Kamis, 31 Desember 2015

Muawwiyah Meracun Imam Hasan Bin Ali & Membunuh Muhammad Bin Abu Bakar


Oleh O Hashem (penulis buku Saqifah)

Setelah Alî bin Abî Thâlib meninggal dibunuh oleh Abdurrahmân bin Muljam dengan pedang pada waktu subuh tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H, 24 Januari 661 M, Hasan bin Alî dibaiat dan pertempuran-pertempuran dengan Mu’âwiyah berlanjut. Pada pertengahan Jumadil Awal tahun 41 H, 16 September 661 M. tercapai persetujuan damai antara Hasan bin Alî dan Mu’âwiyah. Surat perdamaian berbunyi sebagai berikut:

Bismillâhirrahmânirrahim.

Ini adalah pernyataan damai dari Hasan bin Alî kepada Mu’âwiyah bin Abî Sufyân, bahwa Hasan menyerahkan kepada Mu’âwiyah wilayah Muslimîn, dan Mu’âwiyah akan menjalankan Kitâb Allâh SWT dan Sunnah Rasûl Allâh saw. dan tata cara Khulafâ’ur-Râsyidîn yang tertuntun, dan Mu’âwiyah bin Abî Sufyân tidak boleh mengangkat seseorang jadi khalîfah sesudahnya, tetapi akan diadakan lembaga syura di antara kaum Muslimîn dan bahwa masyarakat akan berada dalam keadaan aman di daerah Allâh SWT di Syam, Iraq, Hijaz dan Yaman, dan bahwa sahabat-sahabat Alî dan Syî’ah-nya terpelihara dalam keadaan aman, bagi diri, harta, para wanita dan anak-anak mereka, dan bahwa Mu’âwiyah bin Abî Sufyân setuju dan berjanji dengan nama Allâh bahwa Mu’âwiyah tidak akan mengganggu dan menganiaya secara tersembunyi atau terbuka terhadap Hasan bin Ali atau saudaranya Husien bin Ali atau salah seorang ahlu’l-bait Rasul Allâh saw. dan tidak akan mengganggu mereka yang berada di seluruh penjuru..dan bahwa Mu’âwiyah akan menghentikan pelaknatan terhadap Alî...”[1]

Dan sebagaimana biasa Mu’âwiyah melanggar janji. Ia meracuni Hasan bin Alî bin Abî Thâlib, dan setelah Hasan meninggal ia bersujud yang diikuti semua yang hadir seperti dilakukannya tatkala Imâm Alî meninggal dunia.

Ibnu Sa’d menceritakan: “Mu’âwiyah meracuni Hasan berulang-ulang.” Wâqidî berkata: “Mu’âwiyah meminumkan racun kepada Hasan, kemudian ia selamat, kemudian diminumkan racun lagi dan selamat, kemudian yang terakhir Hasan meninggal. Tatkala maut mendekat, dokter (thabib) yang menjenguknya berulang-ulang mengatakan bahwa Hasan diracun orang.”

Adiknya Husain berkata: “Ya ayah Muhammad, beritahukan saya, siapa yang meminumkan racun kepadamu?”

Hasan menjawab: “Mengapa, wahai saudaraku?”

Husain: “Demi Allâh, aku akan membunuhnya sebelum engkau dimakamkan. Dan bila aku tidak berhasil, akan aku meminta orang mencarinya.”

Hasan berkata: “Wahai saudaraku, sesungguhnya dunia ini adalah malam-malam yang fana. Doakan dia, agar dia dan aku bertemu di sisi Allâh, dan aku melarang meracuninya.”[2]

Mas’ûdî mengatakan: “Tatkala ia diberi minum racun, ia bangun menjenguk beberapa orang kemudian, setelah sampai di rumah, ia berkata: “Aku telah diracuni, berkali-kali tetapi belum pernah aku diberi minum seperti ini, aku sudah keluarkan racun itu sebagian, tetapi kemudian kembali biasa lagi.”

Husain berkata: “Wahai saudaraku, siapa yang meracunimu?”

Hasan menjawab: “Dan apa yang hendak kau lakukan dengannya? Bila yang kuduga benar, maka Allâh-lah yang melakukan hisab terhadapnya. Bila bukan dia, aku tidak menghendaki orang membebaskan diriku.”

Dan dia berada dalam keadaan demikian sampai 3 hari sebelum ia ra. akhirnya meninggal. Dan yang meminumkan racun kepadanya adalah Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindî, dan Mu’âwiyah yang memerintahkan kepadanya, dan bila ia berhasil membunuh Hasan ia akan dapat 100.000 dirham dan “aku akan mengawinkan kau dengan Yazîd.” Ialah yang mengirim racun kepada Ja’dah, istri Hasan. Dan tatkala Hasan meninggal, ia mengirim uang tersebut dengan surat: “Sesungguhnya kami mencintai nyawa Yazîd, kalau tidak maka tentu akan kami penuhi janji dan mengawinkan engkau dengannya.”[3]

Abû’l-Faraj al-Ishfahânî menulis: “Hasan telah mengajukan syarat perdamaian kepada Mu’âwiyah: “Mu’âwiyah bin Abî Sufyân tidak boleh mengangkat seseorang jadi khalîfah sesudahnya. Dan bila Mu’âwiyah akan mengangkat Yazîd, anaknya, jadi khalîfah, maka yang memberatkannya adalah Hasan bin Alî dan Sa’d bin Abî Waqqâsh”[4], maka Mu’âwiyah meracuni mereka berdua dan mereka meninggal. Ia mengirim racun kepada putri Asy’ats bin Qais: “Aku akan kawinkan kau dengan anakku Yazîd, bila kau racuni Hasan”, dan ia mengirim 100.000 dirham dan ia tidak mengawinkannya denganYazid.[5]

Abul Hasan al-Madâ’inî berkata: “Hasan meninggal tahun 49 H, 669 M. setelah sakit selama 40 hari pada umur 47 tahun. Ia diracuni Mu’âwiyah melalui tangan Ja’dah binti Asy’ats, istri Hasan dengan kata-kata: “Bila engkau membunuhnya dengan racun, maka engkau dapat 100.000 dan akan aku kawinkan kau dengan Yazîd, anakku.” Dan tatkala Hasan meninggal, maka ia memberikan uang tersebut dan tidak mengawinkannya dengan Yazîd. Ia berkata: “Aku takut kau akan lakukan terhadap anakku seperti yang engkau lakukan terhadap anak Rasûl Allâh saw.”[6]

Hushain bin Mundzir ar-Raqasyi berkata: “Demi Allâh Mu’âwiyah tidak memenuhi sama sekali janjinya, ia membunuh Hujur dan teman-temannya, membaiat anaknya Yazîd dan meracuni Hasan.”[7]

Abû Umar berkata dalam al-Istî’âb: “Qatâdah dan Abû Bakar bin Hafshah berkata: “Mu’âwiyah meracuni Hasan bin Alî, melalui istri Hasan, yaitu putri Asy’ats bin Qais al-Kindî. Sebagian orang berkata: “Mu’âwiyah memaksanya, dan tidak memberinya apa-apa, hanya Allâh yang tahu!” Kemudian ia menyebut sumbernya, yaitu Mas’ûdî.[8]

Ibnu al-Jauzî mengatakan dalam “at-Tadzkirah Khawâshsh’l Ummah”: “Para ahli sejarah di antaranya Abdul Barr meriwayatkan bahwa ia diracuni istrinya Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindî.”

As-Sûdî berkata: “Yang memerintahkannya adalah Yazîd bin Mu’âwiyah agar meracuni Hasan dan bahwa ia berjanji akan mengawininya. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah mengirim surat kepada Yazîd menagih janjinya. Dan Yazîd berkata: “Hasan saja kamu bunuh, apalagi aku, demi Allâh, aku tidak rela.”

Asy-Sya’bî mengatakan: “Sesungguhnya yang melakukan tipu muslihat adalah Mu’âwiyah. Ia berkata kepada istri Hasan: “Racunilah Hasan, maka akan aku kawinkan engkau dengan Yazîd dan memberimu 100.000 dirham.” Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menuntut janjinya. Mu’âwiyah lalu mengiriminya uang tersebut dan menambahkan : “Sesungguhnya aku mencintai Yazîd, dan mengharapkan agar ia tetap hidup, kalau tidak demikian tentu aku akan kawinkan engkau dengannya.”

Sya’bî berkata lagi: “Dan ini benar dengan berdasarkan saksi yang dapat dipercaya: “Sesungguhnya Hasan berkata tatkala akan mati dan telah sampai kepadanya apa yang dilakukan Mu’âwiyah: “Aku telah tahu minumannya dan kebohongannya, demi Allâh ia tidak memenuhi janjinya, dia tidak jujur dalam perkataannya.”

Kemudian Sya’bî mengutip ath-Thabaqât dari Ibnu Sa’d: “Mu’âwiyah meracuninya berulang ulang.”[9]

Ibnu Asâkir berkata: “Ia diberi minum racun, berulangulang, banyak, mula-mula ia bisa pulih, lalu diberi minum lagi dan ia tidak bisa pulih dan dikatakan: “Sesungguhnya Mu’âwiyah telah memperlakukan dengan ramah seorang pembantunya agar meracuninya dan ia lalu melakukannya dan berpengaruh sedikit demi sedikit, sampai ia memakai alat untuk bisa duduk dan ia bertahan sampai 40 kali.”

Muhammad bin al-Mirzubân meriwayatkan: “Ja’dah binti Asy’ats bin Qais adalah istri Hasan dan Yazîd melakukan tipu muslihat agar ia mau meracuni Hasan. Dan saya akan mengawininya, dan Ja’dah melakukannya. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menanyakan janji Yazîd dan Yazîd berkata: “Sesungguhnya, demi Allâh, kalau Hasan saja kamu bunuh, apalagi kami.”[10]

Hasan bin Alî sakit yang berakhir dengan kematiannya. Ia diracun istrinya, atas suruhan Mu’âwiyah dengan bayaran 100.000 dinar. Ia lalu memerintahkan Marwân bin Hakam yang diangkatnya jadi gubernur Madînah untuk terus mengamati Hasan dan menyuratinya. Tatkala datang berita bahwa Hasan telah meninggal seluruh penduduk Syam bertakbir. Seorang wanita, Fakhîtah binti Quraidhah bertanya kepada Mu’âwiyah: “Apakah kamu bertakbir bagi matinya putri Fâthimah?”

“Ya aku bertakbir karena hatiku gembira.”[11]

Ia sangat gembira dan bahagia dan bersujud, dan semua yang hadir ikut bersujud.[12]

Ia juga terkenal karena membunuh sahabat Rasûl Allâh saw. Hujur bin Adî dan kawan-kawannya pada tahun 51 H, 671 M. karena tidak mau melaknat Alî.

MUAWWIYAH MEMBUNUH MUHAMMAD BIN ABÛ BAKAR
Mu’âwiyah membunuh Muhammad bin Abû Bakar, anak khalîfah Abû Bakar. Mula-mula ia disiksa, tidak diberi minum, kemudian dimasukkan ke dalam perut keledai dan dibakar.

Untuk pertama kali dalam sejarah Islam, penguasa mempermainkan jenazah yang mereka bunuh.Dan jenazah ini adalah jenazah kaum Muslimîn.

Penguasa memenggal kepala mereka setelah diikat kedua tangan ke belakang, menyayat-nyayat mayat, mengarak kepala-kepala mereka berkeliling kota, membawanya dari kota ke kota dan akhirnya dikirim ke ‘khalîfah’ di Damaskus dengan menempuh jarak beratus-ratus kilometer.

Cukup dengan sedikit curiga bahwa seorang itu Syî’ah, maka mereka akan memotong tangan, kaki atau lidah mereka. Bila ada yang menyebut mencintai anak cucu Rasûl saja maka ia akan dipenjarakan atau hartanya dirampas, rumah dimusnahkan.

Bencana makan bertambah dan makan menyayat hati. Sampai gubernur Ubaidillâh bin Ziyâd membunuh Husain, kemudian gubernur Hajjâj bin Yûsuf yang membunuh mereka seperti membunuh semut. Ia lebih senang mendengar seorang mengaku dirinya zindîq atau kafir dari mendengar orang mengaku dirinya Syî’ah Alî.

Abû al-Husain Alî bin Muhammad bin Abî Saif al-Madani dalam kitabnya al-Ahdats, berkata: “Mu’âwiyah menulis sebuah surat kepada semua gubernurnya setelah tahun perjanjian dengan Hasan agar mereka mengucilkan orang yang memuliakan Alî dan keluarganya. “Pidatokan dan khotbahkan di tiap desa dan di tiap mimbar pelaknatan Alî dan kucilkan dia dan keluarganya.” Dan alangkah besar bencana yang menimpa Syî’ah Alî di Kûfah.

Diangkatlah Ziyâd bin Sumayyah diangkat jadi gubernur Kûfah. Ia lalu memburu kaum Syî’ah. Ia sangat mengenal kaum Syî’ah karena ia pernah jadi pengikut Alî. Dan ia lalu memburu dan membunuh mereka di mana pun mereka berada, tahta kulli hajar wa madar, membuat mereka ketakutan, memotong tangan dan kaki mereka, menyungkil bola mata mereka, samala al ‘uyun, dan menyalib mereka di batang-batang pohon korma. Ia memburu dan mengusir mereka ke luar dari Irak dan tiada seorang pun yang mereka kenal, luput dari perburuan ini.[13]

Di samping itu istri dan putri-putri Syî’ah dijadikan budak dan untuk pertama kali dilakukan Mu’âwiyah dengan Busr bin Arthât pada akhir tahun 39 H, 660 M. Mereka memaksa kaum Syî’ah membaiat khalîfah yang sebenarnya adalah raja yang lalim.

Setelah membaiat, biasanya mereka belum merasa puas, sehingga mereka merasa perlu membumi hanguskan desa mereka seperti diriwayatkan Bukhârî dalam tarikhnya.

Mu’âwiyah melalui jenderalnya Busr bin Arthât tersebut membakar rumah-rumah Zarârah bin Khairun, Rifâqah bin Rafî, Abdullâh bin Sa’d dari Banû Abdul Asyhal, semua adalah para sahabat kaum Anshâr. Celakanya Ziyâd bin Abih, yang mula-mula berpihak kepada Alî bin Abî Thâlib, menyeberang ke Mu’âwiyah, karena pengakuan Abû Sufyân bahwa Ziyâd yang lahir dari seorang budak perempuan asal Iran adalah anaknya.

Mu’âwiyah yang melihat Ziyâd sebagai seorang yang berbakat, mengakuinya sebagai saudaranya. Ummu Habîbah, istri Rasûl Allâh, saudara Mu’âwiyah tidak pernah mau mengakui Ziyâd sebagai saudaranya.

Karena pernah bersama Alî maka Ziyâd mengenal semua pengikut Alî dalam Perang Shiffîn dan dengan mudah memburu dan membunuhi mereka.

Orang pertama yang dipenggal kepalanya oleh Mu’âwiyah adalah Amr bin Hamaq sebagai Syî’ah Alî yang turut mengepung rumah Utsmân dan dituduh membunuh Utsmân dengan 9 tusukan. Ia melarikan diri ke Madâ’in bersama Rifâ’ah bin Syaddâd dan terus ke Mosul. Ia ditangkap dan gubernur Utsmân mengenalnya. Ia mengirim surat ke Mu’âwiyah. Mu’âwiyah menjawab seenaknya: “Ia membunuh Utsmân dengan 9 tusukan dengan goloknya (masyâqish) dan kita tidak akan bertindak lebih, tusuklah dia dengan sembilan tusukan.” Setelah ditusuk, baru tusukan pertama atau kedua, kelihatannya ia sudah mati,kepalanya dipenggal dan dikirim ke Syam, diarak kemudian diserahkan kepada Mu’âwiyah dan Mu’âwiyah mengirim kepala ini kepada istrinya Âminah binti al-Syarid yang sedang berada di penjara Mu’âwiyah. Kepala itu dilemparkan ke pangkuan istrinya. Istrinya meletakkan tangannya di dahi kepala suaminya kemudian mencium bibirnya dan berkata:

“Mereka hilangkan dia dariku amat lama,
Mereka bunuh dan sisakan untukku kepalanya,
Selamat datang, wahai hadiah,
Selamat datang, wahai wajah tanpa roma”[14]

CATATAN:
[1] Ibnu Hajar, Shawâ’iq, hlm. 81.
[2] Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 8, hlm. 43.
[3] Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hlm. 50.
[4] Sa’d adalah satu-satunya anggota Syûrâ yang dibentuk Umar yang masih hidup, pen.
[5] Al-Ishfahânî, Maqâtil ath-Thâlibiyîn, hlm. 29; Diriwayatkan Ibn Abîl Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 11, 17.
[6] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 4.
[7] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 7.
[8] Ibnu Abd al-Barr, Kitâb al-Istî’âb, jilid 1, hlm. 141.
[9] Ibnu al-Jauzî, ’al-Tadzkirah’, hlm. 121.
[10] Ibnu Asâkir, Târîkh, jilid 4, hlm. 229.
[11] Ad-Damîrî, Hayât al-Hayawân, jilid 1, hlm. 58; Diyâr Bakrî, Tarikh Yaum al-Khamîs, jilid 2, hlm. 294.
[12] 118 Ibnu Qutaibah, al-Imâmah was-Siyâsah, jilid 1, hlm. 144; Ibnu Abdu Rabbih, al-‘Iqd al-Farîd, jilid 2, hlm. 298; ar-Raghib al-Ishfahânî, Al-Muhâdharât, jilid 2, hlm. 224 dll.
[13] Lihat Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 11, hlm. 43, 44.

[14] Amr bin Hamaq adalah orang pertama dalam sejarah Islam yang kepalanya dipenggal dan diarak dari kota ke kota, lihat Ibn Qutaibah, Al-Ma’ârif, hlm. 127; Al-Istî’âb, jilid 2, hlm. 404; Al-Ishâbah, jilid 2, hlm. 533; Ibn Katsîr, Târîkh, jilid 8, hlm. 48.

Jumat, 25 Desember 2015

Imam Ali & Lelaki Kristiani yang Buta



Pada suatu malam, ada seorang lelaki buta yang tidak dapat melelapkan matanya. Hatinya seperti langit yang diselubungi awan. Dia mengeluh dan merintih sayu.

Keesokan paginya, lelaki buta itu bangun dari tempat pembaringannya, mencari sesuatu untuk mengisi perut. Perlahan-lahan tangannya meraba-raba ke seluruh penjuru kamar tersebut, tetapi, tidak ada yang dapat ditemui selain dari sekeping roti yang sudah kering. Kemudian, sebagaimana biasanya, dia memakai pakaiannya yang sudah robek, lalu berjalan melewati lorong-lorong kota dengan tongkatnya.

Seperti biasa, dia duduk di satu sudut kota, di bawah sebuah pohon dan mendengarkan langkah kaki orang-orang yang melewati tempat duduknya.

Dia menanti seseorang yang akan melontarkan kepingan uang atau makanan dalam tangannya, tetapi seolah-olah, tidak ada seorang pun yang menghiraukannya.

Tiba-tiba terdengar suara tapak kaki mendekatinya. Lelaki tua yang buta itu menumpukan sepenuh perhatiannya kepada langkah tersebut, tetapi beberapa saat kemudian, suara langkah tersebut tidak lagi terdengar.

Meskipun lelaki tua itu buta dan tidak melihat sesuatu, tetapi dia dapat merasakan bahwa seseorang sedang memperhatikannya. Dia berkata sendirian, "Siapakah gerangan orang tersebut?"

Ketika dia tenggelam dalam pikirannya, terdengar suara orang memberi salam. Lelaki tua itu menjawab salamnya dengan berkata, "Salam, selamat pagi." Bersamaan dengan itu, orang-orang dan pedagang yang melewati tempat tersebut melihat kehadiran Imam Ali as di sisi lelaki buta itu.

Mereka menghampirinya dan memberi salam kepada beliau sebagai tanda penghormatan.

Kini pahamlah lelaki tua yang buta itu bahwa lelaki yang memandanginya itu ternyata adalah pemimpin umat Islam, Imam Ali as. Imam Ali as menjawab salam orang-orang itu dan bertanya, "Kenalkah kalian dengan lelaki tua ini?"

Mereka yang mengenali lelaki tua itu berkata, "Wahai Amirul Mukminin, lelaki tua ini adalah seorang Kristiani, isterinya telah meninggal dunia. Dia adalah seorang lelaki yang amat baik dan bekerja keras. Tetapi sejak dia menjadi buta, dan dikarenakan dia tidak mempunyai siapapun, dia terpaksa mencari uang dengan meminta sedekah."

Imam Ali as berkata, "Sungguh menakjubkan! Ketika lelaki ini mempunyai kemampuan, dia telah bekerja keras dan kini bila dia berada dalam keadaan lemah, dia ditinggalkan? Ketika dia bisa melihat dan mempunyai kemampuan, dia bekerja keras untuk masyarakat. Kini, ketika dia sudah tua dan tidak lagi mampu untuk bekerja, maka menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk menyediakan keperluannya." 

SALUUNI YA MAASYIRAN NAAS…..
Ketika Imam Ali (as) diangkat menjadi khalifah secara aklamasi (dengan suara mayoritas) dan umat Islam membaiatnya dengan sukarela, beliau pergi ke masjid dengan memakai sorban dan selendang Rasulullah saw, memakai sandal Rasulullah saw, lalu belliau naik mimbar dan duduk di atasnya sambil menyilangkan jari-jari kedua tangannya dan meletakan dekat perut. Kemudian beliau berkata:

"Maasyirannas...bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilanganku. Inilah wadah ilmu. Inilah air liur Rasululah saw. Inilah yang Rasulullah saw tuangkan padaku berkali-kali. Bertanyalah kepadaku karena aku mempunyai ilmu-ilmu orang terdahulu dan orang-orang yang akan datang...” 


Perkataan Imam Ali (as) itu tentu bukan sekedar omong kosong, tetapi sebuah kenyataan dan bukti kesiapan beliau untuk memberikan jawaban segala persoalan dan memberikan solusi yang tepat terhadap segala problema umat manusia. Said bin al Musayib berkata, “tidak ada seorangpun dari sahabat Rasulullah yang mengatakan itu kecuali Ali bin Abi Thalib. Beliau berkali-kali mengatakan itu diatas mimbar” (Usud Al-Ghabah 4/22).


Sepanjang sejarah umat Islam ada beberapa orang yang sesumbar seperti perkataan di atas, tapi akhirnya dipermalukan karenanya, seperti: Muqotil bin Sulaiman, pada suatu saat duduk dan berkata, ”betanyalah kepadaku tentang apa yang ada di bawah Arsy sampai Luyana.”

Seorang bertanya kepadanya, “Adam ketika haji, siapa yang memotong rambutnya?” Lalu dia (Muqotil) menjawab, “ini bukan pertanyaanmu, tetapi Allah berkehendak mempermalukanku atas keujubanku” (Tarikh Al-Khatib Al-Baghdadi 13 hal. 163).

Qatadah berkata, “Bertanyalah kepadaku tentang Al-Qur’an! (niscaya aku menjawabnya). Abu Hanifah lalu bertanya kepada Qatadah, “bagaimana pendapatmu tentang Firman Allah: Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab, "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip" (Q.S 27:40). Siapakan orang itu?” Qatadah menjawab, “Dia adalah anak pamannya Sulaiman bin Dawud. Dia mengetahui nama Allah yang Sangat Agung.

“Apakah Sulaiman mengetahui nama (yang sangat agung) itu?” tanya Abu Hanifah lagi. “Tidak”. Jawab Qatadah yakin. “Subhanallah, berarti di hadapan seorang Nabi ada orang yang lebih pandai darinya.” Ujar Abu Hanifah. “Tanyakan persoalan lainnya!” kata Qatadah. “Apakah engkau orang yang beriman?” tanya Abu Hanifah. “Saya berharap seperti itu,” jawab Qatadah. “Mengapa Anda tidak menjawab seperti Nabi Ibrahim “ya, aku beriman” (Q.S 2:260) “Penganglah tanganku! Demi Allah, aku tidak akan datang ke kota ini lagi!” ujar Qatadah dengan malu (Al-Intiqa`, hal. 156).
Riwayat di atas dikutip dari Muhammad Ridha Al-Hakimi, Mengungkap Untaian Kecerdasan Sayidina Ali Bin Abi Thalib (MUKSA), hal 11-16. 


Lalu bagaimana dengan Imam Ali sendiri? Beliau berkata, “Sebelum aku meninggalkan kalian, tanyakanlah kepadaku tentang Al-Qur’an. Demi Allah! Tidak satupun dari ayat Al-Qur’an yang turun, kecuali RAsulullah membacakannya untukku, dan mengajarkan tafsirannya.”


Ibnu Abil Hadid menuturkan: Umar Ibn Khatab berkata kepada Ali bin Abi Thalib,” aku heran kepadamu wahai Ali, karena setiap kesulitan yang aku tanyakan kepadamu, engkau tidak pernah mengatakan tidak tahu, dan engkau selalu dapat menjawabnya secara langsung, bahkan tanpa berpikir sejenak pun.” Lalu Imam Ali menunjukan lima jarinya ke hadapan Umar seraya berkata: “Wahai Umar, berapakah ini?” Seketika Umar menjawab, “lima.” “Ketahuilah wahai Umar! Sesungguhnya bagiku semua ilmu pengetahuan dan jawaban dari segala masalah adalah semudah engkau menjawab pertanyaanku tadi.” (Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu jelas bagi Ali, seperti jelasnya Umar melihat lima jari tangan Ali). 

Ammar bin Yasir bertutur:  Pada satu peperangan, aku dan Imam Ali bin Abi Thalib as melewati sebuah gurun yang dipenuhi oleh semut. Aku pun berkata kepada Imam Ali, “wahai Tuanku, apakah ada yang mengetahui jumlah semut ini?” “Ya Wahai Ammar, aku mengetahuinya.” Jawab Imam Ali.  “Bagaimana engkau mengetahuinya?” tanya Ammar lagi. “Wahai Ammar, tidakkah engkau membaca surah Yasin? Yang mengatakan: 


وكل شيء أحصيناه في إمام مبين



“Dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam imam yang nyata” (Q.S 36:12) ?”


“Demi Allah, jiwaku kukorbankan untukmu, sesungguhnya aku telah membaca surah itu berkali-kali.” Ujar Ammar. “Maksud dari Imamim-mubin yang tersebut dalam Surah Yasin itu adalah diriku” (Tafsir Jami’, jilid 5). 


Selasa, 15 Desember 2015

Ayatullah Khomeini, Sang Wali yang Mengguncang Dunia



Oleh Robin Woodsworth Carlsen (penyair & filsuf Kanada)

Saya duduk di bagian depan ruangan. Kursi Khomeini, yang tertutup kain putih, terletak di atas panggung di hadapan kami kira-kira lima belas kaki di atas lantai. Seorang mullah bercambang putih mengawasi kami ketika kami memasuki ruangan. Ia memperbaiki mikrofon, sambil dengan sabar menunggu kedatangan Imam dari pintu tertutup di sebelah kanan panggung tempat ia memberikan ceramahnya.

Ruangan dipenuhi harapan yang disampaikan dengan berbisik. Sekali-kali sebagian orang Islam meneriakkan slogan atau ayat-ayat Al-Qur’an, lalu diikuti oleh ratusan orang Islam dan pengawal revolusi yang hadir di situ. Tidak seorang pun diperbolehkan merokok. Sikap penghormatan yang menguasai orang-orang yang menunggu Imam telah mengubah pemandangan yang biasanya kita lihat di Iran.

Ketika saya mengamati panggung tempat Imam Khomeini menyampaikan ratusan pidatonya, mata saya menangkap ketenangan, kemurnian, dan kesegaran fisik yang melayang-layang, atau lebih tepat lagi berkumpul dalam sebongkah energi yang kokoh dan tembus cahaya, yang sangat berbeda dengan hotel tempat kami menginap, bahkan berbeda dengan lingkungan mana pun yang pernah saya lihat dalam dua kali kunjungan saya ke Iran. Masjid saja tidak memancarkan sifat-sifat ini, sosok energi yang bulat.

Mungkin Imam itu seorang manusia yang tercerahkan seorang sufi sejati atau barangkali lebih dari itu? Semua tanda menunjukkan bahwa apa yang terjadi di sini menyeruak kepada apapun yang terjadi di Iran di luar ruangan ini. Perasaan seperti ini hanya mirip dengan apa yang saya rasakan ketika saya berada di front pertempuran atau ketika saya berjalan-jalan di pemakaman Beheste Zahra.

Saya hanya dapat menjelaskan perasaan ini dengan berasumsi bahwa barangkali kesyahidan itu ada, bahwa pelepasan ruh suci yang tiba-tiba dari tubuh, dengan membawa ruh itu ke langit karena niat syahid, telah menciptakan energi yang suci, energi yang dibekahi Allah sendiri.

Kami menunggu di sana kira-kira 45 menit sebelum terlihat tanda-tanda kedatangan Imam. Tanda-tanda itu sangat jelas. Beberapa ulama bersurban muncul dari pintu itu dan memberi isyarat kepada mullah yang ada di panggung bahwa sang pemimpin, ulama besar, panglima, dan imam sebentar lagi datang.

Ketika Khomeini muncul di pintu semua orang bangkit dan mulai berteriak, “Khomeini…Khomeini…Khomeini” teriakan penghormatan kepada manusia yang paling menggetarkan, paling ceria, dan paling bergelora yang pernah saya saksikan.

Semua orang betul-betul diseret ke dalam gelombang cinta dan pemujaan yang spontan seraya dengan setiap butir sel dalam jantungnya menyatakan keyakinan mutlak bahwa orang yang mereka hormati itu pantas mendapatkan kehormatan di sisi Allah.

Sungguh, aku berani mengatakan bahwa ledakan ekstase dan kekuatan yang menyambut Imam bukan hanya sekadar refleks karena pancingan tertentu tentang Imam. Ia adalah senandung puji yang alamiah dan bahagia; senandung penghormatan yang lahir karena keagungan dan kharisma dahsyat dari orang ini.

Ketika pintu dibuka untuknya, saya mengalami badai gelombang energi yang datang dari pintu itu. Dalam jubah cokelat, serban hitam, dan janggut putih, ia menggerakkan semua molekul dalam ruangan itu dan mencengkeram semua perhatian sehingga lenyaplah apapun selain dia.

Dia adalah pancaran cahaya yang menembus jauh ke dalam kesadaran semua orang di ruangan itu. Dia menghancurkan semua citra yang ditampilkan untuk menyainginya. Kehadirannya begitu mencekam sehingga aku harus menyusun kembali sensasiku, jauh di luar konsep-konsepku, jauh di luar kebiasaanku mengolah pengalaman.

Aku sudah mempersiapkan apapun keadaan orang ini untuk meneliti wajahnya, menggali motivasinya, memikirkan sifat yang sebenarnya. Kekuasaan, kebesaran, dan dominasi absolut Khomeini telah menghancurkan semua cara penilaianku. Di situ aku hanya mengalami energi dan perasaan yang memancar dari kehadirannya di panggung. Walaupun ia itu taufan, segera kita akan menyadari bahwa di dalam taufan itu ada ketenangan yang mutlak. Walaupun perkasa dan menaklukkan, ia tetap tenang dan damai.

Ada sesuatu yang tidak bergerak dalam dirinya, tetapi ketidak-bergerakkannya itu telah menggerakkan seluruh Iran. Ini bukan orang biasa. Bahkan, semua orang suci yang pernah aku temui, semacam Dalai Lama, pendeta Budha dan pendeta Hindu, tidak seorang pun memiliki sosok yang menggetarkan seperti Khomeini.

Bagi siapa saja yang dapat melihat atau merasa, tidak mungkin meragukan integritas pribadinya atau anggapan orang-orang yang disembunyikan oleh orang-orang seperti Yazdi bahwa ia telah meninggalkan diri manusia yang normal (atau abnormal) dan telah mencapai tempat tinggal yang mutlak.

Kemutlakan itu dinyatakan dalam udara, dinyatakan dalam gerak tubuhnya, dinyatakan dalam gerak tangannya, dinyatakan dalam nyala kepribadiannya, dinyatakan dalam ketenangan kesadarannya. Tidak mengherankan apabila ia dicintai jutaan orang Iran dan kaum Muslim sedunia. Bagi pengamat ini, paling tidak ia telah menunjukkan bukti empiris tentang adanya tingkat kesadaran yang tinggi.

Mula-mula ia tidak bicara; pemimpin agama yang lain yang berbicara kepada hadirin. Khomeini duduk dalam kesunyian yang tak bernoda dan dalam keserasian yang sempurna. Ia tak bergerak, ia terpisah, ia berada dalam lautan ketenangan. Tetapi ada suatu yang bergerak murni, ada sesuatu yang terlibat secara dinamis, ada sesuatu yang setiap saat siap melancarkan peperangan. Ia mengecilkan semua orang yang pernah saya temui di Iran. Ia menguasai panggung itu walaupun ada mullah lain yang tengah bicara. Semua mata terpaku pada Khomeini dan ia tidak menunjukkan sedikit pun kepongahan atau sadar diri atau aku berani mengatakan tidak sedikit pun kelihatan melamun atau berpikir ke sana kemari.

Seluruh wajahnya secara terus menerus dan secara spontan diarahkan kepada konsentrasi yang secara estetik dan spiritual serasi dengan pemandangan yang kami saksikan. Di sinilah ratusan pejuang dan kaum Muslimin meneriakkan kebesarannya, menyatakan kecintaan, dan penghormatan mereka kepadanya. Tetapi ketika ia menerima semuanya itu, ia tenang dalam dirinya, ia tidak bergerak. Ia tetap besar dalam keadaan batin yang tidak tergoncangkan keadaan yang sebab musababnya di luar jangkauan pengetahuanku.

Mungkin pembaca mengernyitkan dahi mendengar gambaranku yang berlebihan tentang orang ini. Tetapi ia harus sadar bahwa walaupun aku sudah mendengar apapun tentang dia, walaupun banyak bukti yang kontradiktif telah saya terima sebelumnya, kesan langsung dan sebenarnya tentang pribadi Imam Khomeini tidak lagi dapat dilukiskan dengan ide atau konsep.

Pengalaman itu terlalu perkasa untuk dilukiskan seperti itu. Saya melakukan transendensi dari pengalaman biasa yang menentukan sensasi, pikiran, dan perasaan yang berpusat pada kesadaran diriku. Khomeini begitu perkasa. Khomeini begitu kuat dan tak terkalahkan. Waktu itu juga aku melihat semua dorongan revolusi, semua sejarah penggulingan Shah, irama kesyahidan, dan masa lalu peradaban Islam yang membayangi Barat untuk waktu tertentu. Semua itu terkandung dalam kehadiran orang ini.

Dia adalah sumber kebangkitan Islam. Dia adalah sumber revolusi. Dia adalah sumber segala kekuatan yang ditampilkan oleh revolusi ini dan oleh Islam ke hadapan dunia. Aku yakin tanpa dia, monarki masih bercokol dan Islam secara efektif akan disingkirkan sebagai faktor dalam nasib politik Timur Tengah.

Siapa saja yang memiliki kesadaran atau perasaan untuk mengetahui apa yang diwakili Imam Khomeini (yaitu kehidupan utuh yang memihak Islam) tidak bisa tidak akan dipenuhi dengan semangat Islam, keyakinan syahid yang diberkahi, dan tekad untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia.

Ia mengangkat. Ia mentransformasikan. Khomeini adalah pusat ledakan Islam. Khomeini adalah mata air kekuatan ruhaniah yang mengalir ke dalam hati kaum Muslimin di Timur Tengah—atau paling tidak pada semua kaum Muslim yang secara naluriah dekat dengan jantung Islam.

Ia tidak tertawa. Wajahnya telah terpatri pada keteguhan niatnya. Tuhan telah meminta segalanya dari dia, dan dia pun telah memberikan hidupnya untuk mengabdi kepada Tuhan. Tak ada lagi yang patut ditertawakan, yang patut dijadikan hiburan, atau yang patut dilamunkan. Jalan hidupnya telah ditentukan dan ia siap menerima akibat dari jalan hidup yang telah ditentukannya itu: untuk menegakkan Islam yang berasal dari Tuhan.

Ia hidup untuk Islam. Ia telah menjadi instrumen Islam. Ia tidak mempunyai tujuan apapun kecuali untuk menjalankan Islam. Individualitasnya telah tenggelam dalam universalitas tujuannya yang luhur.

Aku harus berkata lebih jauh lagi: Imam Khomeini menembus hati dan otakku dengan arus emosi yang hanya dapat aku gambarkan sebagai positivitas ekstrem, sesuatu yang lebih baik aku sebut “cinta”. Betapa pun tegasnya dalam menjalankan ajaran Islam, betapapun tak tergoyahkan sikapnya, betapapun kebalnya terhadap perasaan individu, ia dipenuhi cinta yang membersihkan hatiku, memenuhinya dengan kebahagiaan yang tidak pernah aku kenal sebelumnya.

Ketika aku duduk di sana, pandanganku terpusat kepada wajahnya (dan sinar yang mengitarinya) dan pada saat yang sama dipenuhi dengan energi yang dapat aku hubungkan dengan sejenis kreativitas dan daya yang paling hayati. Dia adalah generator energi dan perasaan yang memenuhi hati dan membersihkan katakanlah ruh. Aku ingin mempertahankan sikap netral, sikap tidak terlibat yang kritis dalam menghadapi Imam. Akan tetapi, di sini aku kehilangan batas-batas individualitasku.


Di sini aku menemukan perasaan dan sensasi halus yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Aku dipenuhi oleh manusia Muslim yang suci, manusia yang dianggap—barangkali oleh seluruh dunia—paling tidak sanggup mengisi wartawan Barat dengan rasa bahagia yang Ilahiyah, kejernihan kesadaran yang Ilahiyah. Tetapi, memang inilah pengalamanku. Imam Khomeini telah aku alami sebagai satu-satunya realitas yang memperluas kesadaranku, memurnikan hatiku, menjernihkan otakku. Ketika ia pergi meninggalkan berkat yang tidak pernah berkurang, berkat yang masih terus berada dalam diriku, walaupun tertutup oleh kesibukan hari ini.