Rabu, 30 Juli 2014

Ketika Abu Bakar dan Umar Kalah di Khaibar



Oleh Muhammad Husain Haekal                                  

Tindakan Muhammad Saw yang mengirim utusan-utusan memang  luarbiasa menakjubkan. Betapa tidak! Belum selang tigapuluh tahun sesudah   itu   daerah-daerah   tempat    Muhammad    mengirim utusan-utusannya  itu  telah  dimasuki  oleh kaum Muslimin dan sebagian  besar  mereka  telah  beragama  Islam.  Akan  tetapi ketakjuban  akan  segera  hilang  bila kita ingat, bahwa kedua imperium raksasa ini, yang telah mengemudikan  jalannya  dunia masa  itu,  dengan  peradabannya  yang telah menguasai seluruh dunia, mereka  ini  saling  memperebutkan  kemenangan  materi, sementara  kekuatan  rohani  keduanya sudah rontok dan hilang. Persia sendiri sudah terbagi antara paganisma  dan  Mazdaisma. Demikian  juga  agama  Kristen di Bizantium sudah goyah sekali karena adanya pelbagai macam aliran  sekta  dan  golongan.  Ia
sudah  tidak lagi merupakan suatu ajaran yang utuh, yang dapat menggerakkan dan memberi tenaga hidup ke dalam  jiwa  manusia. Malahan  ia  sudah  berbalik  menjadi  sekadar upacara-upacara serta  tradisi  yang  dielu-elukan  oleh  pemuka-pemuka  agama kedalam  pikiran  orang-orang  awam  supaya  dapat  mereka itu dikuasai dan diperkuda. Sedang ajaran baru  yang  dibawa  oleh Muhammad  dasarnya adalah kekuatan rohani yang murni. Ia dapat mengangkat martabat  manusia  ke  tingkat  yang  lebih  tinggi sesuai  dengan sifat kemanusiaannya. Apabila materi dan rohani itu bertemu, kepentingan yang bersifat sementara  bertentangan dengan  yang  abadi  sifatnya,  maka  segala  materi  dan yang bersifat sementara itu akan kalah adanya.

Disamping semua itu, baik Persia  mau pun  Bizantium,  dengan besarnya  kekuasaan  yang  ada  pada mereka, sebenarnya mereka sudah sama-sama kehilangan tenaga  inisiatif  dan  kreatifnya. Dalam bidang pemikiran, dalam mengembangkan selera dan bekerja mereka hanya sekedar meniru dan meneruskan  yang  ada.  Segala macam  pembaruan  dianggap  bid'ah (menyimpang dari agama) dan setiap penyimpangan adalah sesat.

Masyarakat manusia seperti pribadi manusia dan seperti  setiap makhluk hidup juga, ia selalu berkembang setiap hari. Kalau ia masih muda belia,  maka  perkembangannya  bersifat membentuk, membangun  dan  menambaqh  vitalitas  dalam  hidupnya sendiri. Dengan demikian, hidupnya itu akan menyusut terus-menerus,  ia akan   meluncur   turun  sampai  ke  dasarnya  yang  terakhir. Masyarakat manusia yang sudah meluncur turun sampai kedasarnya itu,  nasibnya akan dibentuk dalam bentuk yang baru samasekali oleh unsur dari luar dengan segala kesemarakan hidupnya. Unsur dari  luar yang penuh dengan tenaga hidup yang bersemarak itu, di samping Persia dan  Bizantium,  adanya  bukan  di  bilangan Tiongkok  atau  India,  juga  bukan  di  tengah-tengah  Eropa, melainkan unsur itu ialah Muhammad sendiri.

Sudah wajar sekali bila ajarannya yang  segar  bersemarak  itu akan  dapat  mengembalikan  denyutan  hidup  baru  yang  penuh vitalitas ke dalam jiwa yang sedang mengalami kehancuran  dari dalam  itu,  yang  disebabkan  oleh pengaruh tradisi agama dan takhayul, yang sudah hidup berakar menggantikan kedudukan iman dan  akidah. Kerdip iman baru yang telah menyinari kalbu Rasul itu, kekuatan jiwanya yang sudah  melampaui  segala  kekuatan, itulah   yang   memberikan   ilham  kepadanya  untuk  mengirim utusan-utusan mengajak pembesar-pembesar  dunia  itu  mengenal ajaran  Islam,  sebagai agama yang benar, agama yang sempurna, agama Allah Yang Maha Agung. Mengajak  mereka  mengenal  agama yang  akan  membebaskan pikiran manusia supaya dapat menilai, akan membebaskan jantung orang supaya dapat menyadari,  dapat berpikir.  Dalam  sistem hidup berakidah dan bermasyarakat, ia telah meletakkan kaidah-kaidah umum  buat  manusia  yang  akan merupakan keseimbangan antara kemampuan rohani dengan kekuatan materi  yang  akan  dapat   menguasai   jiwa.   Dengan   jalan keseimbangan  itu  manusia  akan  dapat mencapai tujuan berupa kekuatan dalam menghadapi hidup, suatu  kekuatan  yang  bersih dari  segala  kelemahan  dan  kecongkakan  hati. Dengan system masyarakat demikian itu manusia akan  sampai  ke  tempat  yang lebih   baik  seperti  yang  diharapkan,  setelah  ia  melalui pelbagai  macam  proses  evolusinya  di  tengah-tengah   semua makhluk alam ini.

Adakah   Muhammad   akan   mengirim   utusan-utusannya  kepada raja-raja itu kalau ia masih kuatir akan adanya  pengkhianatan pihak Yahudi yang tinggal di sebelah utara Medinah? Memang dia sudah membuat perjanjian Hudaibiya. Dari pihak  Quraisy  sudah aman,  dari  sebelah  selatan  juga  sudah  aman.  Tetapi dari sebelah utara  ia  tidak  akan  merasa  aman  sekiranya  nanti Heraklius  atau  Kisra  datang meminta bantuan Yahudi Khaibar, atau juga dendam lama  dalam  hati  mereka  itu  akan  bangkit kembali,  akan  mengingatkan mereka kepada Banu Quraidza, Banu Nadzir  dan  Banu  Qainuqa,  saudara-saudara  mereka  seagama. Perkampungan  mereka  oleh  Muhammad telah dikosongkan setelah dikepung dan  terjadi  pertempuran  serta  pertumpahan  darah. Orang-orang  Yahudi  memusuhinya  lebih  sengit  lagi daripada Quraisy, sebab mereka lebih bertahan dengan agama  mereka  itu daripada  Quraisy. Juga di kalangan mereka orang cerdik pandai lebih banyak daripada di kalangan Quraisy. Memang tidak  mudah mengadakan   perjanjian   perdamaian   dengan  mereka  seperti perdamaian  Hudaibiya,  juga  ia  tidak  akan  merasa   tenang terhadap mereka melihat permusuhan yang terjadi dahulu, mereka sebagai pihak yang tidak pernah menang.  Wajar  sekali  mereka akan  mengadakan  pembalasan bila saja mereka mendapatkan bala bantuan dari pihak  Heraklius.  Jadi  kalau  begitu  kekuasaan orang-orang  Yahudi  itu  harus  juga  ditumpas  sampai habis, sehingga samasekali mereka tidak  akan  bisa  lagi  mengadakan perlawanan   di   negeri-negeri   Arab.   Dan  hal  ini  harus cepat-cepat  dilaksanakan,  sebelum  ada  waktu   yang   cukup terluang  buat mereka guna meminta bantuan pihak Ghatafan atau kabilah-kabilah lain yang membantu mereka dan sedang  memusuhi Muhammad. Yang demikian inilah yang harus dilaksanakan.

Sekembalinya  dari  Hudaibiya - menurut sebuah sumber ia hanya tinggal limabelas malam, sumber lain  menyatakan  satu  bulan. Disuruhnya  supaya  orang bersiap-siap untuk melakukan Fathu Khaibar, dengan syarat hanya mereka yang ikut ke  Hudaibiya  saja  yang boleh  turut serta, juga harus sukarela tanpa ada rampasan perang yang akan dibagikan. Sebanyak seribu  enam  ratus  orang  dengan  seratus  kavaleri Muslimin  itu  sekarang  berangkat  lagi. Mereka semua percaya akan adanya pertolongan Tuhan, mereka masih ingat akan  firman Tuhan dalam Surah Al-Fath yang turun semasa Hudaibiya. "Orang-orang  yang tinggal di belakang itu akan berkata ketika kamu berangkat mengambil harta rampasan perang:  Biarlah  kami turut  bersama-sama  kamu.  Mereka  hendak  mengubah  perintah Tuhan. Katakanlah: Kamu tidak akan  turut  bersama-sama  kami. Begitulah Allah telah menyatakan sejak dulu. Nanti mereka akan berkata lagi: Tetapi kamu dengki kepada  kami.  Tidak.  Mereka yang mengerti hanya sedikit saja." (Qur'an, 48: 15)

Jarak  antara  Khaibar  dengan Medinah itu mereka tempuh dalam waktu tiga hari. Dengan tiada mereka rasakan ternyata malamnya mereka  telah  berada  di depan perbentengan Khaibar. Keesokan harinya  bila  pekerja-pekerja  Khaibar  berangkat  kerja   ke ladang-ladang  dengan  membawa  sekop  dan  keranjang, setelah melihat   pasukan   Muslimin,    mereka    berlarian    sambil berteriak-teriak: "Muhammad dengan pasukannya!" Ketika mendengar suara mereka itu Rasul berkata: "Khaibar  binasa. Apabila kami sampai di halaman golongan ini, maka pagi  itu  amat  buruk  buat  mereka  yang  telah  diberi peringatan itu."

Akan  tetapi  Yahudi  Khaibar  memang  sudah  menanti-nantikan Muhammad akan menyerang mereka.  Mereka  ingin  mencari  jalan membebaskan  diri.  Sebagian  mereka  ini ada yang menyarankan supaya cepat-cepat dibentuk sebuah  blok,  yang  terdiri  dari mereka  dan  Yahudi  Wadi'l-Qura dan Taima, yang akan langsung menyerbu Yathrib (Medinah) tanpa menggantungkan  diri  kepada kabilah-kabilah  Arab  yang  lain.  Sedang  yang sebagian lagi berpendapat  supaya  masuk  saja   bersekutu   dengan   Rasul, kalau-kalau kebencian terhadap mereka dapat terhapus dari hati kaum Muslimin - terutama dari pihak  Anshar  -  setelah  dalam kenyataan  Huyayy  b.  Akhtab  dan  segolongan  Yahudi lainnya terlibat dalam  usaha menghasut  kabilah-kabilah  Arab  untuk menyerang  Medinah  dan  secara  kekerasan  mengadakan  perang Parit. Akan tetapi semangat kedua belah pihak sudah  memuncak, sehingga  sebelum  terjadi  perang  pihak Muslimin sudah lebih dulu    berhasil    menewaskan    pemimpin-pemimpin    Khaibar masing-masing  Sallam  b.  Abi'l-Huqaiq  dan Yasir ibn Razzam. Oleh karena golongan Yahudi selalu  mengadakan  kontak  dengan Ghatafan  tatkala  pertama  kali  tersiar berita Muhammad akan menyerang   mereka,   cepat-cepat   mereka   meminta   bantuan kabilah-kabilah  itu.  Mengenai  Ghatafan ini, para ahli masih berbeda pendapat: Jadikah kabilah ini memberikan bala bantuan, ataukah  pasukan  Muslimin  sudah  memutuskan hubungan dengan Khaibar?

Lepas dari apakah Ghatafan ini sampai  membantu  pihak  Yahudi atau malah menjauhkan diri setelah Muhammad menjanjikan hendak memberikan harta rampasan  perang  nanti,  namun  kenyataannya peperangan  ini merupakan perang terbesar yang pernah terjadi; mengingat  pula  kelompok-kelompok  Yahudi  di   Khaibar   ini merupakan  koloni  Israil  yang  terkuat  yang paling kaya dan paling  besar  pula  persenjataannya.  Disamping   itu   pihak Muslimin  pun  sudah  yakin  sekali, bahwa selama Yahudi tetap menjadi duri dalam daging seluruh  jazirah,  maka  selama  itu pula  persaingan  antara agama Musa dengan agama baru ini akan jadi panjang tanpa dapat mencapai suatu  penyelesaian.  Dengan demikian mereka terjun menyabung nyawa tanpa ragu-ragu lagi.

Sebaliknya  pihak  Quraisy  dan  seluruh jazirah Arab berbaris menonton peperangan ini. Dari kalangan Quraisy sampai ada yang berani  bertaruh  mengenai kesudahan perang itu dan siapa pula yang  akan  menang.  Kebanyakan  Quraisy  mengharapkan   pihak Muslimin   akan   mengalami   kehancuran,   melihat   kukuhnya benteng-benteng Khaibar yang sudah terkenal serta letaknya  di atas  batu-batu karang dan gunung, disamping pengalaman mereka yang cukup lama dalam medan perang.

Dengan persiapan senjata yang  cukup  kaum  Muslimin  sekarang sudah berada di depan perbentengan Khaibar. Yahudi juga sedang berunding dengan sesama  mereka.  Pemimpin  mereka  Sallam  b. Misykam  menyarankan,  supaya  harta-benda  dan sanak keluarga mereka dimasukkan ke dalam benteng Watih  dan  Sulalim,  bahan makanan  dan  perlengkapan dimasukkan ke dalam benteng Na'im, prajurit dan barisan penggempur dimasukkan ke  dalam  benteng Natat  dan  Sallam  b.  Misykam  sendiri  bersama-sama mereka, mengerahkan mereka dalam peperangan.

Sekarang kedua belah pihak sudah berhadap-hadapan  di  sekitar benteng  Natat dan pertempuran mati-matian sudah pula dimulai. Dalam hal ini sampai ada yang berkata:  "Yang  luka-luka  dari pihak  Muslimin  sebanyak limapuluh orang. Apalagi jumlah yang luka-luka dari pihak Yahudi."

Setelah Sallam b. Misykam  tewas,  maka  pimpinan  pasukan  di pegang oleh Harith b. Abi Zainab. Ia keluar dari benteng Na'im itu dengan maksud hendak menggempur  pasukan  Muslimin  Tetapi oleh  Khazraj  ia  dapat dihalau dan dipaksa kembali mundur ke bentengnya. Pihak Muslimin lalu memperketat  kepungannya  atas benteng-benteng  Khaibar  itu  sedang pihak Yahudi mati-matian mempertahankan  dengan  keyakinan,  bahwa   kekalahan   mereka menghadapi Muhammad berarti suatu penumpasan terakhir terhadap Banu Israil di negeri-negeri Arab.

Hal ini  berlangsung  selama  beberapa  hari.  Kemudian  Rasul menyerahkan  bendera  kepada  Abu Bakar supaya memasuki benteng Na'im. Tetapi setelah terjadi  pertempuran  ia  kembali  tanpa berhasil  menaklukkan  benteng itu. Keesokan harinya pagi-pagi Rasul menugaskan Umar bin' al-Khattab. Tetapi dia pun  mengalami nasib  yang  sama  seperti Abu Bakar. Sekarang Ali b. Abi Talib yang dipanggilnya seraya katanya: "Pegang bendera ini dan bawa  terus  sampai  Tuhan  memberikan kemenangan kepadamu."

Ali  yang dijuluki Haidar dan Asadullah itu pun berangkat  membawa  bendera  itu. Setelah ia berada dekat dari benteng, penghuni benteng itu  keluar  menghadapinya  dan seketika  itu  juga  pertempuran  pun  terjadi.  Salah seorang Yahudi  dapat  memukulnya  dan  perisai  yang   di   tangannya terlempar.  Tetapi Ali segera menyambar daun pintu yang ada di benteng dan dengan memperisaikan  daun  pintu  yang  masih  di tangan  itu  ia  terus  bertempur.  Benteng itu akhirnya dapat didobraknya. Kemudian daun pintu  tadi  dijadikannya  jembatan dan  dengan  "jembatan"  ini  kaum  Muslimin dapat menyeberang masuk ke dalam benteng itu. Akan tetapi benteng Na'im ini baru jatuh  setelah komandannya, Harith b. Abi Zainab terbunuh. Hal ini menunjukkan betapa sebenarnya pihak Yahudi itu mati-matian bertempur  dan  betapa  pula  pihak  Muslimin juga mati-matian mengepung dan menyerbu.

Setelah  benteng  Na'im   jatuh,   sekarang   pihak   Muslimin menaklukkan   benteng   Qamush   setelah  lebih  dulu  terjadi pertempuran sengit. Oleh karena persediaan bahan makanan  pada
mereka  (Muslimin)  sudah  tidak  mencukupi  lagi terpaksa ada beberapa orang yang datang kepada Muhammad mengeluh, dan minta sesuatu  sekadar dapat menyambung hidup, dan oleh karena tidak ada sesuatu yang dapat diberikannya kepada  mereka  itu,  maka mereka  diijinkan  makan  daging  kuda.  Dalam  pada itu salah seorang dari pihak  Muslimin  melihat  ada  sekawanan  kambing memasuki  salah  satu  benteng  Yahudi  itu.  Dua ekor kambing diantaranya dapat mereka tangkap,  lalu  mereka  sembelih  dan mereka makan bersama-sama.

Akan  tetapi,  setelah  mereka  menaklukkan  benteng  Sha'b b- Mu'adh, kebutuhan mereka sekarang sudah tidak begitu  mendesak lagi,  sebab  ternyata  di tempat ini persediaan makanan cukup banyak,  yang  akan  memungkinkan   lagi   mereka   meneruskan perjuangan  melawan Yahudi dan mengepung benteng-benteng yang ada lainnya. Sementara itu  tidak  sejengkal  tanah  pun  atau sebuah  benteng pun mau diserahkan kepada pihak Yahudi sebelum mereka benar-benar mempertahankannya secara heroik dan setelah dengan  segala  tenaga  mereka  berusaha  membendung  serangan Muslimin itu. Dengan terlebih dulu menyiapkan persenjataan dan perlengkapan  untuk  berperang,  tiba-tiba keluar Marhab orang Yahudi  itu  dari  salah  satu benteng  sambil   ia   membaca sajak-sajak ini:

Khaibar sudah mengenal
Akulah Marhab
Memanggul senjata pahlawan teruji
Kadang menetak sekali memukul
Bila singa sudah muncul
Maka ia pun menggeram murka
Pertahananku
Inilah pertahanan tak terkalahkan
Segala serangan terlumpuhkan oleh si pendekar

Mendengar itu Muhammad berseru kepada sahabat-sahabatnya:

"Siapa yang akan menjawab ini."

Saat itu juga Muhammad b. Maslama menjawab:

"Saya  ya Rasulullah. Saya yang harus berontak menuntut balas.
Saudara saya kemarin dibunuh."

Senin, 28 Juli 2014

Narasi Otobiografis Annemarie Schimmel




Oleh Annemarie Schimmel

Pada suatu masa, hiduplah seorang gadis kecil di Erfurt, sebuah kota kecil nan indah di Jerman tengah. Sebuah kota yang dihias katedral-katedral bergaya Gothik dan sekaligus pusat industri holtikultura. Mistikus besar abad pertengahan, Meister Eckhart, pernah berkhotbah di sini; Luther pernah menunaikan sumpahnya untuk menjadi biarawan dan menghabiskan hidupnya beberapa tahun di balik dinding biara Augustine.  Goethe sang sastrawan besar Jerman pun pernah bertemu dengan Napoleon di Erfurt karena jarak kota ini dari pusat kesusastraan Jerman, Weimar dan Jena, hanya beberapa jam ditempuh dengan berkuda atau berkereta.

Gadis kecil itu amat menyukai membaca dan menggambar, namun sama sekali tak menyukai kegiatan di luar ruangan. Karena ia adalah satu-satunya anak, pun lahir agak lambat, kedua orangtuanya selalu menaunginya dengan segenap kasih sayang dan penjagaan. Ayahnya yang berasal dari kota lain, juga di Jerman tengah tak jauh dari Erzgebirge, adalah seorang pegawai di Kantor Pos dan Telegraf; sementara ibunya yang dibesarkan di bagian utara negeri itu, tak jauh dari perbatasan Belanda, adalah putri dari keluarga yang selama berabad-abad hidup dari bisnis pelayaran. Ayah gadis cilik itu adalah seorang lelaki yang memiliki pembawaan lembut dan baik hati. Kesukaannya terhadap bacaan-bacaan tasawuf dari berbagai agama seakan melengkapi kecenderungan beragama istrinya yang dibesarkan dalam tradisi keagamaan kaku khas Kristen Protestan Jerman Utara, yang berjalin dengan kemampuan meramal—sebuah kelebihan yang tidak jarang dimiliki oleh mereka yang hidup berdampingan dengan laut yang sifatnya sering tak terduga.

Gadis cilik itu senang menghabiskan liburan musim panasnya di desa neneknya, mendengarkan kisah-kisah mengenai keluarga mereka yang dengan gagah berani menantang gelombang besar antara Cape Horn ke India. Atau tentang kakeknya yang kehilangan perahu kecilnya di dekat Rio Grande del Sul sesudah lebih dari seratus hari berlayar dengan membawa barang-barang berharga. Semua cerita ini selalu lekat dengan keluarganya. Belakangan, adik ibunya menulis novel dan sejumlah naskah sandiwara radio mengenai kehidupan masyarakat tepi laut. Kedua orangtuanya menyukai puisi. Ayahnya sering membacakan puisi-puisi Jerman dan, belakangan, puisi klasik Prancis untuk keluarga kecilnya pada hari Minggu sore.

Si gadis kecil itu memiliki sebuah buku dongeng tentang peri-peri terbitan tahun 1827. Pada usia tujuh tahun ia mulai senang memeriksa kesalahan-kesalahan ejaan yang ia temui di buku itu: sebuah metode ortografis kuno yang kerap digunakan sebelum bahasa Jerman mengalami reformasi tahun 1900. Kebiasaan ini ternyata menjadi semacam persiapan untuk meneliti ribuan lembar naskah yangharus ia baca di kelak kemudian hari.

Di dalam buku itu ada satu cerita yang nyaris dihafalnya di luar kepala –sebuah cerita yang tak ada duanya dan tak dijumpainya dalam semua buku yang ia baca sepanjang hidupnya. Dongeng itu berjudul “Padmanaba dan Hasan”, yang menceritakan kunjungan seorang suci India (Padmanaba) ke Damaskus, di mana ia mengenalkan seorang bocah Arab (Hasan) kepada misteri kehidupan batin dan dunia bawah tanah, tempat di mana peti jenazah raja yang mulia diletakkan di tengah hamparan permata. Di atas peti itu terdapat tulisan “Orang-orang tertidur, dan ketika mati baru mereka terjaga.” Sepuluh tahun kemudian, ketika gadis kecil itu berusia 18 tahun, ia mengetahui bahwa kata-kata itu adalah sebuah kalimat yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad: sosok yang teramat dicintai oleh para sufi besar di dunia Islam.

Gadis kecil itu menyukai sekolah, terutama pelajaran bahasa seperti Prancis dan Latin. Ia pernah mengejutkan guru sekolah menengahnya dengan esai pertamanya yang berjudul “Surat untuk Bonekaku” yang bercerita mengenai pemberontakan Boxer di China. Di dalam esai itu ia mengutip beberapa karakter asing dari sebuah buku terbitan British Bible Society berjudul God’s Wordin Many Languages. Seperti ayahnya, ia juga menyukai puisi. Salah satu penyair favoritnya adalah Friedrich Rickert (1788-1866), seorang penyair Orientalis terkemuka yang karya-karyanya dalam bahasa Arab dan Persia sangat memukau gadis itu.

Cita-cita terbesar gadis itu adalah belajar lebih banyak mengenai kebudayaan Timur. Kekuatan mimpinya itulah barangkali yang mempertemukannya dengan guru bahasa Arabnya yang pertama, ketika ia berusia 15 tahun. Baru seminggu ia langsung tergila-gila dengan pelajarannya, karena sang guru tidak hanya mengajarinya tata-bahasa Arab tetapi juga sejarah dan kebudayaan Islam. Bagi gadis itu, seminggu berarti dari Kamis ke Kamis, hari ketika dia pergi ke kelas bahasa Arab, meskipun ia menyimpan semua minat yang menyala itu dalam hati saja. Siapa di antara teman sekelasnya yang akan mengerti, atau siapa di antara keluarga dan kenalannya yang akan menghargai seorang gadis yang mempelajari bahasa Semit pada waktu fanatisme politik dan nasionalisme begitu memekatkan udara?

Gadis itu kemudian melompati dua kelas dan lulus sekolah menengah pada usia 16 tahun. Sayang sekali untuk itu dia harus melahap materi tujuh tahun bahasa Inggris hanya dalam waktu enam bulan, dan itu membuat nilai bahasa Inggrisnya terendah di antara nilai-nilai cemerlang pelajaran lainnya. Tapi mungkin ini alasan mengapa Tuhan yang Maha Baik menganggap perlu mengirim gadis itu ke Harvard kelak untuk memperbaiki bahasa Inggrisnya.

Sebelum masuk ke universitas, si gadis harus menjalani Arbeitsdienst, masa kerja wajib di mana seorang ditempatkan di pedesaan untuk bekerja sebagai pembantu dan pekerja pertanian di wilayah miskin tanpa dibayar. Di situlah saya belajar hal-hal penting seperti membersihkan kandang babi dan memanen bit seraya bersusah payah mempertahankan bahasa Arab yang pernah saya pelajari. Tekad yang membara dan terus menggenggam erat idealisme, barangkali itu yang membuat saya menjadi satu-satunya gadis yang tidak langsung didaftarkan sebagai anggota partai Nazi –sesuatu yang sangat lumrah dijalani ketika seseorang mencapai usia 18 tahun.

Di dalam kamp kerja wajib itulah kami mendengar kabar pecahnya Perang Dunia Kedua. Peristiwa itu menjadi alasan bagi pemimpin kami untuk dengan bangga mengumumkan bahwa kami bisa tinggal lebih lama dari waktu enam bulan yang ditetapkan untuk melayani herrlicher Führer. Hormat yang tidak pernah ada untuk Führer membuat saya tak punya alasan untuk bergembira mendengar berita ini.

Ayah saya dikirim ke Berlin pada hari pertama perang pecah. Tak lama kemudian ibu mendapat kabar bahwa saya bisa dikeluarkan dari Arbeitsdienst sekiranya saya mau mempelajari ilmu-ilmu pasti. Mengapa tidak? Lagi pula, saya menyukai fisika dan membayangkan segera setelah itu saya bisa mempelajari ilmu Islam, terutama mineralogi. Setelah tiba di Berlin dan mendaftar ke Fakultas Seni dan Sains, saya melanjutkan pelajaran bahasa Arab dan mengambil kursus Seni Islam. Pada akhir trimester pertama (setiap semester ketika itu terpaksa diperpendek), pada Natal 1939, Profesor Kühnel, guru paling senior dalam bidang Seni Islam, sambil tersenyum mendorong saya untuk melupakan sains dan berkonsentrasi pada ilmu-ilmu Islam. Beliau juga berjanji akan mengangkat saya sebagai asistennya begitu studi doktoral saya selesai. Namun ini semua tak lebih dari impian. Setelah berhasil meraih gelar Ph.D pada November 1941, saya bergabung dengan Departemen Luar Negeri sebagai penerjemah. Namun karena museum bukan hal penting pada masa perang, tugas saya dialihkan ke angkatan bersenjata. Tapi 40 tahun kemudian, mimpi pertama itu benar-benar terwujud, ketika saya diundang untuk bergabung dengan Metropolitan Museum sebagai pekerja paruh waktu melakukan apa yang dulu diinginkan Kühnel, yakni bekerja di bidang kaligrafi Islam, bidang yang saya ajarkan di Harvard selama beberapa tahun.

Belajar di Berlin pada masa perang –setidaknya untuk saya– adalah seperti hidup di pengasingan yang jauh dari realitas politik. Para professor saya adalah ahli-ahli terkemuka di bidangnya masing-masing. Salah satu yang paling penting untuk saya adalah seorang perempuan professor, Annemarie von Gabain (w. 1993). Saya sangat berutang budi kepadanya karena telah memperkenalkan kepada bidang Turkologi. Saya menganggapnya sebagai kakak sendiri, apa saya. Kalau Richard Hartmann mengajarkan kepada kami mengenai pendekatan sejarah-kritis untuk mendalami sejarah dan kebudayaan Turki-Arab dan Turki-Usmani, maka Hans Heinrich Schaeder, si jenius, yang membawa kami ke pantai-pantai terjauh sejarah dan kebudayaan secara umum. Ketika mengetahui mengenai minat saya kepada Maulana Rumi (yang diawali dari membaca terjemahan bebas Rückfert atas karya-karya Rumi), beliau menyarankan saya membaca Selected Poems from the Divan-I Shams-i Tabriz karya R.A Nicholson (yang saya salin dengan tangan), dan studi-studi Louis Massignon tentang sufi-martir al Hallaj (yang dihukum mati di Baghdad pada tahun 922). Tiga bulan kemudian, tepatnya pada Natal 1940, saya memberinya kejutan dengan terjemahan karya Rumi dan Hallaj yang sampai saat ini saya anggap masih sangat berharga. Setelah perang usai, Schaeder memperkenalkan saya kepada puisi-puisi T.S Elliot, dan alih-alih melakukan kunjungan singkat ke Göttingen untuk menghadiri forum-forum diskusi mengenai puisi Persia, kami membaca Four Quartetsyang baru saja tiba di mejanya. Sebagai kelanjutannya ia menyarankan saya membaca John Donne, yang puisi-puisinya sangat memukau saya. Sedemikian terpukaunya sehingga 20 tahun kemudian saya menerbitkan koleksi puisi tersebut dalam bahasa Jerman. Gaya puisi John Donne sangat mirip dengan puisi-puisi mistik Persia yang amat saya gandrungi.

Baik Schaeder maupun Kühnel menikah dengan perempuan-perempuan baik hati yang mendorong saya menekuni bidang ini. Mungkin ini karena sebagai perempuan saya tidak pernah merasa menjadi orang asing di dunia akademis, di mana perempuan memainkan peran yang sama seperti laki-laki.

Enam semester waktu belajar adalah periode yang sangat tenang. Setiap tiba waktu libur kami harus bekerja di pabrik. Sepuluh jam per-hari. Saya sering pulang dengan tangan berdarah untuk meneruskan menulis disertasi mengenai sejarah Mamluk. Saya belajar banyak dari beratnya kehidupan para perempuan di pabrik. Saya juga bersyukur atas penerimaan mereka terhadap perempuan asing yang kehadirannya memastikan beberapa orang di antara mereka bisa mengambil cuti dengan tetap dibayar. Setelah menyelesaikan masa studi, saya tidak hanya bekerja di Kementerian Luar Negeri, namun juga menyiapkan indeks mengenai sejarah Arab abad ke-16 setebal 1500 halaman yang kemudian diterbitkan di Istanbul ketika perang masih berkecamuk.

Awan kelam peperangan semakin mencekam, bom-bom semakin sering diledakkan. Saya ingat pernah berjalan kaki selama empat jam melalui jalan-jalan yang dipenuhi kobaran api untuk mencari seorang kolega, menyediakan tempat berteduh bagi teman-teman yang kehilangan segalanya, dan terus membaca situasi politik yang kian memburuk melalui tumpukan telegram yang harus kami terjemahkan di kantor. Namun, di sela-sela waktu yang ada, saya tetap setia dengan bahan-bahan mengenai dinasti Mamluk dan menulis Habilitationsschrift. Saya menyerahkan tulisan itu pada 1 April 1945, tepat pada hari kantor kami harus pindah ke Jerman tengah untuk alasan keamanan. Di sebuah desa berciri khas Sakson kami ditawan oleh tentara Amerika dan terpaksa mendekam selama seminggu di sebuah penjara bawah tanah sebelum dikirim ke Marburg. Pada saat itu pihak-pihak yang bertikai sepakat melakukan gencatan senjata. Selanjutnya kami menjadi tawanan yang dipekerjakan di asrama-asrama pelajar. Itu adalah hal terbaik yang bisa kami harapkan terjadi: setidaknya sekarang ada tempat berteduh dan makanan, meskipun sangat ketat dijatah. Segera setelah itu kami membentuk semacam universitas di pengungsian, belajar dan mengajar untuk menyesuaikan diri dengan komunitas kecil yang sebenarnya aneh itu.

Suatu hari seorang tamu penting datang mengunjungi kami. Ia adalah Friedrich Heiler, seorang ahli sejarah agama yang terkenal dan Dekan Fakultas Seni di Universitas Marburg yang kabarnya akan segera dibuka. Ia berbicara mengenai Nathan Söderblom, ketua Gerakan Ekumenis, Uskup Agung Swedia, dan juga seorang sejarawan agama (w. 1931). Meskipun kesan saya bahwa pembicara yang sangat terpelajar itu tidak memperhatikan kehadiran saya selama diskusi, namun ternyata dua bulan kemudian, ketika masa kerja di situ akan segera berakhir, ia mengundang saya datang ke rumahnya. Apakah saya bersedia untuk tinggal di Marburg? Mereka memerlukan seorang professor dalam bidang bahasa Arab dan studi-studi keislaman, menggantikan professor aktif yang ternyata adalah pengikut Nazi militan. Saya bisa dibilang sama sekali tidak siap. Dan hanya karena saya membawa satu kopiHabilitationsschrift di kopor saya –serta beberapa naskah berbahasa Persia dan Arab– saya akhirnya setuju. Akhirnya setelah tiga bulan tinggal bersama bibi saya di Jerman utara, saya menyampaikan pidato pelantikan saya pada 12 Januari 1946, ketika usia saya belum genap 24 tahun. Peristiwa itu bisa dibilang sebuah momen penting di kota sekecil Marburg. Satu-satunya perempuan di fakultas, Luise Berthold, seorang ahli Jerman Abad Pertengahan, menyambut saya dengan mengatakan, “Putriku sayang, ingatlah satu hal –lelaki adalah musuh kita!”

Meskipun demikian, saya sangat menikmati waktu-waktu mengajar di sana. Tak seorang pun bisa membayangkan, bagaimana bahagianya para guru dan murid selama tahun-tahun tersebut. Tak ada lagi perang, hanya ada kebebasan untuk berbicara, membaca buku yang sebelumnya tidak pernah kami dengar sama sekali, menyimak kuliah-kuliah mencerahkan mengenai kembalinya kaum imigran, dan meskipun perut kami hampir tak pernah kenyang, kami terus “makan” dan minum dari mata air ilmu pengetahuan. Setiap kelas –apakah itu bahasa Arab, Persia atau Turki, atau kelas pengantar kesusastraan dan seni Islam– menjanjikan petualangan, termasuk karena beberapa mahasiswa saya pasca perang itu lebih senior dibanding saya. Selain itu saya pun semakin erat berhubungan dengan Heiler dan bekerja sama dengannya untuk bidang studi sejarah agama, membantu di kelasnya untuk materi-materi keislaman dan belajar banyak mengenai pendekatan fenomenologi terhadap agama, Sejarah Gereja dan pelik-melik yang menyertai perkembangannya. Saya juga menikmati persekutuan doa Jerman yang biasa diadakan Heiler setiap hari Minggu di sebuah kapel kecil di rumahnya.

Tapi masa itu sekaligus adalah masa ketika kami harus belajar mengenai berbagai trauma yang berasal dari masa kanak-kanak maupun sesudahnya. Trauma yang terlalu perih untuk diakui, tapi sekaligus hampir takpernah disadari.

Diterjemahkan dari Bahasa Ingris oleh Nurul Agustina