Oleh Gordon H. Clark
Sepanjang sejarah teologi
dan filsafat – baik dalam semua “perang antara sains dan agama,” maupun dalam
tulisan-tulisan renungan tentang hubungan antara Tuhan dan manusia – masalah
antitesis antara iman dan akan budi sering menjadi pusat perhatian. Namun
apakah benar bahwa iman dan rasio bersifat antithesis satu dengan yang lainnya?
Kalau digunakan pengertian dari Augustinus, keduanya hampir identik. Dalam
konteks lain keduanya ditempatkan sebagai saling bersahabat satu dengan yang
lain. Namun tentu saja seringkali keduanya ditempatkan sebagai dua hal yang
saling bertentangan.
Diskusi dalam tulisan ini
dibahas dalam empat sub judul yang mudah dipahami. Pertama, pandangan Roma
Katolik yang akan dibahas di bawah judul “Akal Budi dan Iman.” Kedua, “Akal
budi tanpa iman” akan meringkas filsafat moderen mulai dari Descartes sampai ke
Hegel. Ketiga, munculnya irasionalisme yang menyusul Hegel – termasuk
mistisisme, Neo-ortodoksi, serta Nietzsche dan Instrumentalisme – akan dibahas
sebagai contoh “Iman tanpa Akal Budi.” Dan keempat akan dibahas kombinasi “Iman
dan Akal Budi.”
Akal Budi dan Iman –Teologi
Alamiah/Natural
Bahwa agama yang benar
didahului atau dalam pengertian tertentu didasarkan pada aktivitas akal budi
alamiah merupakan sebuah gagasan yang telah dan terus berkembang secara luas.
Prosedur yang [dianggap] tepat [menurut gagasan ini] adalah memulai [agama]
dengan pembuktian keberadaan Allah. Kalau misalnya orang tidak percaya sudah
diyakinkan dengan argumen yang disimpulkan dari alam [bahwa Allah ada], maka
langkah berikutnya adalah menunjukkan probabilitas wahyu khusus, lalu akhirnya
menunjukkan kemasukakalan Alkitab/Kitab Suci.
Bukan saja teologi alamiah
(dalam bentuknya yang dikemukakan pada abad pertengahan) telah diadopsi sebagai
posisi resmi Romanisme[1] tetapi juga banyak teolog Protestan menerima
salah satu dari bentuknya. Tidak semua teolog Protestan seperti itu tentunya.
A.H. Strong, Systematic Theology (I, 71), berkata, “[Kesimpulan]
argumen-argumen ini adalah keniscayaan dan tidak bersifat demonstratif.” Namun
demikian profesor Lutheran, Leander S. Keyser, menguraikan argumen rasional
bagi keberadaan Tuhan dalam [bukunya yang berjudul] A System of Natural
Theism. Analisa dan penolakannya terhadap argumen ontologis menggarisbawahi
ketergantungannya pada argument lain. A. E. Taylor lebih ambigu lagi posisi
gerejaninya, konsepnya tentang Tuhan, dan bahkan pandangannya terhadap kuat
lemahnya argumen yang dia kemukakan. Namun dia menulis sebuah buku berjudul, Does
God Exist?[2] yang dijawabnya dengan jawaban yang
tentunya tidak negatif. J. Oliver Buswell, Jr., Stuart Hackett, dan
Edward John Carnell dengan caranya sendiri bergabung dengan beberapa penulis
Protestan yang menerima pembuktian teistik. Namun jauh sebelum semua
orang-orang ini ada, Thomas Aquinas dengan cara yang lebih jelas dan bentuk
yang lebih sistematis mengemukakan argumen alamiah bagi keberadaan Allah dan
atas dasar itu dia mendirikan teologi wahyu.
Pandangan Thomistik[3] membedakan antara proses untuk mencapai kebenaran
dengan akal budi manusia [tanpa wahyu] dan penerimaan sukarela terhadap
kebenaran berdasarkan otoritas wahyu Allah. Yang disebut pertama merupakan
filsafat yang dapat didemonstrasikan; dan yang disebut kedua diterima tanpa
demonstrasi dan merupakan bidang iman. Karena itu dalam pengertian tertentu
iman dan akal budi tidak saling kompatibel. Tentu saja pengertian [kompatibel]
yang digunakan di sini tidak sama dengan yang digunakan kaum humanis atau
materialis dimana yang dimaksud adalah keduanya saling bertentangan. Namun
demikian, [yang dimaksud di sini adalah] keduanya secara psikologis atau
subyektif tidak saling kompatibel. Jika sebuah proposisi sudah didemonstrasikan[4] secara rasional, maka merupakan sebuah
ketidakmungkinan bagi kita untuk mempercayainya hanya atas dasar otoritas.
Sebagai contoh, seorang guru SMA mengatakan kepada siswanya bahwa sebuah bidang
segitiga memiliki 180 derajat. Seandainya si siswa paham apa maksudnya
‘derajat’, maka dia akan mempercayai apa yang dikatakan gurunya. Tetapi ketika
si siswa telah memahami pembuktiannya, dia tidak lagi mempercayai teorema tersebut
atas dasar otoritas sang guru; tetapi dia memahami teorema tersebut karena dia
telah membuktikannya. Thomas dan Aristotle bahkan memperbolehkan penggunaan
contoh dari pengalaman inderawi. Seorang Amerika mungkin mengatakan kepada
seorang Eropa bahwa Denver berada di Barat St. Louis. Namun ketika si Eropa
datang ke Amerika dan mengunjungi kota-kota di sana, dia tidak lagi akan
mempercayainya atas dasar otoritas namun dia mengetahuinya karena sudah
mengalami. Karena itu tidaklah memungkinkan untuk mengetahui dan
mempercayai/mengimani hal yang sama pada saat yang sama. Prinsip ini juga
berlaku pada proposisi tentang keberadaan Allah.
Namun demikian,
inkompatibilitas subyektif antara mengetahui dan mempercayai hal yang sama pada
saat yang sama tidak menghalangi proposisi tersebut menjadi bagian dari teologi
satu orang dan namun menjadi bagian dari filsafat orang lainnya. Allah telah
mengakomodir dirinya sendiri dengan kelemaham manusia sehingga agama Kristen
tidak terbatas hanya diperuntukkan bagi para pakar. Karena itu Allah secara
supranatural telah mewahyukan beberapa kebenaran yang dapat ditemukan sendiri
oleh para pakar. Jadi Allah telah menyatakan keberadaan-Nya sehingga orang para
petani dan orang-orang bodoh dapat mempercayainya. Dengan demikian mereka
memiliki iman. Namun Thomas tidak lagi mempercayai keberadaan Allah;
namun dia mengetahui bahwa Allah ada karena dia telah membuktikannya.
Dalam pengertian lain yang
lebih penting, akal budi dan iman tidaklah tak kompatibel. Keduanya saling
melengkapi. Ada banyak kebenaran-kebenaran tentang Allah yang tidak dapat
didemonstrasikan. Namun walaupun tidak dapat diperoleh secara alamiah,
kebenaran-kebenaran tersebut adalah persyaratan bagi agama positif. Karena itu,
Allah dalam kemurahan-Nya telah mewahyukannya. Sebagai contoh, walaupun dapat
didemonstrasikan bahwa Allah ada dan bahwa Dia adalah penyebab dunia ini,
tetapi doktrin Trinitas tidak dapat didemonstrasikan. Namun demikian, doktrin
Trinitas tidaklah tak kompatible dengan akal budi karena tidak berkontradiksi
dengan proposisi apa saja yang dapat didemonstrasikan dalam filsafat[5]. Sebaliknya, doktrin wahyu melengkapi apa yang
tidak dapat diselesaikan oleh filsafat. Kedua kebenaran tersebut saling
melengkapi.
Iman yang benar dan akal
budi yang benar tidak dapat saling berkontradiksi satu dengan yang lain.
Pengetahuan alamiah dan kebenaran iman sama-sama berasal dari Allah – walaupun
[didapatkan] dengan cara berbeda. Namun karena keduanya berasal dari Allah,
keduanya harus saling konsisten. Karena itu tidak terelakkan bahwa iman
seringkali mendukung akal budi. Ketika dalam pemikiran spekulatifnya seorang
pemikir sampai pada sebuah proposisi yang tidak konsisten dengan iman, seperti
yang terjadi pada Averroës ketika dia menyimpulkan individu tidaklah kekal, dia
harus menerima peringatan wahyu bahwa dia telah melakukan kesalahan dalam
argumentasinya. Iman tidak pernah menjadi penghalang bagi akal budi; orang
tidak boleh memiliki gambaran tentang seorang percaya sebagai tahanan yang
harus dibebaskan karena iman hanya membatasi seseorang dari kesalahan. Dengan
demikian akal budi dan iman berada dalam keadaan harmonis satu dengan yang
lain.
Haruslah dicatat makna
dari iman dan akal budi dalam pandangan
Tomistik. Keduanya adalah istilah kunci yang tidak memiliki makna yang sama
ketika digunakan oleh semua filsuf/penulis. Karena itu diskusi historis yang
menggunakan kedua istilah ini tidak selalu terkait dengan hal yang sama. Bagi
Thomas Aquinas Iman merujuk kepada kebenaran yang diterima
dengan impartasi informasi secara supranatural, tetapi itu bukan definisi iman [yang
digunakan oleh] F. H. Jacobi dan yang kemudian juga digunakan oleh Friedrich
Schleiermacher. Akal budi dalam konteks pembicaraan tulisan
[mengenai pandangan Tomistik] ini berarti sebuah proses yang dimulai dengan
sensasi inderawi, kemudian masuk imajinasi, lalu pemanfaatan abstraksi, dan
kemudian tiba pada pengetahuan konseptual. Namun demikian, dalam filsafat abad
ketujuh belas akal budi sepenuhnya dipisahkan dari sensasi
inderawi. Akal budi berarti logika semata. Karena ada variasi
penggunaannya, maka kita perlu berhati-hati. Pandangan seorang penulis / filsuf
terhadap iman dapat saja memang berlaku bagi definisi/makna iman tertentu,
sementara pada saat yang sama dapat saja tidak ada hubungan sama sekali dengan
definisi/makna yang digunakan orang lain. Kegagalan untuk memperhatikan ini –
bukan hanya oleh pembaca tetapi lebih penting lagi oleh para penulis – telah
menjadi sumber kebingungan yang tidak berkesudahan.
Sebelum membahas argumen
kosmologis untuk menentukan apakah akal budi dapat memenuhi ekspektasi Aquinas,
perlu dipertimbangkan beberapa keberatan terhadap program [Aquinas] yang secara
umum digambarkan secara ringkas di atas. Edwin A. Burtt dalam tulisannya
berjudul Types of Religious Philosophy tampaknya setuju dengan kritikan
berikut ini: Jika akal budi manusia secara alamiah tidak kompeten untuk
sampai pada kesimpulan tentang doktrin Trinitas atau pada kebenaran iman
lainnya, pastilah akal budi tersebut tidak kompeten untuk membuktikan
keberadaan Tuhan. Mengapa satu kebenaran dapat didemonstrasikan dan yang
lainnya tidak? Lebih jauh lagi, bahkan jika keberadaan dan kebaikan Allah telah
dibuktikan, itu tidak berimplikasi bahwa dibutuhkan wahyu supranatural. Allah
dapat saja menunjukkan kebaikannya dengan cara yang lain.
Menurutnya penganut
Katolik Roma menghadapi dilemma berikut: Jika akal budi manusia mampu
[sampai pada kesimpulan] bahwa kebaikan Allah berimplikasi adanya wahyu
supranatural, maka wahyu tersebut tidak dibutuhkan karena akal budi pasti dapat
memutuskan apa yang dibutuhkan untuk mencapai kebaikan; jika akal budi tidak
kompeten untuk menunjukkan jalan bagi keselamatan manusia, maka akal budi lebih
tidak mampu lagi menyimpulkan sesuatu tentang providensia yang tak terbatas.[6]
Mungkin benar ada
kecacatan dan bahkan kecacatan serius dalam filsafat Tomistik. Namun kritikan
Profesor Burtt tampaknya meleset. Tampaknya aneh bahwa diskusi [ini] yang
bertujuan untuk sampai pada penolakan menyeluruh terhadap Tomisme harus
berhenti sebentar untuk membelanya dari serangan kontemporer. Namun bukan hanya
orang harus mencoba untuk bersikap adil, tetapi juga harus menjadi bagian dari
kepentingan pribadinya untuk tidak bergantung pada krikan yang cacat. Professor
Burtt telah menempatkan beban pada Tomisme yang sebenarnya tidak perlu
ditanggungnya.
Pertama-tama, bukanlah
sebuah keharusan untuk menyimpulkan bahwa kebaikan Tuhan berimplikasi
valid adanya wahyu supranatural. Cukuplah bagi kebaikan Allah untuk
berimplikasi bahwa Dia mengijinkan adanya kemungkinan wahyu. Tentu saja,
Allah bisa saja menunjukkan kebaikannya dengan cara yang lain seperti
dipercayai Burtt, tetapi [pandangan] ini tidak secara rasional meniadakan wahyu
khusus.
Kemudian kedua,
seandainyapun kebaikan Allah berimplikasi adanya wahyu khusus, itu sama sekali
tidak berimplikasi valid bahwa akal budi semata dapat menemukan isi dari wahyu
tersebut. Seandainya diterima tanpa syarat bahwa dari kebaikan Tuhan kita dapat
secara valid menyimpulkan kepastian adanya wahyu – yaitu kita menerima bahwa
kita membutuhkan informasi lebih lanjut tentang metode untuk mendapatkan
kebahagiaan tertinggi – masih tidak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa
informasi tersebut dapat ditemukan melalui upaya mandiri tanpa bantuan [ilahi].
Sebaliknya, bukankah ketidakmampuan kita menemukan persyaratan dari Allah bagi
kita yang mengakibatkan kita untuk menyimpulkan perlu adanya wahyu?
Kritikan Burtt bergantung
sepenuhnya pada prinsip bahwa jika ada kemungkinan untuk mendemonstrasikan
salah satu proposisi, maka ada pula kemungkinan untuk mendemonstrasikan
proposisi lain. Ini tidak masuk akal. Bukanlah sesuatu yang irasional atau berkontradiksi
dengan diri sendiri untuk berpegang pada prinsip demonstrabilitas beberapa
kebenaran dan indemonstrabilitas kebenaran lain. Bahkan Hegel, yang dengan
eksegesis terhadap sistemnya harusnya mampu mendemonstrasikan segala sesuatu,
mengakui adanya kontinjensi[7] di alam. Dalam konstruksi/sistem Hegel,
pengakuan ini tentu saja bisa jadi sebuah kecacatan. Idealisme absolut
mempraanggapkan bahwa semua pengetahuan begitu terkait satu dengan yang lain
sehingga membentuk sebuah satu kesatuan. Alam dianggap dapat dipahami melalui
manifestasi dialektis dari konsep-konsep yang sepenuhnya dapat kita kendalikan.
Namun Tomisme bukanlah Hegelianisme. Jika [kita setuju] dengan Thomas bahwa
premis dari sebuah demonstrasi diperoleh dari pengalaman sensasi inderawi, maka
setiap orang memiliki pengalaman inderawi yang terbatas, dan semua umat manusia
akan dibatasi oleh semesta pengalaman yang di dalamnya tidak mengandung premis
untuk semua kebenaran. Tanpa premis-premis [untuk semua kebenaran] ini kita
tidak mungkin sampai pada kesimpulan yang diinginkan. Pertimbangan
epistemiologis yang rumit memainkan peranan penting di sini dan tidak dapat
dibahas saat ini. Namun dari pandangan yang lebih umum, ketidakmampuan
mendemonstrasikan kejadian-kejadian dalam sejarah tampaknya tidak membatalkan
bukti-bukti teorema-teorema dalam geometri.
Burtt kemudian menganggap
bahwa untuk menjawab kritikan yang mengatakan bahwa kompetensi rasional
mengakibatkan tidak dibutuhkannya wahyu, si Romanis[8] akan menunjuk kepada Alkitab sebagai bukti
adanya wahyu. Namun, Burtt berpandangan bahwa jawaban ini bukanlah jawaban yang
memadai terhadap kritikannya. “Penerimaan akan sesuatu yang dianggap wahyu
sebagai fakta aktual bergantung pada keyakinan awal bahwa di alam semesta
terdapat Allah yang mampu dan mau menyediakan [wahyu tersebut]” (hal. 406,
edisi revisi). Penegasan ini juga jauh meleset, namun dalam hal tertentu lebih
menggambarkan posisi [yang diserang] daripada dilemma sebelumnya. Dilema ini
bergantung pada pandangan bahwa satu argumen yang mendukung keberadaan Allah
berimplikasi adanya wahyu. Dengan kata lain, pertama-tama Burtt berpandangan
bahwa jika sebuah demonstrasi keberadaan Allah dilanjutkan, maka akan juga
mendemonstrasikan keberadaan dan isi dari wahyu. Kalimat terakhir hanyalah
menegaskan bahwa sebuah keyakinan tentang keberadaan Allah mendahului
penerimaan terhadap sebuah wahyu. Ini tidak terkait dengan pertanyaan apakah
keberadaan Allah berimplikasi adanya wahyu, melainkan ini merupakan sebuah
posisi yang lebih sederhana bahwa sebuah wahyu bergantung pada asumsi bahwa
Allah mampu dan bersedia menyatakan diri-Nya. Jelas Thomas mengklaim bahwa dia
telah mendemonstrasikan keberadaan Allah yang seperti itu. Karena itu langkah
berikutnya adalah mencari dan menemukan di dunia akan adanya wahyu yang telah
terjadi. Dan sekali lagi jelas Thomas menemukan Alkitab. Burtt menegaskan bahwa
penemuan ini bukalah jawaban yang memadai terhadap kritikannya. Namun kalau
kita menerima bagian pertama dari filsafat Thomas, tidaklah mudah untuk
memahami mengapa langkah ini dapat disebut tidak memadai.
Namun demikian, masih ada
satu lagi sumber kebingungan. Penerimaan akan sebuah wahyu dapat saja tidak
bergantung pada keyakinan sebelumnya akan keberadaan Allah. Jelas, sebuah wahyu
mempraanggapkan adanya Allah. Tetapi penerimaan terhadap sebuah wahyu tidak
membutuhkan kepercayaan sebelumnya akan Allah. Orang dapat saja menerima
Alkitab dan waktu menerimanya juga merupakan saat pertama kali dia meyakini
keberadaan Allah. Artinya dia mungkin akan menemukan Allah dalam wahyu itu.
Bahkan jelas bahwa karena tidak banyak orang yang kompeten untuk memahami bukti-bukti
keberadaan Allah, dan karena banyak yang kompeten tidak mempelajarinya, maka
tampaknya sebagian besar orang yang menerima wahyu belum meyakinkan diri mereka
secara intelektual akan keberadaan Allah. Mereka mempercayai keberadaan Allah
dan isi dari Alkitab dengan iman.
Tentu saja secara logis,
fakta [adanya] wahyu mempraanggapkan adanya Allah. Kalau ini yang dimaksud,
jelas Burtt benar. Namun ini bukan kritikan yang menghancurkan, karena Thomas
juga mengakui hal yang sama. Hal ini jelas sesuai dengan pembedaan yang
dilakukan Thomas namun yang diabaikan begitu saja oleh Burtt, yaitu antara tata
aturan realitas dan tata aturan mengetahui. Dalam realitas Allah harus ada
terlebih dahulu baru yang lain mengikuti; tetapi menurut Thomas proses belajar
manusia dimulai dengan hal lain terlebih dahulu baru kemudian sampai pada Allah
sebagai kesimpulan. Karena itu, walaupun mungkin rumit, kritikan Burtt terhadap
Thomas harus dinilai tidak sound.
Perenungan terhadap
kritikan Burtt dapat mengindikasikan bahwa hal-hal yang dia bahas bersifat
sekunder. Inti masalahnya sendiri terletak pada demonstrasi [Thomas] itu
sendiri. Jika demonstrasi itu valid, maka dengan sendirinya penolakan
[terhadapnya] gagal. Namun apakah demonstrasi itu valid? Apakah Thomas mampu
membuktikan keberadaan Allah? Ini adalah pertanyaan penting.
Argumen
Kosmologis
Pada argumen inilah
bergantung nasib semua teologi natural/alamiah bukan teologi wahyu. Dan
kekuatan argumen inilah yang nanti akan menentukan apakah karya selama
berabad-abad itu bernilai atau apakah karya tersebut salah arah. Jika argumen
kosmologis (dengan mengabaikan argumen ontologis) tidak valid, maka ada dua
kemungkinan yaitu Kekristenan tidak memiliki dasar rasional, atau harus
ditemukan makna akal budi yang independen dari filsafat Tomistik. Arah
dari diskusi ini adalah menunjukkan bahwa argument Thomas terbukti tidak valid
dan penggunaan definisi akal budi dalam sistemnya tidak dapat dapat
dipertahankan; kemudian akan diusulkan makna alternatif dari akal budi (reason)
yang di samping referensi Tomistik juga menunjukkan adanya ambiguitas dalam
tuduhan humanistik moderen bahwa Kekristenan tidak rasional.
Argumen kosmologis bagi
keberadaan Allah [yang paling paripurna dikembangkan oleh Thomas Aquinas]
merupakan sebuah sesat pikir. Tidaklah memungkinkan untuk memulai dengan
pengalaman inderawi dan kemudian melanjutkan dengan hukum logika formal menuju
keberadaan Allah sebagai kesimpulannya. Istilah sesat pikir, hukum logika
fomal, invaliditas, demonstrasi, dan lain-lain sebagainya merujuk kepada
hukum-hukum pemikiran yang tidak ada pengecualian. Istilah-istilah ini merujuk
kepada penarikan kesimpulan yang tidak terelakkan. Beberapa teolog Protestan
menggambarkan penalaran valid sebagai sesuatu yang bersifat matematis. Sebagai
contoh, David S. Clark hendak “membedakan antara bukti dan demonstrasi
matematis.”[9]Yang dia maksud dengan bukti adalah petunjuk – petunjuk
/ evidensi seperti yang digunakan dalam ruang pengadilan. Alasannya menggunakan
istilah matematis dalam kaitan dengan demonstrasi adalah bahwa aljabar
dan secara khusus geometri terdiri dari penarikan kesimpulan yang tidak
terelakkan. Demonstrasi – demonstrasi geometri jelas valid. Demonstrasi –
demonstrasi ini adalah contoh yang menonjol dari pemikiran yang benar. Jika
premis diakui sebagai benar, maka kesimpulan tidak dapat dihindari. Dalam
pengadilan, satu petunjuk (evidence) – dan seringkali semua petunjuk
secara bersama-sama – tidak mengharuskan satu keputusan atau kesimpulan. Namun
demikian, penggunaan istilah matematis, patut disayangkan; karena
bukti-bukti geometris tidak lebih valid dari silogisme non-matematis yang telah
digunakan selama berabad-abad dalam buku teks logika yaitu: Semua manusia fana;
Socrates adalah manusia; karena itu, Socrates fana. Ini adalah inferensi yang
tidak dapat dielakkan. Thomas Aquinas bertujuan dan teologi alamiah menuntut bahwa
argumen yang mendukung keberadaan Allah haruslah merupakan demonstrasi yang
valid secara formal yaitu kesimpulan yang tidak dapat dielakkan kalau premis
benar. Dalam hal ini saya akan menunjukkan argumen kosmologis gagal.
Alasan pertama mengapa
argument ini gagal terlalu rumit untuk dibahas di sini. Seperti diringkas dalam
Summa Theologiae I, Q. 2, argument kosmologis bergantung pada latar
belakang filosofis luas yang dipinjam dari Aristotle. Di dalamnya termasuk
teori tentang gerakan/perubahan yang mengatakan bahwa tidak ada yang dapat
menggerakkan diri sendiri. Tesis ini bergantung pada konsep potensialitas dan
aktualitas. Thomas mendefinisikan motion (gerak/perubahan)
sebagai reduksi potensialitas menjadi aktualitas. Penyebab dari sebuah gerakan
atau perubahan adalah sesuatu yang aktual dan sesuatu yang digerakkan adalah
potensial. Karena tidak ada apapun yang sekaligus aktual dan potensial dalam
pengertian/hubungan yang sama, maka tidak terelakkan bahwa tidak ada hal yang
menggerakkan diri sendiri. Sayangnya konsep potentialitas dan aktualitas
tetap tidak terdefinisi. Aristotle mencoba menjelaskannya dengan menggunakan
sebuah analogi. Dalam konteks [penjelasan]nya, gerakan/perubahan digunakan
dalam penjelasan [tentang potentialitas dan aktualitas] dan kemudian konsep
potensialitas dan aktualitas digunakan untuk mendefinisikan gerakan.
Karena itu argumennya melingkar / sirkular. Di balik ini semua berdiri sejumlah
besar ajaran metafisika dan epistemiologi. Kerumitan seperti itu tidak dapat
dibahas di sini, namun patut dicatat bahwa jika satu saja silogisme esensial
dalam sebuah argumen besar ini tidak valid, maka seluruh sistem ini dan bukti
akan keberadaan Allah ambruk.
Alasan kedua menolak
argument kosmologis dapat dijelaskan dengan lebih rinci. Dalam upayanya untuk
menyimpulkan adanya Penggerak yang Tidak Bergerak (Unmoved Mover),
Thomas berargumen bahwa serangkaian hal yang digerakkan oleh hal lain tidak
dapat terus berlanjut ke tak berhingga. Alasan yang diberikan Thomas untuk
menolak menyangkali penyebab gerak tidak dapat terus berlanjut ke tak berhingga
adalah karena hal itu akan menghapuskan kebutuhan akan Penggerak Pertama.
Namun alasan yang diberikan Thomas ini pada dasarnya merupakan kesimpulan yang
dia ingin buktikan. Tentu saja, serangkaian penyebab gerak yang tak terhingga
tidak konsisten dengan Penggerak Awal yang Tidak Bergerak (Unmoved Mover).
Tetapi jika argumen ini dirancang untuk mendemonstrasikan [keberadaan] Unmoved
Mover, keberadaannya tidak dapat digunakan sebagai salah satu premis dalam
argumen.
Alasan ketiga terkait
dengan keprihatinan yang sedikit berbeda yaitu tentang identitas Unmoved
Mover. Andaikan bahwa semua silogisme valid sampai membuktikan adanya Unmoved
Mover. Andaikan keberadaan Unmoved Mover telah didemonstrasikan. Ketika
Thomas menambahkan bahwa, “[Penggerak Pertama] ini dipahami semua orang
sebagai Tuhan,” kita masih bisa mengajukan keberatan. Kalau ini dipandang
sepenuhnya secara harafiah, maka argumen ini hanya membuktikan adanya penyebab
fisik. Kita malah dapat mengatakan bahwa argumen ini hanya dapat membuktikan
keberadaan sebagian penyebab fisik dari gerakan/perubahan. Untuk menghindari
hal ini, Aristotle sampai bersusah-payah untuk membuktikan bahwa si Unmoved
Mover tidak memiliki besaran. Namun inilah yang merupakan bagian yang
paling tidak memuaskan dari argumennya. Namun jelas bahwa si Unmoved Mover
yang dibuktikan itu tidak memiliki kualitas personalitas transenden. Tidak ada
yang bersifat supranatural dari penyebab ini. Seandainya argument ini valid,
dan seandainya si Unmoved Mover menjelaskan proses di alam, maka Allah
Abraham, Ishak, dan Yakub tidak berguna dan bahkan tidak mungkin ada.
Ini adalah titik dimana
kita harus memperhatikan seorang teolog besar kontemporer. Karl Barth, bapak
Neo-orthodoxy, dalam bukunya Church Dogmatics II, 1, 79ff.,
mengemukakan alasannya untuk menolak pandangan Roma Katolik. Bertentangan
dengan keputusan Konsili Vatican, 24 April 1870, [yang menyatakan] bahwa Allah
yang merupakan yang awal dan yang akhir dari segala sesuatu, dapat dengan pasti
diketahui dari fenomena alam ciptaan dengan kekuatan penalaran alami manusia,
Barth menyatakan bahwa Allah hanya dapat diketahui melalui Allah. Alasan utama
yang dikemukakan Barth adalah bahwa kita sedang berbicara tentang Allah
Kekristenan, yaitu Allah Tritungal. Memang benar Konsili Vatican tidak
bermaksud berbicara tentang Allah yang lain, ataupun hanya tentang sebagian
dari Allah yang satu ini. Tetapi metode yang digunakan menyebabkan pemisahan
(partitioning) terhadap Tuhan sehingga menghasilkan Allah yang lain. Keputusan
Konsili tersebut menggunkaan sebutan “Allah kami,” tetapi argumen yang
dikemukakan hanya terkait dengan “awal dan akhir segala sesuatu.” Menurut
Barth, Kekristenan percaya bahwa Allah merupakan awal dan akhir dari segala sesuatu,
tetapi juga percaya bahwa Allah adalah Penebus; dan ketika kita serius
memperhatikan kesatuan dalam Allah itu, kita tidak dapat memisahkan satu dari
yang lainnya sehingga pengenalan/pengetahuan akan Allah sebagai yang awal dan
yang akhir dari segala sesuatu berasal dari alam dan pengenalan/pengetahuan
lain tentang Allah sebagai Tuhan dan Penebus berasal dari wahyu. Tidak, kata
Barth. Pengetahuan tentang Allah tidak dapat dipartisi/dibagi-bagi. Pengetahuan
tentang Allah sebagai awal dan akhir tidak dapat ada tanpa pengetahuan tentang
Allah sebagai Penebus. Demikian juga kita tidak dapat mengetahui/mengenal Allah
sebagai Penebus tanpa mengetahui/mengenal Dia sebagai Yang Awal dan Yang Akhir
dari segala sesuatu.
Bukankah Deus Dominus
et creator dari doktrin ini merupakan hasil konstruksi pikiran manusia –
yaitu pemikiran yang pada gilirannya tidak didasarkan pada dasar dan esensi
Gereja, pada Yesus Kristus, pada para nabi dan rasul, namun yang bergantung
pada dirinya sendiri? Walaupun dapat diketahuinya konstruksi ini dapat
diafirmasi tanpa wahyu, bukankah kita harus bertanya apa otoritas yang kita
miliki dari dasar dan esensi Gereja sehingga kita menyebutnya “Allah”?
Mungkin kita tidak dapat
mengikuti setiap kalimat penolakan Barth yang dikutip di atas. Kemungkinan
besar Pascal mengemukakan keberatannya dengan lebih akurat dalam tulisannya
yang membedakan allah para filsuf dengan Allah Abraham, Ishak, dan Yakub. Namun
demikian jelas bahwa kesenjangan antara si “Unmoved Mover” dan Allah
yang hidup sudah digarisbawahi [dalam tulisan tersebut].
Keempat dan terakhir,
argumen Thomas tidak valid karena salah satu dari term utamanya digunakan
dengan dua pengertian. Bukankah jelas bahwa sebuah argumen valid mengharuskan
term-termnya memiliki makna yang sama dalam kesimpulan dan dalam premis yang
mendukungnya? Sayangnya, Thomas dengan tegas di dalam tulisannya yang lain
mengatakan bahwa tidak ada term/istilah yang ketika diterapkan pada Allah
memiliki makna yang persis sama dengan ketika term/istilah tersebut diterapkan
pada manusia atau ciptaan lain. Ketika kita katakan bahwa Allah bijak,
dan bahwa Salomo bijak, term bijak tidak univokal.[10] Tidak saja istilah bijak; tetapi juga term ada
[tidak bersifat univokal ketika diterapkan pada Allah dan ciptaan]. Dalam
proposisi Allah ada, term ada memiliki makna yang berbeda
daripada ketika digunakan dalam proposisi manusia ada. Thomas sangat
menekankan hal ini. Tetapi jika sebuah term tidak digunakan secara univokal
dalam sebuah silogisme, atau jika sebuah term tidak memiliki makna yang persis
sama, maka silogisme tersebut tidak valid. Hukum logika dilanggar.[11]
Mereka yang saat ini
menerima argumen kosmologis akan dengan segera menyangkali bahwa nasib
[argument kosmologis] tergantung pada formulasi Thomas. Kata mereka, ada cara
lain menyatakan argumen tersebut sehingga kesalahan yang dibuat Thomas dapat
dihindari. Jika demikian adanya, kita mungkin dapat menemukan formulasi tidak
bercela ini dalam tulisan-tulisan pembelanya. Namun kenyataanya tidak ditemukan
formulasi seperti itu.[12] Ada referensi -referensi tentang argumen kosmologis, ada
diskusi tentang argumen ini, dan ada berbagai ringkasannya. Namun formulasi
argumen sepenuhnya tanpa ada langkah yang dilewati, tampaknya tidak pernah
dicetak.
Catatan:
[1] Romanisme di sini maksudnya sama dengan Roma Katolisisme
[2] Terjemahan: Apakah Allah ada?
[3] Pandangan Tomistik adalah pandangan yang diajarkan oleh Tomas
Aquinas yang dibahas di sini
[4] Makna mendemonstrasikan di sini adalah menunjukkan
validitas argument yang mendukung sebuah kesimpulan berdasarkan non-wahyu
[5] Segala proposisi yang dapat didemonstrasikan merupakan bagian
filasfat
[6] Burtt, Types of Religious Philosophy, 454. Edisi
pertama.
[7] Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang mungkin terjadi
tetapi tidak dapat diprediksi secara pasti
[8] Romanis – penganut ajaran Roma Katolik
[9] David S. Clark, Syllabus of Systematic Theology, 62.
[10] Univokal=memiliki makna yang sama
[11] See the author’s Thales to Dewey, The Works of Gordon
Haddon Clark, 217-221.
[12] Saat Clark membuat tulisan ini tidak ada yang membuat
formulasi yang tidak menderita kesalahan Thomas. Untuk saat ini, mungkin harus
dipelajari lebih lanjut apakah ada formulasi yang lebih baik dari Thomas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar