Walaupun Søren Kierkegaard
(1813-1855) tidak dapat kelompokkan dalam satu kelompok dengan Karl Marx oleh
pembaca yang superfisial, namun dalam hal mendasar tertentu dia merupakan
representasi khas dari [pemikiran] pertengahan abad kesembilan belas. Dalam
pemberontakannya terhadap Rasionalisme sistematik Hegel dan dalam serangannya
terhadap Kekristenan resmi serta dalam hal anti-intelektualisme yang meresapi
gerakan Romantik, si Denmark yang melankolis ini mengungkapkan sesuatu yang
merupakan rahasia umum waktu itu yaitu bahwa ada sesuatu yang busuk di Denmark,
yaitu di Eropa atau Dunia Kristen. Secara umum dia setuju dengan
Feuerbach dan Marx terkait dengan gejala-gejala
kebusukan tersebut, namun pandangannya berbeda sama sekali dengan mereka
terkait dengan penyebab dan obat bagi kebusukan tersebut.
Marx mendiagnosa bahwa
penyakit masyarakat adalah penyakit ekonomi; namun menurut Kierkegaard,
reformasi sosial yang dituntut jaman itu justeru bertentangan dengan apa yang
dibutuhkannya. Masalahnya bukan masalah ekonomi melainkan masalah spiritual dan
keagamaan. Roh jaman itu telah menggantikan Roh Kudus; manusia telah mengambil
tempat Allah; serta waktu telah menelan kekekalan. Jika Marx, dalam diagnosanya
yang salah, telah mengkritik Hegel karena Hegel dipandang terlalu Kristen dan
terlalu abstrak, maka Kierkegaard menyerang keduanya. Dia menyerang Hegel
karena dia dipandang tidak cukup Kristen dan menyerang Marx (atau setidaknya
sosialisme, karena tidak jelas apa sebenarnya yang dipahami Kierkegaard tentang
Marx) karena Marx dipandang terlalu Hegelian. Kesalahan yang sama-sama diderita
keduanya mengingat Hegel juga seorang sosialis (karena walau tidak menyebut
diri sosialis dia secara de facto merupakan seorang sosialis), adalah
bahwa keduanya mengabaikan individualitas. Obyek apapun, misalnya pena, sudah
cukup untuk membantah pemikiran abstrak dengan masalah keberadaan individu.
Namun individu manusia lebih penting dari individu pena. Orang merupakan
sesuatu yang penting: atau setidaknya saya sangatlah penting bagi diri saya dan
masalah saya yaitu masalah orang dalam individualitasnya pada dasarnya adalah
masalah religius. Nah, Hegel telah kehilangan individu ‘orang’, bukan hanya
pena, di dalam universalitas proses dunia, karena Rasionalisme sistematis tidak
dapat memberikan pertanggungjawaban akan keberadaan individual yang nyata.
Tidaklah benar bahwa yang
nyata itu adalah yang rasional. Menurut Kierkegaard, realitas tidak dapat
dipahami oleh akal budi. Kendati ada argumen dalam Phenomenology, bahwa
yang langsung (the immediate), yang saat ini (the now), yang ini
(the this), dan khususnya yang milikku (the mine) tidak dapat di-aufgehoben
atau ditindas, Hegel mencoba menjelaskan dunia dengan menggunakan pergerakan
ide. Namun tidak ada gerakan dalam logika, demikian juga tidak ada logika dalam
pergerakan. Pergerakan tidak logis; menjadi adalah sesuatu yang terbuka, tidak
tertutup. Realitas adalah kemungkinan dan kemungkinan tidak dapat ditaruh ke
dalam logika. Dengan mengidentikkan esensi dan eksistensi, Hegel hanya
mendapatkan keberadaan konseptual saja, sedangkan keberadaan yang sebenarnya
menjauhi Hegel. Ketidakmampuan Hegel untuk melihat perbedaan antara pemikiran
dan wujud merupakan akibat dari jalan pikirannya sebagai seorang pemikir
professional dan bukan sebagai manusia. Mungkin bagi filsafat, keberadaan dan
ketidak-beradaan memiliki nilai yang sama. System [Hegel] (dan juga kaum
proletariat) tidak terkait dengan orang per orang. Namun bagi individu yang
ada, misalnya bagi saya, saya dan keberadaan saya memiliki nilai
tertinggi. Sebaliknya bagi semua abstraksionisme – entah dari Plato (karena dia
juga komunis), atau Hegel, atau Marx – apa (the what) tidaklah penting
sedangkan adalah (the that) adalah esensial. Karena itu, kewajiban
manusia tidak digambarkan dalam karya Profesor Hegel yang rajin itu. Realitas
tidak dapat diajarkan atau dikomunikasikan secara rasioal dan akademis.
Realitas harus dipahami secara personal, secara bergairah dan secara
anti-intelek. Yang dibutuhkan bukanlah kesimpulan tetapi keputusan.
Kritikan yang sama berlaku
untuk Marx dan Feuerbach. Mereka hampir tidak kalah abstraknya dengan Hegel.
Dalam kemanusiaan serta dalam Roh yang Absolut, si individu tidak dapat
ditemukan. Pergerakan massal dari orang-orang tak beridentas jelas memiliki
keunggulan dalam hal jumlah, tetapi penyamarataan dan penggabungan seperti itu
melemahkan individu secara etis. Ini berarti bahwa manusia telah kehilangan
tanggung jawab dan kekuatan untuk mengambil keputusan. Menghadapi kebingungan
jaman ini dan untuk berdiri teguh di hadapan kekekalan, tidak dibutuhkan
kemiripan antar manusia tetapi individualitas Kristen. Di alam, individu
hanyalah bagian dari spesies; sehingga jika orang meningkatkan mutu jenis domba
tertentu, maka dia akan merubah setiap individu domba jenis tersebut. Tetapi
agama bukanlah masalah spesies, sehingga adalah sebuah kebodohan untuk
menganggap bahwa orang tua yang Kristen secara otomatis menghasilkan anak yang
Kristen juga. Perkembangan spiritual adalah sesuatu yang sangat individu dan
obat untuk masyarakat adalah individu. Namun masyarakat takut akan [orang yang]
individualis, sehingga pengobatan tidak akan mudah. Akan ada pertumpahan darah.
Bukan pertumpahan darah ala revolusi dan perang komunis, namun pertumpahan
darah dari individu-individu martir.
Semua orang kecuali kaum
Hegelian atau sosialis pasti bersimpati pada individualism kasar seperti ini
dan mereka dapat menerima sarkasme yang dialamatkan Kierkegaard terhadap
formalisme religius yang kosong dan tidak tulus. Tetapi ketika orang beralih
dari yang negatif ke positif dan dari yang destruktif ke yang konstruktif, apakah
orang dapat dengan serius menyimpulkan atau memutuskan bahwa pernyataan
Kierkegaard benar?
Bagi Kierkegaard, Allah
adalah kebenaran; tetapi kebenaran hanya ada bagi seorang percaya yang di dalam
dirinya mengalami pertentangan antara dirinya sendiri dan Allah. Jika seorang
[yang ada] merupakan orang tidak percaya, maka bagi dia Allah tidak ada. Allah
ada hanya dalam subyektivitas. Penekanan pada subyektivitas dan penolakan
terhadap obyektivitas mengakibatkan destruksi terhadap historisitas obyektif
Kekristenan. Yang historis tidak religius dan yang religius tidak historis.
Jika Kristus merupakan figur historis yang hidup pada masa lampau, maka dia
tidak memiliki arti penting religius saat ini. Sebaliknya, jika Kristus
merupakan figur religius, interval historis harus dibatalkan oleh kesejamanan (contemporaneity)
internal. Agama yang sebenarnya bukanlah pemahaman tentang apa-apa. Agama yang
sebenarnya adalah masalah perasaan, masalah kegairahan anti-intelektual.
Penerimaan akan kebenaran historis obyektif tertentu bergantung pada metode
historis, dan bagi seorang pelajar sejarah obyektif, dia tidak merasa pantas
untuk menempatkan perasaannya ke dalam kesimpulannya. Para pemikir spekulatif
tidak secara pribadi tertarik pada penderitaan; mereka tidak mempelajari
kebenaran subyektif dari apropriasi.
Tetapi kekristenan selalu
dipandang sebagai agama historis, bukan hanya dalam pengertian bahwa
Kekristenan memiliki sejarah panjang seribu sembilan ratus tahun, tetapi secara
khusus dalam pengertian bahwa kekristenan didasarkan pada kejadian-kejadian
historis yang terjadi di masa lampau. Bagi Hegel kejadian-kejadian ini dan arti
pentingnya merupakan bagian integral dari sejarah universal yang dipandang
sebagai ekspresi yang terus berkembang dari Roh Absolut. Tetapi bagi
Kierkegaard, hubungan antara proses sejarah dan kebenaran kekal bersifat
paradoks. Dalam bahasa Kierkegaard dan para pengikutnya pada abad kedua puluh,
istilah paradoks mengindikasikan sesuatu yang lebih memalukan daripada
daripada teka-teki aneh yang sulit dipecahkan namun yang akhirnya dapat
dipecahkan setelah beberapa upaya. Orang yang baru pertama belajar fisika akan
dibuat bingung ketika diberitahu bahwa tekanan air di bagian bawah sebuah wadah
besarnya dua kali lipat daripada tekanan di wadah yang lain walaupun wadah yang
pertama memiliki air yang beratnya hanya setengah dari yang kedua. Ini
merupakan sebuah paradoks. Paradoks ini dapat diselesaikan dengan mempelajari
hubungan antara tinggi dan tekanan. Namun demikian paradoksnya seorang
eksistensialis tidak dapat dipecahkan. Adalah sebuah kontradiksi untuk
berpandangan bahwa kebahagiaan sejati dapat didasarkan pada informasi historis.
Karena itu subyektivitas apropriasi tidak menyatu tetapi bertentangan dengan
diseminasi historis dari ajaran kristen. Apropriasi yang bergairah keputusan
saat itu, menghilangkan interval historis dan secara internal menjadikan
seseorang sejaman dengan Kristus. Metode ini tidaklah intelektual; tetapi
merupakan pengalaman penderitaan dan keputusasaan. Tidak diperlukan kebenaran
obyektif kekristenan yang tidak ada hubungan [dengan subyektivitas]. Mulai dari
khotbah para Rasul sampai berabad-abad sejarah [kekeristenan] tidak ada nilai
sama sekali sebagai pembuktian kebenarannya. Kebenaran obyektif Kekristenan
setara dengan ketidakpedulian terhadap subyektivitas, yaitu ketidakpedulian
terhadap subyek, yaitu saya.
Jenis pemikiran seperti
ini memunculkan pertanyaan yang jelas. Jika tidak ada kebenaran obyektif dan
jika bagaimana melampaui apa, maka dapatkah kebenaran dibedakan
dari khayalan? Bukankah satu pribadi Setan yang menderita sama saja “benarnya”
dengan satu pribadi Juruselamat yang menderita? Tidakkah keputusan untuk
percaya kepada iblis sama terpujinya dengan keputusan untuk percaya kepada
Allah? Filsafat William James yang akan dibahas kemudian juga memunculkan
pertanyaan yang sama. Walaupun James tampaknya tidak menyadari
pertanyaan-pertanyaan tersebut, Kierkegaard memahami dilemma tersebut namun
sedikit sekali berupaya menyelesaikannya. Ada upaya setengah hati untuk
membedakan antara perasaan internal tentang kekekalan dan perasaan internal
tentang sesuatu yang fana; dimana Keikegaard tampaknya berpandangan bahwa
perasaan internal kekekalan dalam orang Kristen didasarkan pada Allah,
sedangkan perasaan internal kefanaan terkait dengan obyek-obyek yang lain.
Tetapi jika ada pengetahuan obyektif tentang Allah atau obyek lain, maka satu
individu dapat menilai mutu dari kegairahannya berdasarkan rujukan obyektifnya.
Tetapi jika Allah dan mungkin juga iblis begitu tersembunyi, dan jika orang
dibatasi pada sesuatu yang subyektif, maka keputusan bergairah tampaknya tidak dapat
membedakan antara kebenaran Allah dan kebenaran Setan. Secara obyektif tidaklah
penting apakah seseorang menyembah Allah atau menyembah berhala, apakah Allah
ada atau tidak dan apakah Allah itu materi atau tidak. Yang penting adalah
hubungan individu dengan Sesuatu yang tidak diketahui.
Dengan gaya yang jelas
Kierkegaard menggambarkan dua orang yang sedang berdoa. Seorang di antaranya di
gereja Lutheran dan dia memiliki konsep yang benar tentang Allah, namun yang
berdoa dengan roh yang salah. Orang ini sebenarnya sedang berdoa kepada
berhala. Sementara itu ada seorang kafir yang berdoa kepada berhala. Namun
karena dia berdoa dengan kegairahan internal, maka sebenarnya dia sedang berdoa
kepada Allah, karena kebenaran terletak pada bagaimana seseorang secara
internal, bukan pada apa yang eksternal. Seperti kata
Kierkegaard, “Ketidakpastian obyektif yang dipegang teguh dalam proses
apropriasi yang secara internal paling bergairah merupakan kebenaran, yaitu
kebenaran tertinggi yang dapat dicapai satu individu.”
Akhirnya, pernyataan lain
juga ditemukan dalam tulisan berjudul Concluding Unscientific Postscript
– yang merupakan pernyataan yang sama subyektifnya dengan yang sebelumnya –
yang mengungkapkan subyektivitas Kierkegaard. Setelah menyatakan bahwa pencarian
akan kebenaran obyektif tidak memperhitungkan hubungan individu dengan
kebenaran, Kierkegaard melanjutkan, “Jika orang bertanya secara subyektif
tentang kebenaran, maka dia melakukan refleksi subyektif tentang hubungan
individu. Jika Bagaimana dari hubungan ini benar, maka individu itu
benar, walaupun dia berhubungan dengan ketidakbenaran.”
Andaikan bahwa ada
kesalahan serius dalam sistem Hegel; andaikan pula bahwa massa komunis
melanggar prerogatif moral individu; andaikan bahwa Gereja Lutheran Denmark terlalu
formal, munafik, dan mati; dan karena itu andaikan pula bahwa Kierkegaard telah
mengemukkan kritik yang tepat terhadap jamannya. Apakah ini berimplikasi bahwa
penyelesaian [terhadap masalah-masalah ini] dapat terjadi karena penderitaan
atau kegairahan yaitu karena perasaan subyektif dimana kebenaran dan
ketidakbenaran sama-sama tidak penting? Jika ini benar maka tidak saja berhala
sama-sama efektif dengan Allah, tetapi juga Hegel dan Marx sama efektifnya
dengan Kierkegaard.
Anda mengambil terjemahan Tulisan Clark dari sini: https://whereisthewisdon.wordpress.com/2013/07/06/soren-kierkegaard/ tp tidak mencantumkan sumbernya. Berlakulah sebagai blogger yang bermartabat
BalasHapus