Judul:
Jaring-Jaring Kehidupan Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan,
Judul asli: The Web of Life, Penulis: Fritjof Capra, Alih bahasa: Saud
Pasaribu, Penerbit: Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Juli,
2001, Tebal: (xii + 496) halaman.
Buku ini aslinya berjudul The Web of Life (di-Indonesiakan menjadi Jaring-jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan) menyodorkan paradigma ilmu pengetahuan baru. Gagasan dasarnya beranjak dari pertanyaan seorang fisikawan Austria, Erwin Schrodinger, dalam bukunya What is Life? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang belum terjawab kendati sudah membuat para filosof dan ilmuwan bingung selama ratusan tahun. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain bagaimana bisa struktur-struktur yang kompleks berasal dari sekumpulan acak molekul-molekul? Apa hubungan antara pikiran dan otak? Apakah kesadaran itu?
Pada akhir abad ke-20, masyarakat dunia dihadapkan pada serrangkaian masalah global yang membahayakan masa depan planet bumi. Ancaman ini sangat mengejutkan karena terjadi dalam waktu yang singkat serta tidak dapat dikembalikan pada wujud semula (irreversible). Isu utama dan dominan adalah masalah lingkungan hidup. Kekhawatiran itu mesti ditanggapi dengan kerja keras dan pemikiran yang komprehensif, sistemik dan berdimensi futuristik. Dari sebab itu, tidak hanya menyangkut hajat hidup manusia sekarang, tetapi juga berkenaan dengan generasi mendatang. Inilah yang menjadi dasar pemikiran Fritjof Capra untuk menyodorkan sebuah formula baru tentang paradigma ilmu pengetahuan dan kehidupan, yakni pemikiran sistem.
Ia membuka pembahasannya dengan sebuah pengertian ilmiah baru mengenai kehidupan; mulai dari organisme, sistem sosial, politik dan ekonomi. Pengertian itu berdasarkan pada suatu persepsi baru tentang realitas yang memiliki implikasi mendalam, bukan hanya dalam bidang filsafat, tetapi juga menyentuh ruang yang lebih luas. Singkat kata, dengan pengertian yang menyeluruh, masyarakat dunia akan mengarungi kehidupan sosial dan kultural yang lebih baik.
Semakin dalam kita mempelajari masalah-masalah utama zaman ini, makin disadari bahwa masalah itu tidak berdiri sendiri. Sebuah masalah selalu menyangkut banyak aspek kehidupan atau tidak dapat dipisah-pisah; satu sama lain saling bergantung. Sebagai contoh, menstabilkan populasi dunia hanya dapat dilakukan bila kemiskinan dikurangi; kepunahan binatang dan spesies tumbuhan akan terus berlanjut selama belahan dunia selatan masih terjerat utang. Akhirnya, masalah-masalah ini harus dilihat sebagai aspek yang berbeda dari sebuah krisis tunggal. Yakni krisis persepsi. Krisis ini berasal dari fakta bahwa sebagian besar kita, dan khususnya lembaga-lembaga sosial, mendukung konsep yang berasal dari pandangan dunia (world view) yang sudah kadaluwarsa (out of date), sebuah persepsi terhadap kenyataan yang sudah tidak mumpuni menangani dunia.
Ada berbagai solusi untuk mengatasi masalah-masalah ini; bahkan beberapa diantaranya cukup sederhana. Namun, menghendaki suatu perubahan radikal dalam persepsi, pemikiran, dan nilai yang ada. Sebenarnya, sekarang kita berada dalam permulaan sebuah perubahan mendasar pada pandangan dunia dalam ilmu dan masyarakat. Sebuah perubahan paradigma yang sama radikalnya dengan Revolusi Copernikan. Inilah satu-satunya solusi yang harus dilaksanakan oleh segenap elemen dunia secara berkelanjutan. Dengan begitu, kita telah membina komunitas hari ini sekaligus menyelamtkan generasi selanjutnya.
Sebagai seorang fisikawan yang telah lama bergulat dengan berbagai bentuk pemikiran, Fritjof Capra mencoba menawarkan sebuah konsep dunia baru, terutama dalam bidang fisika. Dari pandangan dunia mekanistik Descartes dan Newton, ke suatu pandangan sistemik. Capra menyadari bahwa konsep fisika dan seluruh cara berpikir yang ada sudah tidak memadai untuk melukiskan fenomena atomis. Artinya, problem yang ada bukan lagi bersifat intelektual tetapi telah berkembang menjdai krisis emosional yang mendalam. Dalam istilah lain, dunia ini sedang mengalami krisis eksistensial. Benar adanya, cara penanggulangannya membutuhkan waktu yang panjang. Namun setelah itu manusia akan mendapat pencerahan baru; wawasan yang mendalam tentang materi dalam hubungannya dengan pemikiran manusia (hal. 14).
Pemahaman yang mendalam mengenai struktur kehidupan, lanjut Capra, berguna untuk kelanjutan hidup manusia, kelestarian lingkungan, dan masa depan bumi. Dengan data dan fakta yang disajikan, ia mengajak umat manusia menghayati bahwa seluruh bumi merupakan sebuah kehidupan yang utuh dan padu. Konstruksi demikian hanya bisa dimengerti jika dikaji melalui paradigma sistem.
Perubahan pemikiran yang dramatis terjadi dalam fisika pada awal abad ke-20-an telah didiskusikan oleh para fisikawan dan filosof lebih dari lima puluh tahun. Hal ini melatarbelakangi Thomas Kuhn untuk membentuk suatu konstelasi hasil-hasil konsep, nilai dan teknik, yang digunakan bersama dalam komunitas ilmiah untuk mendefinisikan masalah dan solusi yang benar. Perubahan paradigma menurut Kuhn terjadi akibat perubahan diskontinyu dan revolusioner.
Dua puluh lima tahun setelah Kuhn mempopulerkan perubahan paradigma, kini krisis intelektual yang dialami oleh para fisikawan kuantum pada tahun 1920 telah dipantulkan kembali pada suatu krisis serupa namun lebih besar. Dengan demikian, perubahan yang sedang dialami ilmu pengetahuan juga dirasakan pada ranah sosial. Untuk menganalisis tranformasi sosial dan kultural semacam itu maka penulis memodifikasi pengertian paradigma Thomas Kuhn. Disini terjadi rekonstruksi paradigma ilmiah kepada paradigma sosial, yang oleh Capra didefinisikan dengan suatu konstelasi konsep, nilai, persepsi, praktik, dan teknik, yang digunakan oleh suatu komunitas. Dari definisi ini muncul suatu bentuk visi tertentu terhadap realitas yang merupakan basis sosial, sehingga dengan paradigma baru komunitas sosial bisa mengatur dirinya sendiri.
Pemikiran sistem muncul paruh tahun 1920-an, dan dipelopori oleh para biolog. Mereka menekankan bahwa semua organisme hidup adalah keseluruhan yang padu. Sudut pandang itu selanjutnya diikuti oleh psikologi gestalt (lengkap/menyeluruh) dan ekologi-dalam. Paradigma ekologi itu, dahulu bidang kajiannya terfokus pada manusia dengan menegaskan nilai, hubungan sosial, dan kolerasi kultural. Sekarang berubah menjadi ekologi-dalam serta mengakui kesalingtergantungan antarfenomena dan fakta sebagaimana individu dan masyarakat yang saling terkait dalam proses psikis alam. Kesalingtergantungan adalah prinsip dasar semua hubungan ekologis. Jadi konstruksi dasar ekologi-dalam adalah kemitraan, fleksibilitas, dan keberagaman (hal 444).
Sementara di bidang fisika, mekanisme Cartesian yang menjadi lambang kejayaan ilmu pengetahuan, mengatakan bahwa dunia hanyalah sebuah mesin yang mati, statis, dan terkendali. Pemahaman ini mencapai puncaknya ketika Sir Isaac Newton. Terakhir dikukuhkan oleh Julien de la Metrie dalam karyanya Man a Machine.
Pandangan fisika klasik itu, kini didekonstruksi oleh pandangan fisika sistem yang mengungkapkan ketimbang sebuah mesin, alam pada dasarnya lebih mirip dengan sifat manusia. Ia tidak dapat diprediksi, peka terhadap dunia sekitarnya, dan terpengaruh fluktuasi-fluktuasi kecil. Dengan begitu, cara yang tepat mendekati alam adalah lewat apresiasi, kerjasama dan dialog (hal 278).
Yang harus digarisbawahi oleh pembaca, bahwa “pemikiran sistem” berbeda dengan “pemikiran holistik”. Pemahaman holistik menunjukkan pada suatu keseluruhan fungsional, yang mengerti kesalingtergantungan bagian-bagiannya, tetapi melupakan nilai dan etika. Sedangkan “pandangan (pemikiran) sistem” menambahkan definisi holistik dengan suatu yang melekat pada lingkungan alamiah dan sosialnya. Pemikiran holistik pasti masuk wilayah sistem, tetapi tidak sebaliknya.
Buku ini mengajak pembaca untuk mencermati perubahan dramatis tentang paradigma ilmu pengetahuan yang terjadi beberapa dekade belakangan ini. Buku ini merupakan kelanjutan pembahasan dalam karya Capra sebelumnya, yaitu Turning Point (diterjemahkan menjadi Titik Balik Peradaban), yang di dalamnya terdapat sub judul Pandangan Hidup Sistem. Isi buku ini sangat menantang karena berusaha memecahkan misteri yang sampai saat ini belum terungkap. Yaitu, asal mula kehidupan di muka bumi ini. Makanya tak berlebihan bila mendapat acungan jempol. Selain menambah cakrawala berpikir, khusus bagi umat beragama buku ini akan memperkukuh keimanan: bahwa kekuasaan Tuhan sungguh menakjubkan. Di sinilah karya Capra menemukan momentum dan signifikansinya. Membaca buku ini, kita akan tambah pengetahuan tentang berpikir.
(Dudi Sabil Iskandar, peminat buku, koordinator Lingkar Studi Mahasiswa "Menteng", Jakarta )
Buku ini aslinya berjudul The Web of Life (di-Indonesiakan menjadi Jaring-jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan) menyodorkan paradigma ilmu pengetahuan baru. Gagasan dasarnya beranjak dari pertanyaan seorang fisikawan Austria, Erwin Schrodinger, dalam bukunya What is Life? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang belum terjawab kendati sudah membuat para filosof dan ilmuwan bingung selama ratusan tahun. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain bagaimana bisa struktur-struktur yang kompleks berasal dari sekumpulan acak molekul-molekul? Apa hubungan antara pikiran dan otak? Apakah kesadaran itu?
Pada akhir abad ke-20, masyarakat dunia dihadapkan pada serrangkaian masalah global yang membahayakan masa depan planet bumi. Ancaman ini sangat mengejutkan karena terjadi dalam waktu yang singkat serta tidak dapat dikembalikan pada wujud semula (irreversible). Isu utama dan dominan adalah masalah lingkungan hidup. Kekhawatiran itu mesti ditanggapi dengan kerja keras dan pemikiran yang komprehensif, sistemik dan berdimensi futuristik. Dari sebab itu, tidak hanya menyangkut hajat hidup manusia sekarang, tetapi juga berkenaan dengan generasi mendatang. Inilah yang menjadi dasar pemikiran Fritjof Capra untuk menyodorkan sebuah formula baru tentang paradigma ilmu pengetahuan dan kehidupan, yakni pemikiran sistem.
Ia membuka pembahasannya dengan sebuah pengertian ilmiah baru mengenai kehidupan; mulai dari organisme, sistem sosial, politik dan ekonomi. Pengertian itu berdasarkan pada suatu persepsi baru tentang realitas yang memiliki implikasi mendalam, bukan hanya dalam bidang filsafat, tetapi juga menyentuh ruang yang lebih luas. Singkat kata, dengan pengertian yang menyeluruh, masyarakat dunia akan mengarungi kehidupan sosial dan kultural yang lebih baik.
Semakin dalam kita mempelajari masalah-masalah utama zaman ini, makin disadari bahwa masalah itu tidak berdiri sendiri. Sebuah masalah selalu menyangkut banyak aspek kehidupan atau tidak dapat dipisah-pisah; satu sama lain saling bergantung. Sebagai contoh, menstabilkan populasi dunia hanya dapat dilakukan bila kemiskinan dikurangi; kepunahan binatang dan spesies tumbuhan akan terus berlanjut selama belahan dunia selatan masih terjerat utang. Akhirnya, masalah-masalah ini harus dilihat sebagai aspek yang berbeda dari sebuah krisis tunggal. Yakni krisis persepsi. Krisis ini berasal dari fakta bahwa sebagian besar kita, dan khususnya lembaga-lembaga sosial, mendukung konsep yang berasal dari pandangan dunia (world view) yang sudah kadaluwarsa (out of date), sebuah persepsi terhadap kenyataan yang sudah tidak mumpuni menangani dunia.
Ada berbagai solusi untuk mengatasi masalah-masalah ini; bahkan beberapa diantaranya cukup sederhana. Namun, menghendaki suatu perubahan radikal dalam persepsi, pemikiran, dan nilai yang ada. Sebenarnya, sekarang kita berada dalam permulaan sebuah perubahan mendasar pada pandangan dunia dalam ilmu dan masyarakat. Sebuah perubahan paradigma yang sama radikalnya dengan Revolusi Copernikan. Inilah satu-satunya solusi yang harus dilaksanakan oleh segenap elemen dunia secara berkelanjutan. Dengan begitu, kita telah membina komunitas hari ini sekaligus menyelamtkan generasi selanjutnya.
Sebagai seorang fisikawan yang telah lama bergulat dengan berbagai bentuk pemikiran, Fritjof Capra mencoba menawarkan sebuah konsep dunia baru, terutama dalam bidang fisika. Dari pandangan dunia mekanistik Descartes dan Newton, ke suatu pandangan sistemik. Capra menyadari bahwa konsep fisika dan seluruh cara berpikir yang ada sudah tidak memadai untuk melukiskan fenomena atomis. Artinya, problem yang ada bukan lagi bersifat intelektual tetapi telah berkembang menjdai krisis emosional yang mendalam. Dalam istilah lain, dunia ini sedang mengalami krisis eksistensial. Benar adanya, cara penanggulangannya membutuhkan waktu yang panjang. Namun setelah itu manusia akan mendapat pencerahan baru; wawasan yang mendalam tentang materi dalam hubungannya dengan pemikiran manusia (hal. 14).
Pemahaman yang mendalam mengenai struktur kehidupan, lanjut Capra, berguna untuk kelanjutan hidup manusia, kelestarian lingkungan, dan masa depan bumi. Dengan data dan fakta yang disajikan, ia mengajak umat manusia menghayati bahwa seluruh bumi merupakan sebuah kehidupan yang utuh dan padu. Konstruksi demikian hanya bisa dimengerti jika dikaji melalui paradigma sistem.
Perubahan pemikiran yang dramatis terjadi dalam fisika pada awal abad ke-20-an telah didiskusikan oleh para fisikawan dan filosof lebih dari lima puluh tahun. Hal ini melatarbelakangi Thomas Kuhn untuk membentuk suatu konstelasi hasil-hasil konsep, nilai dan teknik, yang digunakan bersama dalam komunitas ilmiah untuk mendefinisikan masalah dan solusi yang benar. Perubahan paradigma menurut Kuhn terjadi akibat perubahan diskontinyu dan revolusioner.
Dua puluh lima tahun setelah Kuhn mempopulerkan perubahan paradigma, kini krisis intelektual yang dialami oleh para fisikawan kuantum pada tahun 1920 telah dipantulkan kembali pada suatu krisis serupa namun lebih besar. Dengan demikian, perubahan yang sedang dialami ilmu pengetahuan juga dirasakan pada ranah sosial. Untuk menganalisis tranformasi sosial dan kultural semacam itu maka penulis memodifikasi pengertian paradigma Thomas Kuhn. Disini terjadi rekonstruksi paradigma ilmiah kepada paradigma sosial, yang oleh Capra didefinisikan dengan suatu konstelasi konsep, nilai, persepsi, praktik, dan teknik, yang digunakan oleh suatu komunitas. Dari definisi ini muncul suatu bentuk visi tertentu terhadap realitas yang merupakan basis sosial, sehingga dengan paradigma baru komunitas sosial bisa mengatur dirinya sendiri.
Pemikiran sistem muncul paruh tahun 1920-an, dan dipelopori oleh para biolog. Mereka menekankan bahwa semua organisme hidup adalah keseluruhan yang padu. Sudut pandang itu selanjutnya diikuti oleh psikologi gestalt (lengkap/menyeluruh) dan ekologi-dalam. Paradigma ekologi itu, dahulu bidang kajiannya terfokus pada manusia dengan menegaskan nilai, hubungan sosial, dan kolerasi kultural. Sekarang berubah menjadi ekologi-dalam serta mengakui kesalingtergantungan antarfenomena dan fakta sebagaimana individu dan masyarakat yang saling terkait dalam proses psikis alam. Kesalingtergantungan adalah prinsip dasar semua hubungan ekologis. Jadi konstruksi dasar ekologi-dalam adalah kemitraan, fleksibilitas, dan keberagaman (hal 444).
Sementara di bidang fisika, mekanisme Cartesian yang menjadi lambang kejayaan ilmu pengetahuan, mengatakan bahwa dunia hanyalah sebuah mesin yang mati, statis, dan terkendali. Pemahaman ini mencapai puncaknya ketika Sir Isaac Newton. Terakhir dikukuhkan oleh Julien de la Metrie dalam karyanya Man a Machine.
Pandangan fisika klasik itu, kini didekonstruksi oleh pandangan fisika sistem yang mengungkapkan ketimbang sebuah mesin, alam pada dasarnya lebih mirip dengan sifat manusia. Ia tidak dapat diprediksi, peka terhadap dunia sekitarnya, dan terpengaruh fluktuasi-fluktuasi kecil. Dengan begitu, cara yang tepat mendekati alam adalah lewat apresiasi, kerjasama dan dialog (hal 278).
Yang harus digarisbawahi oleh pembaca, bahwa “pemikiran sistem” berbeda dengan “pemikiran holistik”. Pemahaman holistik menunjukkan pada suatu keseluruhan fungsional, yang mengerti kesalingtergantungan bagian-bagiannya, tetapi melupakan nilai dan etika. Sedangkan “pandangan (pemikiran) sistem” menambahkan definisi holistik dengan suatu yang melekat pada lingkungan alamiah dan sosialnya. Pemikiran holistik pasti masuk wilayah sistem, tetapi tidak sebaliknya.
Buku ini mengajak pembaca untuk mencermati perubahan dramatis tentang paradigma ilmu pengetahuan yang terjadi beberapa dekade belakangan ini. Buku ini merupakan kelanjutan pembahasan dalam karya Capra sebelumnya, yaitu Turning Point (diterjemahkan menjadi Titik Balik Peradaban), yang di dalamnya terdapat sub judul Pandangan Hidup Sistem. Isi buku ini sangat menantang karena berusaha memecahkan misteri yang sampai saat ini belum terungkap. Yaitu, asal mula kehidupan di muka bumi ini. Makanya tak berlebihan bila mendapat acungan jempol. Selain menambah cakrawala berpikir, khusus bagi umat beragama buku ini akan memperkukuh keimanan: bahwa kekuasaan Tuhan sungguh menakjubkan. Di sinilah karya Capra menemukan momentum dan signifikansinya. Membaca buku ini, kita akan tambah pengetahuan tentang berpikir.
(Dudi Sabil Iskandar, peminat buku, koordinator Lingkar Studi Mahasiswa "Menteng", Jakarta )
Orang Prancis di Banten (di Serang Timur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar