Kamis, 31 Desember 2015

Muawwiyah Meracun Imam Hasan Bin Ali & Membunuh Muhammad Bin Abu Bakar


Oleh O Hashem (penulis buku Saqifah)

Setelah Alî bin Abî Thâlib meninggal dibunuh oleh Abdurrahmân bin Muljam dengan pedang pada waktu subuh tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H, 24 Januari 661 M, Hasan bin Alî dibaiat dan pertempuran-pertempuran dengan Mu’âwiyah berlanjut. Pada pertengahan Jumadil Awal tahun 41 H, 16 September 661 M. tercapai persetujuan damai antara Hasan bin Alî dan Mu’âwiyah. Surat perdamaian berbunyi sebagai berikut:

Bismillâhirrahmânirrahim.

Ini adalah pernyataan damai dari Hasan bin Alî kepada Mu’âwiyah bin Abî Sufyân, bahwa Hasan menyerahkan kepada Mu’âwiyah wilayah Muslimîn, dan Mu’âwiyah akan menjalankan Kitâb Allâh SWT dan Sunnah Rasûl Allâh saw. dan tata cara Khulafâ’ur-Râsyidîn yang tertuntun, dan Mu’âwiyah bin Abî Sufyân tidak boleh mengangkat seseorang jadi khalîfah sesudahnya, tetapi akan diadakan lembaga syura di antara kaum Muslimîn dan bahwa masyarakat akan berada dalam keadaan aman di daerah Allâh SWT di Syam, Iraq, Hijaz dan Yaman, dan bahwa sahabat-sahabat Alî dan Syî’ah-nya terpelihara dalam keadaan aman, bagi diri, harta, para wanita dan anak-anak mereka, dan bahwa Mu’âwiyah bin Abî Sufyân setuju dan berjanji dengan nama Allâh bahwa Mu’âwiyah tidak akan mengganggu dan menganiaya secara tersembunyi atau terbuka terhadap Hasan bin Ali atau saudaranya Husien bin Ali atau salah seorang ahlu’l-bait Rasul Allâh saw. dan tidak akan mengganggu mereka yang berada di seluruh penjuru..dan bahwa Mu’âwiyah akan menghentikan pelaknatan terhadap Alî...”[1]

Dan sebagaimana biasa Mu’âwiyah melanggar janji. Ia meracuni Hasan bin Alî bin Abî Thâlib, dan setelah Hasan meninggal ia bersujud yang diikuti semua yang hadir seperti dilakukannya tatkala Imâm Alî meninggal dunia.

Ibnu Sa’d menceritakan: “Mu’âwiyah meracuni Hasan berulang-ulang.” Wâqidî berkata: “Mu’âwiyah meminumkan racun kepada Hasan, kemudian ia selamat, kemudian diminumkan racun lagi dan selamat, kemudian yang terakhir Hasan meninggal. Tatkala maut mendekat, dokter (thabib) yang menjenguknya berulang-ulang mengatakan bahwa Hasan diracun orang.”

Adiknya Husain berkata: “Ya ayah Muhammad, beritahukan saya, siapa yang meminumkan racun kepadamu?”

Hasan menjawab: “Mengapa, wahai saudaraku?”

Husain: “Demi Allâh, aku akan membunuhnya sebelum engkau dimakamkan. Dan bila aku tidak berhasil, akan aku meminta orang mencarinya.”

Hasan berkata: “Wahai saudaraku, sesungguhnya dunia ini adalah malam-malam yang fana. Doakan dia, agar dia dan aku bertemu di sisi Allâh, dan aku melarang meracuninya.”[2]

Mas’ûdî mengatakan: “Tatkala ia diberi minum racun, ia bangun menjenguk beberapa orang kemudian, setelah sampai di rumah, ia berkata: “Aku telah diracuni, berkali-kali tetapi belum pernah aku diberi minum seperti ini, aku sudah keluarkan racun itu sebagian, tetapi kemudian kembali biasa lagi.”

Husain berkata: “Wahai saudaraku, siapa yang meracunimu?”

Hasan menjawab: “Dan apa yang hendak kau lakukan dengannya? Bila yang kuduga benar, maka Allâh-lah yang melakukan hisab terhadapnya. Bila bukan dia, aku tidak menghendaki orang membebaskan diriku.”

Dan dia berada dalam keadaan demikian sampai 3 hari sebelum ia ra. akhirnya meninggal. Dan yang meminumkan racun kepadanya adalah Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindî, dan Mu’âwiyah yang memerintahkan kepadanya, dan bila ia berhasil membunuh Hasan ia akan dapat 100.000 dirham dan “aku akan mengawinkan kau dengan Yazîd.” Ialah yang mengirim racun kepada Ja’dah, istri Hasan. Dan tatkala Hasan meninggal, ia mengirim uang tersebut dengan surat: “Sesungguhnya kami mencintai nyawa Yazîd, kalau tidak maka tentu akan kami penuhi janji dan mengawinkan engkau dengannya.”[3]

Abû’l-Faraj al-Ishfahânî menulis: “Hasan telah mengajukan syarat perdamaian kepada Mu’âwiyah: “Mu’âwiyah bin Abî Sufyân tidak boleh mengangkat seseorang jadi khalîfah sesudahnya. Dan bila Mu’âwiyah akan mengangkat Yazîd, anaknya, jadi khalîfah, maka yang memberatkannya adalah Hasan bin Alî dan Sa’d bin Abî Waqqâsh”[4], maka Mu’âwiyah meracuni mereka berdua dan mereka meninggal. Ia mengirim racun kepada putri Asy’ats bin Qais: “Aku akan kawinkan kau dengan anakku Yazîd, bila kau racuni Hasan”, dan ia mengirim 100.000 dirham dan ia tidak mengawinkannya denganYazid.[5]

Abul Hasan al-Madâ’inî berkata: “Hasan meninggal tahun 49 H, 669 M. setelah sakit selama 40 hari pada umur 47 tahun. Ia diracuni Mu’âwiyah melalui tangan Ja’dah binti Asy’ats, istri Hasan dengan kata-kata: “Bila engkau membunuhnya dengan racun, maka engkau dapat 100.000 dan akan aku kawinkan kau dengan Yazîd, anakku.” Dan tatkala Hasan meninggal, maka ia memberikan uang tersebut dan tidak mengawinkannya dengan Yazîd. Ia berkata: “Aku takut kau akan lakukan terhadap anakku seperti yang engkau lakukan terhadap anak Rasûl Allâh saw.”[6]

Hushain bin Mundzir ar-Raqasyi berkata: “Demi Allâh Mu’âwiyah tidak memenuhi sama sekali janjinya, ia membunuh Hujur dan teman-temannya, membaiat anaknya Yazîd dan meracuni Hasan.”[7]

Abû Umar berkata dalam al-Istî’âb: “Qatâdah dan Abû Bakar bin Hafshah berkata: “Mu’âwiyah meracuni Hasan bin Alî, melalui istri Hasan, yaitu putri Asy’ats bin Qais al-Kindî. Sebagian orang berkata: “Mu’âwiyah memaksanya, dan tidak memberinya apa-apa, hanya Allâh yang tahu!” Kemudian ia menyebut sumbernya, yaitu Mas’ûdî.[8]

Ibnu al-Jauzî mengatakan dalam “at-Tadzkirah Khawâshsh’l Ummah”: “Para ahli sejarah di antaranya Abdul Barr meriwayatkan bahwa ia diracuni istrinya Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindî.”

As-Sûdî berkata: “Yang memerintahkannya adalah Yazîd bin Mu’âwiyah agar meracuni Hasan dan bahwa ia berjanji akan mengawininya. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah mengirim surat kepada Yazîd menagih janjinya. Dan Yazîd berkata: “Hasan saja kamu bunuh, apalagi aku, demi Allâh, aku tidak rela.”

Asy-Sya’bî mengatakan: “Sesungguhnya yang melakukan tipu muslihat adalah Mu’âwiyah. Ia berkata kepada istri Hasan: “Racunilah Hasan, maka akan aku kawinkan engkau dengan Yazîd dan memberimu 100.000 dirham.” Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menuntut janjinya. Mu’âwiyah lalu mengiriminya uang tersebut dan menambahkan : “Sesungguhnya aku mencintai Yazîd, dan mengharapkan agar ia tetap hidup, kalau tidak demikian tentu aku akan kawinkan engkau dengannya.”

Sya’bî berkata lagi: “Dan ini benar dengan berdasarkan saksi yang dapat dipercaya: “Sesungguhnya Hasan berkata tatkala akan mati dan telah sampai kepadanya apa yang dilakukan Mu’âwiyah: “Aku telah tahu minumannya dan kebohongannya, demi Allâh ia tidak memenuhi janjinya, dia tidak jujur dalam perkataannya.”

Kemudian Sya’bî mengutip ath-Thabaqât dari Ibnu Sa’d: “Mu’âwiyah meracuninya berulang ulang.”[9]

Ibnu Asâkir berkata: “Ia diberi minum racun, berulangulang, banyak, mula-mula ia bisa pulih, lalu diberi minum lagi dan ia tidak bisa pulih dan dikatakan: “Sesungguhnya Mu’âwiyah telah memperlakukan dengan ramah seorang pembantunya agar meracuninya dan ia lalu melakukannya dan berpengaruh sedikit demi sedikit, sampai ia memakai alat untuk bisa duduk dan ia bertahan sampai 40 kali.”

Muhammad bin al-Mirzubân meriwayatkan: “Ja’dah binti Asy’ats bin Qais adalah istri Hasan dan Yazîd melakukan tipu muslihat agar ia mau meracuni Hasan. Dan saya akan mengawininya, dan Ja’dah melakukannya. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menanyakan janji Yazîd dan Yazîd berkata: “Sesungguhnya, demi Allâh, kalau Hasan saja kamu bunuh, apalagi kami.”[10]

Hasan bin Alî sakit yang berakhir dengan kematiannya. Ia diracun istrinya, atas suruhan Mu’âwiyah dengan bayaran 100.000 dinar. Ia lalu memerintahkan Marwân bin Hakam yang diangkatnya jadi gubernur Madînah untuk terus mengamati Hasan dan menyuratinya. Tatkala datang berita bahwa Hasan telah meninggal seluruh penduduk Syam bertakbir. Seorang wanita, Fakhîtah binti Quraidhah bertanya kepada Mu’âwiyah: “Apakah kamu bertakbir bagi matinya putri Fâthimah?”

“Ya aku bertakbir karena hatiku gembira.”[11]

Ia sangat gembira dan bahagia dan bersujud, dan semua yang hadir ikut bersujud.[12]

Ia juga terkenal karena membunuh sahabat Rasûl Allâh saw. Hujur bin Adî dan kawan-kawannya pada tahun 51 H, 671 M. karena tidak mau melaknat Alî.

MUAWWIYAH MEMBUNUH MUHAMMAD BIN ABÛ BAKAR
Mu’âwiyah membunuh Muhammad bin Abû Bakar, anak khalîfah Abû Bakar. Mula-mula ia disiksa, tidak diberi minum, kemudian dimasukkan ke dalam perut keledai dan dibakar.

Untuk pertama kali dalam sejarah Islam, penguasa mempermainkan jenazah yang mereka bunuh.Dan jenazah ini adalah jenazah kaum Muslimîn.

Penguasa memenggal kepala mereka setelah diikat kedua tangan ke belakang, menyayat-nyayat mayat, mengarak kepala-kepala mereka berkeliling kota, membawanya dari kota ke kota dan akhirnya dikirim ke ‘khalîfah’ di Damaskus dengan menempuh jarak beratus-ratus kilometer.

Cukup dengan sedikit curiga bahwa seorang itu Syî’ah, maka mereka akan memotong tangan, kaki atau lidah mereka. Bila ada yang menyebut mencintai anak cucu Rasûl saja maka ia akan dipenjarakan atau hartanya dirampas, rumah dimusnahkan.

Bencana makan bertambah dan makan menyayat hati. Sampai gubernur Ubaidillâh bin Ziyâd membunuh Husain, kemudian gubernur Hajjâj bin Yûsuf yang membunuh mereka seperti membunuh semut. Ia lebih senang mendengar seorang mengaku dirinya zindîq atau kafir dari mendengar orang mengaku dirinya Syî’ah Alî.

Abû al-Husain Alî bin Muhammad bin Abî Saif al-Madani dalam kitabnya al-Ahdats, berkata: “Mu’âwiyah menulis sebuah surat kepada semua gubernurnya setelah tahun perjanjian dengan Hasan agar mereka mengucilkan orang yang memuliakan Alî dan keluarganya. “Pidatokan dan khotbahkan di tiap desa dan di tiap mimbar pelaknatan Alî dan kucilkan dia dan keluarganya.” Dan alangkah besar bencana yang menimpa Syî’ah Alî di Kûfah.

Diangkatlah Ziyâd bin Sumayyah diangkat jadi gubernur Kûfah. Ia lalu memburu kaum Syî’ah. Ia sangat mengenal kaum Syî’ah karena ia pernah jadi pengikut Alî. Dan ia lalu memburu dan membunuh mereka di mana pun mereka berada, tahta kulli hajar wa madar, membuat mereka ketakutan, memotong tangan dan kaki mereka, menyungkil bola mata mereka, samala al ‘uyun, dan menyalib mereka di batang-batang pohon korma. Ia memburu dan mengusir mereka ke luar dari Irak dan tiada seorang pun yang mereka kenal, luput dari perburuan ini.[13]

Di samping itu istri dan putri-putri Syî’ah dijadikan budak dan untuk pertama kali dilakukan Mu’âwiyah dengan Busr bin Arthât pada akhir tahun 39 H, 660 M. Mereka memaksa kaum Syî’ah membaiat khalîfah yang sebenarnya adalah raja yang lalim.

Setelah membaiat, biasanya mereka belum merasa puas, sehingga mereka merasa perlu membumi hanguskan desa mereka seperti diriwayatkan Bukhârî dalam tarikhnya.

Mu’âwiyah melalui jenderalnya Busr bin Arthât tersebut membakar rumah-rumah Zarârah bin Khairun, Rifâqah bin Rafî, Abdullâh bin Sa’d dari Banû Abdul Asyhal, semua adalah para sahabat kaum Anshâr. Celakanya Ziyâd bin Abih, yang mula-mula berpihak kepada Alî bin Abî Thâlib, menyeberang ke Mu’âwiyah, karena pengakuan Abû Sufyân bahwa Ziyâd yang lahir dari seorang budak perempuan asal Iran adalah anaknya.

Mu’âwiyah yang melihat Ziyâd sebagai seorang yang berbakat, mengakuinya sebagai saudaranya. Ummu Habîbah, istri Rasûl Allâh, saudara Mu’âwiyah tidak pernah mau mengakui Ziyâd sebagai saudaranya.

Karena pernah bersama Alî maka Ziyâd mengenal semua pengikut Alî dalam Perang Shiffîn dan dengan mudah memburu dan membunuhi mereka.

Orang pertama yang dipenggal kepalanya oleh Mu’âwiyah adalah Amr bin Hamaq sebagai Syî’ah Alî yang turut mengepung rumah Utsmân dan dituduh membunuh Utsmân dengan 9 tusukan. Ia melarikan diri ke Madâ’in bersama Rifâ’ah bin Syaddâd dan terus ke Mosul. Ia ditangkap dan gubernur Utsmân mengenalnya. Ia mengirim surat ke Mu’âwiyah. Mu’âwiyah menjawab seenaknya: “Ia membunuh Utsmân dengan 9 tusukan dengan goloknya (masyâqish) dan kita tidak akan bertindak lebih, tusuklah dia dengan sembilan tusukan.” Setelah ditusuk, baru tusukan pertama atau kedua, kelihatannya ia sudah mati,kepalanya dipenggal dan dikirim ke Syam, diarak kemudian diserahkan kepada Mu’âwiyah dan Mu’âwiyah mengirim kepala ini kepada istrinya Âminah binti al-Syarid yang sedang berada di penjara Mu’âwiyah. Kepala itu dilemparkan ke pangkuan istrinya. Istrinya meletakkan tangannya di dahi kepala suaminya kemudian mencium bibirnya dan berkata:

“Mereka hilangkan dia dariku amat lama,
Mereka bunuh dan sisakan untukku kepalanya,
Selamat datang, wahai hadiah,
Selamat datang, wahai wajah tanpa roma”[14]

CATATAN:
[1] Ibnu Hajar, Shawâ’iq, hlm. 81.
[2] Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 8, hlm. 43.
[3] Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hlm. 50.
[4] Sa’d adalah satu-satunya anggota Syûrâ yang dibentuk Umar yang masih hidup, pen.
[5] Al-Ishfahânî, Maqâtil ath-Thâlibiyîn, hlm. 29; Diriwayatkan Ibn Abîl Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 11, 17.
[6] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 4.
[7] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 7.
[8] Ibnu Abd al-Barr, Kitâb al-Istî’âb, jilid 1, hlm. 141.
[9] Ibnu al-Jauzî, ’al-Tadzkirah’, hlm. 121.
[10] Ibnu Asâkir, Târîkh, jilid 4, hlm. 229.
[11] Ad-Damîrî, Hayât al-Hayawân, jilid 1, hlm. 58; Diyâr Bakrî, Tarikh Yaum al-Khamîs, jilid 2, hlm. 294.
[12] 118 Ibnu Qutaibah, al-Imâmah was-Siyâsah, jilid 1, hlm. 144; Ibnu Abdu Rabbih, al-‘Iqd al-Farîd, jilid 2, hlm. 298; ar-Raghib al-Ishfahânî, Al-Muhâdharât, jilid 2, hlm. 224 dll.
[13] Lihat Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 11, hlm. 43, 44.

[14] Amr bin Hamaq adalah orang pertama dalam sejarah Islam yang kepalanya dipenggal dan diarak dari kota ke kota, lihat Ibn Qutaibah, Al-Ma’ârif, hlm. 127; Al-Istî’âb, jilid 2, hlm. 404; Al-Ishâbah, jilid 2, hlm. 533; Ibn Katsîr, Târîkh, jilid 8, hlm. 48.

Jumat, 25 Desember 2015

Imam Ali & Lelaki Kristiani yang Buta



Pada suatu malam, ada seorang lelaki buta yang tidak dapat melelapkan matanya. Hatinya seperti langit yang diselubungi awan. Dia mengeluh dan merintih sayu.

Keesokan paginya, lelaki buta itu bangun dari tempat pembaringannya, mencari sesuatu untuk mengisi perut. Perlahan-lahan tangannya meraba-raba ke seluruh penjuru kamar tersebut, tetapi, tidak ada yang dapat ditemui selain dari sekeping roti yang sudah kering. Kemudian, sebagaimana biasanya, dia memakai pakaiannya yang sudah robek, lalu berjalan melewati lorong-lorong kota dengan tongkatnya.

Seperti biasa, dia duduk di satu sudut kota, di bawah sebuah pohon dan mendengarkan langkah kaki orang-orang yang melewati tempat duduknya.

Dia menanti seseorang yang akan melontarkan kepingan uang atau makanan dalam tangannya, tetapi seolah-olah, tidak ada seorang pun yang menghiraukannya.

Tiba-tiba terdengar suara tapak kaki mendekatinya. Lelaki tua yang buta itu menumpukan sepenuh perhatiannya kepada langkah tersebut, tetapi beberapa saat kemudian, suara langkah tersebut tidak lagi terdengar.

Meskipun lelaki tua itu buta dan tidak melihat sesuatu, tetapi dia dapat merasakan bahwa seseorang sedang memperhatikannya. Dia berkata sendirian, "Siapakah gerangan orang tersebut?"

Ketika dia tenggelam dalam pikirannya, terdengar suara orang memberi salam. Lelaki tua itu menjawab salamnya dengan berkata, "Salam, selamat pagi." Bersamaan dengan itu, orang-orang dan pedagang yang melewati tempat tersebut melihat kehadiran Imam Ali as di sisi lelaki buta itu.

Mereka menghampirinya dan memberi salam kepada beliau sebagai tanda penghormatan.

Kini pahamlah lelaki tua yang buta itu bahwa lelaki yang memandanginya itu ternyata adalah pemimpin umat Islam, Imam Ali as. Imam Ali as menjawab salam orang-orang itu dan bertanya, "Kenalkah kalian dengan lelaki tua ini?"

Mereka yang mengenali lelaki tua itu berkata, "Wahai Amirul Mukminin, lelaki tua ini adalah seorang Kristiani, isterinya telah meninggal dunia. Dia adalah seorang lelaki yang amat baik dan bekerja keras. Tetapi sejak dia menjadi buta, dan dikarenakan dia tidak mempunyai siapapun, dia terpaksa mencari uang dengan meminta sedekah."

Imam Ali as berkata, "Sungguh menakjubkan! Ketika lelaki ini mempunyai kemampuan, dia telah bekerja keras dan kini bila dia berada dalam keadaan lemah, dia ditinggalkan? Ketika dia bisa melihat dan mempunyai kemampuan, dia bekerja keras untuk masyarakat. Kini, ketika dia sudah tua dan tidak lagi mampu untuk bekerja, maka menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk menyediakan keperluannya." 

SALUUNI YA MAASYIRAN NAAS…..
Ketika Imam Ali (as) diangkat menjadi khalifah secara aklamasi (dengan suara mayoritas) dan umat Islam membaiatnya dengan sukarela, beliau pergi ke masjid dengan memakai sorban dan selendang Rasulullah saw, memakai sandal Rasulullah saw, lalu belliau naik mimbar dan duduk di atasnya sambil menyilangkan jari-jari kedua tangannya dan meletakan dekat perut. Kemudian beliau berkata:

"Maasyirannas...bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilanganku. Inilah wadah ilmu. Inilah air liur Rasululah saw. Inilah yang Rasulullah saw tuangkan padaku berkali-kali. Bertanyalah kepadaku karena aku mempunyai ilmu-ilmu orang terdahulu dan orang-orang yang akan datang...” 


Perkataan Imam Ali (as) itu tentu bukan sekedar omong kosong, tetapi sebuah kenyataan dan bukti kesiapan beliau untuk memberikan jawaban segala persoalan dan memberikan solusi yang tepat terhadap segala problema umat manusia. Said bin al Musayib berkata, “tidak ada seorangpun dari sahabat Rasulullah yang mengatakan itu kecuali Ali bin Abi Thalib. Beliau berkali-kali mengatakan itu diatas mimbar” (Usud Al-Ghabah 4/22).


Sepanjang sejarah umat Islam ada beberapa orang yang sesumbar seperti perkataan di atas, tapi akhirnya dipermalukan karenanya, seperti: Muqotil bin Sulaiman, pada suatu saat duduk dan berkata, ”betanyalah kepadaku tentang apa yang ada di bawah Arsy sampai Luyana.”

Seorang bertanya kepadanya, “Adam ketika haji, siapa yang memotong rambutnya?” Lalu dia (Muqotil) menjawab, “ini bukan pertanyaanmu, tetapi Allah berkehendak mempermalukanku atas keujubanku” (Tarikh Al-Khatib Al-Baghdadi 13 hal. 163).

Qatadah berkata, “Bertanyalah kepadaku tentang Al-Qur’an! (niscaya aku menjawabnya). Abu Hanifah lalu bertanya kepada Qatadah, “bagaimana pendapatmu tentang Firman Allah: Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab, "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip" (Q.S 27:40). Siapakan orang itu?” Qatadah menjawab, “Dia adalah anak pamannya Sulaiman bin Dawud. Dia mengetahui nama Allah yang Sangat Agung.

“Apakah Sulaiman mengetahui nama (yang sangat agung) itu?” tanya Abu Hanifah lagi. “Tidak”. Jawab Qatadah yakin. “Subhanallah, berarti di hadapan seorang Nabi ada orang yang lebih pandai darinya.” Ujar Abu Hanifah. “Tanyakan persoalan lainnya!” kata Qatadah. “Apakah engkau orang yang beriman?” tanya Abu Hanifah. “Saya berharap seperti itu,” jawab Qatadah. “Mengapa Anda tidak menjawab seperti Nabi Ibrahim “ya, aku beriman” (Q.S 2:260) “Penganglah tanganku! Demi Allah, aku tidak akan datang ke kota ini lagi!” ujar Qatadah dengan malu (Al-Intiqa`, hal. 156).
Riwayat di atas dikutip dari Muhammad Ridha Al-Hakimi, Mengungkap Untaian Kecerdasan Sayidina Ali Bin Abi Thalib (MUKSA), hal 11-16. 


Lalu bagaimana dengan Imam Ali sendiri? Beliau berkata, “Sebelum aku meninggalkan kalian, tanyakanlah kepadaku tentang Al-Qur’an. Demi Allah! Tidak satupun dari ayat Al-Qur’an yang turun, kecuali RAsulullah membacakannya untukku, dan mengajarkan tafsirannya.”


Ibnu Abil Hadid menuturkan: Umar Ibn Khatab berkata kepada Ali bin Abi Thalib,” aku heran kepadamu wahai Ali, karena setiap kesulitan yang aku tanyakan kepadamu, engkau tidak pernah mengatakan tidak tahu, dan engkau selalu dapat menjawabnya secara langsung, bahkan tanpa berpikir sejenak pun.” Lalu Imam Ali menunjukan lima jarinya ke hadapan Umar seraya berkata: “Wahai Umar, berapakah ini?” Seketika Umar menjawab, “lima.” “Ketahuilah wahai Umar! Sesungguhnya bagiku semua ilmu pengetahuan dan jawaban dari segala masalah adalah semudah engkau menjawab pertanyaanku tadi.” (Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu jelas bagi Ali, seperti jelasnya Umar melihat lima jari tangan Ali). 

Ammar bin Yasir bertutur:  Pada satu peperangan, aku dan Imam Ali bin Abi Thalib as melewati sebuah gurun yang dipenuhi oleh semut. Aku pun berkata kepada Imam Ali, “wahai Tuanku, apakah ada yang mengetahui jumlah semut ini?” “Ya Wahai Ammar, aku mengetahuinya.” Jawab Imam Ali.  “Bagaimana engkau mengetahuinya?” tanya Ammar lagi. “Wahai Ammar, tidakkah engkau membaca surah Yasin? Yang mengatakan: 


وكل شيء أحصيناه في إمام مبين



“Dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam imam yang nyata” (Q.S 36:12) ?”


“Demi Allah, jiwaku kukorbankan untukmu, sesungguhnya aku telah membaca surah itu berkali-kali.” Ujar Ammar. “Maksud dari Imamim-mubin yang tersebut dalam Surah Yasin itu adalah diriku” (Tafsir Jami’, jilid 5). 


Selasa, 15 Desember 2015

Ayatullah Khomeini, Sang Wali yang Mengguncang Dunia



Oleh Robin Woodsworth Carlsen (penyair & filsuf Kanada)

Saya duduk di bagian depan ruangan. Kursi Khomeini, yang tertutup kain putih, terletak di atas panggung di hadapan kami kira-kira lima belas kaki di atas lantai. Seorang mullah bercambang putih mengawasi kami ketika kami memasuki ruangan. Ia memperbaiki mikrofon, sambil dengan sabar menunggu kedatangan Imam dari pintu tertutup di sebelah kanan panggung tempat ia memberikan ceramahnya.

Ruangan dipenuhi harapan yang disampaikan dengan berbisik. Sekali-kali sebagian orang Islam meneriakkan slogan atau ayat-ayat Al-Qur’an, lalu diikuti oleh ratusan orang Islam dan pengawal revolusi yang hadir di situ. Tidak seorang pun diperbolehkan merokok. Sikap penghormatan yang menguasai orang-orang yang menunggu Imam telah mengubah pemandangan yang biasanya kita lihat di Iran.

Ketika saya mengamati panggung tempat Imam Khomeini menyampaikan ratusan pidatonya, mata saya menangkap ketenangan, kemurnian, dan kesegaran fisik yang melayang-layang, atau lebih tepat lagi berkumpul dalam sebongkah energi yang kokoh dan tembus cahaya, yang sangat berbeda dengan hotel tempat kami menginap, bahkan berbeda dengan lingkungan mana pun yang pernah saya lihat dalam dua kali kunjungan saya ke Iran. Masjid saja tidak memancarkan sifat-sifat ini, sosok energi yang bulat.

Mungkin Imam itu seorang manusia yang tercerahkan seorang sufi sejati atau barangkali lebih dari itu? Semua tanda menunjukkan bahwa apa yang terjadi di sini menyeruak kepada apapun yang terjadi di Iran di luar ruangan ini. Perasaan seperti ini hanya mirip dengan apa yang saya rasakan ketika saya berada di front pertempuran atau ketika saya berjalan-jalan di pemakaman Beheste Zahra.

Saya hanya dapat menjelaskan perasaan ini dengan berasumsi bahwa barangkali kesyahidan itu ada, bahwa pelepasan ruh suci yang tiba-tiba dari tubuh, dengan membawa ruh itu ke langit karena niat syahid, telah menciptakan energi yang suci, energi yang dibekahi Allah sendiri.

Kami menunggu di sana kira-kira 45 menit sebelum terlihat tanda-tanda kedatangan Imam. Tanda-tanda itu sangat jelas. Beberapa ulama bersurban muncul dari pintu itu dan memberi isyarat kepada mullah yang ada di panggung bahwa sang pemimpin, ulama besar, panglima, dan imam sebentar lagi datang.

Ketika Khomeini muncul di pintu semua orang bangkit dan mulai berteriak, “Khomeini…Khomeini…Khomeini” teriakan penghormatan kepada manusia yang paling menggetarkan, paling ceria, dan paling bergelora yang pernah saya saksikan.

Semua orang betul-betul diseret ke dalam gelombang cinta dan pemujaan yang spontan seraya dengan setiap butir sel dalam jantungnya menyatakan keyakinan mutlak bahwa orang yang mereka hormati itu pantas mendapatkan kehormatan di sisi Allah.

Sungguh, aku berani mengatakan bahwa ledakan ekstase dan kekuatan yang menyambut Imam bukan hanya sekadar refleks karena pancingan tertentu tentang Imam. Ia adalah senandung puji yang alamiah dan bahagia; senandung penghormatan yang lahir karena keagungan dan kharisma dahsyat dari orang ini.

Ketika pintu dibuka untuknya, saya mengalami badai gelombang energi yang datang dari pintu itu. Dalam jubah cokelat, serban hitam, dan janggut putih, ia menggerakkan semua molekul dalam ruangan itu dan mencengkeram semua perhatian sehingga lenyaplah apapun selain dia.

Dia adalah pancaran cahaya yang menembus jauh ke dalam kesadaran semua orang di ruangan itu. Dia menghancurkan semua citra yang ditampilkan untuk menyainginya. Kehadirannya begitu mencekam sehingga aku harus menyusun kembali sensasiku, jauh di luar konsep-konsepku, jauh di luar kebiasaanku mengolah pengalaman.

Aku sudah mempersiapkan apapun keadaan orang ini untuk meneliti wajahnya, menggali motivasinya, memikirkan sifat yang sebenarnya. Kekuasaan, kebesaran, dan dominasi absolut Khomeini telah menghancurkan semua cara penilaianku. Di situ aku hanya mengalami energi dan perasaan yang memancar dari kehadirannya di panggung. Walaupun ia itu taufan, segera kita akan menyadari bahwa di dalam taufan itu ada ketenangan yang mutlak. Walaupun perkasa dan menaklukkan, ia tetap tenang dan damai.

Ada sesuatu yang tidak bergerak dalam dirinya, tetapi ketidak-bergerakkannya itu telah menggerakkan seluruh Iran. Ini bukan orang biasa. Bahkan, semua orang suci yang pernah aku temui, semacam Dalai Lama, pendeta Budha dan pendeta Hindu, tidak seorang pun memiliki sosok yang menggetarkan seperti Khomeini.

Bagi siapa saja yang dapat melihat atau merasa, tidak mungkin meragukan integritas pribadinya atau anggapan orang-orang yang disembunyikan oleh orang-orang seperti Yazdi bahwa ia telah meninggalkan diri manusia yang normal (atau abnormal) dan telah mencapai tempat tinggal yang mutlak.

Kemutlakan itu dinyatakan dalam udara, dinyatakan dalam gerak tubuhnya, dinyatakan dalam gerak tangannya, dinyatakan dalam nyala kepribadiannya, dinyatakan dalam ketenangan kesadarannya. Tidak mengherankan apabila ia dicintai jutaan orang Iran dan kaum Muslim sedunia. Bagi pengamat ini, paling tidak ia telah menunjukkan bukti empiris tentang adanya tingkat kesadaran yang tinggi.

Mula-mula ia tidak bicara; pemimpin agama yang lain yang berbicara kepada hadirin. Khomeini duduk dalam kesunyian yang tak bernoda dan dalam keserasian yang sempurna. Ia tak bergerak, ia terpisah, ia berada dalam lautan ketenangan. Tetapi ada suatu yang bergerak murni, ada sesuatu yang terlibat secara dinamis, ada sesuatu yang setiap saat siap melancarkan peperangan. Ia mengecilkan semua orang yang pernah saya temui di Iran. Ia menguasai panggung itu walaupun ada mullah lain yang tengah bicara. Semua mata terpaku pada Khomeini dan ia tidak menunjukkan sedikit pun kepongahan atau sadar diri atau aku berani mengatakan tidak sedikit pun kelihatan melamun atau berpikir ke sana kemari.

Seluruh wajahnya secara terus menerus dan secara spontan diarahkan kepada konsentrasi yang secara estetik dan spiritual serasi dengan pemandangan yang kami saksikan. Di sinilah ratusan pejuang dan kaum Muslimin meneriakkan kebesarannya, menyatakan kecintaan, dan penghormatan mereka kepadanya. Tetapi ketika ia menerima semuanya itu, ia tenang dalam dirinya, ia tidak bergerak. Ia tetap besar dalam keadaan batin yang tidak tergoncangkan keadaan yang sebab musababnya di luar jangkauan pengetahuanku.

Mungkin pembaca mengernyitkan dahi mendengar gambaranku yang berlebihan tentang orang ini. Tetapi ia harus sadar bahwa walaupun aku sudah mendengar apapun tentang dia, walaupun banyak bukti yang kontradiktif telah saya terima sebelumnya, kesan langsung dan sebenarnya tentang pribadi Imam Khomeini tidak lagi dapat dilukiskan dengan ide atau konsep.

Pengalaman itu terlalu perkasa untuk dilukiskan seperti itu. Saya melakukan transendensi dari pengalaman biasa yang menentukan sensasi, pikiran, dan perasaan yang berpusat pada kesadaran diriku. Khomeini begitu perkasa. Khomeini begitu kuat dan tak terkalahkan. Waktu itu juga aku melihat semua dorongan revolusi, semua sejarah penggulingan Shah, irama kesyahidan, dan masa lalu peradaban Islam yang membayangi Barat untuk waktu tertentu. Semua itu terkandung dalam kehadiran orang ini.

Dia adalah sumber kebangkitan Islam. Dia adalah sumber revolusi. Dia adalah sumber segala kekuatan yang ditampilkan oleh revolusi ini dan oleh Islam ke hadapan dunia. Aku yakin tanpa dia, monarki masih bercokol dan Islam secara efektif akan disingkirkan sebagai faktor dalam nasib politik Timur Tengah.

Siapa saja yang memiliki kesadaran atau perasaan untuk mengetahui apa yang diwakili Imam Khomeini (yaitu kehidupan utuh yang memihak Islam) tidak bisa tidak akan dipenuhi dengan semangat Islam, keyakinan syahid yang diberkahi, dan tekad untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia.

Ia mengangkat. Ia mentransformasikan. Khomeini adalah pusat ledakan Islam. Khomeini adalah mata air kekuatan ruhaniah yang mengalir ke dalam hati kaum Muslimin di Timur Tengah—atau paling tidak pada semua kaum Muslim yang secara naluriah dekat dengan jantung Islam.

Ia tidak tertawa. Wajahnya telah terpatri pada keteguhan niatnya. Tuhan telah meminta segalanya dari dia, dan dia pun telah memberikan hidupnya untuk mengabdi kepada Tuhan. Tak ada lagi yang patut ditertawakan, yang patut dijadikan hiburan, atau yang patut dilamunkan. Jalan hidupnya telah ditentukan dan ia siap menerima akibat dari jalan hidup yang telah ditentukannya itu: untuk menegakkan Islam yang berasal dari Tuhan.

Ia hidup untuk Islam. Ia telah menjadi instrumen Islam. Ia tidak mempunyai tujuan apapun kecuali untuk menjalankan Islam. Individualitasnya telah tenggelam dalam universalitas tujuannya yang luhur.

Aku harus berkata lebih jauh lagi: Imam Khomeini menembus hati dan otakku dengan arus emosi yang hanya dapat aku gambarkan sebagai positivitas ekstrem, sesuatu yang lebih baik aku sebut “cinta”. Betapa pun tegasnya dalam menjalankan ajaran Islam, betapapun tak tergoyahkan sikapnya, betapapun kebalnya terhadap perasaan individu, ia dipenuhi cinta yang membersihkan hatiku, memenuhinya dengan kebahagiaan yang tidak pernah aku kenal sebelumnya.

Ketika aku duduk di sana, pandanganku terpusat kepada wajahnya (dan sinar yang mengitarinya) dan pada saat yang sama dipenuhi dengan energi yang dapat aku hubungkan dengan sejenis kreativitas dan daya yang paling hayati. Dia adalah generator energi dan perasaan yang memenuhi hati dan membersihkan katakanlah ruh. Aku ingin mempertahankan sikap netral, sikap tidak terlibat yang kritis dalam menghadapi Imam. Akan tetapi, di sini aku kehilangan batas-batas individualitasku.


Di sini aku menemukan perasaan dan sensasi halus yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Aku dipenuhi oleh manusia Muslim yang suci, manusia yang dianggap—barangkali oleh seluruh dunia—paling tidak sanggup mengisi wartawan Barat dengan rasa bahagia yang Ilahiyah, kejernihan kesadaran yang Ilahiyah. Tetapi, memang inilah pengalamanku. Imam Khomeini telah aku alami sebagai satu-satunya realitas yang memperluas kesadaranku, memurnikan hatiku, menjernihkan otakku. Ketika ia pergi meninggalkan berkat yang tidak pernah berkurang, berkat yang masih terus berada dalam diriku, walaupun tertutup oleh kesibukan hari ini. 

Jumat, 20 November 2015

Zionisme Amerika [1]


Oleh Edward W Said (filsuf)[2]

Artikel ini berbicara mengenai peran Zionisme Amerika yang dalam persoalan Palestina kerap salah dipahami dan dinilai. Dalam pandangan saya, peran kelompok-kelompok dan aktivitas-aktivitas Zionis yang terorganisasi di Amerika Serikat kurang mendapatkan sorotan yang semestinya selama berlangsungnya apa yang disebut “proses perdamaian”. Ini adalah pengabaian yang menurut saya luar biasa, mengingat kebijakan Palestina secara esensial bergantung kepada orang-orang di panggung Amerika Serikat (AS) yang minus kesadaran strategis tentang betapa kebijakan AS, sebagai akibatnya, didominasi—jika tidak dikontrol secara keseluruhan—oleh sebuah minoritas kecil dari orang-orang yang pandangannya mengenai perdamaian di Timur Tengah, dalam sebagian cara, jauh lebih ekstrim bahkan daripada orang-orang Israel di Partai Likud.

Izinkan saya memberi sebuah contoh kecil. Harian Israel Haaretz pernah mengirimkan seorang kolomnis ternama mereka, Ari Shavit, untuk berbicara dengan saya selama beberapa hari; ringkasan dari wawancara yang panjang ini hadir dalam bentuk tanya-jawab pada edisi 18 Agustus 2000 dari suplemen harian itu dengan tanpa dipotong dan disensor secara fundamental. Saya menyuarakan pandangan saya dengan sangat jelas, dengan penekanan utama kepada “hak pulang” bangsa Palestina, peristiwa-peristiwa pada 1948, dan tanggung jawab Israel atas semua itu. Saya terkejut bahwa pandangan-pandangan saya ditampilkan seperti apa yang saya sampaikan, tanpa sedikit pun penyuntingan dari Shavit, yang pertanyaan-pertanyaannya selalu sopan dan tidak konfrontatif.

Satu minggu setelah wawancara itu, muncul respon dari Meron Benvenisti, mantan wakil walikota Yerusalem di bawah Teddy Kollek. Respon itu begitu mengerikan secara personal: penuh dengan cacian dan serangan terhadap pribadi dan keluarga saya. Namun, Benvenisti tidak pernah mengingkari eksistensi bangsa Palestina, atau bahwa kami diusir dari tanah air kami pada 1948. Faktanya, dia mengatakan, “Kami menundukkan kalian, lantas mengapa kami harus merasa bersalah?” Saya menanggapi Benvenisti satu minggu kemudian di Haaretz. Apa yang saya tulis juga diterbitkan tanpa dipangkas. Saya mengingatkan para pemimpin Israel bahwa Benvenisti bertanggung jawab atas pembumihangusan (dan mungkin mengetahui pembunuhan sejumlah orang Palestina) Haret al-Magharibah pada 1967, yang di dalamnya ratusan orang Palestina kehilangan rumah-rumah mereka karena dihancurkan buldozer-buldozer Israel. Namun, saya tidak harus mengingatkan Benvenisti atau para pembaca Haaretz bahwa sebagai sebuah bangsa, kami (bangsa Palestina—penerj.) eksis dan setidaknya bisa mempertanyakan hak pulang kami (right of return). Hal itu sudah menjadi kebenaran yang diterima begitu saja (taken for granted).

Ada dua hal di sini. Pertama, keseluruhan wawancara tersebut tidak akan bisa tampil di suratkabar Amerika mana pun, dan pastinya tidak di jurnal Yahudi-Amerika mana pun. Dan kalaupun ada wawancara, maka pertanyaan untuk saya akan menjadi konfrontatif, intimidatif, penuh hinaan, seperti, mengapa anda terlibat dalam terorisme, mengapa anda tidak mengakui Israel, kenapa Haji Amin seorang Nazi, dan lain sebagainya. Kedua, orang Israel sayap kanan, seperti Benvenisti, tak peduli seberapa besar ia membenci saya dan pandangan saya, tidak akan mengingkari eksistensi bangsa Palestina yang dipaksa pergi pada 1948. Seorang Zionis Amerika sejak awal akan mengatakan bahwa tidak ada pendudukan yang terjadi atau, seperti yang diklaim Joan Peters dalam buku terbitan 1984 yang kini menghilang dan dilupakan, From Time Immemorial (yang memenangi hampir semua penghargaan Yahudi ketika terbit di sini), bahwa tidak ada bangsa Palestina yang hidup di Palestina sebelum 1948.

Setiap orang Israel akan siap mengakui dan tahu secara persis bahwa seluruh Israel sekarang ini dulunya adalah Palestina, bahwa (sebagaimana yang juga diakui Moshe Dayan [3] secara terbuka pada 1976) setiap kota atau desa Israel dulunya memiliki nama-nama Arab. Dan Benvenisti pun mengatakan secara terbuka, “Kami menjajah, lantas apa?” “Mengapa kami harus merasa bersalah karena kemenangan kami?” Diskursus Zionis Amerika tidaklah pernah sejujur itu. Ia selalu saja berputar dan berbicara mengenai penciptaan padang pasir menjadi subur atau demokrasi Israel, dan lain-lain, sehingga benar-benar menghindari fakta-fakta esensial mengenai 1948, dimana setiap orang Israel secara aktual menyadarinya. Bagi Zionis Amerika, semua itu adalah fantasi, atau mitos, bukan realitas. Begitu tercerabut dari aktualitas dan begitu terperangkap ke dalam superioritas sebagai minoritas yang paling sukses dan digdaya di Amerika Serikat itulah Zionis Amerika, sehingga apa yang muncul seringkali adalah kecemasan yang bercampur dengan kekerasan eksplisit terhadap Arab dan ketakutan yang mendalam serta kebencian kepada mereka. Ini adalah hasil dari, tidak seperti Yahudi Israel, ketiadaan hubungan langsung yang berkelanjutan antara Zionis Amerika dengan Arab.

Dengan demikian, bagi Zionis Amerika, Arab bukanlah sesuatu yang nyata, tetapi fantasi dari segala sesuatu yang selalu bisa dijelek-jelekkan dan dibenci; terorisme dan anti-Semitisme lebih khususnya. Saya pernah menerima surat dari seorang bekas mahasiswa saya, yang memperoleh keuntungan karena mendapatkan suatu pendidikan terbaik di AS: dia masih mampu menampikan dirinya untuk bertanya kepada saya secara jujur dan sopan, mengenai mengapa, sebagai seorang Palestina, saya membiarkan seorang Nazi seperti Haji Amin bisa membentuk agenda politik saya, “Sebelum Haji Amin,” dia berkomentar, “Yerusalem tidak penting bagi Arab. Karena begitu jahat, ia membuat Yerusalem menjadi isu penting bagi Arab dengan tujuan hanya untuk menggagalkan keinginan Zionis yang selalu memandang Yerusalem penting bagi mereka.” Jelas ini bukanlah logika bagi seseorang yang pernah hidup bersama Arab dan mengetahui sesuatu yang konkret mengenai Arab. Ini adalah tentang seseorang yang membicarakan sebuah diskursus yang terorganisasi dan diarahkan oleh sebuah ideologi yang hanya memandang Arab sebagai sebuah fungsi negatif, sebagai manifestasi dari hasrat-hasrat jahat anti-Semit. Dengan sendirinya, maka Arab adalah untuk diperangi dan, jika mungkin, dibuang jauh-jauh. Tak terkecuali Dr. Baruch Goldstein, pembunuh berdarah dingin atas 29 orang Palestina yang tengah mendirikan salat dengan tenang di mesjid Hebron, adalah seorang Amerika, dan juga Rabbi Meir Kahane [4]. Alih-alih dipandang sebagai penyimpangan yang memalukan bagi para pengikut mereka, baik Kahane maupun Goldstein kini malah dihormati oleh orang-orang lain yang serupa dengan keduanya. Sebagian besar imigran (Yahudi) radikal kanan paling fanatik yang kini menduduki tanah Palestina tanpa kenal lelah berbicara tentang “tanah Israel” seolah-olah tanah itu milik mereka dan membenci serta mengabaikan para pemilik tanah dan pemukim Palestina di sekitar mereka. Dan mereka ternyata juga kelahiran Amerika. Melihat mereka melangkah di jalan-jalan Hebron, seolah-olah kota Arab itu seluruhnya kepunyaan mereka, adalah sebuah pemandangan yang menakutkan. Ini dipicu oleh sikap kasar dan penghinaan yang mereka tampilkan secara terang-terangan terhadap mayoritas Arab.

Saya mengungkapkan semua itu di sini adalah untuk menyampaikan satu hal esensial. Setelah Perang Teluk, ketika PLO mengambil keputusan strategis—yang telah ditempuh sebelumnya oleh dua negara utama Arab—untuk bekerja sama dengan pemerintah Amerika Serikat dan jika mungkin dengan lobi kuat yang menguasai perdebatan soal kebijakan Timur Tengah, mereka telah membuat keputusan tersebut berdasarkan atas kepandiran yang besar dan asumsi-asumsi yang luar biasa salah. Gagasan itu, sebagaimana diungkapkan kepada saya setelah 1967 oleh seorang diplomat Arab, adalah untuk benar-benar menyerah, atau katakan saja, kami tidak ingin lagi berjuang. Kini kami bersedia menerima Israel dan juga menerima peran menentukan AS terhadap masa depan kami. Pada saat itu, dan juga kini, terdapat alasan-alasan objektif bagi pandangan semacam itu, yakni untuk apa lagi berjuang jika semua itu hanya menghasilkan kekalahan yang lebih jauh dan bahkan bencana. Namun, saya sepenuhnya percaya bahwa adalah sebuah kebijakan yang salah untuk menyerahkan kepentingan Arab di pangkuan AS, karena organisasi-organisasi utama Zionis begitu berpengaruh di mana pun di negara itu, seraya mengatakan, kami tidak akan berjuang lagi, izinkan kami bergabung dengan kalian tetapi perlakukan kami dengan baik. Harapannya adalah bahwa jika kami menerima dan mengatakan, kami tidak lagi menjadi musuh kalian, maka sebagai Arab kami akan menjadi teman kalian. Persoalannya adalah kesenjangan kekuatan yang ada. Bagi yang kuat, perbedaan apakah yang bisa diharapkan dari strategi mereka jika musuh mereka yang lemah menyerah dan mengatakan, kami tidak akan berjuang lagi, ajaklah kami, kami ingin menjadi sekutu kalian, hanya tolong pahami kami sedikit lebih baik dan kemudian kalian akan menjadi lebih adil?

Cara terbaik untuk menjawab pertanyaan ini dalam terminologi yang praktis dan konkret adalah dengan memerhatikan proses pemilihan senator di New York, ketika Hillary Clinton bersaing dengan calon Republik Ric Lazio untuk memperebutkan kursi yang ditinggalkan Daniel Patrick Moynihan (D). Akhir tahun lalu, Hillary mengatakan bahwa dia mendukung berdirinya sebuah negara Palestina dan, dalam kunjungan resmi ke Gaza bersama suaminya, memeluk Suha Arafat. Namun, sejak memasuki persaingan kursi senat di New York, dia malah telah mengalahkan Zionis sayap kanan yang paling radikal sekalipun dalam fanatisme kepada Israel dan penentangan kepada Palestina. Lebih jauh, dia bahkan mendorong pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem dan (jauh lebih ekstrem) mengkampanyekan keringanan hukuman bagi Jonathan Pollard, analis intelijen Angkatan Laut AS yang divonis sebagai mata-mata Israel karena telah mengungkapkan sejumlah data intelijen kepada Israel, dan kini menjalani hukuman seumur hidup.

Para pesaing Hillary dari Partai Republik berupaya mempermalukannya dengan menyebutnya sebagai “pecinta Arab” dengan merilis sebuah foro dimana ia memeluk Suha. Karena New York adalah pusat kekuasaan Zionis, maka menyerang seseorang dengan label semacam itu, “pecinta Arab” dan “sahabat Suha Arafat”, sama artinya dengan sebuah penghinaan terburuk yang paling mungkin dilakukan. Semua ini tentu saja terlepas dari kenyataan bahwa Arafat dan PLO justru telah menyatakan diri mereka sebagai sekutu Amerika, penerima bantuan militer dan keuangan AS, dan penikmat dukungan keamanan Dinas Intelijen Pusat CIA.

Dalam kesempatan yang berbeda, Gedung Putih pun kemudian merilis sebuah foto yang menampilkan Lazio sedang berjabat tangan dengan Arafat dua tahun yang lalu. Satu serangan tampaknya layak mendapatkan balasannya.

Fakta sebenarnya adalah bahwa diskursus Zionis merupakan diskursus kekuatan, dan Arab dalam diskursus itu adalah objek dari kekuatan—objek yang tidak termaafkan. Dengan menyerahkan posisi tawar Palestina kepada kekuatan ini sebagai bekas musuh yang menyerah, maka Palestina tidak akan pernah dipandang dalam terminologi yang setara dengan kekuatan tersebut. Karenanya, pertunjukkan yang merendahkan dan menghinakan Arafat (selalu dan selamanya dipandang sebagai simbol kebencian kepada pemikiran Zionis) telah dan terus akan digunakan dalam keseluruhan persaingan lokal di Amerika antara dua kompetitor yang mencoba membuktikan siapa di antara mereka yang lebih pro-Israel. Dan bahkan keduanya, baik Hillary Clinton maupun Ric Lazio, bukanlah Yahudi.

Apa yang hendak saya diskusikan dalam bagian selanjutnya adalah bagaimana satu-satunya strategi politik yang mungkin bagi AS sejauh terkait kebijakan mengenai Arab dan Palestina bukanlah sebuah kesepakatan dengan Zionis maupun dengan kebijakan AS. Namun, strategi itu adalah sebuah mobilisasi kampanye publik yang diarahkan kepada rakyat AS demi kepentingan hak-hak kemanusiaan, sipil, dan politik bangsa Palestina. Semua kesepakatan, apakah itu Oslo atau Camp David, akan gagal karena, sederhananya, diskursus resmi mengenai Palestina secara total didominasi oleh Zionisme dan, dengan beberapa pengecualian, tidak ada alternatif lain yang mungkin. Dengan demikian, semua kesepakatan damai yang diambil atas dasar sebuah persekutuan dengan AS adalah kesepakatan yang justru lebih menjustifikasi kekuatan Zionisme ketimbang melawannya. Untuk menyerah begitu saja kepada kebijakan Timur Tengah yang didominasi Zionis, sebagaimana yang Arab telah lakukan selama lebih daripada satu generasi, tidak akan menghasilkan stabilitas di Palestina dan juga kesetaraan dan keadilan di AS.

Ironinya adalah bahwa masih ada sejumlah besar opini yang siap beroposisi, baik kepada Israel maupun kebijakan luar negeri AS. Tragedinya adalah Arab terlalu lemah, terlalu bercerai-berai, sangat tidak terorganisasi, dan tidak peduli untuk mengambil keuntungan dari kesempatan tersebut. Saya juga akan membahas faktor-faktor penyebabnya pada bagian selanjutnya karena harapan saya tertuju kepada generasi baru yang mungkin terkacaukan dan terlemahkan oleh tempat yang memilukan, dimana kebudayaan dan masyarakat kami kini berada, dan oleh kemarahan yang konstan serta kehinaan yang kami semua alami sebagai akibatnya. Sebuah episode kecil tapi mungkin memalukan terjadi sejak saya menulis bagian terakhir dari artikel ini dua minggu lalu. Martin Indyk, duta besar AS kepada Israel (untuk periode kedua selama masa pemerintahan Clinton), tiba-tiba dicabut jaminan keamanan diplomatiknya oleh Departemen Luar Negeri. Ceritanya karena ia menggunakan komputer jinjingnya tanpa melalui prosedur keamanan yang semestinya, dan karenanya mungkin telah merilis informasi kepada orang-orang yang tidak berwenang. Akibatnya, ia kini tidak bisa memasuki atau meninggalkan Departemen Luar Negeri tanpa pengawasan, tidak bisa tetap berada di Israel, dan seharusnya menjalani sebuah investigasi menyeluruh.

Kita mungkin tidak bisa menemukan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, apa yang menjadi rahasia publik dan sayangnya tidak dibahas oleh media adalah skandal penunjukkan Indyk pada kali pertamanya. Menjelang pelantikan Clinton pada Januari 1993, diumumkan bahwa Martin Indyk, yang lahir di London dan menjadi warganegara Australia, telah disumpah menjadi warganegara AS berdasarkan atas kehendak langsung presiden terpilih. Prosedur-prosedur yang semestinya tidak dilalui. Ini adalah sebuah tindakan dari hak prerogatif eksekutif, sehingga, setelah memperoleh kewarganegaraan AS, Indyk dapat segera menjadi seorang anggota Dewan Keamanan Nasional AS yang bertanggung jawab dalam kebijakan Timur Tengah. Semua ini, saya percaya, merupakan skandal yang sebenarnya, bukan kecerobohan Indyk setelahnya atau atau ketidakhati-hatiannya, atau bahkan keterlibatannya dalan mengabaikan kode-kode etik yang resmi. Karena sebelum ia datang ke jantung pemerintahan AS pada puncak dan posisi yang seringkali dijalankan secara rahasia, Indyk adalah kepala Washington Institute for Near East Policy, semacam think thank yang terlibat dalam mendukung secara aktif kepentingan Israel, dan yang mengordinasikan aktivitasnya dengan AIPAC (American Israel Public Affairs Committee), lobi paling berpengaruh dan ditakuti di Washington. Patut diperhatikan bahwa sebelum datang ke pemerintahan Bush, Dennis Ross, penasehat Departemen Luar Negeri AS yang memimpin proses perdamaian Amerika, adalah juga kepala Washington Institute. Jadi, lalu-lintas antara lobi Israel dan kebijakan Timur Tengah AS sangatlah reguler, dan memang diregulasikan.

AIPAC selama bertahun-tahun menjadi begitu berpengaruh bukan hanya karena didukung oleh populasi Yahudi yang terorganisasi, terhubungkan dengan baik, sangat menonjol, sukses, dan kaya tetapi sebagian besarnya karena sedikit sekali resistensi terhadapnya. Terdapat ketakutan dan rasa hormat yang kuat bagi AIPAC di seluruh Amerika, dan khususnya di Washington, dimana dalam beberapa jam saja nyaris seluruh anggota Senat dapat digiring untuk menandatangani sebuah surat kepada presiden demi kepentingan Israel. Siapa yang mau menentang AIPAC dan melanjutkan karirnya di Kongres, atau berhadapan dengannya demi kepentingan, katakan saja, bangsa Palestina ketika tidak ada hal konkret yang dapat ditawarkan dibandingkan dengan apa yang ditawarkan kepada siapa pun yang mendukung AIPAC? Di masa lalu, satu atau dua anggota Kongres memang melakukan resistensi terhadap AIPAC secara terbuka tetapi segera setelahnya pemilihan ulang mereka diblok oleh banyak komite aksi politik yang dikendalikan AIPAC. Satu-satunya senator yang terlihat memiliki pandangan oposisi terhadap AIPAC adalah James AbuRezk, tetapi dia menolak untuk dipilih kembali dan, karena alasannya sendiri, mengundurkan diri setelah periode enam tahunnya berakhir.

Tidak ada pengamat politik yang secara jelas dan terbuka menentang Israel di AS. Seorang kolumnis liberal, seperti Anthony Lewis dari New York Times, kadang-kadang menulis kritik terhadap praktik pendudukan Israel, tetapi tidak ada yang dikatakannya mengenai 1948 dan seluruh isu tentang pengusiran Palestina yang orisinal, yang menjadi akar dari keberadaan Israel dan perilaku-perilaku setelahnya. Dalam sebuah artikel, baru-baru ini mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, Henry Pracht, mengungkapkan adanya keselarasan opini yang luar biasa di semua sektor media Amerika, dari film, televisi, radio, suratkabar, hingga terbitan-terbitan mingguan, bulanan, kwartalan, dan harian: semuanya, lebih atau kurangnya, bersentuhan dengan garis kepentingan Israel, yang juga menjadi garis kebijakan resmi Amerika. Inilah keselarasan yang Zionisme Amerika capai sejak 1967, dan yang dieksploitasi dalam sebagian besar wacana publik mengenai Timur Tengah. Dengan begitu, kebijakan AS setara dengan kebijakan Israel, terkecuali dalam beberapa kesempatan yang teramat jarang (misalnya dalam kasus Pollard), dimana Israel melangkahi batas dan berasumsi bahwa ia mempunyai hak untuk menolong dirinya sendiri sesuai dengan apa yang dikehendakinya.

Kritik terhadap praktik-praktik Israel, karenanya, sangat terbatas pada manuver-manuver yang sporadik, yang sangat jarang hingga nyaris tidak terlihat. Konsensus utamanya benar-benar tak tersentuh kritik dan begitu kuat hingga dapat dipaksakan di mana-mana sebagai arus utama yang diterima. Konsensus ini terdiri dari ‘kebenaran’ yang anti-kritik mengenai status Israel sebagai negara demokrasi, kualitas dasarnya, hingga modernitas dan rasionalitas rakyat serta keputusannya. Rabbi Arthur Hertzberg, seorang agamawan liberal Amerika, suatu kali pernah mengatakan bahwa Zionisme adalah agama sekuler komunitas Yahudi Amerika. Ini didukung secara jelas oleh beragam organisasi Amerika yang perannya adalah untuk mengawasi kehidupan publik dari perbedaan, bahkan ketika banyak organisasi Yahudi lainnya menjalankan rumah sakit, musium, dan lembaga-lembaga riset demi kebaikan negara ini. Dualitas ini tampaknya adalah sebuah paradoks yang tak tertuntaskan dimana lembaga-lembaga publik yang mulia eksis bersama dengan lembaga-lembaga yang tak berhati nurani dan nyaris tidak manusiawi. Karenanya, sebagai contoh, Zionist Organization of America (ZOA), sebuah kelompok fanatik kecil tapi vokal, memasang sebuah iklan di New York Times pada 10 September 2000. Iklan ini ditujukan kepada Ehud Barak seolah-olah ia adalah pegawai yang digaji Yahudi Amerika. Iklan ini mengingatkan Barak bahwa enam juta Yahudi Amerika adalah lebih banyak daripada lima juta orang Israel yang telah memutuskan untuk menegosiasikan Yerusalem. Bahasa di dalam iklan itu bukan hanya bernada peringatan tetapi juga mengancam dengan mengatakan bahwa perdana menteri Israel secara tidak demokratis telah memutuskan apa yang ditentang oleh Yahudi Amerika, yang tidak rela dengan sikapnya. Tidaklah jelas siapa yang memberi kelompok fanatik kecil nan agresif ini sebuah mandat untuk menceramahi perdana menteri Israel dalam nada seperti itu. Namun, ZOA merasa mempunyai hak untuk mengintervensi urusan siapa pun. Mereka secara rutin menghubungi dan menulis surat kepada rektor universitas saya agar ia mengeluarkan atau mencekal saya karena sesuatu yang telah saya katakan, seolah-olah universitas sama dengan taman kanak-kanak dan para profesornya dapat diperlakukan layaknya para penjahat di bawah umur. Tahun lalu, mereka menggalakkan sebuah kampanye untuk menjatuhkan saya dari posisi sebagai presiden Modern Language Association, dimana 30 ribu anggotanya mereka ceramahi seolah-olah kumpulan orang bodoh. Ini adalah jenis intimidasi gaya Stalin yang paling buruk tetapi telah menjadi ciri khas Zionisme Amerika dalam kondisinya yang paling fanatik.

Demikian juga, selama beberapa bulan terakhir, para penulis dan editor Yahudi sayap kanan (seperti Norman Podhoretz, Charles Krauthammer, dan William Kristol—untuk menyebut beberapa nama propagandis yang paling kasar) melancarkan kritik terhadap Israel karena telah membuat mereka tidak rela, seolah-olah mereka lebih berhak memiliki label “Israel” ketimbang siapa pun. Nada bahasa mereka dalam artikel-artikel tersebut, dan artikel-artikel lainnya, benar-benar mengerikan: sebuah kombinasi dari selera rendah, kebodohan yang eksplisit, khotbah soal moral, dan bentuk kemunafikan paling buruk. Semua itu mereka sampaikan dalam suasana kepercayaan diri yang sempurna. Mereka berasumsi bahwa dengan adanya kekuatan organisasi-organisasi Zionis yang mendukung dan melindungi keliaran mereka, maka mereka bisa bebas begitu saja menampilkan verbalisme yang melewati batas. Namun, hal ini lebih banyak disebabkan oleh mayoritas orang Amerika yang tidak peduli kepada apa yang mereka katakan atau diintimidasi untuk bungkam sehingga membuat mereka terus melenggang dengan semua omong kosong tersebut. Hanya sedikit orang Amerika yang bersentuhan dengan aktualitas-aktualitas politik Timur Tengah yang sebenarnya. Bahkan, orang-orang Israel yang lebih sensitif kerap memandang jijik orang-orang seperti itu.

Zionisme Amerika kini telah mencapai level dari sesuatu yang nyaris murni fantasi, yakni bahwa apa yang baik bagi Zionis Amerika, dalam hegemoni mereka dan wacana fiksi mereka, adalah baik bagi Amerika dan Israel, dan tentunya bagi Arab, Muslim, dan Palestina, yang dipandang tak lebih daripada sekedar rasa gatal yang bisa diabaikan. Siapa pun yang menentang dan berani menantang mereka (khususnya ketika dia seorang Arab atau Yahudi yang mengkritik Zionisme) akan menjadi korban dari pembunuhan karakter dan kekerasan yang paling buruk, dimana semuanya bersifat personal, rasis, dan ideologis. Mereka tak pernah mengenal lelah dan benar-benar tanpa rasa kasih sayang atau kemanusiaan yang tulus. Mengatakan bahwa serangan dan analisis mereka seperti Perjanjian Lama dalam praktiknya adalah sama dengan menghina Perjanjian Lama itu sendiri.

Dengan kata lain, menjalin persekutuan dengan mereka, seperti yang coba dijustifikasi oleh negara-negara Arab dan PLO sejak Perang Teluk, adalah sebuah ketidakpedulian yang paling bodoh. Zionis Amerika secara dogmatis menentang segala hal yang Arab, Muslim, dan khususnya bangsa Palestina perjuangkan serta dengan segera akan menghancurkan segala sesuatunya alih-alih membuat kesepakatan damai dengan kita. Adalah juga benar adanya bahwa sebagian besar orang awam dikacaukan oleh antusiasme dalam nada bahasa mereka seraya tidak menyadari apa yang sebenarnya berada di balik itu. Kapan pun anda berbicara tentang Palestina dengan orang-orang Amerika yang bukan Yahudi atau Arab, dan tidak akrab dengan persoalan Timur Tengah, seringkali terdapat kemarahan yang ditunjukkan lewat sikap intimidatif, seolah-olah seluruh Timur Tengah adalah milik mereka untuk mereka ambil. Zionisme di Amerika, saya simpulkan, hanyalah sebuah fantasi yang dibangun di atas fondasi yang lemah. Tidaklah mungkin menjalin persekutuan atau melakukan pertukaran rasional dengannya. Namun, ia juga dapat dibongkar dan dikalahkan.

Berkali-kali sejak pertengahan 1980-an, saya menyatakan kepada para pemimpin PLO dan setiap orang Palestina serta Arab yang saya temui bahwa upaya PLO untuk menarik perhatian presiden AS sepenuhnya merupakan sebuah ilusi karena semua presiden AS kontemporer telah mendedikasikan dirinya kepada Zionisme. Saya mengusulkan bahwa satu-satunya jalan untuk mengubah kebijakan AS dan memperoleh hak menentukan nasib sendiri adalah dengan melalui sebuah kampanye publik yang langsung kepada rakyat Amerika tentang hak-hak asasi bangsa Palestina, yang berefek pada terbongkarnya Zionisme. Sebagai populasi yang tidak tercerahkan oleh informasi dan masih terbuka kepada rasa keadilan, orang-orang Amerika akan bereaksi seperti yang mereka lakukan terhadap rezim apartheid ANC, yang pada akhirnya mengubah keseimbangan di dalam Afrika Selatan. Secara berimbang di sini, saya harus menyebutkan bahwa James Zogby, sebelumnya adalah seorang aktivis hak asasi manusia yang energik (sebelum dia menjalin hubungan dengan Arafat, pemerintah AS, dan Partai Demokrat), dulu merupakan seorang pelopor ide tersebut. Bahwa dia mengabaikannya sekarang hanyalah tanda bahwa dia telah berubah, dan bukan tanda invaliditas ide itu sendiri.

Namun, juga menjadi jelas bagi saya bahwa PLO tidak akan pernah melakukan ide itu karena beberapa alasan. Pertama, ide itu membutuhkan kerja keras dan dedikasi. Kedua, ia berarti mencakup sebuah pandangan filosofis yang benar-benar berbasiskan pada organisasi akar-rumput yang demokratis. Ketiga, ia harus menjadi sebuah pergerakan daripada sekedar sebuah inisiatif pribadi dalam kaitan dengan pemimpin-pemimpin yang ada sekarang. Dan terakhir, ia meniscayakan sebuah pengetahuan riil, dan bukan superfisial, tentang masyarakat AS. Di samping itu, saya merasa bahwa pemikiran konvensional yang selama ini mengunci kita dalam satu posisi yang buruk adalah sesuatu yang sulit diubah, dan waktu ternyata membuktikan hal itu benar. Kesepakatan Oslo adalah sebuah penerimaan yang tak terbayangkan oleh Palestina bagi supremasi Israel-AS, alih-alih sebuah upaya untuk mengubahnya.

Bagaimanapun, setiap aliansi atau kompromi dengan Israel dalam situasi dan kondisi sekarang, ketika kebijakan AS benar-benar didominasi Zionisme Amerika, dapat dipastikan hanya memunculkan hasil yang sama bagi Arab secara umum dan bangsa Palestina pada khususnya. Israel harus dominan, kepentingan Israel lebih utama, dan ketidakadilan sistemik Israel dapat terus berlangsung. Terkecuali Zionisme Amerika diatasi dan dilucuti—sebuah tugas yang sejatinya tidak sulit, seperti yang akan saya tunjukkan pada bagian selanjutnya—maka hasilnya akan sama: kepedihan dan kehinaan bagi kami sebagai Arab.

Peristiwa-peristiwa selama empat minggu terakhir di Palestina benar-benar menjadi kemenangan bagi Zionisme Amerika Serikat untuk pertama kalinya sejak kemunculan kembali pergerakan nasional Palestina modern pada akhir 1960-an. Wacana politik dan publik dengan sangat definitif mentransformasi Israel menjadi ‘korban’ dalam beberapa konflik terakhir. Bahkan meskipun dilaporkan 140 orang Palestina meninggal dan hampir 5000 lainnya terluka, tetap saja dikatakan bahwa “kekerasan orang Palestina” adalah faktor yang menghalangi kelancaran “proses perdamaian”.

Kini ada sebuah ritual kecil dari ungkapan-ungkapan yang setiap pengamat akan mengulanginya kata demi kata atau bergantung kepadanya sebagai sebuah asumsi yang tak terkatakan; semua itu telah terukir di dalam telinga, pikiran, dan ingatan sebagai pembimbing bagi orang yang bingung; sebuah manual atau mesin untuk menghasilkan ungkapan-ungkapan yang telah menghentikan udara selama, paling tidak, satu bulan. Saya dapat membacakan kembali sebagian besar dari ungkapan itu, bahwa: Barak menawarkan konsensi yang lebih banyak di Camp David daripada perdana menteri Israel sebelumnya (90 persen wilayah dan kedaulatan terbatas atas Yerusalem); Arafat penakut dan tidak memiliki keberanian untuk menerima tawaran Israel demi mengakhiri konflik; kekerasan orang Palestina, yang diarahkan oleh Arafat, telah mengancam Israel (semua jenis variasi mengenai ini, termasuk keinginan untuk mengeliminasi Israel, anti-Semitisme, bom bunuh diri untuk tampil di televisi, dan menempatkan anak-anak di garis depan hingga mereka menjadi martir) dan membuktikan bahwa “kebencian” klasik kepada Yahudi memotivasi orang-orang Palestina; Arafat adalah seorang pemimpin lemah yang mengizinkan dan memprovokasi rakyatnya untuk menyerang Yahudi dengan merilis para teroris dan memproduksi buku-buku sekolah yang mengingkari eksistensi Israel.

Mungkin terdapat satu atau dua formula lainnya yang tidak saya kutipkan, tetapi gambaran umumnya adalah bahwa Israel dikelilingi oleh para barbarian yang melempari batu sehingga bahkan rudal-rudal, tank-tank, dan helikopter-helikopter pemburu yang digunakan untuk “membela” Israel dari kekerasan hanyalah sebuah upaya untuk mencegah kekuatan yang mengerikan itu. Perintah Bill Clinton (dengan penuh kesetiaan ditirukan menteri luar negerinya) kepada Palestina untuk “mundur” berhasil mengesankan bahwa orang-orang Palestina menginfiltrasi wilayah Israel, dan bukan sebaliknya.

Juga penting untuk disebutkan bahwa begitu berhasilnya upaya Zionisasi media ini sehingga tidak pernah ada sebuah peta pun yang diterbitkan atau ditunjukkan di televisi untuk mengingatkan para pembaca dan pemirsa Amerika—yang sangat tidak peduli dengan geografi dan sejarah—bahwa kamp-kamp, pemukiman-pemukiman, jalan-jalan, dan barikade-barikade Israel-lah yang mencacah tanah orang Palestina di Gaza dan Tepi Barat. Lebih jauh, seperti di Beirut pada 1982, terjadi sebuah pengepungan riil Israel terhadap orang Palestina, termasuk terhadap Arafat dan orang-orangnya. Yang benar-benar telah dilupakan—jika ini memang benar-benar dipahami—adalah sistem wilayah A, B, dan C yang dengannya pendudukan militer Israel terhadap 40 persen Gaza dan 60 persen Tepi Barat terus berlangsung, dan yang proses perdamaian Oslo tidak pernah benar-benar dirancang untuk mengakhirinya, atau bahkan tidak memodifikasinya sama sekali.

Sebagaimana yang ditunjukkan oleh tidak adanya geografi dalam konflik yang sebagian besarnya bersifat geografis ini, maka kelemahan yang dihasilkan adalah hal yang sangat penting karena gambar-gambar ditampilkan atau dijelaskan tanpa konteks sama sekali. Menurut saya, penghapusan oleh media yang terzionisasi ini adalah tindakan yang disengaja pada awalnya dan kini lambat-laun menjadi hal biasa. Media yang terzionisasi memberikan tempat kepada para komentator palsu, seperti Thomas Friedman, untuk menjajakan komoditasnya tanpa perasaan malu sedikit pun, menyuarakan ketidakberpihakan Amerika, fleksibilitas dan kedermawanan Israel, dan pragmatismenya yang bijaksana, yang dengannya dia mengecam para pemimpin Arab dan mengejutkan para pembacanya yang membosankan. Ia tidak hanya membiarkan anggapan yang luar biasa absurd tentang Palestina yang menyerang Israel untuk tampil ke permukaan tetapi lebih jauh mendehumanisasi Palestina sebagai binatang-binatang buas yang memangsa tanpa kesadaran dan motif. Ada sedikit pertanyaan mengapa ketika catatan mengenai siapa yang tewas dan terluka disebutkan, tidak ada informasi mengenai kebangsaan mereka? Hal ini jelas untuk membiarkan orang-orang Amerika berasumsi bahwa penderitaan terbagi secara seimbang di antara “kelompok-kelompok yang bertikai”, dan pada kenyataannya menonjolkan penderitaan Yahudi dan mereduksi atau menghilangkan sama sekali perasaan orang-orang Arab, terkecuali tentu saja bagi kemarahan mereka. Kemarahan dan faktor-faktor penyebabnya tinggal menjadi satu-satunya cara mendefinisikan emosi orang-orang Palestina. Hal itu menjelaskan kekerasan, dan memang, memperlakukannya sedemikian rupa sehingga Israel harus tampil sebagai representasi dari keluhuran moral dan demokrasi yang selamanya dikelilingi oleh kemarahan dan kekerasan. Tidak ada proses lain yang secara logis bisa menjelaskan para pelempar batu itu dan keperkasaan “pertahanan” Israel.

Tidak ada yang dikatakan mengenai penghancuran rumah, perampasan lahan, penahanan ilegal, penyiksaan, dan yang sejenisnya. Tidak ada yang dikutip mengenai apa yang disebut (kecuali bagi pendudukan Jepang atas Korea) pendudukan militer terlama dalam sejarah modern; tidak ada mengenai resolusi-resolusi PBB; tidak ada tentang pelanggaran Israel terhadap seluruh Konvensi Jenewa; tidak ada yang dikatakan mengenai penderitaan sebuah bangsa dan kekeraskepalaan bangsa lainnya. Lupakan tentang bencana (Nakba) pada 1948, pembersihan dan pembantaian etnis, penghancuran Qibya, Kafr Qassem, Shabra serta Shatila, dan periode panjang pemerintahan militer bagi warga Israel non-Yahudi tidak mengatakan apa pun tentang penindasan yang terus berlangsung terhadap mereka sebagai 20 persen minoritas yang dikorbankan di dalam negara Yahudi. Ariel Sharon, dikatakan, sebagai provokator terbaik, dan bukan seorang penjahat perang sementara Ehud Barak adalah negarawan, dan bukan penjagal Beirut. Terorisme selalu menjadi catatan di pihak Palestina sementara “membela diri” adalah milik Israel.

Apa yang abai disebut Friedman dan “para pecinta perdamaian” pro-Israel ketika mereka memuji kedermawanan Barak yang tak terbayangkan sebelumnya adalah substansi sebenarnya dari hal itu. Kita tidak diingatkan bahwa komitmen Barak untuk melakukan penarikan mundur yang ketiga (dari sekitar 12 persen wilayah pendudukan) yang dibuat di Wye 18 bulan yang lalu tidak pernah terjadi. Maka, nilai apakah yang lebih daripada “konsesi” seperti itu? Kita diberi tahu bahwa Barak akan mengembalikan 90 persen wilayah. Apa yang diabaikan adalah bahwa 90 persen merupakan nilai yang Israel tidak pernah akan kembalikan. Yerusalem Raya pastinya adalah 30 persen Tepi Barat; pemukiman besar yang harus dianeksasi adalah 15 persen lagi; jalan-jalan militer di wilayah-wilayah itu belum diputuskan. Jadi setelah semua ini dideduksikan, 90 persen sama sekali bukan jumlah yang banyak.

Mengenai Yerusalem, konsesi Israel pada prinsipnya adalah mereka konon berkeinginan untuk membahasnya dan mungkin, cuma mungkin, menawarkan pembagian otoritas yang sama atas Haram asy-Syarif. Kemunafikan yang mengejutkan dari persoalan ini adalah bahwa seluruh Yerusalem Barat (mayoritasnya Arab pada 1948) telah disepakati oleh Arafat, plus sebagian besar Yerusalem Timur yang diperluas. Sebuah rincian yang lebih jauh: orang-orang Palestina yang menembakkan senjata-senjata kecil mereka ke Gilo secara rutin dibuat seakan-akan seperti kekerasan yang tak ada pemicunya, sementara tak ada seorang pun yang menyebutkan bahwa Gilo itu sendiri berdiri di atas tanah yang dirampas dari Beit Jala, tempat dimana tembakan itu berasal. Di samping itu, Beit Jala secara membabi-buta terus dihujani rudal oleh helikopter Israel untuk menghancurkan rumah-rumah penduduk sipil.

Saya melakukan sebuah survei terhadap suratkabar-suratkabar utama. Beberapa kali sejak 28 September, terdapat setidaknya antara satu hingga tiga artikel rata-rata setiap harinya di New York Times, Washington Post, Wall Street Journal, Los Angeles Times, dan Boston Globe. Dengan pengecualian, mungkin, sekitar tiga artikel yang ditulis dari sudut pandang pro-Palestina di Los Angeles Times, dan dua lainnya (satu ditulis oleh seorang pengacara Israel, Alegra Pacheco, dan yang lainnya oleh jurnalis liberal pro-Oslo asal Yordania, Rami Khoury) di New York Times, seluruh artikel yang diterbitkan—termasuk yang ditulis para kolumnis reguler seperti Friedman, William Safire, Charles Krauthammer, dan yang serupa dengan mereka—berposisi mendukung Israel, proses perdamaian yang disponsori AS, dan ide bahwa kekerasan Palestina, kurangnya kerja sama Arafat, dan fundamentalisme Islam adalah yang patut dipersalahkan. Para penulis yang dimaksud, semuanya, merupakan mantan pejabat militer dan sipil AS, pejabat dan apologis Israel, para spesialis dan ahli, serta pejabat-pejabat lobi dan organisasi pro-Israel. Dengan kata lain, peliputan media arus utama telah benar-benar berasumsi bahwa pandangan Palestina atau Arab atau Muslim mengenai persoalan-persoalan seperti taktik teror Israel terhadap penduduk sipil, kolonialisme pemukiman, dan pendudukan militer sama sekali tidak ada, atau tidak berharga untuk didengar. Hal ini terjadi bukan tanpa preseden dalam catatan jurnalisme AS, dan merupakan sebuah refleksi langsung dari pola pikir Zionis yang menjadikan Israel sebagai norma dalam perilaku manusia, yang dengan begitu mengenyampingkan pertimbangan yang setara dari eksistensi 300 juta Arab dan 1,2 milyar Muslim.

Pola pikir yang sudah saya gambarkan sungguh mengerikan dalam kesembronoannya dan, jika hal itu bukan sebuah distorsi realitas secara praktis dan juga aktual, orang bisa dengan sangat mudah berbicara tentang sebuah bentuk gangguan kejiwaan. Dan ia sangat bersesuaian dengan kebijakan resmi Israel dalam berhadapan dengan Palestina, bukan sebagai bangsa dengan sejarah tentang perampasan hak milik dimana dalam sebagian besar kasus Israel bertanggung secara langsung, tetapi sebagai suatu gangguan periodik bagi mereka yang memandang kekuatan, dan bukan pemahaman serta akomodasi penuh, sebagai satu-satunya respon yang mungkin. Segala sesuatu selain itu jelas tidak pernah terlintas dalam pikiran. Ketidakpedulian yang luar biasa ini diperparah di Amerika Serikat karena Arab dan Muslim jarang dipedulikan kecuali sebatas (seperti yang sudah saya tulis sebelumnya) menjadi objek setiap politikus yang berambisi tinggi. Beberapa hari yang lalu, Hillary Clinton mengumumkan, dengan sebuah isyarat kemunafikan yang sangat menjijikkan, bahwa dia telah mengembalikan donasi sebesar $50,000 dari sebuah kelompok Muslim-Amerika karena, Hillary berkata, mereka mendukung terorisme; hal ini sesungguhnya adalah sebuah dusta yang luar biasa, karena kelompok yang dipersoalkan hanya mengatakan bahwa mereka mendukung resistensi bangsa Palestina terhadap Israel selama periode-periode krisis, dan dengan sendirinya bukanlah posisi yang problematik tetapi tetap dipandang kriminal di dalam sistem Amerika hanya karena Zionisme yang totaliter menuntut semua—dan lebih jelasnya saya bermaksud “setiap”—kritik terhadap apa yang Israel lakukan tidak dapat ditoleransi dan termasuk ke dalam kategori anti-Semitisme. Dan hal ini terjadi meski faktanya (kembali dalam maknanya yang paling jelas) seluruh dunia mengecam kebijakan-kebijakan pendudukan militer Israel, kekejaman yang tak sebanding, dan pengepungan bangsa Palestina. Di Amerika, anda harus menahan diri untuk tidak melancarkan kritik apa pun terhadap Israel jika anda tidak ingin didakwa sebagai seorang anti-Semit yang meniscayakan penghinaan yang brutal.

Keanehan lebih lanjut dari Zionisme Amerika, yang merupakan sebuah sistem pemikiran antitesis dan distorsi gaya Orwellian, adalah bahwa tidak diizinkan untuk berbicara tentang kekejaman Yahudi, atau tindakan-tindakan Yahudi yang berkaitan dengan Israel, meskipun segala yang dilakukan Israel dilakukan atas nama Yahudi, untuk, dan oleh negara Yahudi. Fakta bahwa negara seperti itu (Israel) secara istilah tidaklah cocok, karena hampir 20 persen populasinya bukanlah Yahudi, tidak pernah disampaikan kepada publik dan hal ini juga bertanggung jawab terhadap kesenjangan yang luar biasa, dan memang disengaja, antara apa yang media sebut sebagai “Arab Israel” dengan “Palestina”: mungkin tak seorang pembaca atau pemirsa pun tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang sama, yang dalam kenyataannya dipisahkan oleh kebijakan Zionis, atau bahwa kedua komunitas itu merepresentasikan akibat dari kebijakan Israel—kasus apartheid di satu sisi, dan pendudukan militer serta pembersihan etnis di sisi lain.

Ringkasnya, Zionisme Amerika telah menciptakan setiap diskusi publik yang serius mengenai Israel, penerima bantuan asing AS terbesar yang pernah ada, baik masa lalunya maupun masa depannya, sebuah tabu yang tidak boleh dilanggar dalam situasi apa pun. Untuk menyatakan hal ini secara jelas sebagai tabu terakhir di dalam diskursus Amerika akan dipandang sebagai suatu pernyataan yang dibesar-besarkan. Aborsi, homoseksualitas, hukuman mati, bahkan anggaran militer yang suci itu telah dibicarakan dengan bebas (meski selalu harus berada di dalam batas). Bendera Amerika bisa saja dibakar di muka umum, sementara kesinambungan sistematis perlakuan Israel selama 52 tahun terhadap Palestina hampir tak terbayangkan, sebuah kisah yang tidak boleh muncul ke hadapan publik.

Konsensus ini hingga batas-batas tertentu mungkin dapat ditoleransi selama tidak menjadikan dehumanisasi yang terus berlangsung terhadap orang-orang Palestina itu sebagai sesuatu yang bermoral. Tidak pernah ada bangsa di dunia pada hari ini yang pembunuhan terhadap mereka di layar-layar televisi dipandang oleh mayoritas pemirsa Amerika untuk diterima sebagai sebuah hukuman yang wajar. Inilah yang menimpa Palestina yang kematian warganya sehari-harinya dipersepsikan di bawah judul “kekerasan dua pihak”, seolah-olah batu dan katapel anak-anak muda itu, yang lelah dengan ketidakadilan dan penindasan, merupakan kekerasan yang lebih utama alih-alih resistensi mereka yang berani terhadap perendahan nasib yang ditakar kepada mereka, bukan hanya oleh para prajurit Israeli dengan senjata buatan Amerika tetapi juga oleh sebuah “proses damai” yang dirancang untuk memenjarakan mereka di dalam Bantustan [5] dan tempat-tempat penampungan yang hanya cocok untuk binatang.

Bahwa para pendukung Israel di Amerika selama tujuh tahun merencanakan demi menghasilkan suatu dokumen yang utamanya didesain untuk memenjarakan banyak orang layaknya para pesakitan dalam sebuah tempat rehabilitasi atau penjara, adalah sebuah kejahatan yang nyata. Dan bahwa ini bisa disamarkan sebagai perdamaian alih-alih sebagai kebinasaan yang memang terjadi selama ini telah melampaui kemampuan saya untuk memahami atau cukup menggambarkannya sebagai sesuatu yang tidak lain daripada kebejatan yang tanpa batas. Hal terburuk dari semua ini adalah begitu tebalnya dinding yang membatasi wacana tentang Israel di Amerika, bahwa tidak ada pertanyaan yang dapat diajukan kepada pikiran mereka yang menghasilkan Oslo dan bahwa selama tujuh tahun rencana mereka disamarkan kepada dunia sebagai “perdamaian”. Nyaris tidak ada orang yang mengetahui manakah yang lebih jahat: mentalitas yang berpikir bahwa Palestina bukan entitas yang berhak untuk mengekspresikan perasaan ketidakadilan mereka (mereka terlalu rendah bagi hal itu) ataukah mentalitas yang terus merencanakan perbudakan atas mereka?

Apakah seluruh hal tersebut sudah cukup buruk? Namun, status kita yang menyedihkan terkait Zionisme Amerika semakin diperparah oleh tidak adanya institusi di sini atau di dunia Arab yang siap dan mampu menghasilkan sebuah alternatif. Saya cemas bahwa peliputan seputar batu yang dilemparkan para pengunjuk rasa di Bethlehem, Gaza, Ramallah, Nablus, dan Hebron tidak cukup terefleksikan di dalam kepemimpinan Palestina yang serba ragu, tidak mampu untuk mundur ataupun bergerak maju. Dan ini adalah kemalangan yang terakhir.

CATATAN:
[1] Dimuat sebagai artikel berseri di Al Ahram Weekly, 21-27 September, 2-8 November, Edisi No. 500-506.
[2] Edward Said (1935-2003) adalah teoritikus sastra Amerika-Palestina. Ia lahir dari keluarga Palestina Protestan. Posisi terakhirnya adalah Gurubesar Kesusastraan Inggris dan Komparatif pada Universitas Colombia, dan dipandang sebagai salah satu figur pelopor dalam teori posmodernisme. Dalam dunia Islam dan Ketimuran, Said dikenal sebagai salah seorang yang pertama menjelaskan dan mengkritik “Orientalisme”. Selain itu, ia juga populer sebagai aktivis pembela hak-hak bangsa Palestina. Awalnya, Said mendukung “solusi dua negara” dan masuk ke dalam Palestinian National Council (PNC) sebagai salah seorang anggotanya. Menjelang penandatanganan Kesepakatan Oslo 1993, Said mengundurkan diri dari PNC karena merasa Oslo sebagai pengkhianatan atas bangsa Palestina dan tidak akan pernah menghasilkan berdirinya negara Palestina yang berdaulat. Secara khusus, ia menyebut Yasser Arafat telah menjual “hak pulang” bangsa Palestina ke tanah air mereka. Akhirnya, ia mendukung “solusi satu negara” di tanah historis Palestina, dimana warganya, baik Yahudi, Arab, maupun lainnya, bisa hidup damai dan menikmati kesetaraan hak. Karena Leukemia kronis, Edward Said wafat pada 25 September 2003 di New York City pada usia 67 tahun. Pada 2006, seorang antropologis, David Price, berhasil membongkar kumpulan dokumen Biro Penyelidik Federal FBI, yang 147 halaman di antaranya berkaitan dengan Said. Sejak 1971, Said ternyata diawasi dan dimata-matai FBI dengan kode “IS Middle East” (IS= Israel).
[3] Moshe Dayan (1915-1981) adalah panglima militer tersukses dalam sejarah negara Israel. Ia menjadi simbol peperangan Israel.
[4] Meir David Kahane (1932-1990) adalah Rabbi Amerika-Israel yang berpandangan rasialis. Ia menyerukan berdirinya negara teokratik Israel Raya karena memandang bahwa bangsa Palestina tidak pernah eksis dalam sejarah.
[5] Bantustan adalah istilah yang merujuk kepada wilayah-wilayah yang ditetapkan bagi penduduk kulit hitam di Afrika Selatan sebagai bagian dari kebijakan apartheid rezim ANC.