikan sorotan tentang keadaan para
sahabat Nabi. Sejarawan Thabari menulis tentang ini:
“Ketika surat ini sampai
ke Mu’awiah, ia merenungkannya dan menganggap buruk apabila ia secara terburu
menentang para sahabat Nabi, karena ia mengetahui akan kesepakatan pendapat
mereka.”
Melihat keadaan ini maka
menganggap pembunuhan ‘Utsman sebagai akibat kebangkitan sesaat atau perasaan
sementara dan memandangnya sebagai suatu pembangkangan samalah artinya dengan
menutupi kenyataan, karena semua faktor oposisi terhadapnya terdapat di Madinah
itu sendiri, sedang orang-orang yang datang dari luar telah berkumpul untuk
mengusahakan pemulihan kesusahan mereka atas penggilan orang Madinah ini.
Tujuan mereka hanya sekadar perbaikan keadaan, bukan pembunuhan atau
pertumpahan darah. Apabila keluhan-keluhan mereka telah didengar maka tak akan
terjadi peristiwa berdarah itu.
Yang terjadi ialah sebagai
berikut. Rakyat Mesir yang telah muak dengan penindasan dan kesewenang-wenangan
‘Abdullah ibn Sa’id ibn Abi Sarh, saudara angkat ‘Utsman, pergi ke Madinah dan
berkemah di lembah Dzakhusyub dekat kota. Mereka mengutus seorang lelaki
membawa surat yang meminta kepada ‘Utsman supaya kelaliman dihentikan,
cara-cara yang ada supaya diubah, dan supaya ia bertaubat untuk masa depannya.
Tetapi, ketimbang memberikan jawaban, ‘Utsman menyuruh orang ini pergi dari
rumahnya, dan tidak merasa perlu memperhatikan tuntutan-tuntutan mereka.
Atasnya, orang-orang dari Mesir itu masuk ke kota dan mengangkat suara terhadap
kesombongan dan sikap keras kepala itu, seraya mengeluh kepada penduduk tentang
perilaku itu, di samping kelebihan-kelebihan lain. Sementara itu, dari Kufah
dain Bashrah banyak orang telah tiba pula dengan membawa keluhan-keluhan
mereka. Setelah bergabung, mereka maju dengan dukungan penduduk Madinah lalu
mengurung ‘Utsman dalam rumahnya, walaupun ia tidak terhalang untuk pergi
pulang ke mesjid. Tetapi, dalam khotbahnya pada hari Jum’at pertama setelah
peristiwa itu, ia mencela keras orang-orang ini dan bahkan mengutuk mereka.
Rakyat itu menjadi marah sampai melemparinya dengan kerikil, yang menyebabkan
ia kehilangan kontrol sampai jatuh dari mimbar. Setelah beberapa hari, masuk
keluarnya ke mesjid pun dicegah. Ketika ‘Utsman melihat keadaan memburuk sejauh
itu, ia meminta dengan sangat kepada Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib As
untuk mencari jalan menyelamatkannya dan membubarkan rakyat menurut cara
bagaimanapun yang dapat diusahakannya. Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib As
mengatakan, “Dengan ketentuan-ketentuan apa dapat saya meminta mereka pergi
bilamana tuntutan-tuntutan mereka benar?” ‘Utsman mengatakan, “Anda saya beri
hak dalam hal ini. Ketentuan-ketentuan apa pun yang Anda selesaikan dengan
mereka, saya akan terikat kepadanya.” Maka Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib
As pun menemui orang-orang Mesir lalu berbicara dengan mereka. Mereka setuju
untuk kembali ke Mesir dengan syarat bahwa kelaliman harus dihapus, Muhammad
ibn Abu Bakar dijadikan Gubernur Mesir, dan Ibn Abi Sarh dipindahkan dari sana.
Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib As kembali dan menyampaikan tuntutan mereka
kepada ‘Utsman, yang menerimanya tanpa ragu-ragu seraya mengatakan bahwa untuk
mengatasi ekses-ekses itu diperlukan waktu. Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib
As menunjukkan bahwa untuk hal-hal yang mengenai Madinah tak perlu
penundaan. Namun, untuk tempat-tempat lain dapat diberikan waktu selama pesan
Khalifah dapat sampai ke sana. ‘Utsman mengatakan bahwa untuk Madinah pun
diperlukan waktu tiga hari. Setelah pembicaraan dengan orang-orang Mesir,
Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib As pun menyetujuinya pula dan menganggapnya
sebagai tanggungjawabnya. Mereka pun bubar atas sarannya. Sebagian dari mereka
ke Mesir bersama Muhammad ibn Abu Bakar, sebagian lagi ke lembah Dzakhusyub dan
menginap di sana, dan seluruh persoalan berakhir.
Pada keesokan harinya
Marwan ibn Hakam berkata kepada ‘Utsman, “Keadaan baik, orang-orang itu telah
pergi, tetapi untuk menghentikan orang-orang datang dari kota-kota lain, Anda
harus mengeluarkan suatu pernyataan supaya mereka tidak datang secara begini
dan tinggal dengan tenteram di tempat mereka, dan pernyataan bahwa beberapa
orang yang berkumpul di Madinah ada mendengar pembicaraan tak bertanggung
jawab, tetapi ketika mereka mengetahui bahwa segala yang mereka dengar itu
tidak benar, maka mereka telah merasa puas lalu kembali.” ‘Utsman tidak hendak
mengatakan kebohongan yang terang-terangan itu, tetapi Marwan merayunya hingga
ia menyetujuinya, dan di Mesjid Nabi, ia berkata,
“Orang-orang Mesir itu
telah mendengar beberapa kabar tentang khalifah, dan ketika sadar bahwa semua
itu tak beralasan dan salah, mereka kembali ke kota-kota mereka.”
Baru saja ia mengatakan
ini timbul keributan di Mesjid, dan orang-orang mulai berteriak kepada ‘Utsman,
“Bertaubatlah, takutlah kepada Allah. Kebohongan apa yang Anda katakan itu?”
‘Utsman bingung dalam keributan itu dan terpaksa bertaubat. Ia berpaling ke
kiblat, menyatakan penyesalan di hadapan Allah, lalu kembali ke rumahnya.
Rupanya, setelah peristiwa
inilah Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib As menasihati ‘Utsman, “Anda
seharusnya secara terbuka menyatakan taubat atas perbuatan Anda yang
sudah-sudah supaya kebangkitan ini mereda untuk selamanya. Bila tidak, jika
besok datang orang-orang dari tempat lain maka Anda akan merangkul leher saya
lagi untuk menyelamatkan diri dari mereka.” Akibatnya, ia mengucapkan pidato di
Mesjid Nabi di mana, sambil mengakui kesalahan-kesalahannya, ia menyatakan taubat
dan bersumpah akan selalu berhati-hati di waktu-waktu yang akan datang. Ia
mengatakan kepada rakyat bahwa setelah ia turun dari mimbar, wakil-wakil mereka
supaya menemuinya; ia akan menyingkirkan kesusahan serta memenuhi tuntutan
mereka. Untuk itu rakyat serentak menyambut perbuatannya itu dan mencuci bersih
parasaan jengkel mereka dengan banyak air mata.
Ketika ia tiba di rumah,
Marwan meminta izin untuk mengatakan sesuatu kepadanya, tetapi istrinya,
Na’ilah binti Farafishah, menghalangi. Menghadapi Marwan, ia berkata, “Demi
Allah, diamlah engkau. Engkau hanya akan mengatakan sesuatu yang akan
menyebabkan kematiannya. Marwan tersinggung lalu menjawab, “Anda tak berhak
dalam urusan ini. Anda putri dari si lelaki yang hingga matinya tak tahu
bagaimana cara berwudhu.” Na’ilah menjawab dengan berang, “Engkau salah, engkau
menuduh secara palsu. Sebelum mengatakan sesuatu tentang ayah saya seharusnya
engkau melirik dulu ke wajah ayahmu. Kalau tidak menenggang rasa pada orang tua
itu, saya akan mengatakan hal-hal yang akan membuat orang gemetar tetapi akan
mengukuhkan setiap kata-kata saya.”
Ketika ‘Utsman melihat
bahwa percakapan ini akan memanjang, ia menghentikan mereka dan meminta Marwan
mengatakan kepadanya apa yang dikehendakinya. Marwan mengatakan, “Apa gerangan
yang telah Anda katakan di Mesjid, dan taubat apa yang Anda sampaikan? Menurut
pendapat saya, bertahan pada dosa adalah seribu kali lebih baik daripada
pernyataan taubat itu, karena betapa besar pun dosa yang berlipat ganda, selalu
ada kesempatan untuk bertaubat, tetapi taubat karena paksaan bukanlah taubat.
Anda telah mengatakan apa yang Anda katakan, tetapi sekarang lihatlah
akibat-akibat pengumuman terbuka ini; gerombolan orang sekarang ada di pintu
rumah Anda. Nah, majulah dan penuhilah tuntutan mereka.” ‘Utsman lalu
mengatakan, “Saya telah mengatakan apa yang telah saya katakan, sekarang engkau
urusilah orang-orang itu. Saya tak mampu mengurusi mereka.” Setelah mendapatkan
persetujuan tersirat itu, Marwan keluar dan mengatakan kepada orang-orang itu,
“Mengapa kamu berkumpul di sini? Apakah kamu bermaksud akan menyerang atau
untuk mengacau? Ingatlah, tidak mudah bagi kamu merebut kekuasaan dari tangan
kami. Keluarkan gagasan dari hatimu bahwa kamu akan menundukkan kami. Kami tak
dapat ditundukkan oleh siapa pun. Bawalah pergi wajah-wajah hitam kamu dari
sini. Semoga Allah menggaibkan dan menghina kamu.”
Ketika rakyat melihat
perubahan wajah dan gambaran yang lain ini, mereka bangkit dengan penuh
kemarahan dan keberangan lalu pergi langsung kepada Amirul Mukminin Ali Bin Abi
Thalib As dan menyampaikan semua peristiwa ini. Ketika mendengar ini, Amirul
Mukminin Ali Bin Abi Thalib As marah dan langsung pergi kepada ‘Utsman seraya
berkata kepadanya, “Subhdnallah. Betapa buruknya perilaku Anda terhadap kaum
Muslim. Anda telah meninggalkan keimanan demi seorang lelaki yang tak beriman
dan tak berakhlak, dan Anda telah kehilangan semua pikiran sehat.
Setidak-tidaknya Anda harus menghormati dan memandang janji Anda sendiri. Apa
sebabnya maka dengan dukungan Marwan Anda telah menyisih dengan mata tertutup.
Ingatlah, ia akan melemparkan Anda ke sumur yang begitu gelap sehingga tak
mungkin lagi Anda keluar daii situ. Anda telah menjadi hewan pemikul beban
Marwan sehingga ia dapat menunggangi Anda sesuka hatinya. Di waktu-waktu yang
akan datang saya tidak lagi akan mencampuri urusan Anda, tidak pula saya akan
mengatakan apa-apa kepada rakyat.”
Setelah mengatakan semua
itu, Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib As kembali, dan Na’ilah mendapatkan
kesempatan lalu berkata kepada ‘Utsman, “Tidakkah saya katakan kepada Anda
untuk melepaskan diri dari Marwan; bila tak demikian maka ia akan menodai Anda,
yang tak akan terhilangkan walaupun dengan segala usaha. Nah, apakah gunanya
mendengarkan segala kata-kata orang yang sama sekali tidak disukai rakyat dan
hina di mata mereka? Usahakan supaya ‘Ali menyetujui; ingatlah bahwa memulihkan
urusan yang kacau adalah di luar kemampuan Anda maupun Marwan.” ‘Utsman
terkesan dengan kata-kata ini, lalu mengirm orang memanggil Amirul Mukminin Ali
Bin Abi Thalib As, tetapi ia menolak. Tidak ada kepungan di sekitar ‘Utsman,
tetapi ia bingung karena malu. Dengan muka mana ia akan keluar dari rumah?
Tetapi, tak ada jalan selain keluar. Karenanya ia keluar diam-diam dalam gelap
malam dan setiba di tempat Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib As ia mengeluh
tentang tidak berdayanya dia, mengajukan alasan-alasan dan berusaha meyakinkan
bahwa ia akan menepati janji, tetapi Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib As
berkata, “Anda berjanji di Mesjid Nabi di hadapan semua orang, tetapi janji itu
dipenuhi seperti itu; ketika rakyat pergi kepada Anda, mereka ditolak, bahkan
hinaan dilemparkan kepada tnereka. Bila begini keadaan Anda yang telah dilihat
dunia, maka bagaimana dan atas dasar apa saya dapat mempercayai suatu perkataan
Anda kelak? Jangan mengharapkan sesuatu dari saya sekarang. Saya tidak bersedia
menerima tanggung jawab atas nama Anda. Ambillah jalan mana pun yang Anda kehendaki,
dan tempuhlah jalan mana saja yang Anda pilih.” Setelah pembicaraan ini,
‘Utsman kembali dan mulai menyalahkan Amirul Mukminin atas semua kekacauan yang
menimpa dirinya dan bahwa ia tidak melakukan apa-apa walaupun ia mampu
melakukan segalanya.
Di sisi ini hasil
pertaubatannya sama sebagaimana dahulunya. Sekarang marilah kita lihat sisi
lainnya. Setelah melewati Hijaz, di suatu tempat bernama Ailah di pantai Laut
Merah, Muhammad ibn Abu Bakar dan rombongan melihat seorang penunggang unta
yang berusaha melarikan untanya secepat mungkin seakan-akan dikejar musuh. Ia
mengatakan bahwa ia budak ‘Utsman. Ketika ditanya ke mana ia hendak pergi, ia
menjawab hendak ke Mesir. Ditanya tentang kepada siapa ia akan pergi, ia
menjawab, kepada Gubernur. Orang-orang itu mcngatakan bahwa Gubernur Mesir ada
bersama mereka. Maka, kepada siapa ia akan pergi? Ia mengatakan akan pergi
kepada Ibn Abi Sarh. Ketika ditanya apakah ia membawa surat, ia menyangkalnya.
Mereka menanyakan untuk maksud apa ia akan ke sana. Ia menjawab tak tahu. Salah
seorang mengatakan bahwa pakaiannya harus diperiksa. Ketika diperiksa, tak
ditemukan apa-apa. Kinanah ibn Bisyr at-Tujibt mengatakan, “Periksalah kantong
airnya.” Orang berkata, “Biarkan dia, betapa mungkin ada surat dalam air.”
Kinanah mengatakan, “Anda tak tahu betapa liciknya permainan orang-orang itu.”
Akhirnya, kantong airnya dibuka dan diperiksa. Di dalamnya terdapat suatu pipa
dari timah, dan di dalam pipa itu terdapat sepucuk surat. Ketika dibuka dan
dibaca, di dalamnya tertera perintah Khalifah, “Bilamana Muhammad ibn Abu Bakar
dan rombongannya sampai kepada Anda, maka dari antara mereka bunuhlah si anu
dan si anu, tahanlah si anu dan si anu, dan masukkan si anu dan si anu ke dalam
penjara, tetapi hendaklah Anda tetap pada jabatan Anda.” Ketika membaca ini,
semuanya tercengang dan saling memandang dalam kebingungan.
Sekarang, meneruskan
perjalanan ke Mesir sama artinya dengan maju ke mulut maut. Karena itu mereka
kembali ke Madinah dengan membawa serta budak itu. Setiba di sana, mereka
meletakkan surat itu di hadapan para sahabat Nabi. Siapa saja yang mendengar
peristiwa itu tercengang, dan tiada seorang pun yang tidak mencerca ‘Utsman.
Kemudian beberapa sahabat Nabi pergi kepada ‘Utsman bersama orang-orang ini dan
menanyakan meterai siapa yang tertera pada surat itu. ‘Utsman menjawab bahwa
itu meterainya sendiri. Mereka menanyakan tulisan siapa itu. Ia mengatakan itu
tulisan sekretarisnya. Mereka menanyakan budak siapa itu. Ia menjawab bahwa itu
budaknya. Mereka menanyakan hewan siapa yang ditungganginya. Ia menjawab bahwa
itu milik pemerintah. Mereka menanyakan siapa yang mengirimnya. Ia menjawab tak
tahu. Orang-orang itu lalu mengatakan, “Subhanallah. Semuanya kepunyaan Anda
tetapi Anda tak tahu siapa yang mengirimkannya. Apabila Anda begitu tak
berdaya, Anda tinggalkanlah kekhalifahan ini dan menyingkirlah darinya, supaya
datang orang lain yang dapat mengatur urusan kaum Muslim.” Ia menjawab “Tak
mungkin saya menanggalkan baju kekhalifahan yang telah dipakaikan Allah kepada
saya. Tentu saja saya akan bertaubat.” Orang-orang berkata, “Mengapa Anda
bicara tentang bertaubat yang telah diingkari pada hari ketika Marwan mewakili
Anda di pintu rumah Anda, dan segala yang kurang telah dilengkapi oleh surat
ini. Tinggalkanlah kekhalifahan! Apabila saudara-saudara karni mengahalangi
jalan kami, kami akan menggeserkannya; apabila mereka bersedia untuk berkelahi,
kami pun mau berkelahi. Tangan kami tidak kaku, dan pedang kami tidak tumpul.
Apabila Anda memandang kaum Muslim sama dan menegakkan keadilan, serahkan
Marwan kepada kami supaya dapat kami menanyainya atas kuasa dan dukungan siapa
ia hendak mempermainkan nyawa mahal kaum Muslim dengan menulis surat ini.”
Tetapi, ia menolak tuntutan ini dan tak mau menyerahkan Marwan kepada mereka, yang
karenanya orang mengatakan bahwa surat itu telah ditulis atas suruhannya.
Bagaimanapun, keadaan yang
sedang membaik sebelumnya, sekarang menjadi buruk dan memang semestinya akan
demikian; karena, walaupun waktu yang dahulunya dijanjikan telah lewat,
keadaannya tepat sama sebagaimana sebelumnya, tiada sedikit pun perubahan telah
terjadi. Akibatnya, orang-orang yang tertinggal di lembah Dzakhusyub, untuk
melihat hasil pertaubatan ‘Utsman, maju lagi seperti banjir dan menyebar di
jalan-jalan Madinah, dan dengan menutup perbatasan dari setiap sisi, mereka
mengepung rumahnya.
Sementara pengepungan ini,
seorang sahabat Nabi, Niyar ibn ‘Iyad, ingin bicara dengan ‘Utsman; ia pergi ke
rumahnya lalu memanggilnya. Ketika ‘Utsman menengok keluar dari atas, Niyar
berkata, “Wahai, ‘Utsman, demi Allah, serahkan kepada kami kekhalifahan ini dan
selamatkanlah kaum Muslim dari pertumpahan darah.” Sementara ia bicara, salah
seorang pendukung ‘Utsman membidik dan membunuhnya dengan panah. Rakyat menjadi
berang dan menyerukan bahwa pembunuh Niyar harus diserahkan kepada mereka.
‘Utsman mengatakan bahwa tak mungkin ia akan menyerahkan pendukungnya sendiri
kepada mereka.
Sikap keras kepala itu
adalah ibarat pengipas api, dan dalam puncak kemarahan beberapa orang membakar
pintu rumahnya dan mendesak maju untuk masuk, sementara Marwan ibn Hakam, Sa’id
ibn ‘Ash dan Mughirah ibn al-Akhmas bersama dengan kontingen-kontingen mereka,
menghantam para pengepung itu, lalu pembunuhan dan pertumpahan darah mulai di
pintu rumahnya. Rakyat hendak memasuki rumahnya, tetapi mereka terdorong
mundur. Sementara itu ‘ Amr ibn Hazm al-Anshari yang rumahnya bertetangga
dengan ‘Utsman membuka pintu rumahnya seraya menyerukan supaya maju ke situ.
Maka, melalui rumah itu para pengepung memanjat ke bumbungan rumah ‘Utsman lalu
turun dari sana seraya menghunus pedang. Baru terjadi sedikit
perkelahian—kecuali orang-orang keluarga ‘Utsman—para pencintanya dan Bani
Umayyah lari ke jalan-jalan Madinah, dan beberapa orang bersembunyi di rumah
Umm Habibah binti Abi Sufyan (saudara perempuan Mu’awiah). Yang tertinggal
semuanya terbunuh bersama ‘Utsman karena membelanya hingga saat berakhir. (Ibn
Sa’d, ath-Thabaqat, III, Bagian I, h. 50-58; ath-Thabari, Tarikh, I, h.
2998-3025; Ibn Atsir, al-Kamil, III, h. 167-180; Ibn Abil Hadid, II, 144-161).
Pada pembunuhannya,
beberapa penyair menulis elegi. Berikut ini satu syair oleh Abu Hurairah:
Sekarang orang hanya punya satu kesedihan, tetapi saya mempunyai dua
(kesedihan): "Kehilangan kantong
uang saya dan kematian ‘Utsman".
Setelah melihat
peristiwa-peristiwa itu, sikap Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib As menjadi
jelas. Yakni, ia tidak mendukung kelompok yang menghasut pembunuhan ‘Utsman,
dan ia tak dapat digolongkan pada orang-orang yang mendukung dan membelanya;
ketika ia melihat bahwa apa yang telah dikatakan tidak dijalankan, ia berlepas
tangan.
Bilamana kedua pihak
dilihat pada saat itu, di antara orang-orang yang berlepas tangan dari
mendukung ‘Utsman, nampak ‘A’isyah, dan orang-orang di antara sepuluh orang
yang mubasysyarun bil-jannah (yang telah diberitakan sebelumnya akan masuk
surga, menurut versi yang populer, yang tak benar), yang pada saat itu
masih hidup, dari antara mereka yang ambil bagian dalam komite Syura (yang
dibentuk untuk memilih khalifah), Anshar, Muhajirin awal, orang-orang yang
dahulu turut serta dalam Perang Badr, dan lain-lain tokoh menonjol dan
terkemuka, sementara di pihak ‘Utsman hanya nampak budak khalifah itu dan
beberapa orang dari Bani Umayyah. Apabila orang-orang seperti Marwan dan Sa’id
ibn ‘Ash tak dapat dianggap mengungguli para Muhajirtn awal, maka tindakan
mereka pun tak dapat dianggap mengatasi perbuatan-perbuatan Muhajirin awal itu.
Lagi, apabila ijmak (konsensus pendapat) bukan sarana untuk peristiwa-penstiwa
khusus saja, maka akan sukar untuk mempertanyakan kesepakatan melimpah dari
para sahabat itu.
Sumber:
Khutbah No.30 dalam Nahjul Balaghah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar