Senin, 05 Desember 2016

Sang Martir dari Sungai Efrat



“Di sebuah tenda seorang memuji dan menyeru Tuhannya, seorang anak kecil dengan bibir kehausan menyeru Tuhannya. Oh tangan! Mengapa? Mengapa engkau jatuh dari tuanmu, serombongan kafilah kehausan hanya menginginkanmu”. 

Ia yang kehilangan tangannya (karena tebasan pedang musuh) yang diseru dalam sajak itu adalah Abul Fadhl Abbas (as). Dalam ragam riwayat disebutkan bahwa Abul Fadhl Abbas as[1] adalah pria yang berperawakan tinggi, tegap, dan kekar. Dadanya bidang dan wajahnya putih berseri. Sedemikian elok dan rupawannya fisik Abul Fadhl Abbas, hingga adik Imam Husain as dari lain ibu ini tenar dengan julukan ‘Purnama Bani Hasyim’ (Qamar Bani Hasyim).

Dalam sejarah dan ragam nukilan riwayat, Abul Fadhl Abbas juga dikenal sebagai pemegang panji Karbala. Keberanian, kehebatan, dan kekuatannya saat itu tak tertandingi oleh siapapun. Sebagai manusia yang tumbuh besar di tengah binaan keluarga suci dan mulia, dia memiliki keteguhan dan kesetiaan yang luar biasa kepada kepemimpinan dalam untaian figur-figur utama Ahlul Bait as.

Perjuangan di Karbala telah menyematkan namanya dalam sejarah keislaman dan Ahlul Bait Rasul sebagai salah satu pahlawan yang sangat legendaris. Tentang ini Imam Ali Zainal Abidin Assajjad as berkata: “Sesungguhnya di sisi Allah Abbas memiliki kedudukan (sedemikian tinggi) sehingga seluruh para syuhada cemburu menyaksikannya pada hari kiamat.”[2]

Imam Assajad as dalam doanya untuk Abbas as juga berucap: “Ya Allah, rahmatilah pamanku, Abbas. Sesungguhnya dia telah mengorbankan jiwanya untuk saudaranya.”

Dalam peperangan dan perjuangan yang menyakitkan di Karbala itu, kedua tangannya telah dipotong oleh musuh sehingga Allah menggantinya dengan sepasang sayap untuk terbang dengan para malaikat di alam surga. Di sisi Allah dia memiliki kedudukan yang sangat agung sehingga membuat para sahabat cemburu melihatnya.[3]

Sang Purnama Bani Hasyim adalah pria dewasa yang perasaannya dikenal sangat peka. Perasaannya sangat tersayat menakala dia mendengar ratapan kehausan dan tumpahnya darah para pahlawan Karbala. Saat itulah dia semakin merasakan tidak ada gunanya hidup bila tidak dia gunakan untuk berjihad membela junjungan dan pemimpinnya, Imam Husain as.

Namun, selama terjadi peperangan yang menggugurkan satu persatu dari sahabat dan kerabatnya, yang bisa dia nantikan hanyalah menanti instruksi Sang Imam. Dan saat dia mendapat instruksi itu, banyak diantara pasukan musuh yang harus bergelimpangan di tangannya.

Dalam penantian instruksi dari saudara sekaligus pemimpinnya itu, kata-kata yang dia ucapkan kepada beliau adalah: “Kakakku, sudahkah engkau mengizinkan aku?” Pernyataan Sang Purnama ini membuat hati Imam Husain as luluh sehingga menangis tersedu dan berkata: “Adikku, engkau adalah pengibar panjiku dan lambang pasukanku.”[4]

Beliau juga mengatakan: “Engkaulah pemegang panjiku, namun cobalah engkau carikan seteguk air untuk anak-anak itu.”[5]

Abul Fadhl Abbas as lantas mendatangi kelompok Bani Umayyah dan mencoba menasihati mereka kendati Abul Fadhl Abbas tahu bahwa itu tidak akan mereka dengar. Setelah terbukti nasihat itu sia-sia, dia kembali menghadap Imam Husain as dan mendengar jerit tangis anak-anak kecil yang kehausan meminta dibawakan air. Hati Abbas merintih. Sambil menatap langit, bibirnya berucap: “Tuhanku, Junjunganku, aku berharap dapat memenuhi janjiku, aku akan membawakan satu qirbah (wadah) air untuk anak-anak itu.”[6]

Abul Fadhl Abbas kemudian meraih tombak dan memacu kudanya sambil membawa qirbah (kantung air dari kulit) menuju sungai Eufrat yang seluruh tepinya dijaga oleh sekitar empat ribu pasukan musuh. Begitu Abbas tiba di dekat sungai itu, pasukan musuh itu segera mengepungnya sambil memasang anak panah ke busurnya ke arah adik Imam Husain as tersebut.

Pemandangan seperti itu tak membuatnya gentar. Begitu beberapa anak panah melesat, Abul Fadhl Abbas segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh. Sekali terjang, pedang Abul Fadhl Abbas berhasil membabat nyawa sejumlah pasukan. Kemana pun kuda Abul Fadhl Abbas bergerak, gerombolan musuh bubar dan porak poranda. Akibatnya, penjagaan sungai Eufrat yang berlapis-lapis pun jebol diterjang sang pendekar yang teguh itu.

Sambil menahan letih dan rasa haus yang mencekiknya, Abul Fadhl Abbas turun ke sungai dengan kudanya. Mula-mula ia berusaha cepat-cepat mengisi qirbahnya dengan air. Setelah itu ia meraih air dengan telapak tangannya untuk diminumnya. Namun, belum sempat air itu menyentuh bibirnya, Abbas teringat kepada Imam Husain as dan kerabatnya yang sedang kehausan menantikan kedatangannya.

Air di telapak tangannya langsung dia tumpahkan lagi sambil berucap: “Demi Allah aku tidak akan meneguk air sementara junjunganku Husain sedang kehausan.”[7]

Abul Fadhl Abbas as kemudian berusaha kembali dengan menempuh jalur lain melalui tanah yang ditumbuhi pohon-pohon kurma agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke tangan Imam Husain as. Namun, perjalanan Abul Fadhl Abbas tetap dihadang musuh. Ia tidak diperkenankan membawa air itu kepada Ahlul Bait Nabi tersebut.

Kali ini pasukan Umar bin Sa’ad semakin garang. Abul Fadhl Abbas dikepung lagi. Pasukan yang menghadang di depannya adalah pasukan pemanah yang sudah siap melepaskan sekian banyak anak panah untuk mencabik-cabik tubuhnya. Namun, sebelum menjadi sarang benda-benda tajam beracun itu, dengan tangkasnya pedang Abul Fadhl Abbas menyambar musuh yang ada di depannya. Sejurus kemudian kepungan musuh kembali porak-poranda diobrak-abrik sang pendekar yang perkasa itu.

Menyaksikan kehebatan dan ketangguhan Abul Fadhl Abbas yang tidak bisa dipatahkan dengan berhadapan langsung itu, beberapa pasukan penunggang kuda ahli diperintahkan untuk bekerjasama menghabisinya dengan cara menyelinap dan bersembunyi di balik pepohonan kurma.

Saat Abul Fadhl Abbas lewat, dua pasukan musuh bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin Tufail yang juga bersembunyi di balik pohon segera muncul sambil menghantamkan pedangnya ke tangannya. Tanpa ampun lagi, tangan kanan Abul Fadhl Abbas pun putus dan terpisah dari tubuhnya. Tangan kirinya segera menyambar qirbah air dan pedangnya.

Dengan satu tangan dan sisa-sisa tenaga itu, ia masih bisa membalas beberapa orang pasukan hingga tewas. Saat itu ia sempat berucap: “Demi Allah, walaupun tangan kananku telah kalian potong aku tetap akan membela agamaku, membela Imam yang jujur, penuh keyakinan, dan cucu Nabi yang suci dan terpercaya.”[8]

Abul Fadhl Abbas as tetap berusaha bertahan dan menyerang walaupun badannya sudah lemah akibat pendarahan. Dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama Nufail Arzaq tiba-tiba muncul bak siluman dari balik pohon sambil mengayunkan pedangnya ke arah bahunya. Abul Fadhl Abbas pun tak sempat menghindar lagi. Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk anak keturunan Rasul yang sedang kehausan itu akhirnya putus.

Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam Husain ini mencoba meraih kantung (qirbah) air-nya dengan menggigitnya. Tapi kebrutalan hati musuh tak kunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan itu tumpah. Air itu pun mengucur habis seiring dengan habisnya harapan Abul Fadhl Abbas.

Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya satu lagi anak panah ke dadanya. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi menghantamkan batangan besi ke ubun-ubunnya. Abul Fadhl Abbas pun terjungkal dari atas kuda sambil mengerang kesakitan dan berteriak : “Hai kakakku, temuilah aku!” Dengan sengalan nafas yang masih tersisa, Abul Fadhl Abbas as berucap lagi untuk Imam Husain as: “Salam atasmu dariku, wahai Abu Abdillah.”[9]

Suara dan ratapan Abul Fadhl Abbas ini secara ajaib terdengar oleh Imam Husain as sehingga beliau pun beranjak ke arahnya sambil berteriak-teriak: “Di manakah kamu?” Imam Husain as tiba-tiba dikejutkan oleh kuda Abu Fadhl Abbas yang diberi nama Dzul Janah itu. Secara ajaib kuda itu dapat berucap: “Hai junjunganku, adakah engkau tidak melihat ke tanah?”[10]

Imam Husain as lantas melihat ke tanah dan tampaklah di depan mata beliau dua pasang tangan tergeletak di atas tanah. Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya. Tak jauh dari situ pula, Imam Husain as melihat tubuh adiknya yang tinggi besar itu tergeletak dalam keadaan penuh luka bersimbah darah. Imam Husain pun tak kuasa menahan duka. Beliau menangis tersedu dan meratap hingga mengiris hati seluruh hamba sejati Allah di langit dan bumi. “Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyurut, dan musuhku pun semakin mencaci maki diriku.” Demikian ratap putera Fatimah itu sambil memeluk Abul Fadhl Abbas, adiknya dari lain ibu. 

Di tengah isak tangisnya, Imam Husain juga berucap kepada Abul Fadhl Abbas: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adikku. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”[11]

Jasad Abul Fadhl Abbas yang tak bertangan itu ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar dan kemudian bersuara lirih: “Kakakku, tolong jangan engkau bawa aku ke tenda sana. Sebab, selain aku telah gagal memenuhi janjiku untuk membawakan air kepada anak-anak kecil itu, aku adalah pemegang panji sayap tengah. Jika orang-orang di perkemahan sana tahu aku telah terbunuh, maka ketabahan mereka akan menipis.”

Imam Husain as kembali mendekap erat-erat kepada adiknya yang bersimbah darah itu. Air mata Abul Fadhl Abbas yang mengalir beliau usap. “Mengapa engkau menangis?” Tanya Imam. “Wahai kakakku, wahai pelipur mataku. Bagaimana aku tidak akan menangis saat aku melihatmu mengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkanku dalam pangkuanmu, sementara tak lama lagi tidak akan ada seorang pun yang akan meraih dan mendekap kepalamu, tidak ada seorangpun yang akan membersihkan debu-debu dan tanah di wajahmu.” 

Kata-kata Abul Fadhl Abbas itu semakin meluluhkan hati Imam Husain as sehingga beliau semakin terbawa derai isak dan tangis haru sambil bersimpuh di sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat terik mentari yang membakar. Dengan hati yang pilu Sang Imam mengucapkan salam perpisahan kepada tulang punggung pasukannya yang sudah tak berdaya itu lalu beranjak pergi dengan langkah kaki yang berat.

Abul Fadhl Abbas pun gugur tergeletak bermandi darah, debu, dan air mata di bawah guyuran cahaya panas mentari sahara. Begitu tiba di tenda tempat beliau tinggal, Imam yang masih tak kuasa membendung derai air mata duka segera disambut dengan pertanyaan dari puterinya, Sukainah. “Ayah, bagaimanakah dengan nasib pamanku? Bukankah dia telah berjanji kepadaku untuk membawakan air, dan bukankah dia tidak mungkin ingkar janji?”

Pertanyaan Sukainah nampak sulit untuk dijawab ayahnya. Hanya isak tangis yang segera menjawabnya, sebelum kemudian beliau berkata dengan suara meratap pilu: “Puteriku, sesungguhnya paman sudah terbunuh, tetapi ketahuilah bahwa arwahnya sudah bersemayam di dalam surga.”[12]

Berita pilu ini tak urung segera disusul dengan gemuruh tangis dan ratapan pedih Sukainah, Zainab Al-Kubra, dan wanita-wanita lain di sekitarnya. “Oh Abbas!” “Oh, saudaraku!” “Habislah sudah sang penolong!” “Betapa pedihnya nanti bencana sesudah kepergianmu!”[13] Sang Imam sendiri tetap tak kuasa menahan duka lara kepergian Abbas yang telah menjadi perisai tangguh kelompoknya. “Oh Abbas, oh adikku, oh buah hatiku, kini kami benar-benar telah kehilangan dirimu. Patah sudah tulang punggungku. Lemah sudah strategiku. Punah sudah harapanku.”[14]

“Di sebuah tenda seorang memuji dan menyeru Tuhannya, seorang anak kecil dengan bibir kehausan menyeru Tuhannya. Oh tangan! Mengapa? Mengapa engkau jatuh dari tuanmu, serombongan kafilah kehausan hanya menginginkanmu”. 

CATATAN:
[1] Ayah Abu Fadhl Abbas adalah Ali bin Abi Thalib as. Ibunya adalah Fatimah Al-Kilabi, wanita yang lebih dikenal dengan sebutan Ummul Banin. Isterinya adalah Lababah binti Ubaidillah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Lababah mempunyai empat orang putera bernama Ubaidillah, Fadhl, Hasan, dan Qasim, serta seorang puteri. Abu Fadhl Abbas gugur di Karbala saat masih berusia 34 tahun. (Sardar Karbala hal.341).
[2] Sardar Karbala hal.240
[3] Muntaha Al-Amaal hal.279
[4] Anwar Assyahadah hal.76
[5] Sardar Karbala hal.287
[6] Anwar Assyahadah hal.78
[7] Bihar Al-Anwar juz 45 hal.41
[8] Ramz Al-Mushibah hal.307
[9] Nadhm Azzahra hal.120
[10] Anwar Assyahadah hal.99
[11] Nasikh Attawarikh juz 2 hal.346
[12] Sugand Nameh Ali Muhammad hal.310
[13] Kibrit Al-Ahmar hal.162
[14] Muhayyij Al-Ahzan, Muthabiq Al-Waqayi’ wa Al-hawadits juz 3 hal.19

Rabu, 21 September 2016

Hana



Cerita Pendek Ryunosuke Akutagawa


Semua orang di Ikeno O (suatu kampung di pinggiran kota Kyoto) tidak ada yang tidak tahu tentang hidung Pendeta Naigu. Panjangnya sekitar 16 sentimeter, menjuntai dari bibir atas hingga ke bawah dagunya. Baik ujung maupun pangkalnya berbentuk sama besar. Pendek kata seperti sosis yang bergayut dari pertengahan wajahnya.



Usia Naigu sudah lebih dari 50 tahun. Sejak sebagai calon pendeta hingga menjadi pendeta kepala, batinnya sebenarnya tersiksa karena bentuk hidungnya itu. Tentu saja kesedihan itu tidak tampak pada roman mukanya, karena ia pikir sebagai pendeta tidak baik bila hanya memikirkan hidung melulu. Ditambah lagi dengan keinginannya masuk surga. Lebih daripada itu, ia tidak ingin orang lain mengetahui keadaan batinnya. Naigu merasa cemas dengan segala omongan orang tentang hidungnya dalam pembicaraan sehari-hari.



Naigu punya alasan berkenaan dengan hidungnya yang merepotkan itu. Salah satunya dengan kenyataan bahwa hidungnya yang panjang itu tidak praktis. Pertama-tama sewaktu ia makan tidak dapat melakukannya sendiri. Bila makan sendiri ujung hidungnya akan menyentuh nasi di dalam mangkuk. Karena itu, jika sedang makan, Naigu menyuruh seorang muridnya untuk duduk di sampingnya dan mengangkat hidungnya dengan sebilah papan sepanjang kurang-lebih 60 sentimeter dan lebar sekitar lima sentimeter. Tapi, makan dengan cara demikian bagi Naigu maupun muridnya merupakan hal yang tidak mudah. Suatu kali, tangan seorang murid bernama Chudoji yang menggantikan murid yang biasanya membantu Naigu terguncang ketika bersin dan hidung Naigu terjatuh ke dalam mangkuk bubur. Cerita tentang jatuhnya hidung Naigu ke dalam mangkuk bubur itu tersebar sampai ke Kyoto. Meski demikian, tidak ada alasan kuat baginya untuk merasa sedih dengan kodrat hidungnya itu, walaupun sebenarnya batinnya sangat sedih karena hidungnya itu.


Orang-orang di Ikeno O mengatakan bahwa Naigu beruntung karena ia seorang pendeta, bukan orang biasa. Dengan hidung demikian, siapapun tentu akan berpikir tidak ada seorang perempuan pun yang bersedia menjadi istrinya. Di antara orang-orang itu ada pula yang mengatakan bahwa Naigu menjadi pendeta mungkin karena hidungnya itu. Naigu sama-sekali tidak merasa tenang dengan hidungnya, meskipun dirinya seorang pendeta. Naigu peka sekali terhadap persoalan hidup yang dihadapinya, seperti masalah perkawinan misalnya. Karena itu Naigu mencoba mengembalikan kehormatannya yang ternoda dengan berbagai cara.


Pertama-tama yang dipirkan Naigu adalah mencari cara agar hidungnya yang panjang itu menjadi tampak lebih pendek. Ketika tidak ada orang, ia menghadap ke cermin dengan serius sambil melihat wajahnya dari berbagai sudut. Terkadang tak puas hanya dengan mengubah letak, ia lantas menopang pipi dengan tangan, meletakkan jari di ujung dagu, dan terkadang pula ia melihat mukanya di cermin dengan sungguh-sungguh. Tapi, hingga sekarang, hidungnya tidak tampak cukup pendek hingga dapat memuaskan dirinya. Malah terkadang semakin dicemaskan hidungnya semakin terlihat bertambah panjang. Pada saat-saat demikian, sambil meletakkan cermin kembali ke dalam kotak, ia mengeluh seolah-olah itu adalah hal baru, dan lantas dengan berat hati ia kembali ke meja membaca kitab Kan On.



Setelah itu Naigu kembali terus-menerus memperhatikan hidung orang lain. Kuil Ikeno O adalah kuil yang sering mengadakan ceramah dan upacara-upacara lainnya. Di dalam kuil ini terdapat berderet-deret kamar para pendeta, dan setiap hari para pendeta memasak air panas di tempat pemandian. Karena itu, tempat tersebut banyak dilalui oleh para pendeta maupun orang biasa. Naigu memperhatikan wajah orang-orang yang berlalu-lalang itu. Ia cemas karena tidak melihat seorang pun yang hidungnya serupa dengan hidungnya. Lantaran itu, sampai-sampai ia tidak dapat membedakan antara pakaian berburu biru tua dengan pakaian musim panas yang putih. Apalagi penutup kepala oranye dan jubah abu-abu yang biasa mereka kenakan sama-sekali tidak tampak berbeda di matanya. Naigu tidak melihat orang, hanya hidungnya saja yang dilihatnya. Meskipun ada yang berhidung mancung, tak ada seorang pun yang memiliki hidung seperti dirinya. Semakin tidak menemukan orang yang sama dengannya, semakin batinnya merasa tidak nyaman pula. Sewaktu berbicara dengan orang lain, tanpa sadar Naigu memegang ujung hidungnya yang menjuntai, wajahnya merah-padam karena malu merasa menjadi orang tua yang lupa umur. Tingkah lakunya digerakkan oleh perasaan yang sama-sekali tidak menyenangkan.



Naigu setidak-tidaknya akan merasa lega seandainya di dalam kitab Buddha dan kitab-kitab lain terdapat cerita tentang orang yang memiliki hidung yang sama dengan dirinya. Tapi, di dalam kitab suci manapun tidak terdapat tulisan yang mengisahkan tentang hidung Mokuren, seorang pengikut Buddha yang terkenal berhidung panjang. Tentu saja Ryuju dan Memyo memiliki hidung seperti orang biasa. Ketika mendengar bahwa di dalam cerita Cina terdapat kisah Ryugentoku dari Shokkan yang bertelinga panjang, ia tidak merasa lega. Ia akan merasa lega seandainya yang panjang itu adalah hidungnya.



Tidak perlu dijelaskan secara khusus di sini bahwa di satu sisi merasa puyeng dengan keadaan itu, ia juga aktif mencari cara untuk memendekkan hidungnya itu. Naigu sedapat mungkin berusaha melakukan hal itu. Ia pernah mencoba minum rebusan labu air, juga pernah mengolesi hidungnya dengan air kencing tikus. Tapi, bagaimanapun juga, hidungnya masih tetap menjuntai dari atas bibir atas kurang-lebih 16 sentimeter seperti semula.



Suatu ketika di musim gugur, salah satu muridnya yang pergi ke Kyoto atas suruhan Naigu bertemu dengan seorang tabib kenalannya yang mengajarkan cara memendekkan hidung. Tabib itu berasal dari Cina dan pernah menjadi Guso di Kuil Choraku.



Naigu, seperti biasa, tidak berkomentar apapun tentang usul itu dan pura-pura tidak memedulikan hidungnya. Di lain pihak, ia menggerutu karena setiap kali makan selalu menyusahkan muridnya. Tentu saja di dalam batinnya ia berharap muridnya itu akan mendesaknya untuk mencoba cara baru itu. Demikian pula, muridnya tahu persis apa yang sebetulnya diinginkan oleh Naigu. Murid itu, sebagaimana dikehendaki oleh Naigu, mendesaknya untuk mencoba cara itu. Selanjutnya Naigu sendiri, sesuai harapannya, akhirnya menerima anjuran yang sungguh-sungguh itu.



Caranya sangat sederhana, yakni hanya dengan mencelupkan hidungnya ke dalam air panas, kemudian diinjak-injak dengan kaki. Setiap hari mereka merebus air di pemandian kuil. Murid itu menuangkan air sangat panas ke dalam ember yang diambil dari tempat pemandian. Saking panasnya sampai-sampai ia tak sanggup mencelupkan tangan ke dalamnya. Karena khawatir bila langsung mencelupkan hidung ke ember wajah Naigu akan melepuh, mereka membuat lubang di baki yang diletakkan di atas ember yang penuh dengan air panas sebagai tempat masuk hidung. Dengan hanya mencelupkan hidung ke dalam air yang sedang mendidih, maka panasnya tidak terasa di wajah. Beberapa saat kemudian murid itu berkata, “Sudah saatnya direbus.”


Naigu tersenyum kecut, karena terbayang jika ada orang yang mendengarnya tentu tak akan berpikir bahwa yang sedang dibicarakan itu adalah hidung. Setelah direndam di dalam air yang sangat panas, hidung itu terasa gatal seperti digigit kutu. Dengan sekuat tenaga murid itu mulai menginjak-injak hidung Naigu yang masih mengepulkan asap karena baru saja dikeluarkan dari lubang baki. Naigu berbaring miring dan meletakkan hidungnya di atas yukaita; saat itu ia melihat kaki muridnya bergerak naik turun di depan matanya. Terkadang murid itu merasa kasihan, dan sembari melihat kepala botak Naigu ia berkata,



“Apa tidak terasa sakit? Tabib menyuruh menginjak dengan keras. Tapi apa tidak sakit?”

Naigu berusaha menggelengkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia tidak merasa kesakitan. Tapi karena hidungnya sedang diinjak-injak, maka ia tidak bisa menggelengkan kepala seperti yang dikehendakinya. Sambil menatap kaki muridnya, yang kulitnya pecah-pecah, dengan membelalakkan mata ia menjawab dengan suara yang terdengar marah.

“Tidak sakit!”

Sebenarnya, sewaktu diinjak-injak pada bagian yang gatal, hidungnya justru terasa lebih enak daripada terasa sakit. Setelah diijak-injak beberapa waktu maka mulai keluarlah semacam butiran-butiran jewawut. Dapat dibilang hidung Naigu seperti burung yang dipanggang setelah dicabuti bulunya. Ketika melihat hal itu, sang murid berhenti menginjaknya dan berkata seperti kepada diri sendiri, “Katanya supaya dicabuti dengan pencabut bulu.”


Naigu hanya menggelembungkan pipinya seperti tampak kesal, namun ia tetap membiarkan tindakan muridnya. Tentu saja karena ia mengetahui kebaikan hati muridnya. Walaupun demikian, bukan berarti ia senang hidungnya diperlakukan bagai benda mati. Dengan roman muka seperti pasien yang sedang dioperasi oleh dokter yang tidak meyakinkan, ia mengamati muridnya yang sedang mencabuti butiran lemak dengan pencabut bulu. Lemak itu berbentuk seperti tangkai bulu burung, dan panjangnya sekitar satu sentimeter.



Setelah selesai, dengan wajah terlihat lega si murid akhirnya berkata, “Saya kira sebaiknya direbus sekali lagi.” Dengan muka masam Naigu menuruti perkataan muridnya.


Singkat cerita, setelah direbus untuk kedua kalinya, dan lemaknya dicabuti keluar, maka benar juga hidung itu menjadi pendek. Tak ubahnya seperti paruh burung betet. Naigu mengusap hidungnya yang memendek, dan dengan ragu dan malu-malu dilihatnya di dalam cermin yang diberikan oleh muridnya.



Hidungnya yang semula menjuntai hingga ke bawah dagu, hampir tak dapat dipercaya, kini menyusut menjadi kecil, menempel di atas bibir atas. Di sana-sini tampak bintik-bintik merah bekas injakan kaki. Bila seperti ini tentu tidak aka nada lagi orang yang menertawakannya. Wajah yang ada di dalam cermin memandang wajah Naigu yang ada di luar cermin, kemudian mengerdipkan mata tanda puas.


Tapi hari itu, baru hari pertama, ia merasa gelisah, takut kalau-kalau hidungnya memanjang kembali. Maka baik sewaktu membaca sutra maupun sewaktu makan, juga setiap ada kesempatan, diam-diam ia mengangkat tangan untuk meraba ujung hidungnya. Tentu saja hidungnya tetap bertengger dengan apiknya di atas bibir atas, tak ada tanda-tanda akan bertambah panjang kembali. Selain itu ketika bangun di pagi hari, yang mula-mula dilakukannya adalah meraba hidung. Hidungnya masih tetap pendek. Maka ia merasakan kebahagiaan yang sudah bertahun-tahun tak dirasakannya, seperti ketika berhasil menyalin sutra.



Tapi dalam dua-tiga hari berikutnya, Naigu mengalami perkembangan yang tidak terduga. Yakni bertepatan dengan datangnya seorang samurai ke Kuil Ikeno O untuk suatu keperluan. Dengan raut wajah seperti merasa aneh, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia hanya memandangi hidung Naigu saja. Tak hanya itu, Chudoji, yang pernah menjatuhkan hidungnya ke dalam bubur, ketika berpapasan dengan Naigu di luar ruangan mula-mula memandang ke bawah menahan rasa geli, tapi akhirnya gelak tawanya pecah tak tertahankan lagi. Tak hanya satu-dua kali saja terjadi, pendeta-pendeta pembantu yang diberinya perintah mula-mula mendengarkan dengan hormat saat berhadapan dengannya, tapi kemudian tertawa terpingkal-pingkal setelah membelakanginya.



Mula-mula Naigu mengira hal itu terjadi karena ada perubahan di wajahnya. Tapi dugaannya meleset, ia tidak mendapat penjelasan yang tuntas. Tentu saja penyebab Chudoji dan pendeta-pendeta pembantu tertawa adalah karena perubahan itu. Meskipun sama-sama tertawa, tampak berbeda dibandingkan dulu ketika hidungnya masih panjang. Kalau dikatakan bahwa hidungnya yang pendek itu, yang tidak biasa mereka saksikan, lebih menggelikan ketimbang hidungnya yang panjang seperti sebelumnya, itu sudah keterlaluan. Tapi, rupanya lebih daripada itu.


“Selama ini mereka tidak pernah tertawa secara terbuka seperti itu.”



Ada kalanya Naigu ngedumel seperti itu, lalu berhenti mengkaji kitab sutra yang baru dibacanya, sambil memiringkan kepalanya yang botak. Kalau sudah begitu, Naigu yang mestinya penuh kasih-sayang tampak tak tenang, dan sambil memandang gambar Fugen yang tergantung di sebelahnya, ia terbuai oleh lamunan ketika hidungnya masih panjang empat-lima hari lalu. Naigu bermuram durja mengenang masa jayanya, yang sekarang mereka rendahkan. Tapi sayang, Naigu tidak dapat memecahkan persoalan ini.


Dalam hati manusia ada dua perasaan yang saling bertentangan. Tentu saja tidak ada seorang pun yang tidak bersimpati terhadap nasib malang orang lain. Tapi jika ada orang yang ingin berusaha mengatasi nasib buruknya, maka akan ada orang yang tidak suka. Kalau sedikit dilebih-lebihkan, bahkan ada orang yang ingin agar orang yang bernasib malang itu tetap malang, dan bahkan ingin menjerumuskannya. Tanpa sadar berarti orang itu secara pasif sudah menaruh rasa permusuhan kepadanya. Hal yang entah mengapa membuat Naigu jengkel walaupun tak tahu sebabnya, tidak lain adalah sikap para pendeta dan orang-orang biasa di kuil Ikeno O; ia hanya dapat merasakan egoisme orang-orang itu tanpa menjerumuskannya.


Dengan demikian tiap hari Naigu semakin merasa kesal. Dimakinya setiap orang yang dirasa menjengkelkan. Karena perbuatannya itu, bahkan muridnya yang telah merawat hidungnya itu akhirnya mengumpat dan mengatakan bahwa Naigu pantas mendapatkan hukuman atas perbuatannya itu. Chudoji yang jahillah yang sebetulnya membuat dia sangat kesal dan marah.


Suatu hari, ketika terdengar anjing manyalak keras Naigu pergi keluar. Tanpa sengaja ia melihat Chudoji sedang megejar-ngejar anjing kerempeng dengan mengayunkan tongkat sepanjang sekitar 70 sentimeter di tangannya. Tidak hanya itu, ia mengejarnya sambil mengolok-olok,


“Awas kupukul hidungmu! Awas nanti kupukul hidungmu.” Naigu merampas tongkat dari tangan Chudoji dan memukulkan ke wajahnya. Tongkat itu adalah tongkat yang dulu dipakai untuk menyangga hidungnya. 

Naigu, sebaliknya, merasa menyesal telah memaksakan diri memendekkan hidung.


Pada suatu malam, tiba-tiba berisik suara denting lonceng-lonceng di menara kuil karena hempasan angin kencang terdengar oleh Naigu di pembaringan. Lebih daripada itu, udara terasa sangat dingin. Naigu yang sudah tua itu ingin tidur tapi tidak bisa. Dalam keadaan berbaring tapi tak bisa tidur itu tiba-tiba ia merasakan gatal-gatal pada hidungnya. Ketika diraba terasa hidungnya itu membengkak seperti berisi air. Bahkan sepertinya terasa agak panas.



“Karena saya memendekkannya dengan paksa, mungkin malah menyebabkan sakit.”

Ia menggumam sambil dengan khidmat menekan hidungnya, seperti ketika sedang membakar dupa dan menyajikan kembang kepada sang Buddha.


Keesokan harinya, ketika Naigu bangun pagi-pagi sekali seperti biasa, ia melihat daun-daun pohon Ginko dan Tochi berguguran di taman kuil hingga halaman itu berkilauan bagai disepuh emas. Mungkin disebabkan oleh embun yang turun dari atap menara. Sembilan lingkaran logam yang ada di situ berkilauan terkena cahaya mentari pagi yang masih agak redup. Zenchi Naigu berdiri di serambi sambil menggulung tirai jendela ke atas, lalu menghela nafas panjang.


Saat itulah sekali lagi muncul perasaan yang sudah hampir dilupakannya.


Naigu buru-buru meletakkan tangannya ke hidung. Yang teraba bukanlah hidung pendek seperti malam sebelumnya, melainkan hidungnya yang dulu, yaitu hidung panjang yang menjuntai 16 sentimeter dari atas bibir atas hingga ke bawah dagunya. Kini ia sadar bahwa hidungnya itu telah memanjang seperti sediakala dalam semalam. Bersamaan dengan itu, entah dari mana, perasaan lega seperti ketika merasakan hidungnya menjadi pendek muncul kembali.

“Kalau seperti sekarang tentu tidak akan ada orang yang menertawakanku lagi,” bisik Naigu dalam hati, sambil mengibaskan hidungnya yang panjang agar diembus sejuknya angin pagi musim gugur. 

Catatan: Guso adalah nama salah satu jabatan di kuil dan Yukaita adalah lantai papan.

Selasa, 12 Juli 2016

Vladimir Lenin dan Samir Amin Bicara Soal Imperialisme


Pernah terjadi dalam sejarah ketika 100 juta orang Indian dibantai oleh para pendatang di sebuah negeri yang kini disebut Amerika

Sepanjang beberapa dekade, imperialisme telah menjadi bahan perdebatan serius di antara kalangan pemikir dan para pegiat gerakan revolusioner. Beberapa pemikir seperti Hannah Arendt, Eric J. Hobsbawm, dan Vladimir Lenin adalah diantara orang-orang yang tercatat sebagai pemikir-pemikir yang meneorisasikan imperialisme. 

Vladimir Ilyich Lenin, yang adalah seorang penggerak revolusi Rusia, mengaitkan antara imperialisme dengan perkembangan kapitalisme. Bagi Lenin, imperialisme adalah tahapan terkini yang tak terelakkan dalam logika perkembangan kapitalisme. Imperialisme lahir dalam suatu krisis kapitalisme di suatu negeri. Agar keluar dari krisis periodiknya, kapitalisme harus keluar untuk mencari pasar baru, mengekspansi batas-batas negara-bangsa untuk mencari lahan, tenaga kerja, dan bahan-bahan mentah untuk produksi kapitalis yang lebih murah. 

Dalam pandangan Lenin, imperialisme dicirikan oleh lima hal. 

Pertama, konsentrasi kapital, baik dalam bentuk konglomerasi maupun monopoli. 

Kedua, meleburnya kekuasaan kapital finans, industri dan birokrasi. 

Ketiga, ekspor kapital dalam bentuk investasi-investasi industrial. 

Keempat, pembagian ekonomi dunia oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan korporasi transnasional melalui kartel internasional. 

Kelima, pembagian politik dunia oleh negara-negara maju.



Meskipun teori Lenin banyak dikritik, tetapi ia telah meletakkan bangunan teori imperialisme yang penting dalam perdebatan selanjutnya, utamanya pengaitannya dengan kapitalisme dan perkembangan kapital finans. 

Pendekatan Lenin atas imperialisme itu, contohnya, dikritik oleh Samir Amin, seorang Marxis berkebangsaan Mesir. Bagi Samir Amin, imperialisme bukan merupakan tahap, melainkan inheren dalam setiap ekspansi kapitalisme. Sepanjang sejarahnya imperialisme telah memasuki dua fase dan sedang memasuki fase yang ketiga. 

Fase pertama terjadi pada masa ekspansi kapital merkantilis Eropa Atlantis yang menghancurkan benua Amerika. Dua aktor utamanya adalah Spanyol dan Inggris. Hasil yang terjadi akibat dari penaklukan kolonialis ini adalah hancurnya peradaban Indian, terjadinya Hispano-Kristenisasi, dan genosida (yang konon mencapai 100 juta) total atas masyarakat Indian, di mana negara Amerika Serikat berdiri di atasnya. 

Penaklukan ini masih dibumbui oleh kehendak untuk memperadabkan ‘dunia lain’ dengan dalih agama. Imperialisasi tahap pertama ini pada akhirnya melahirkan sejumlah perlawanan seperti pemberontakan kaum budak di Haiti, serta revolusi Meksiko dan Kuba. 

Fase kedua terjadi pada masa revolusi industri Inggris yang berujung pada penaklukan Asia dan Afrika. Penundukan kolonial ini berupaya untuk mencari dan membuka ‘pasar baru’ bagi perdagangan Eropa. Cecil John Rhodes adalah salah satu figur pendukung gagasan kolonialisme ini, dengan menyatakan bahwa kolonialisme Inggris di Afrika akan menyebabkan ekonomi Inggris bangkit kembali dan menghindarkan revolusi sosial di dalam negeri. 

Imperialisme fase kedua ini berakibat pada membesarnya jurang ketidakadilan sosio-ekonomi yang terus dihadapi oleh dunia hingga kini. Jika pada tahun 1800-an rasio ketidaksetaraan adalah dua berbanding satu, maka sejak terjadinya kolonialisme hingga saat ini rasio ketidaksetaraan itu menjadi enampuluh berbanding satu, dengan hanya sekitar 20% dari penduduk dunia yang bisa mengambil keuntungan dari sistem yang terjadi saat ini. Sementara 80% lainnya hidup dalam ketidakpastian dan ketidakamanan sosio-ekonomi secara persisten. 

Imperialisme fase kedua ini menghasilkan perang-perang dunia besar antar kekuatan imperialis untuk mempertahankan koloninya. Namun juga menghasilkan berbagai perlawanan yang terus menentang proyek-proyek imperialis, seperti lahirnya revolusi sosialis di Rusia dan China, dan tumbuhnya berbagai revolusi pembebasan nasional di negara-negara Asia dan Afrika. 

Kemerdekaan negara-negara di kawasan Asia dan Afrika tersebut tidak lantas menghancurkan sistem imperialis itu sendiri. Kekuatan-kekuatan imperialis, yang di antaranya merupakan kekuatan kolonialis lama seperti Belanda, Inggris dan Perancis serta negara kapitalis baru yang muncul pada abad ke-19 seperti Jerman, Amerika Serikat dan Jepang, tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan ‘situasi baru’ ini. 

Kaum imperialis ini segera mengubah pandangan tradisionalnya bahwa pertumbuhan kapitalis mereka sangat bergantung dari seberapa besar wilayah koloni yang mereka ekspansi. Dengan keunggulan yang dimiliki sebagai negara yang maju, kaya-raya, dan memiliki sumberdaya manusia serta teknologi yang tinggi, mereka segera mengubah modus dominasinya menjadi imperialisme baru, imperialisme tanpa koloni. 

Saat ini kita sedang memasuki fase imperialisme ketiga yang ditandai oleh runtuhnya sistem Soviet dan rejim-rejim nasionalis-populis di Dunia Ketiga. Pada dasarnya, tujuan dari imperialisme fase ini masih sama dengan fase-fase sebelumnya, yaitu untuk mengukuhkan dominasi kapital, memperluas dan mengekspansi pasar baru, menjarah sumberdaya agraria, dan melakukan super-eksploitasi pada tenaga kerja di negara-negara pinggiran. 

Berbagai wacana ideologis disiapkan untuk mengukuhkan hegemoni imperialisme tahap ketiga ini, di antaranya dengan menggembar-gemborkan demokrasi, humanitarianisme, hak asasi manusia, pasar bebas dan kesejahteraan, pemerintahan yang bersih dan baik. Tetapi wacana-wacana ini dikerjakan dengan model standar ganda, dan hanya dilakukan demi mempermulus akumulasi kapital oleh negara-negara maju pada negara-negara pinggiran. 

Fase ketiga ini juga berhadapan dengan suatu jaman yang dicirikan oleh terjadinya persenyawaan yang halus antara menguatnya kekuasaan ekonomi korporasi dengan globalisasi teknologi, informasi dan pengetahuan. Berbagai fenomena globalisasi seperti: meningkatnya kekuasaan perusahaan-perusahaan multinasional dalam perdagangan global, revolusi informasi dan ilmu pengetahuan, serta munculnya masyarakat yang berbasis jaringan (network society), menguatnya peranan-peranan lembaga keuangan internasional, serta zona-zona perdagangan bebas yang melampaui negara-bangsa, membuat para teoretisi tidak bersepaham satu sama lain dalam memandang tatanan global pada jaman ini. 

Sebagian mendefinisikan tatanan global ini dengan cara pandang baru, sembari mendeklarasikan suatu jaman ‘pos-imperialis’. Sementara yang lain berpendapat bahwa imperialisme tak pernah berakhir, hanya memakai modus baru dengan motif lama yang tetap sama. Seperti anggur lama yang dituangkan dalam botol baru. 


Selasa, 21 Juni 2016

Hempher, Kisah Sang Intelijen Inggris (Bagian Ketiga)


Ketika aku sampai di Bashrah, untuk mencari tempat tinggal aku pergi ke salah satu masjid. Di masjid itu ada seorang alim Sunni, Arab tulen. Namanya Syeikh Umar Ath-Thâ`i. Aku perkenalkan diriku dan beramah-tamah dengannya. Tetapi sejak pandangan pertama, lelaki ini sudah curiga kepadaku. Ia bertanya di mana aku berasal, soal nasab dan keluargaku. Ia juga menyelidiki hal-ihwalku. Mungkin karena warna kulit dan logat bicaraku yang membuat dirinya ragu. Tetapi aku berusaha meyakinkan dirinya bahwa aku dari keturunan Aghdir di Turki, aku murid Syeikh Ahmad di Astana, aku pernah bekerja sebagai tukang kayu di juragan Khalid dan seterusnya…

Apa saja yang kuketahui dan kualami selama aku di Turki kuceritakan padanya, dan aku sempat bicara beberapa kata bahasa Turki. Dengan berhati-hati Syeikh memberi isyarat kepada salah satu hadirin, bahwa aku bicara bahasa Turki atau tidak!? Orang yang mencoba mengetesku, mengisyaratkan kepadanya dengan jawaban positif. Aku senang sekali bahwa aku berhasil meyakinkan Syeikh. Tetapi dugaanku, kepercayaannya terhadapku hanya siasatnya saja. Aku yakin hal ini ketika setelah beberapa hari, diam-diam ia memandangku curiga. Dan menduga bahwa aku seorang mata-mata Turki. Aku mengetahui kecurigaannya setelah jelas bahwa Syeikh adalah seorang penentang walikota yang dipilih pemerintah. Antara keduanya saling tuding dan berburuk sangka.

Alhasil mau tidak mau, aku harus hengkang dari masjid milik Syeikh Umar dan pindah ke Khan, tempat penginapan para turis dan musafir. Di sana aku sewa kamar. Pemilik penginapannya seorang pandir yang setiap pagi rajin mengganggu istirahatku. Awal waktu subuh dia sudah mendatangi kamar dan menggedor pintu dengan keras, untuk membangunkanku salat subuh. Dan aku harus menuruti cara doktrinnya dan aku bangun untuk salat subuh, kemudian ia menyuruhku membaca Al-Qur`an sampai matahari terbit. Ketika aku katakan bahwa membaca Al-Qur`an itu tidak wajib (sunnah), “lalu kenapa ia memaksaku sedemikian rupa?”.

“Tidur di waktu pagi akan menyebabkan kemiskinan dan malapetaka bagi penginapan dan penghuninya” jawabnya. Maka mau tidak mau aku menuruti kata-katanya, salat di awal waktu dan kemudian membaca Al-Qur`an selama satu jam lebih pada setiap hari. Karena kalau tidak, ia akan mengusirku.

Kesulitanku tak hanya berhenti sampai di situ, ketika suatu hari pemilik lain penginapan itu yang bernama Mursyid Afandam menemuiku, mengatakan padaku, “Sejak Anda menginap di sini, banyak masalah yang aku hadapi dan pikiranku hanya tertuju padamu, dan kupikir kaulah sebabnya. Sebab kau seorang bujang sedangkan bujangan itu membawa sial. Maka pilihlah salah satu dari dua hal ini: kau menikah atau tinggalkan penginapan ini!”. Kujawab, “Aku tidak punya harta untuk persiapan menikah (aku takut jika mengatakan bahwa aku tidak punya sesuatu yang semestinya dimiliki kaum lelaki umumnya, lalu ia mencoba melihat auratku apakah benar apa yang aku katakan?). Jika aku beralasan dengan uzur ini, maka ia pasti ingin tahu kebenarannya.

Afandam berkata kepadaku, “Wahai yang imannya lemah, bukankah Anda membaca firman Allah, “Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunianya”.  Aku sangat bingung dan bimbang dengan perkara ini, apa yang harus kuperbuat? Dengan alasan apa harus kujawab? Akhirnya aku katakan kepadanya, “Baiklah, lalu bagaimana aku menikah tanpa harta? Apakah Anda bersedia membantuku dengan harta yang cukup atau Anda temukan untukku seorang perempuan yang kunikai tanpa mahar?”

Dia berpikir sejenak kemudian mengangkat kepalanya sambil berkata, “Aku tidak mengerti ucapanmu! Begini saja, kuberi waktu sampai awal bulan Rajab, jika Anda tidak menikah juga maka Anda harus pergi dari penginapan ini”.  Sementara memasuki awal bulan Rajab masih ada dua puluh lima hari lagi, dan waktu itu tanggal lima bulan Jumadil tsani. Berkenaan dengan nama-nama bulan Islam, secara berurutan pertama dimulai bulan: Muharram, lalu Shafar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Tsani, Jumadil Awal, Jumadil Tsani, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Menurut perhitungan Hilal, yang masyhur tidak lebih dari tiga puluh hari dan tidak kurang dari dua puluh sembilan.

Akhirnya kupecahkan masalah Afandam, ketika telah kutemukan sebuah tempat milik seorang tukang kayu. Aku melamar pekerjaan kepadanya dan ia menerimaku bekerja dengan gaji kecil, dan aku makan dan tinggal di tempatnya. Akhirnya sebelum akhir bulan (Jumadil Tsani) aku sudah keluar dari penginapan Afandam, dan pindah ke toko kayu milik Abdur Ridha, juragan kayu yang berbangsa Persia dari desa Khurasan. Ia seorang Syi’ah, pintar, cerdas dan terhormat. Ia perlakukan aku seperti anaknya sendiri. Dan tidak aku sia-siakan keberadaan diriku bersamanya untuk belajar bahasa Persia. Setiap waktu Asar di rumahnya, orang-orang Islam Syi’ah berbangsa ‘ajam (non Arab) berkumpul, berbincang-bincang dari soal politik sampai masalah ekonomi. Mereka sangat menentang pemerintah mereka sebagaimana mereka juga menentang Khalifah di Astana. Namun jika muncul perdebatan yang tidak mereka ketahui, mereka berhenti dan mengalihkan ke pembicaraan masalah-masalah pribadi mereka.

Aku sendiri tidak mengerti, mengapa mereka percaya kepadaku. Akhirnya aku tahu bahwa mereka menyangka aku berasal dari Azerbaijan, mendengar bahwa aku bicara dengan bahasa Turki. Ditambah warna kulitku yang putih seperti kulit bangsa Azerbaijan.

Dalam keadaan yang demikian itu, aku berkenalan dengan seorang anak muda yang sering datang ke toko, namanya Muhammad bin Abdul Wahab. Ia mengerti tiga bahasa: Turki, Persia dan Arab. Ia pernah belajar ilmu agama, seorang pemuda yang angkuh dan keras kepala. Ia anti pemerintah Usmaniah, adapun pemerintah Persia ia tidak berkomentar. Adapun sebab ia bersahabat dengan pemilik toko, bahwa mereka sama-sama anti Khalifah. Aku tidak tahu, dari mana ia bisa berbahasa Persia padahal ia seorang Sunni, sedangkan Abdur Ridha adalah seorang Syi’ah? Di Bashrah adalah hal biasa jika orang Sunni bergaul dengan orang Syi’ah, mereka seperti saudara. Dan mayoritas penduduk setempat (Bashrah) mengerti bahasa Persia dan (sudah tentu) Arab. Dan tidak sedikit mereka mengerti bahasa Turki.

Muhammad Abdul Wahab seorang pemuda yang berpikir bebas, tidak fanatik terhadap Syi’ah –tidak seperti kaum Sunni umumnya yang fanatik dan anti syi’ah. Hingga sampai pada batas tokoh-tokoh mereka mengkafirkan orang-orang Islam Syi’ah dan mengatakan mereka bukan kaum muslimin- sebagaimana ia tidak pernah melihat sebuah perbandingan untuk mengikuti empat mazhab yang berlaku di antara Sunni. Dan ia mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan empat mazhab melalui seorang penguasa”.

Adapun riwayat empat mazhab, ialah bahwa muncul sebuah jalan dari kaum muslimin sesudah lebih dari satu abad setelah nabi mereka wafat, dengan lahirnya dari mereka empat ulama. Mereka adalah Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Malik dan Muhammad bin Idris. Sebagian khulafa mewajibkan agar kaum muslimin bertaqlid (mengikuti) salah seorang dari empat imam ini. Dan bahwa tiada seorang alim yang berijtihad di dalam Al-Qur`an dan sunnah, dan pandangan ini pada hakikatnya menutup pintu pemahaman mereka dan bahwa pengharaman ijtihad akan menjumudkan kaum muslimin.

Adapun kaum Islam Syi’ah menggunakan peluang itu dengan mengembangkan mazhab (pemikiran) mereka seluas mungkin. Sehingga setelah jumlah kaum Islam Syi’ah tidak mencapai angka sepuluh dari jumlah Sunni, kini jumlah mereka lebih banyak dan menyamai jumlah mereka. Dan hal yang alami bahwa ijtihad merupakan perkembangan Islam di bidang fikih dan memperluas pemahaman Al-Qur`an dan sunnah sesuai kebutuhan zaman seperti senjata yang canggih. Dan sebaliknya pembatasan mazhab dalam metode yang khusus, dan menutup pintu pemahaman dan pendengaran dari seruan kebutuhan-kebutuhan zaman, maka itu ibarat senjata yang lemah. Seumpama Anda punya senjata yang lemah sedangkan musuh Anda bersenjatakan canggih, maka –cepat atau lambat- Anda pasti berusaha mengalahkan musuh Anda! (Perkiraanku, akan datang dengan dekat di suatu masa, orang-orang Sunni yang berakal membuka pintu ijtihad. Jika tidak, maka aku kabarkan kepada kaum Sunni bahwa mereka akan berlalu pada masa kurun waktu dengan jumlah yang semakin sedikit dan Syi’ah akan menjadi jumlah yang besar!).

Muhammad bin Abdul Wahab, si pemuda angkuh ini mengikuti apa yang ia pahami dalam Al-Qur`an dan Sunnah, dan membandingkan dengan pandangan masyâikh (ulama)-nya. Ia tidak mengikuti pandangan ulama zamannya dan tidak pula mazhab yang empat. Bahkan ia menolak pandangan Abu Bakar dan Umar, jika apa yang ia pahami dari Al-Qur`an berbeda dengan apa yang mereka pahami. Ia mengatakan, “Bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian Al-Kitab (al-Qur`an) dan Sunnah, dan beliau tidak bersabda aku tinggalkan kepada kalian Al-Kitab, Sunnah, Sahabat dan mazhab-mazhab”. Karena yang wajib diikuti adalah Al-Qur`an dan Sunnah meskipun pandangan keduanya berbeda dengan pandangan-pandangan mazhab-mazhab dan sahabat serta ulama.

Pernah ketika ia (dan kami) bertamu di rumah salah satu ulama Persia (Abdul Ridha), memenuhi undangan jamuan makan bersama. Kami yang menjadi para tamunya, ialah Muhammad Abdul Wahab, Syeikh Jawad Al-Qummi (seorang alim Syi’ah), dan aku bersama sebagian temannya tuan rumah. Terjadi perdebatan seru dan serius antara Muhammad dan Syeikh, dan aku tidak ingat semuanya dari perdebatan itu, yang aku ingat adalah poin-poinnya.

Syeikh Al-Qummi berkata kepadanya, “Jika Anda berpikir bebas dan berijtihad sebagaimana yang Anda nyatakan, kenapa Anda tidak mengikuti Ali seperti orang-orang Syi’ah?”.

“Karena Ali seperti Umar dan lainnya yang ucapannya bukan hujjah. Sesungguhnya hanya Al-Qur`an dan Sunnah lah yang menjadi hujjah,” jawab Muhammad.

Syeikh: “Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa “Aku kota ilmu dan Ali pintunya”? Jika begitu Ali tidak sama dengan sahabat yang lainnya”.

Muhammad: “Jika ucapan Ali itu hujjah, lalu mengapa Rasulullah tidak mengatakan Kitabullah dan Ali bin Abu Thalib?”.

Syeikh: “Bahkan beliau bersabda, Kitabullah dan Itrah Ahlul Baitku, sementara Ali adalah kepala ‘Itrah!”.

Muhammad tidak menerima bahwa Rasulullah pernah mengatakan demikian. Namun Syeikh memberi jawaban yang memuaskan sehingga Muhammad diam dan tidak menjawab. Tetapi ia membantahnya, “Jika Rasulullah mengatakan “Kitabullah dan ‘Itrahku” maka di mana sunnahnya?”.

“Sunnah Rasul adalah syarahnya Kitabullah! Ketika beliau mengatakan “Kitabullah dan ‘Itrahku” yang beliau maksud adalah Kitabullah dengan syarahnya yaitu Sunnah,” jawabnya.

Muhammad: “Kalau begitu, ucapan Itrah juga merupakan syarah bagi Kitabullah! Lalu apa perlunya dengan mereka (karena sudah ada sunnah)?”.

Syeikh: “Ketika Rasulullah wafat, umat membutuhkan syarah Al-Qur`an, sebuah syarah yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan zaman. Karena itu Rasulullah mengembalikan umat kepada Al-Qur`an sebagaimana asal dan kepada Itrah seperti para pensyarah bagi Al-Qur`an yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman”.

Aku kagum yang tak terhingga dengan pembahasan ini. Melihat Muhammad seorang pemuda di hadapan seorang Syeikh yang sudah berumur tua, seperti seekor burung kecil yang tidak berkutik dalam gengaman tangan seorang pemburu.

Aku menemukan kebingunganku selama ini ada pada dirinya (Muhammad bin Abdul Wahab), kebebasan, keangkuhan dan kekerasannya terhadap masyâikh (ulama) zamannya serta kemandirian berpikirnya yang tidak mengikut pandangan orang lain jika tidak sesuai dengan apa yang ia pahami dari Al-Qur`an dan Sunnah, termasuk khulafa yang empat. Inilah titik kelemahan yang paling menonjol, yang mana dengan itu aku mampu menjatuhkan dirinya. Jelas pemuda yang sesat ini tidak dapat dibandingkan dengan Syeikh Turki, yang mana aku pernah belajar dengannya sewaktu aku di Turki. Syeikh adalah figur salaf yang kokoh seperti gunung. Jika Syeikh (ia pengikut mazhab Hanafi) hendak menyebut nama Abu Hanifah, ia akan bangkit dan berwudu kemudian menyebut nama Abu Hanifah. Jika ia ingin mengambil kitab Al-Bukhari (kitab besar yang amat disucikan oleh Sunni), ia mengambil wudu terlebih dahulu.

Adapun Muhammad bin Abdul Wahab sangat mencela Abu Hanifah, dan ia pernah berkata, “Aku lebih paham dari Abu Hanifah”. Dan juga pernah berkata, “Sesungguhnya separuh kitab Al-Bukhari adalah batil”.

Aku telah menjalin hubungan sangat erat dengannya. Ia selalu aku besarkan hatinya dan aku katakan kepadanya bahwa dirinya lebih utama dari Ali dan Umar. Jika Rasulullah hadir kembali ke dunia ini, maka ia akan memilihmu sebagai khilafahnya. Dan selalu kukatakan padanya, “Pikirkanlah, bahwa kemajuan Islam ada di tangnmu! Kau adalah penyelamat satu-satunya yang diharapkan oleh Islam yang sedang jatuh ini”.

Aku telah sepakat dengannya bahwa “kita harus mengkritik penafsiran Al-Qur`an berdasarkan jalan pemikiran kita, bukan berdasarkan pandangan sahabat dan imam mazhab serta ulama. Kita membaca Al-Qur`an dan bicara tentang poin-poin darinya (aku bermaksud  menjerumuskannya ke dalam perangkap). Dan ia menunjukkan sependapat dengan pandanganku dan menampakkan kepribadiannya yang bebas dan sangat mempercayai aku. Suatu hari aku berkata kepadanya, “Jihad itu tidak wajib”.

“Bagaimana dengan firman Allah “dan perangilah orang-orang kafir”?”, sergahnya. Aku berkata, “Perangilah orang-orang kafir dan munafiqin”. Jika jihad itu wajib, lalu kenapa Rasulullah tidak memerangi kaum munafik?”.

“Rasulullah memerangi mereka dengan lisannya”, katanya.

“Kalau begitu jihad melawan kuffar adalah wajib dengan lisan!” tambahku.

Ia berkata, “Tetapi Rasul berperang dengan Kuffar”.

“Perangnya Rasul adalah difa’ mempertahankan nyawa, ketika mereka hendak membunuhnya maka beliau melawan mereka,” kataku. Akhirnya Muhammad menganggukkan kepalanya tanda menerima.

Pernah suatu hari aku bilang kepadanya, “Kawin mut’ah itu boleh”.

“Tidak!” sergahnya.

Aku berkata, “Allah berfirman, “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (mut’ah) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban..” (An-Nisa Ayat 24).

“Tetapi Umar yang mengharamkan mut’ah! Dengan mengatakan, “Dua mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah, dan aku yang mengharamkan keduanya dan menghukum siapa yang melanggarnya”, katanya.

Aku berkata, “Bukankah kau pernah bilang, aku (Muhammad bin Abdul Wahab) lebih tahu dari Umar, lalu kenapa kau ikut Umar?. Dan jika Umar mengharamkan apa yang dihalalkan Rasul, mengapa kau tinggalkan pandangan Al-Qur`an dan Rasul, dan kau ikuti pandangan Umar?”

Ia terdiam. Melihat ia diam bertanda puas dengan keteranganku, nampaknya bergejolak kebutuhan biologisnya (sementara ia belum punya istri).

Aku bilang padanya, “Bukankah kita (aku dan kau) adalah orang bebas dan mengambil halalnya mut’ah dan kita bersenang-senang?

Ia mengangguk setuju, dan aku memanfaatkan sikap setujunya itu. Kemudian aku janjikan untuknya seorang wanita untuk dimut’ah olehnya. Keinginanku ialah membuyarkan rasa takutnya dari perselisihan antara ia dengan orang lain umumnya. Akhirnya ia memberi syarat bahwa ini rahasia antara aku dengannya dan tidak memberitahu namanya kepada perempuan yang akan dimut’ahinya.

Maka aku langsung pergi ke tempat perempuan-perempuan Nasrani, yang mana mereka adalah para pekerja kementerian kami. Aku dapatkan seorang wanita yang aku panggil dengan nama Shafiyah, dan telah aku ceritakan semuanya tentang pemuda ini. Dan pada waktu yang dijanjikan aku pergi bersama Muhammad, ke rumah Shafiyah yang saat itu sedang sendirian. Aku bacakan akad nikah mut’ah untuk Muhammad dalam waktu seminggu, dengan mahar sekian gram emas secara tunai. Aku senangkan hatinya dari luar sedangkan Shafiyah dari dalam.

Setelah Shafiyah mengambil hatinya dan memberikan manisnya kemaksiatan yang dilakukan Muhammad terhadap syariat di bawah naungan pemikiran dan kemandirian pandangannya yang bebas. Tiga hari kemudian, aku berbincang-bincang panjang dengannya soal bahwa minuman khamar itu tidak haram. Aku perdaya dirinya dengan menyertakan dalil-dalil Al-Qur`an dan hadis, dan pada akhirnya aku bilang padanya, “Dibenarkan bahwa Mu’awiyah dan Yazid serta khulafa Bani Umayyah dan Bani Abbas, mereka saling menawarkan khamar. Maka mungkinkah mereka itu berada dalam kesesatan dan kau sendiri dalam kebenaran? Sesungguhnya tidak syak lagi bahwa mereka itu lebih memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan benarkah mereka tidak mengetahui hal yang haram sementara mereka memahami hal yang makruh dan dibenci? Sedangkan di kitab-kitab Yahudi dan Nasrani menunjukkan kehalalan khamar, masuk akalkah bila agama yang satu mengharamkan khamar sedangkan agama yang lain menghalalkannya? Sementara semua agama berasal dari sisi Tuhan Yang Maha esa! Kemudian disebutkan dalam riwayat bahwa Umar minum khamar sehingga turun ayat, “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (Al-Maidah Ayat 91). Bila khamar itu haram maka Rasul akan menghukumnya, tetapi ia tidak melakukannya maka ini menunjukkan kehalalannya.

Muhammad menyimak keteranganku dengan penuh perhatian, kemudian ia bangkit sambil mengatakan, “Bahkan dibenarkan dalam riwayat bahwa Umar mencampur khamar dengan air lalu meminumnya, dan mengatakan jika mabuk, itu haram. Tetapi jika tidak mabuk maka tidak haram”. Kemudian ia menambahkan bahwa Umar benar dalam masalah ini, sebab Al-Qur`an mengatakan, “Sesungguhnya Setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang..” (Al-Maidah Ayat 91). Maka jika khamar itu tidak memabukkan maka hal itu tidak akan terjadi seperti ayat yang telah kusebutkan, karena itu khamar tidak dilarang jika tidak memabukkan.

Shafiyah memberitahu apa yang berlaku, ia berhasil menuangkan khamar keras kepada pemuda ini dan memberitahuku bahwa ia telah meminumnya sampai mabuk, berkelakuan kasar dan menyetubuhi dirinya beberapa kali di malam itu. Dan telah aku lihat badannya lemah lantaran malam itu. Demikianlah aku dan Shafiyah mengendalikan dirinya sepenuhnya.

Sungguh ini menggetarkan diriku tentang pesan penting yang dikatakan menteri negara-negara jajahan, ketika aku mohon izin berangkat, “Kami telah berhasil mengembalikan Spanyol dari tangan orang-orang kafir (maksudnya kaum muslimin) dengan khamar dan kesesatan, maka kita harus berusaha negara-negara yang menjadi milik kami dengan dua formula itu”.

Pada suatu hari, aku bicara tentang puasa dengan Muhammad, aku katakan, “Sesungguhnya Al-Qur`an mengatakan “dan berpuasa lebih baik bagimu..” (Al-Baqarah Ayat 184) dan tidak mengatakan berpuasa wajib bagimu, maka puasa dalam pandangan Islam itu sunnah dan bukan wajib!” Tetapi ia bangkit dan mengatakan, Hai Muhammad (nama samaran Mr Hempher), kau ingin mengeluarkanku dari agamaku!?”

“Ya Wahab, agama itu kesucian hati, keselamatan jiwa dan tiada permusuhan dengan yang lain. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Agama itu cinta”? Bukankah Al-Qur`an menyebutkan bahwa, “Sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yakin” (Al-Hijr Ayat 99). Jadi jika manusia mendapati keyakinan akan Allah dan Hari Akhir, maka itulah kebajikan hati dan kebersihan amal, dialah orang yang paling utama. Tetapi dia menggelengkan kepala tanda menolak dan tidak senang.

Pernah aku bilang kepadanya, “Salat itu tidak wajib”.

“Kok begitu?” tanyanya.

Aku berkata, “Sebab di dalam al-Qur`an, Allah berfirman, “Dan dirikanlah salat untuk mengingatku” (Thaha Ayat 14), maka yang dimaksud salat ialah mengingat Allah swt. Jadi ingatlah Allah swt sebagai ganti salat!”.

Wahab berkata, “Ya aku pernah dengar, sebagian ulama mengingat Allah swt di waktu-waktu salat sebagai ganti pekerjaan salat”.

Betapa senangnya diriku mendengar perkataanya itu, maka aku bumbui pandangannya ini hingga aku perkirakan bahwa aku dapat mengendalikan jalan pikirannya. Tak lama kemudian aku melihatnya tidak lagi serius dengan perkara salat, terkadang ia salat dan terkadang tidak. Terutama di waktu subuh, ia sering meninggalkan salat subuh. Setelah semalam aku asyik mengobrol panjang dengannya sampai tengah malam lewat, sehingga mendekati subuh ia kelelahan dan ia tinggalkan salat.

Begitulah aku tanggalkan pakaian keimanan dari pundak Wahab sedikit demi sedikit. Pernah suatu kali aku mendebatnya seputar Rasul, tiba-tiba ia langsung menunjuk wajahku dan melotot, lalu berkata, “Jika kau bicara lagi soal ini, maka aku tidak mau berteman lagi denganmu”. Aku khawatir ia akan marah dan benci padaku, karena itu aku menahan diri untuk bicara soal itu lagi.

Tetapi minimal aku telah memperdaya dirinya bahwa ia berpegang pada pemikiran yang ketiga, yang bukan Sunni bukan juga Syi’ah, dan ia sangat menerima pemikiran ini dengan sepenuhnya karena dirinya dipenuhi dengan kesombongan dan kemandiriannya (yang kelewatan).

Ditambah dengan keberadaan Shafiyah yang selalu menemaninya selama seminggu, juga dengan akad-akad yang diperbaharuinya, sehingga kami benar-benar mengendalikan dirinya. Aku bilang pada Wahab, “Banarkah Nabi mempersaudarakan antara sahabatnya?” “Ya”, jawabnya. “Apakah hukum-hukum Islam itu bersifat temporal atau permanen?”, tanyaku. Ia menjawab, “Permanen, sebab Rasulullah pernah bersabda, “Halalnya Muhammad adalah halal sampai hari kiamat dan haramnya Muhammad adalah haram sampai hari kiamat”.

“Jika begitu, mari kita mempersaudarakan antara aku dan kau, maka terjalinlah persaudaraan antara ia dan aku. Setelah itu, aku selalu bersamanya dan menemaninya ke mana ia pergi. Dan aku bersemangat untuk memetik buah hasil dari  pohon yang telah aku tanam sebelumnya. Buah hasil yang paling berharga di masa mudaku.

Setiap bulan, aku tulis hasil kerjaku kepada kementerian sebagaimana itu sudah menjadi tugasku sejak aku pergi dari London. Dan jawaban yang aku terima cukup memuaskan diriku. Aku dan Wahab berjalan di jalan (pemikiran) yang telah kami bangun berdua dengan langkah-langkah yang cepat, dan aku tidak pernah meninggalkannya di mana pun ia berada.

Targetku ialah memperkuat jiwanya yang berpikir sangat bebas dan memperuncing keraguannya. Dan aku selalu mendukungnya dengan suka cita dan memuji jiwanya yang berapi-api. Dan terkadang aku bersikap lembut padanya dengan mengatakan, “Kemarin malam aku mimpi melihat Rasulullah, aku melihatnya seperti yang digambarkan oleh para penceramah di mimbar-mimbar. Ia duduk di atas kursi dan di sekitarnya sekelompok ulama yang tidak aku kenal seorang pun dari mereka. Dan aku melihatmu datang dengan wajahmu yang memancarkan sinar, ketika kamu sampai kepada Rasulullah, beliau berdiri memuliakanmu dan memelukmu, lalu berkata, “Wahai Muhammad (bin Abdul Wahab), kau adalah namaku, mewarisi ilmuku dan menduduki kedudukanku dalam mengatur urusan agama dan dunia”

Kemudian kamu berkata, “Wahai Rasulullah, aku takut menampakkan ilmuku kepada manusia”. Rasulullah berkata kepadamu, “Janganlah takut, sesungguhnya kedudukanmu itu tinggi”. Mendengar kisah mimpiku, dirinya melambung kesenangan, dan bertanya apakah benar mimpimu itu?” “Ya”, kataku. Setiap ia menanyakan hal itu, aku jawab dengan positif sampai ia yakin. Dan aku kira, mulai saat itu ia berniat untuk melaksanakan kewajibannya.