Senin, 22 Juni 2015

Ayatullah Muhsin Qaraati dan Astrid Darmawan




Dalam salah satu ceramahnya, Ayatullah Muhsin Qaraati bercerita: “Suatu hari seorang mullah berlayar menuju sebuah pulau –dan di sana ia berjumpa dengan seorang intelektual. Sang mullah ini mengajak sang intelektual untuk berdialog dan berbicara –namun gayung tak bersambut. Dua tiga kali sang mullah mengajak sang intelektual berdialog, tapi tetap saja sang intelektual bersikap acuh dan mengabaikannya. Kala itu sang intelektual berkata lantang, “Setiap kali saya melihat serbanmu itu, saya muak!” Mendengar kejujuran sang intelektual tersebut, sang mullah pun membuang serbannya. “Untuk apa kau membuang serbanmu itu?” Tanya sang intelektual. “Agar aku dapat berbicara denganmu sebagai manusia biasa tanpa terhalang serban ini!” jawab sang mullah.

Karena sikap sang mullah itu, sang intelektual itu pun berubah sikap, dan mengajak si mullah untuk mampir ke rumahnya. Dan begitulah, sang mullah pun tinggal selama beberapa hari di rumah sang intelektual. Ketika sang mullah hendak pamit pulang (setelah mereka melaksanakan dialog dan perbincangan di rumah sang intelektual itu), sang intelektual menghadiahi sang mullah dua serban sekaligus. Dan sejak itulah, sang mullah dan sang intelektual menjadi sepasang sahabat.

Pengalaman yang sama meski tak serupa juga dialami Astrid Darmawan yang semula merasa tidak sreg dengan Islam yang dikampanyekan dengan memburuk-burukkan agama lain –juga dengan perilaku para da’i yang dakwahnya menyebarkan kebencian dan tuduhan kepada kelompok lain yang bukan dari kelompok mereka, sebelum akhirnya Astrid Darmawan menemukan Islam melalui buku-buku Ibn Arabi, buku-buku yang mengisahkan teladan Muhammad saw, Fatimah az Zahra as, Imam Ali as, Imam Husain as yang mengajarkan kasih-sayang kepada sesama manusia serta mengajarkan sikap tulus untuk menegakkan cinta, membela kemanusiaan, dan keadilan. Sejak itulah, Astrid Darmawan memilih Mazhab Syi’ah –karena menurutnya mazhab ini mengajarkan cinta dan kemanusiaan, juga keteladanan.