Jumat, 03 Oktober 2014

Søren Kierkegaard –Filsuf yang Teolog, Teolog yang Filsuf


Oleh Gordon H. Clark

Walaupun Søren Kierkegaard (1813-1855) tidak dapat kelompokkan dalam satu kelompok dengan Karl Marx oleh pembaca yang superfisial, namun dalam hal mendasar tertentu dia merupakan representasi khas dari [pemikiran] pertengahan abad kesembilan belas. Dalam pemberontakannya terhadap Rasionalisme sistematik Hegel dan dalam serangannya terhadap Kekristenan resmi serta dalam hal anti-intelektualisme yang meresapi gerakan Romantik, si Denmark yang melankolis ini mengungkapkan sesuatu yang merupakan rahasia umum waktu itu yaitu bahwa ada sesuatu yang busuk di Denmark, yaitu di Eropa atau Dunia Kristen. Secara umum dia setuju dengan Feuerbach dan Marx terkait dengan gejala-gejala kebusukan tersebut, namun pandangannya berbeda sama sekali dengan mereka terkait dengan penyebab dan obat bagi kebusukan tersebut.

Marx mendiagnosa bahwa penyakit masyarakat adalah penyakit ekonomi; namun menurut Kierkegaard, reformasi sosial yang dituntut jaman itu justeru bertentangan dengan apa yang dibutuhkannya. Masalahnya bukan masalah ekonomi melainkan masalah spiritual dan keagamaan. Roh jaman itu telah menggantikan Roh Kudus; manusia telah mengambil tempat Allah; serta waktu telah menelan kekekalan. Jika Marx, dalam diagnosanya yang salah, telah mengkritik Hegel karena Hegel dipandang terlalu Kristen dan terlalu abstrak, maka Kierkegaard menyerang keduanya. Dia menyerang Hegel karena dia dipandang tidak cukup Kristen dan menyerang Marx (atau setidaknya sosialisme, karena tidak jelas apa sebenarnya yang dipahami Kierkegaard tentang Marx) karena Marx dipandang terlalu Hegelian. Kesalahan yang sama-sama diderita keduanya mengingat Hegel juga seorang sosialis (karena walau tidak menyebut diri sosialis dia secara de facto merupakan seorang sosialis), adalah bahwa keduanya mengabaikan individualitas. Obyek apapun, misalnya pena, sudah cukup untuk membantah pemikiran abstrak dengan masalah keberadaan individu. Namun individu manusia lebih penting dari individu pena. Orang merupakan sesuatu yang penting: atau setidaknya saya sangatlah penting bagi diri saya dan masalah saya yaitu masalah orang dalam individualitasnya pada dasarnya adalah masalah religius. Nah, Hegel telah kehilangan individu ‘orang’, bukan hanya pena, di dalam universalitas proses dunia, karena Rasionalisme sistematis tidak dapat memberikan pertanggungjawaban akan keberadaan individual yang nyata.

Tidaklah benar bahwa yang nyata itu adalah yang rasional. Menurut Kierkegaard, realitas tidak dapat dipahami oleh akal budi. Kendati ada argumen dalam Phenomenology, bahwa yang langsung (the immediate), yang saat ini (the now), yang ini (the this), dan khususnya yang milikku (the mine) tidak dapat di-aufgehoben atau ditindas, Hegel mencoba menjelaskan dunia dengan menggunakan pergerakan ide. Namun tidak ada gerakan dalam logika, demikian juga tidak ada logika dalam pergerakan. Pergerakan tidak logis; menjadi adalah sesuatu yang terbuka, tidak tertutup. Realitas adalah kemungkinan dan kemungkinan tidak dapat ditaruh ke dalam logika. Dengan mengidentikkan esensi dan eksistensi, Hegel hanya mendapatkan keberadaan konseptual saja, sedangkan keberadaan yang sebenarnya menjauhi Hegel. Ketidakmampuan Hegel untuk melihat perbedaan antara pemikiran dan wujud merupakan akibat dari jalan pikirannya sebagai seorang pemikir professional dan bukan sebagai manusia. Mungkin bagi filsafat, keberadaan dan ketidak-beradaan memiliki nilai yang sama. System [Hegel] (dan juga kaum proletariat) tidak terkait dengan orang per orang. Namun bagi individu yang ada, misalnya bagi saya, saya dan keberadaan saya memiliki nilai tertinggi. Sebaliknya bagi semua abstraksionisme – entah dari Plato (karena dia juga komunis), atau Hegel, atau Marx – apa (the what) tidaklah penting sedangkan adalah (the that) adalah esensial. Karena itu, kewajiban manusia tidak digambarkan dalam karya Profesor Hegel yang rajin itu. Realitas tidak dapat diajarkan atau dikomunikasikan secara rasioal dan akademis. Realitas harus dipahami secara personal, secara bergairah dan secara anti-intelek. Yang dibutuhkan bukanlah kesimpulan tetapi keputusan.

Kritikan yang sama berlaku untuk Marx dan Feuerbach. Mereka hampir tidak kalah abstraknya dengan Hegel. Dalam kemanusiaan serta dalam Roh yang Absolut, si individu tidak dapat ditemukan. Pergerakan massal dari orang-orang tak beridentas jelas memiliki keunggulan dalam hal jumlah, tetapi penyamarataan dan penggabungan seperti itu melemahkan individu secara etis. Ini berarti bahwa manusia telah kehilangan tanggung jawab dan kekuatan untuk mengambil keputusan. Menghadapi kebingungan jaman ini dan untuk berdiri teguh di hadapan kekekalan, tidak dibutuhkan kemiripan antar manusia tetapi individualitas Kristen. Di alam, individu hanyalah bagian dari spesies; sehingga jika orang meningkatkan mutu jenis domba tertentu, maka dia akan merubah setiap individu domba jenis tersebut. Tetapi agama bukanlah masalah spesies, sehingga adalah sebuah kebodohan untuk menganggap bahwa orang tua yang Kristen secara otomatis menghasilkan anak yang Kristen juga. Perkembangan spiritual adalah sesuatu yang sangat individu dan obat untuk masyarakat adalah individu. Namun masyarakat takut akan [orang yang] individualis, sehingga pengobatan tidak akan mudah. Akan ada pertumpahan darah. Bukan pertumpahan darah ala revolusi dan perang komunis, namun pertumpahan darah dari individu-individu martir.

Semua orang kecuali kaum Hegelian atau sosialis pasti bersimpati pada individualism kasar seperti ini dan mereka dapat menerima sarkasme yang dialamatkan Kierkegaard terhadap formalisme religius yang kosong dan tidak tulus. Tetapi ketika orang beralih dari yang negatif ke positif dan dari yang destruktif ke yang konstruktif, apakah orang dapat dengan serius menyimpulkan atau memutuskan bahwa pernyataan Kierkegaard benar?

Bagi Kierkegaard, Allah adalah kebenaran; tetapi kebenaran hanya ada bagi seorang percaya yang di dalam dirinya mengalami pertentangan antara dirinya sendiri dan Allah. Jika seorang [yang ada] merupakan orang tidak percaya, maka bagi dia Allah tidak ada. Allah ada hanya dalam subyektivitas. Penekanan pada subyektivitas dan penolakan terhadap obyektivitas mengakibatkan destruksi terhadap historisitas obyektif Kekristenan. Yang historis tidak religius dan yang religius tidak historis. Jika Kristus merupakan figur historis yang hidup pada masa lampau, maka dia tidak memiliki arti penting religius saat ini. Sebaliknya, jika Kristus merupakan figur religius, interval historis harus dibatalkan oleh kesejamanan (contemporaneity) internal. Agama yang sebenarnya bukanlah pemahaman tentang apa-apa. Agama yang sebenarnya adalah masalah perasaan, masalah kegairahan anti-intelektual. Penerimaan akan kebenaran historis obyektif tertentu bergantung pada metode historis, dan bagi seorang pelajar sejarah obyektif, dia tidak merasa pantas untuk menempatkan perasaannya ke dalam kesimpulannya. Para pemikir spekulatif tidak secara pribadi tertarik pada penderitaan; mereka tidak mempelajari kebenaran subyektif dari apropriasi.

Tetapi kekristenan selalu dipandang sebagai agama historis, bukan hanya dalam pengertian bahwa Kekristenan memiliki sejarah panjang seribu sembilan ratus tahun, tetapi secara khusus dalam pengertian bahwa kekristenan didasarkan pada kejadian-kejadian historis yang terjadi di masa lampau. Bagi Hegel kejadian-kejadian ini dan arti pentingnya merupakan bagian integral dari sejarah universal yang dipandang sebagai ekspresi yang terus berkembang dari Roh Absolut. Tetapi bagi Kierkegaard, hubungan antara proses sejarah dan kebenaran kekal bersifat paradoks. Dalam bahasa Kierkegaard dan para pengikutnya pada abad kedua puluh, istilah paradoks mengindikasikan sesuatu yang lebih memalukan daripada daripada teka-teki aneh yang sulit dipecahkan namun yang akhirnya dapat dipecahkan setelah beberapa upaya. Orang yang baru pertama belajar fisika akan dibuat bingung ketika diberitahu bahwa tekanan air di bagian bawah sebuah wadah besarnya dua kali lipat daripada tekanan di wadah yang lain walaupun wadah yang pertama memiliki air yang beratnya hanya setengah dari yang kedua. Ini merupakan sebuah paradoks. Paradoks ini dapat diselesaikan dengan mempelajari hubungan antara tinggi dan tekanan. Namun demikian paradoksnya seorang eksistensialis tidak dapat dipecahkan. Adalah sebuah kontradiksi untuk berpandangan bahwa kebahagiaan sejati dapat didasarkan pada informasi historis. Karena itu subyektivitas apropriasi tidak menyatu tetapi bertentangan dengan diseminasi historis dari ajaran kristen. Apropriasi yang bergairah keputusan saat itu, menghilangkan interval historis dan secara internal menjadikan seseorang sejaman dengan Kristus. Metode ini tidaklah intelektual; tetapi merupakan pengalaman penderitaan dan keputusasaan. Tidak diperlukan kebenaran obyektif kekristenan yang tidak ada hubungan [dengan subyektivitas]. Mulai dari khotbah para Rasul sampai berabad-abad sejarah [kekeristenan] tidak ada nilai sama sekali sebagai pembuktian kebenarannya. Kebenaran obyektif Kekristenan setara dengan ketidakpedulian terhadap subyektivitas, yaitu ketidakpedulian terhadap subyek, yaitu saya.

Jenis pemikiran seperti ini memunculkan pertanyaan yang jelas. Jika tidak ada kebenaran obyektif dan jika bagaimana melampaui apa, maka dapatkah kebenaran dibedakan dari khayalan? Bukankah satu pribadi Setan yang menderita sama saja “benarnya” dengan satu pribadi Juruselamat yang menderita? Tidakkah keputusan untuk percaya kepada iblis sama terpujinya dengan keputusan untuk percaya kepada Allah? Filsafat William James yang akan dibahas kemudian juga memunculkan pertanyaan yang sama. Walaupun James tampaknya tidak menyadari pertanyaan-pertanyaan tersebut, Kierkegaard memahami dilemma tersebut namun sedikit sekali berupaya menyelesaikannya. Ada upaya setengah hati untuk membedakan antara perasaan internal tentang kekekalan dan perasaan internal tentang sesuatu yang fana; dimana Keikegaard tampaknya berpandangan bahwa perasaan internal kekekalan dalam orang Kristen didasarkan pada Allah, sedangkan perasaan internal kefanaan terkait dengan obyek-obyek yang lain. Tetapi jika ada pengetahuan obyektif tentang Allah atau obyek lain, maka satu individu dapat menilai mutu dari kegairahannya berdasarkan rujukan obyektifnya. Tetapi jika Allah dan mungkin juga iblis begitu tersembunyi, dan jika orang dibatasi pada sesuatu yang subyektif, maka keputusan bergairah tampaknya tidak dapat membedakan antara kebenaran Allah dan kebenaran Setan. Secara obyektif tidaklah penting apakah seseorang menyembah Allah atau menyembah berhala, apakah Allah ada atau tidak dan apakah Allah itu materi atau tidak. Yang penting adalah hubungan individu dengan Sesuatu yang tidak diketahui.

Dengan gaya yang jelas Kierkegaard menggambarkan dua orang yang sedang berdoa. Seorang di antaranya di gereja Lutheran dan dia memiliki konsep yang benar tentang Allah, namun yang berdoa dengan roh yang salah. Orang ini sebenarnya sedang berdoa kepada berhala. Sementara itu ada seorang kafir yang berdoa kepada berhala. Namun karena dia berdoa dengan kegairahan internal, maka sebenarnya dia sedang berdoa kepada Allah, karena kebenaran terletak pada bagaimana seseorang secara internal, bukan pada apa yang eksternal. Seperti kata Kierkegaard, “Ketidakpastian obyektif yang dipegang teguh dalam proses apropriasi yang secara internal paling bergairah merupakan kebenaran, yaitu kebenaran tertinggi yang dapat dicapai satu individu.”

Akhirnya, pernyataan lain juga ditemukan dalam tulisan berjudul Concluding Unscientific Postscript – yang merupakan pernyataan yang sama subyektifnya dengan yang sebelumnya – yang mengungkapkan subyektivitas Kierkegaard. Setelah menyatakan bahwa pencarian akan kebenaran obyektif tidak memperhitungkan hubungan individu dengan kebenaran, Kierkegaard melanjutkan, “Jika orang bertanya secara subyektif tentang kebenaran, maka dia melakukan refleksi subyektif tentang hubungan individu. Jika Bagaimana dari hubungan ini benar, maka individu itu benar, walaupun dia berhubungan dengan ketidakbenaran.”

Andaikan bahwa ada kesalahan serius dalam sistem Hegel; andaikan pula bahwa massa komunis melanggar prerogatif moral individu; andaikan bahwa Gereja Lutheran Denmark terlalu formal, munafik, dan mati; dan karena itu andaikan pula bahwa Kierkegaard telah mengemukkan kritik yang tepat terhadap jamannya. Apakah ini berimplikasi bahwa penyelesaian [terhadap masalah-masalah ini] dapat terjadi karena penderitaan atau kegairahan yaitu karena perasaan subyektif dimana kebenaran dan ketidakbenaran sama-sama tidak penting? Jika ini benar maka tidak saja berhala sama-sama efektif dengan Allah, tetapi juga Hegel dan Marx sama efektifnya dengan Kierkegaard.

1 komentar:

  1. Anda mengambil terjemahan Tulisan Clark dari sini: https://whereisthewisdon.wordpress.com/2013/07/06/soren-kierkegaard/ tp tidak mencantumkan sumbernya. Berlakulah sebagai blogger yang bermartabat

    BalasHapus