Minggu, 14 September 2014

Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas


Oleh Idi Subandy Ibrahim

MORALITAS, ETIKA, di manakah ia saat ini? Di selangkangan Madonna-kah yang histeris saat melemparkan celana dalam di hadapan ribuan pengagumnya yang haus kultus tontonan? Ataukah, di balik kemilau konstruksi warna kulit Michael Jackson yang melengking meneriakkan "kebebasan" di panggung kegandrungan masyarakat akan aerobik, kebugaran, fitness, body building, operasi plastik, facial creams, budaya kosmetika yang memoles basis material industri budaya kapitalisme? Ataukah di balik gemerlap gaya hidup subkultur generasi yang tidak direpresi dan diintimidasi lewat semprotan gas air mata pasukan antihuruhara, tapi lewat semprotan aroma parfum Paris pemeluk budaya hura-hura yang tanpa rasa haru?

Sungguhkah penampilan dan gaya lebih penting dari moralitas di saat citra-citra telah menyingkirkan persoalan baik dan buruk dalam permainan rumit gaya-gaya dan penjungkirbalikan makna-makna. Lantas gaya hidup (lifestyle) pun menjadi segala-galanya dan segala-galanya adalah gaya hidup. Bahkan gaya hidup menjadi komoditas dan komoditas pun sepenuhnya dipermak untuk mengkonstruksi gaya hidup. Maka manusia hidup dalam alam ecstasy akan gaya, dan gaya hidup pun senantiasa diakutkan lewat "kenikmatan semu," "kebahagiaan ilutif," "keindahan halusinatif," "daya tarik pseudorasional" yang mengendap di bawah permukaan pesan budaya sehari-hari dan membentuk manusia secara diam-diam, mencabik-cabik "aura simbolis" ... seperti pentas ecstasy.

Dalam pentas itu ada pelipatgandaan kegairahan dan kegembiraan yang luar biasa hingga mencapai "keadaan di luar kesadaran diri" [1]. Lantas seketika orang pun terbang di alam ecstasy. Alam yang tidak hanya dikonstruksi oleh "pil cinta," yang konon sebagai hasil keajaiban zaman modern, tapi oleh gaya hidup yang telah menggiring ribuan manusia seolah tersihir dalam suatu kondisi psikologis yang telanjang. Alam konsumtif ecstasy menjadi drama kehidupan modern yang telah jenuh dengan tumpukan "kebudayaan sampah" yang didaur ulang dalam mesin giling kapitalisme mutakhir [2]. Tak ada sejengkal wilayah budaya pun yang steril dari rembesannya. Lalu muncul pertanyaan, "Apakah dalam abad sekarang jarak antara kematian dan happy itu begitu dekatnya..." [3].

Pertanyaan itu menggelitik "bawah sadar" menusia modern yang amat bertumpu pada ekonomi, khususnya logika pertumbuhan. Kini, pertumbuhan itu bagaikan "superego" yang mendikte manusia modern [4]. Bawah sadar yang didikte logika ekonomi ini lantas merembes diam-diam ke segenap wilayah budaya yang ada dalam universum relasi manusia. Sebuah bayangan relasi yang dilukiskan dengan begitu menyentuh oleh Kenneth J. Gergen, penulis buku The Saturated Self: Dillemas of Identity in Contemporary Life (1991), Menurutnya, "Kita memperoleh pandangan dan nilai-nilai dari seluruh sudut dunia. Kita juga mengambil banyak isyarat dari media, sehingga identitas kita kini tengah terus berubah dan kembali diarahkan, sebagaimana kita bergerak mengarungi lautan hubungan atau relasi yang terus berubah. Manusia hanyalah sekadar satu unit yang sangat sederhana dari sebuah relasi atau hubungan. Kita menyadari apa dan siapa pun kita bukanlah merupakan hasil dari esensi kepribadian, melainkan bagaimana kita dikonstruksi di dalam Masyarakat" [5].

Di balik tawaran nilai itulah, mengendap preokupasi atau keasyikan terhadap hal-hal yang ada di luar kesadaran diri yang asali yang tidak hanya membuat kita jenuh pada suara orang lain. Tapi, juga keharuan akan kenikmatan-kenikmatan sesaat, ketakjuban akan kebahagiaan di luar batas, dan kerinduan untuk terus mengkonsumsi, untuk terus hidup dalam gaya. Inikah tanda "kegilaan" dalam modernitas yang mencabik humanitas. Lantas, manusia seperti digiring ke dalam jurang jiwanya yang menganga lebar" [6].

Tak heran di pentas pemujaan akan gaya menganga semacam jurang ketidaksadaran yang disadari dan kesadaran yang tidak disadari. Di antara batas tipis kedua wilayah inilah massa terus diberondong dan dibius dengan aneka warna nilai-nilai yang ditawarkan dari segenap penjuru dunia yang memaksakan semacam ketidaksadaran massal. Ketidaksadaran sebagai "kesadaran baru" yang tak lebih dari sekadar puing-puing eksistensial yang tengah tercabik ini lantas meruyakkan aura ecstasy gaya hidup yang hanya mementingkan permukaan, penampakan, penampilan, hura-hura, hiburan, dan permainan tanda-tanda yang tanpa kedalaman dan yang tidak mengacu kepada realitas. Di dalam ecstasy gaya hidup manusia hidup seakan di alam mimpi, ilusi, khayali, fantasi, dan "halusinasi estetika akan realitas" yang dikonstruksi tidak hanya dalam pengertian sosio-ekonomis dan politis, tapi juga ideoloqis [7].

Dalam ruang komodifikasi yang ditandai mengambangnya bidang pemberi tanda oleh terpaan banjir bandang komoditas ini, seluruh ruang dan waktu terserap menjadi sumber daya yang dikomodifikasi untuk dieksploitasi. Di dalamnya individu lebih sebagai objek ketimbang bagian dari komunitas. Melalui iklan, misalnya, dikonstruksi keinginan yang tak bisa dipenuhi, dan gaya hidup yang ditawarkan itu pun khayalan. Itulah sebabnya orang mencari kepuasan melalui konsumsi. Orang bekerja untuk berbelanja dan berbelanja untuk bekerja. Tak heran seorang mahasiswa atau pegawai boleh tak bersemangat di ruang kuliah atau di kantornya, tapi mereka begitu bergairah di lantai diskotek atau di pusat perbelanjaan. Tak begitu berlebihan apa yang disitir Allison J. Murray, ketika mengamati perilaku subkultur kelas bawah dan kelas menengah Jakarta, "Konsumsi, seks, dan moralitas disulap dalam suatu permainan rumit di dalam suatu kelompok sosial, di mana penampilan lebih penting daripada moral, karena citra-citra telah mengatasi persoalan baik dan buruk" [8].

Lantas, dari manakah kita harus melacak bahwa pernik ecstasy gaya hidup begitu menemukan lokus perkembangbiakannya yang demikian mewadak dalam universum relasi manusia kontemporer? Pemikir pasca-strukturalis Perancis, Jean Baudrillard, seakan menyentakkan kita ketika menulis Ecstasy of Communication (1987), bahwa berkat makna, informasi, dan tranparansi, masyarakat kita telah melampaui ambang batas, menuju "ecstasy permanen": "the ecstasy of the social (the masses), the body (obesity), sex (obscenity), violence (terror), and information (simulation)" [9].

Kini, di tengah dunia benda kita, "masyarakat," "tubuh," "seks," "kekerasan," dan "informasi" kian tercelup dalam wilayah yang tak luput dari intervensi logika ekonomi. Dalam keadaan demikian, ukuran-ukuran kewajaran porak-poranda demi pemenuhan tuntutan gaya-gaya yang terus berubah-ubah dan tanpa henti ditawarkan. Tak heran, menyitir Baudrillard kembali, manusia menjadi, " ... more social than the social (the masses); fatter than fat (obessity), more violent than the violent (terror), more sexual than sex (porn), more real than the real (simulation), more beautiful than the beautiful (fashion)" [10].

Lalu, bagaimana logika untuk selalu tampil "lebih dari" dalam hal gaya itu menemukan salurannya lewat industri kebudayaan pop. Dalam keterbatasannya, pengantar ini akan memotret sisi-sisi subtil bagaimana gaya hidup disebarluaskan melalui kebudayaan pop. Bagaimana dalam perembesannya ia tak bisa menghindar dari dinamik politik dan kultur dominan. Dan, lebih lanjut bagaimana kultur ini dalam pertumbuhannya telah ikut mengkonstruksi sebuah masyarakat di mana gaya hidup begitu dikultuskan dan dipuja.

Kebudayaan yang dimaksud sebagai kebudayaan massa/pop(uler) (mass/pop[ular] culture) dengan ditopang industri kebudayaan (cultural industry) telah mengkonstruksi masyarakat yang tak sekadar berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan semua artefak budaya sebagai produk industri, dan sudah tentu komoditas. Suatu kutukan modernitas[11] pun perlahan muncul dan pada gilirannya melahirkan sebuah wajah masyarakat baru: "masyarakat komoditas" (commodity society) yang membiakkan kebudayaan pop dan memaksakan penyembahan, pemujaan, pengkultusan, ecstasy gaya hidup yang tak tepermanai dalam apa yang disebut humanis seperti Peter L. Berger sebagai "semesta simbolisme modernitas" dengan bawah sadar pertumbuhan sebagai ideologi yang memayunginya.

Sekilas Penelusuran Literatur

Kini mulailah kita menyelami sejumlah literatur mengenai kebudayaan massa atau pop(uler) untuk mereguk beberapa tetesan pemikiran dari para peminat studi budaya yang tumbuh bersamaan dengan perdebatan tentang aspek-aspek subtil hingga radikal dari kebudayaan pop. Dalam rentang sejarah yang panjang, kebudayaan pop telah menarik minat para akademisi, teoretisi, analis, kritisi, dan para pendukung kajian budaya[12] yang mencuat bersamaan dengan kian derasnya gelombang kebudayaan pop dengan segala pernik, warna, dan nuansa yang menyertainya, serta dengan muatan budaya yang dikandungnya. Mereka yang berminat terhadap sisi-sisi subtil kebudayaan pop biasanya menggunakan penekanan, sudut pandang, perspektif, dan aspek-apsek yang beraneka. Ada yang melacak akar sosiohistoris, pola penyebaran, media yang digunakan, basis material, muatan politis-ekonomis, aspek ritual dan simbolik, hingga ke wilayah propaganda dan, bahkan, sampai jauh ke implikasi ideologisnya. Singkatnya, mulai dari kelompok yang sering disebut kaum modernis hingga mencuatnya pascamodernis dalam kajian budaya telah ikut memperkaya perkembangan khazanah literatur kebudayaan pop yang sedikit-banyak disemangati perkembangan analisis kritis tentang "industri kebudayaan" (cultural industry)[13] sebagai aspek paling radikal dari penjenuhan masyarakat kapitalisme kontemporer.

Kalau kita melirik ke literatur-literatur yang tumbuh di bawah payung kebudayaan massa/pop, ada beberapa penerbitan penting yang menandai tonggak kajian ini. Sebutlah misalnya Journal of Popular Culture yang diterbitkan Bowling Green State University Popular Press sejak 1967; Journal of Popular Film and Television oleh penerbit yang sama sejak 1972; 3 volume Handbook of American Popular Culture yang disunting oleh M.T. Inge, diterbitkan Greenwood Press, New York, 1989. Selain itu ada pula beberapa penerbitan penting lainnya yang sesekali menyorot pernik-pernik kebudayaan pop, misalnya serial Media, Culture and Society yang diterbitkan Sage Publication sejak 1979, Critical Studies in Mass Communication yang diterbitkan Speech Communication Association sejak 1984. Tentu saja masih banyak penerbitan tentang dunia sastra, drama, teater, musik, radio siaran, sinema, komik, gender, kekerasan, seks, dan pornografi, dan tidak jarang juga menyoroti kebudayaan pop.

Daftar di atas sengaja diketengahkan hanya untuk menunjukkan bahwa di kawasan yang lain kebudayaan pop telah melahirkan setumpuk literatur yang kaya. Sementara di tanah air, sejauh yang bisa dipantau, penerbitan dalam bidang yang satu ini memang belum menampakkan perkembangan yang cukup berarti [14]. Kembali ke soal kebudayaan pop. Biasanya perdebatan yang pertama muncul adalah menyangkut soal istilah (terma) dan dalam latar historis bagaimana ia (awalnya) lahir. Namun, dengan hanya berkutat pada masalah istilah saja bukan mustahil akan membuat upaya kajian yang lebih serius malah tidak pernah bisa terwujud. Karena kita hanya mengelus-elus kulit luarnya saja, tanpa pernah menyentuh isi terdalamnya. Dan itu tidak berarti membenarkan sikap apologi untuk menghindar dari pentingnya pembatasan istilah. Karena yang ditekankan di sini bukan membuat daftar istilah, tapi menyoroti bagaimana kebudayaan pop telah berkembang sebagai "kekuatan," kalau boleh disebut begitu, yang muncul dalam drama kebudayaan (Indonesia) dan membuat kita terlena untuk menjadikan gaya hidup sebagai kriterium budaya. Ke fokus inilah penelusuran literatur ini akan kita curahkan.

Bergerak dari perdebatan masalah "definisi" kebudayaan "populer)," lantas dihadapkan kepada berbagai subkultur lainnya, kemudian eksplosi pembentukannya dalam wajah yang paling garang hingga yang paling halus "penyamarannya," membuat kebudayaan pop telah menjadi lahan yang tak pernah kering dari perbincangan. Ini beralasan, mengingat studi tentang kebudayaan senantiasa melibatkan telaah tentang aktivitas dan interaksi manusia, di samping tentang produk budaya [15]. Maka karena menyentuh wilayah publik yang luas, otomatis perdebatan tentang kebudayaan pop pun tak mungkin dihindari. Adalah Allan O'Connor, salah seorang pengkaji budaya, saat menyoroti topik "popular culture," menjelaskan bahwa terma ini mengacu pada "proses budaya yang berlangsung di antara masyarakat umumnya (general public)" [16]. Barangkali ini bisa menjadi salah satu contoh definisi yang sederhana. Sayangnya, ini belum menolong menjawab bagaimana ia bisa menjangkau sejumlah besar penduduk dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Lalu, kalau budaya massa tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, sebelum ia menjadi bagian di dalam masyarakat, pasti ada kelompok atau bagian masyarakat (produser budaya) yang merancang atau memproduksinya. Bagaimana produk budaya itu sampai ke masyarakat, dan produk yang bagaimana pula yang "dibutuhkan" oleh sejumlah massa yang besar. Semua ini tidak mungkin ada tanpa melibatkan teknologi. Pertumbuhan teknologi adalah hasil peradaban manusia yang penting tidak hanya dalam menghasilkan produk budaya yang dibuat dalam jumlah besar (mass production), tapi berkat teknologi pula produk budaya bisa disebarkan (dissemination).

"Pemassalan" produk (massification of product) budaya adalah salah satu perkembangan penting dalam revolusi industri. Dengan proses tersebut barang-barang bisa diproduksi dalam jumlah besar (large-scale product) dan dengan biaya yang lebih rendah (minimization of cost) meskipun dengan mengorbankan kelas pekerja (ingat alienasi!). Barang-barang yang diproduksi dalam jumlah besar ini menuntut standarisasi (standardization). Dengan cara ini selera massal bisa dinetralkan sampai batas-batas yang memuaskan semua lapisan dalam masyarakat. Atas desakan standarisasi produk yang diperuntukkan bagi sejumlah besar massa itulah, muncul alasan kuat untuk menyeragamkan produk budaya. Dilihat dari kacamata ini, penyeragaman produk budaya adalah awal dari logika industri kebudayaan yang berkembang sebagai "proyek penyeragaman selera dan cita rasa" (homogenization of taste). Karenanya, pertumbuhan budaya massa atau yang dalam perkembangan masyarakat mutakhir sering disebut sebagai "budaya komoditas," sebenarnya beriringan dengan kritik terhadap kapitalisme. Hal ini termasuk juga di Barat yang telah terindustrialisasikan, yang di situ mencuat penolakan tapi sekaligus daya tarik dengan adanya diskriminasi cita rasa. Maka di sinilah alasan homogenisasi cita rasa menemukan justifikasi historis-kulturalnya. Paling tidak, dengan meningkatnya industrialisasi dan urbanisasi, monopoli aristokrasi atas budaya tradisional dihancurkan. la kemudian menjadi milik semua orang [17]. Dan inilah cikal bakal kebudayaan massa itu.

Tak heran kalau pertumbuhan awal kebudayaan massa pun berkaitan erat dengan pertumbuhan demokrasi politik dan pendidikan masyarakat yang dipandang telah menumbangkan monopoli kelas terhadap kebudayaan. Juga beralasan kalau untuk tingkat tertentu kebudayaan massa menjadi kelanjutan dari kebudayaan rakyat yang hingga zaman Revolusi Industri merupakan kebudayaan masyarakat luas. Dengan demikian kebudayaan massa pun telah menjadi kekuatan yang dinamis dan revolusioner dalam meruntuhkan batas-batas kelas, tradisi, cita rasa, dan ia pun telah melarutkan semua perbedaan budaya [18]. Dalam perkembangan lebih lanjut, indutrialisasi tidak hanya memungkinkan proses massifikasi, yang menuntut standarisasi produk budaya dan homogenisasi cita rasa, tapi juga ia telah membawa perkembangan baru dengan semakin terbentangnya peluang pasar. Inilah yang menandai komersialisasi atas produk budaya. Dengan komersialisasi, produk budaya (massa) berubah seirama dengan percepatan tuntutan komersial (baca: pasar). Maka, massa pun berubah menjadi tempat pemasaran produk budaya dan sasaran berondongan iklan. Kalau kenyataan inilah yang tak bisa ditolak, yang muncul dalam pertumbuhan masyarakat modern –yang terjadi pada hampir semua wilayah- adalah munculnya pasar, keunggulan korporasi raksasa, dan tersedianya teknologi baru dalam proses produksi budaya [19].

Untuk alasan komersialisasi inilah, tidak hanya produk budaya yang distandarisasi berdasarkan kategori-kategori instrumentalistik, bahkan selera dan cita rasa masyarakat pun dikemas dan dikonstruksi menurut logika pasar. Arus industri kebudayaan yang amat bertumpu pada pasar ini, dan atas nama segmentasi pasar, lantas ikut mengaburkan batas-batas perbedaan kelas, wilayah, profesi, dan berbagai kemajemukan yang ada di masyarakat. Masyarakat yang terbentuk dari hasil polesan industri inilah yang kemudian dikenal sebagai masyarakat massa (mass society)[20]. Masyarakat massa adalah suatu kategori masyarakat industrial. Sementara budaya massa mewakili korelasi budaya dari masyarakat massa dan media massa. Budaya massa dibedakan berdasarkan standar produksi massa dan pemasarannya[21] Tentu saja industri media massa memegang peran penting dalam drama ini. Tak heran, kalau media massa merupakan basis bagi apa yang disebut "industri kebudayaan" [22] Karena itu, dalam perkembangan iebih lanjut, keberhasilan industri kebudayaan amat bergantung pada media massa. Media massa telah tumbuh menjadi industri yang tidak hanya mernenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi, tapi mengikuti standar dan logika yang hidup dalam industri budaya kapitalisme. la tidak hanya memoles produk budaya, tapi dengan produk budaya itu lantas mengkonstruksi selera, cita rasa, dan bawah sadar khalayak. Dan, sebagai output media yang penting adalah kebudayaan pop [23].

Berkat media pula, produk budaya yang belum sampai ke khalayak, yang masih dalam "kemasan" (barang konsumsi yang baru dirancang, ingat iklan!) lantas hadir seketika. Maka dengan dukungan media massa, standarisasi produk budaya massa telah ikut rnendefinisikan keinginan dan selera massa (mass behaviour). Yang terjadi kemudian adalah "standarisasi produk" menjadi "homogenisasi cita rasa" untuk tujuan "komersialisasi" segenap produk budaya. Maka simaklah apa yang diungkapkan oleh salah seorang teoretisi awal tentang kebudayaan massa, Dwight MacDonald, dalam tulisannya bertajuk "The Theory of Mass Culture" "Massa yang telah dirusakkan moralnya selama beberapa generasi ..., pada gilirannya menuntut produk budaya yang sepele dan menggiurkan. Seperti pertanyaan mana yang lebih dulu ada, ayam atau telur, pertanyaan mana yang lebih dulu apakah permintaan massa atau pemuasannya (dan stimulasi lebih jauh) merupakan masalah akademis yang belum terjawab. Sementara mesin terus berputar dan tak menampakkan tanda-tanda untuk melemah" [24].

Bila demikian halnya, tak disangsikan bahwa masyarakat yang terus berubah akan tetap menghasilkan kebudayaan pop. Dan media senantiasa menyerap kebudayaan pop demi kepentingan isi dan bentuknya. Budaya tersebut tercermin dalam media dan terkadang malah ditampilkan dalam bentuk yang telah disesuaikan oleh masyarakat sendiri. Ciri utama kebudayaan ini ialah orisinalitas yang spontan, eksistensinya yang berlangsung terus dalam kehidupan sosial dengan perniknya yang beraneka--dalam wujud bahasa, busana, musik, tata cara, dan sebaqainya" [25]. Bersamaan dengan perkembangan media massa, konsep tentang kebudayaan massa pun berkembang. Konsep ini rnenjangkau hingga seluruh tingkatan aktivitas dan artefak populer seperti hiburan, tontonan, musik, buku, film, yang kandungannya diidentifikasikan sesuai dengan isi yang tipikal media rnassa dan teristimewa dengan materi hiburan, fiksi, dan drama yang disajikannya [26].

Namun, di antara sekian banyak produk budaya yang ada, secara konvensional, objek-objek yang termasuk kebudayaan pop mencakup materi-materi tertulis atau visual, objek-objek yang bisa dibaca (readable) yang memungkinkan munculnya tradisi-tradisi interpretasi dan kritisisme [27]. Dalam tahun-tahun kemudian, tingkatan yang dipandang "readable" ini pun terus berkembang. Sehingga ia meliputi hal-hal seperti penataan ruangan, barang-barang rumah tangga, iklan, makanan dan minuman, pakaian, dan bahkan hingga style kebudayaan kaum muda, semuanya merupakan bagian dari sistem kebudayaan "readable" itu. Tak heran kalau kemudian interpretasi terhadap kebudayaan pop pun kian berkembang. Bidang-bidang seperti antropologi, sosiolinguistik, psikoanalisis, semiotika, atau semiologi pun ikut memberi kontribusi yang amat berarti.

Lantas, dengan menyimak perkembangan kebudayaan pop inilah salah seorang kritisi budaya, Michael Schudson, lewat tulisannya "The New Validation of Popular Culture: Sense and Sentimentality in Academia" mencoba memetakan studi tentang kebudayaan pop sebagai berikut. Pertama, studi tentang produksi objek-objek budaya; Kedua, studi tentang kandungan objek-objek itu sendiri, dan; Ketiga, studi tentang objek-objek dan makna-makna yang dikaitkan dengan objek tersebut lewat subpopulasi atau populasi secara umum. Dalam ketiga dimensi-"studi tentang produksi budaya," "studi tentang teks," "studi tentang khalayak” –tampak bahwa perkembangan intelektual generasi sebelumnya telah menyuguhkan suatu validasi baru bagi studi tentang kebudayaan pop [28].

Secara demikian, kebudayaan pop pun bisa dimengerti secara luas sebagai kepercayaan-kepercayaan, praktik-praktik, dan objek-objek melalui mana ia diorganisasikan, dan yang tersebar luas di antara populasi [29]. Ia bahkan termasuk pula kepercayaan, praktik, dan objek-objek "folk" atau "popular" yang berasal dari pusat-pusat ekonomi dan politik. Sampai kini, para sarjana cenderung memuji-muji kebudayaan rakyat (folk) karena otentisitasnya dan mengutuk kebudayaan massa karena muatan komersial, maksud ideologis dan kehampaan estetiknya [30]. Kebudayaan pop lantas dianggap sebagai sarana dominasi baru. la menjadi pusat pergulatan budaya global yang dikritik sebagai ajang "imperialisrne kultural" karena negara maju dianggap menciptakan "imperialisme media" untuk mengakutkan "imperialisme kesadaran" dengan cara mengincar otak dan gaya hidup yang berpusat jauh di luar wilayah kesadaran kultural masyarakat Dunia Ketiga. Mungkin kini orang menyebutnya sebagai Amerikanisasi Gaya Hidup [31].

Kritikan terhadap kebudayaan pop pun sebenarnya jauh-jauh hari telah rnuncul. Adalah John Stuart Mill, misalnya, lewat esainya yang banyak dikutip para kritisi budaya di Inggris, On Liberty yang mengajukan kritik cukup pedas terhadap kebudayaan massa [32]. Lewat analisisnya yang telah menjadi klasik itu, ia mengingatkan keprihatinan akan tergusurnya posisi individu oleh tirani mayoritas yang mewujud antara lain dalam bentuk dominasi industri dan penyebaran kebudayaan massa. Teknologi pada gilirannya dinggap bertanggung jawab bagi pembentukan masyarakat yang secara moral dan intelektual seragam. Tak heran kalau dalam The Politics of Popular Culture, CWE Bigsby menyebut kebudayaan pop sebagai "the child of technology" yang sekaligus menjadi "symbol of new brutalism" [33]. Bahkan lebih jauh lagi, ide tentang kebudayaan pop di era modern dilihat hampir tak bisa dipisahkan dari ide dan praktik dari rasionalitas instrumental [34]. Pada titik ini, kajian kebudayaan pop memasuki wilayah analisis teori kritis [35]. Analisis kritis mencari arti tersembunyi yang seringkali tidak bisa diobservasi secara langsung di balik beroperasinya industri kebudayaan yang membentuk manusia secara tersamar. Industri budaya dilihat dalam implikasi terdalamnya sebagai bentuk "industrialisasi pikiran" [36] atau wahana "kolonisasi kesadaran" [37] di mana "kekuasaan teknologi" telah menjelma menjadi "teknologi(sasi) kekuasaan" [38]. Tak heran kalau Ross Snyder dalam tulisannya bertajuk "Architecs of Contemporary Man's Consciousness," berkomentar, "New modes of communication reshape the humand mind. New qualities and powers of consciousness emerge with electronic communication" [39].

Kenyataan ini menemukan bentuknya di saat adat dan moralitas serta relasi antar-individu terus-menerus dalam proses pembentukan yang tanpa henti. Dan, sebagai hasil dari dinamika perkembangan teknologi itulah cikal-bakal kebudayaan pop menemukan lahan persemaiannya yang subur. Saat individu kehilangan rasa pertalian dengan dirinya di dalam masyarakat yang tengah terus diarahkan ke dalam lautan makna-makna baru, saat itu pula berbagai kecemasan pun mencuat. Mereka membutuhkan landasan dan kepercayaan baru. Mungkin sekadar tempat singgah, lalu terlelap sebentar dan melupakan kesibukan (kalau memang ada yang disibukkan), atau malah terkapar dalam mimpi yang boleh jadi telah dikomodifikasikan. Lalu apalagi kalau bukan industri kebudayaan pop yang menyediakannya(?).

Masyarakat Komoditas Indonesia: Komodifikasi Gaya Hidup?

Dalam artikelnya, "A Social Critique of Radio Music" (1945), Theodor W. Adorno, salah seorang tokoh Mazhab Frankfurt, mengajukan beberapa aksiorna yang penting menandai lahirnya apa yang disebutnya "masyarakat komoditas" (commodity society) yang di dalamnya kebudayaan pop menampakkan perkembangan luar biasa. Kalau hal ini kita kaitkan dengan fenomena "masyarakat komoditas" Indonesia, barangkali dengan dukungan industri kebudayaan untuk publik massa baru yang ditandai menjamurnya penerbitan majalah populer, televisi swasta, perumahan mewah, kawasan wisata, pusat hiburan, dan perbelanjaan modern seperti mall atau berbagai macam industri hiburan lainnya, maka aksioma yang diajukan Adorno berikut bermanfaat untuk kita sirnak [40]. Pertama, kita hidup dalam suatu masyarakat komoditas, yakni masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tapi demi profit atau keuntungan. Dalam pandangan Adorno, di dalam masyarakat komoditas, kebutuhan manusia terpuaskan hanya secara insidental. Kondisi produksi yang mendasar ini lantas mempengaruhi tidak hanya bentuk dari suatu produk, tapi juga hubungan antarmanusia.

Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang luar biasa yang memungkinkan terselubungnya operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan itu, menurut Adorno, akan benar-benar terjadi teristimewa terhadap industri komunikasi. Ketiga, hal yang lebih sulit dihadapi masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus-menerus, sebagai kecenderungan umum dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi dari relasi kekuasaan dan kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka semai sendiri. Keempat, karena dalam masyarakat kita kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama, hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang ada, hal ini membuat masyarakat komoditas--menggunakan istilah Adorno - "sarat dengan antagonisme" (full of antagonisms). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada "wilayah ekonomi" (economic sphere) seperti yang sudah umum diakui, tapi juga mendominasi hingga ke "wilayah budaya" (cultural sphere) yang masih sulit diterima orang kebanyakan [41].

Padahal, terhadap antagonisme yang mungkin mencuat di "wilayah budaya" inilah pandangan mesti kita hadapkan: bahwa saat ini atau bahkan kecenderungan ini mungkin akan terus bertahan hingga pergantian abad nanti, dalam masyarakat komoditas Indonesia era Orde Baru tengah tumbuh dengan subur pernik-pernik industri kebudayaan pop yang menampakkan wajah yang mungkin belum pernah terbayangkan sebelumnya. Tentu saja, kerja ini bermula dari niat untuk mengangkat ke permukaan "antagonisme di wilayah budaya" ini. Paling tidak dengan cara ini kita bisa menyaksikan bahwa dalam masyarakat komoditas Indonesia kini tengah dipentaskan semacam "semangat yang tak kena lelah" untuk menghidupkan "budaya tontonan" yang sedikit banyak ikut dipoles oleh "budaya lisan" yang masih mendominasi lemahnya "budaya baca" dan "budaya tulis." Lantas, apalagi hal yang paling telanjang dari yang Telanjang, yang paling real dari yang Real, dan yang paling absurd dari yang Absurd, kalau bukan gaya hid up yang tengah dipertontonkan oleh berbagai kekuatan dan subkultur dalam masyarakat.

Kenyataan absurditas kultural seperti inilah yang telah diangkat oleh pemikir pasca-modernisme Prancis seperti Jean Baudrillard lewat karyanya The Ecstasy of Communication. Penampakan gaya yang lahir dari kegilaan manusia mengkonsumsi tidak hanya barang yang "Real," tapi juga yang "Tidak Real" ini jalin-menjalin dalam irama komodifikasi produksi kesan dan citra yang bertumpuk-tumpuk dalam sebuah Simulacrum –kalau kita meminjam istilah Baudrillard kembali [42]. Ketika itu citra (image) telah mengalahkan kenyataan (reality). Padahal, kenyataan, demikian Milan Kundera, lebih perkasa ketimbang ideoiogi sekalipun. Tapi, lebih dari yang pernah dibayangkan, citra justru telah menaklukkan kenyataan, bahkan sekaligus menggeser "ideologi" itu sendiri. Kekuatan citra inilah yang menandai apa yang disebut Milan Kundera sebagai kernenanqan "imagology" [43]. Dalam era ini, produsen budaya citra adalah produsen "ideoloqi" dan sekaligus pendefinisi kenyataan. Dengan kemenangan imagologi, biro iklan, manajer kampanye, ahli desain, perancang mode, perekayasa peralatan gimnastik, penata rambut, bintang showbiz telah ikut mendiktekan "ideal-ideal kecantikan," "norma-norma keindahan tubuh" lewat televisi, film, iklan, dan juga dalam dunia olahraga. Kategori-kategori tubuh, body, fisikal, atau logika instrumentalistik kini rupanya mulai mendefinisikan arti kebahagiaan individu dalam masyarakat komoditas. "Ideologi tubuh" sebagai pusat kesadaran adalah sisi lain dari kemenangan "imagologi." Ideologi ini didukung media, di samping iklan. Karena media butuh yang "serba lebih" (ingat, "more than"-nya Baudrillard!). Tak heran, dipacu oleh program gaya hidup yang dikemas dalam paket-paket komersial, jadilah urusan kecantikan tak sekadar memantas-mantas diri di depan cermin, tapi sudah menjadi gaya hidup secara menyeluruh. Dan media-media populer benar-benar memanfaatkannya. Tak heran, menurut Akbar S. Ahmed, media membentuk kriteria "cantik"-nya wanita zaman sekarang bila mereka memiliki penampilan wajah yang anggun namun atraktif, tubuhnya sintal, bibirnya sensual, langsing, dan memiliki daya pikat seksual." Inilah yang disebut anak muda sekarang "cewek keren" untuk menandingi "pria ideal" yang mereka bilang "cowok macho" [45].

Dalam masyarakat komoditas, kecantikan dan ketampanan adalah komoditas yang berharga. Karena ia didukung budaya citra yang mengutamakan penampilan. Tak heran kalau sekolah-sekolah mode menggunakan iklan: "Sekolah melatih penampilan kepribadian." Fitness-fitness juga menggunakan cara ini. Rupanya belum pernah terbayangkan modernitas telah memaksakan ideologi tubuh sebagai pusat kesadaran. Karena itulah dalam masyarakat komoditas kita, ibu-ibu muda dan remaja-remaja kota menemukan jalan untuk membunuh waktu, tidak hanya dengan menghibur diri atau bertelepon ria sepanjang hari seperti selama ini telah disediakan radio dan televisi, tapi muncul pula kesibukan baru untuk mengikuti program-program fitness atau aerobik, atau bahkan yoga dan latihan pernafasan yang mulai menjadi gaya hidup kekotaan. Namun, dalam mendukung gaya hidup baru itu orang butuh figur. Karena itu, para bintang yang disebut Akbar S. Ahmed sebagai "filsuf pop budaya pascamodern" seperti Michael Jackson atau Madonna, "disembah" di mana-mana. Madonna adalah contoh ketika komodifikasi tubuh menemukan ruang pemadatannya. la menjadi figur fantasi yang memutarbalikkan relasi tanda-tanda mengenai seksualitas, kekuasaan, dan ambiguitas gender. Dalam tulisan dengan judul "yang agak aneh." "Metatextual Girl: --> Patriarchy --> Postmodernism --> Power --> Money --> Madonna," David Tetzlaff, mengatakan, "As massive as mass culture gets, Madonna"s fame has proliferated her signs throughout society" [46]. Ia membius dan menggoda pengagumnya tidak hanya dengan suara dan wajahnya. Tapi, Madonna dengan kepiawaian menggunakan media telah berhasil menjadikan dirinya sebagai "icon pop" [47] "icon of glamour" [48] yang menurut Tetzlaff, "As superstar, as icon of adulation, as repository of power-she is commodity" [49]. Ia benar sadar diri dalam memaksimalkan semua potensi yang dimiliknya: tubuh, suara, kecantikan, dan kecerdasan.

Ketika melihat fenomena "berkuasa"-nya "icon pop" seperti Madonna, yang daya tarik "tubuh"-nya telah menggairahkan apa yang disebut Baudrillard sebagai "the depths desire" [50] manusia-maka tampak bahwa "masyarakat komoditas" atau "masyarakat konsumer" (consumer society) telah menjadi tonggak penting dalam memasuki drama masyarakat yang lebih pelik dan angkuh, yakni "masyarakat konsumer pascamodern." Dan, Madonna adalah salah satu contoh figur yang berhasil menjadikan dirinya sebagai "produser budaya" masyarakat konsumer pascamodern yang terus mempesona imaji "masyarakat di bawah pusar" hingga ke kawasan paling jauh di negara-negara berkembang lewat MTV dan video-videonya yang kontroversial. Kembali kepada gagasan Baudrillard, kita bisa melihat keradikalan analisisnya. Karena ia tidak hanya melakukan kritik terhadap analisis implikasi pemujaan komoditas yang biasanya diagungkan oleh pengagum Marx. Tapi ia juga keluar dari logika "nilai guna" Marx. Dalam tatapan yang lebih mutakhir, Baudrillard menunjukkan bahwa "alasan status" sebagai logika konsumen, ternyata lebih merupakan hal yang masuk akal ketimbang "alasan fungsional" yang sekian lama dipuja oleh para penganut teori ekonomi Marxis.

Lantas, bagaimana pergeseran logika konsumen dari "alasan fungsional" ke "alasan status" ini bisa kita jelaskan? Pertanyaan ini membawa kita ke dalam perdebatan ideologi yang mengkonstruksi logika nafsu konsumtif masyarakat. Inilah yang menjadi lahan perbincangan ideologi pascamodernisme. Menurut pemikiran Marxisme, beroperasinya ideologi dalam masyarakat kapitalisme didasarkan pada relasi kelas-kelas dalam masyarakat, yaitu antara kelas penguasa atau "konseptor" (superstructure) dan kelas pekerja atau "pelaksana" (base). Menurut analisis ini, kelas pertama senantiasa mendorninasi kelas kedua rnelalui legitimasi kekuasaan. Namun, dalam masyarakat komoditas pascamodern, justru terjadi pembalikan logika tersebut. Dalam masyarakat ini, berlangsung perubahan yang radikal dari pola beroperasinya kekuasaan (power). Apa yang terjadi justru pembalikan analisis kelas Marxian. Distribusi "kekuasaan" berbalik-atas-bawah ke bawah-atas-i-dari tangan penguasa sentral ke tangan para pelaksana, yang membentuk fragmentasi kekuasaan. Dalam masyarakat komoditas kontemporer, kekuasaan berkembang dari berbagai kelompok sosial di tingkat peripheral (produser, perusahaan multinasional, industri informasi, industri hiburan, dan lain-lain yang bisa dikategorikan sebagai agen atau produser kebudayaan) [51].

Tak heran kalau produksi makna dan nilai-nilai juga dikuasai dan dikondisikan oleh agen-agen tersebut, yang legitimasi kekuasaannya dimotori oleh sistem komunikasi massa, khususnya iklan. Dalam hal ini kritik terhadap "nilai guna" Marx semakin aktual dan menemukan bentuknya ketika semua agen kebudayaan yang sekalipun jauh dari sentrum kekuasaan (apalagi yang dekat) justru dalam masyarakat komoditas menjadikan "komoditas" sebagai bentuk representasi kekuasaan dengan media massa sebagai motornya. Dalam watak masyarakat komoditas yang cenderung fragmentaris ini, media biasanya rnemainkan politik sensasi. Dengan cara ini media rnempermainkan "komoditas estetika" menjadi "estetisasi komoditas." Seperti halnya komodifikasi berita tentang kekerasan telah berubah menjadi "kekerasan komoditas" itu sendiri. Dalam keadaan demikian lengkaplah drama masyarakat komoditas; pada saat "wilayah politik" tak pernah tersentuh dari kritik, aliran sungai kreativitas kultural pun tengah lesu darah. Maka kebudayaan massa pada gilirannya hanya menjadi lahan subur bagi pembiakan kemacetan dan apatisme, semacam budi daya kebodohan [52] dan iklan hanya menjadi cermin polusi gaya hidup. Iklan yang menurut Roland Barthes rnembangun diskursusnya lewat "retorika citra" (rhetoric of the image) akhirnya hanya melahirkan "mitologi masyarakat modern" di mana mimpi-mimpi masyarakat disalurkan [53].

Itulah barangkali cermin "antagonisme kultural" yang paling naif. Dalam masyarakat komoditas ataupun dalam pengertian masyarakat konsumer pascamodern –agen-agen industri kebudayaan secara bersama-sama membangun kekuasaan. Tidak dengan intimidasi dan teror yang kasar dan telanjang, tapi bagaimana membuat orang merasa "mati" kalau tidak tampil trendy, kaya, cantik, awet muda, dan serba wah. Mereka tidak "mati rasa" dalam tangisan karena membayangkan kemiskinan yang diderita oleh saudara sebangsanya yang sekian persen itu. Tapi mereka "mati rasa" sambil tertawa membayangkan bagaimana menjadi kaya atau minimal menjadi bagian kelas menengah yang baik yang tidak pernah dicap subversif. Biarlah sesekali digosipkan. Karena dengan gosip mereka menjadi pahlawan media [54]. Inikah mosaik nilai-nilai yang tengah tercabik dalam drama ecstasy gaya hidup ? Memalingkan pandangan ke wajah industri hiburan, film, sinetron, teledrama, iklan, atau acara-acara yang digelar anak muda atau mereka yang berselera muda di tanah air, barangkali kesan yang muncul hanyalah: "Bagaimana cara mereka menikmati hidup?" Gelombang pasang kebudayaan pop lewat film-film Hollywood, India, Mandarin, Hongkong, telenovela Amerika Latin, atau sinetron dalam negeri sendiri barangkali bisa dirangkum dalam ungkapan bernada polos tapi parodis dari Rano Karno: "Saya hanya menjual mimpi" [55].

Sekarang menjual mimpi menjadi proyek raksasa dalam candra-dimuka kebudayaan pop. Adalah ideologi masyarakat komoditas –dengan mengkomodifikasikan seluruh kehidupan dan ranah kebudayaan (produk, tontonan, informasi, olahraga, pendidikan, [kalau perlu] moralitas, cinta, dan harga diri)- yang menghasilkan makna-makna yang berasal dari kebudayaan daur ulang (recycling), memoles dunia permukaan imanen, mencipta konsumer schizoprenik, dan mementaskan parodi dalam satu permainan rumit estetika realitas semu yang menjerat masyarakat bukan dengan membatasi informasi, tapi menjejalinya dengan sebanyak-banyaknya informasi yang tanpa henti, tanpa rasa iba dan belas kasih [56]. Sebegitu "berkuasa-nya dunia materi, seakan-akan mengaktualkan kembali sebuah pepatah kuno: "Dalam perkara uang semua orang mempunyai "agama" yang sama." Uang telah menempati bagian penting dalam drama yang dimainkan di balik ideologi pertumbuhan. Bahkan untuk seorang modernis seperti G. Simmel lewat karyanya The Philosophy of Money (1978) tampaknya tidak begitu menekankan telaahnya mengenai uang sebagai suatu bentuk ekonomi semata. Lebih dari itu, sebagai "an examination of the increasingly abstract nature of human relation, for which money provides a symbol and an instrument" [57]. Simmel, yang begitu dipengaruhi gagasan Phenomenology of Spirit-nya Hegel, melihat alienasi dan "tragedi" kebudayaan bertalian dengan sifat budaya material (materialculture) [58].

Gejala ini pula yang menampakkan sisi lain dari gaya hid up seseorang yang sedikit-banyak ditentukan oleh tingkat penghasilannya. Simaklah bagaimana qaya hidup kelas menengah Jakarta. Mereka berpenghasilan tinggi. Suka jalan-jalan ke luar negeri. Memiliki barang-barang mewah, bagi mereka lebih menunjukkan kecenderungan budaya konsumtif [59]. Untuk kecenderungan gaya hidup di tanah air; khususnya Jakarta, bahkan sudah sejak beberapa tahun silam dicermati oleh Ignas Kleden, ketika berujar: " ... suatu gaya hidup telah dikembangkan oleh kelompok orang kaya baru yang tengah asyik-asyiknya menikmati pengalaman pertama dalam hal comfort dan karena dengan adanya periklanan serta pelbagai macam kegiatan promosi, gaya hidup semacam itu tengah ditiru oleh banyak orang yang ingin memperoleh status tertentu dalam modernitas seperti yang diajarkan oleh filsafat modernisasi" [60].

Politik dan Kebudayaan Pop: Kekuasaan Seksualitas, Seksualitas Kekuasaan?

Salah satu perkembangan kebudayaan pop yang luar biasa ialah ketika seksualitas menjadi "kekuasaan." Dan kekuasaan sedikit banyak bertumpu pada isu-isu seksualitas. Kekuasaan tampil dalam wajahnya yang telanjang, erotis, dan binal sebagaimana kebinalan tanda-tanda seksualitas dalam kebudayaan pop. Tak heran, ketika mengaitkan seks dan kekuasaan berdasarkan perilaku masyarakat Amerika yang telah tersekularkan, Michael Hutchison, di dalam bukunya, The Anatomy of Sex and Power, mengatakan, "They relish the sexuality of power, but are disturbed by the power of sexuality"[61]. Dengan menyimak analisis seksualitas dari Michel Foucault, "seksualitas kekuasaan" yang dimaksudkan Hutchison menjadi lebih jelas. Dalam The History of Sexuality, Foucault memperlihatkan bahwa perluasan wacana tentang seks sebenarnya menjadi sebuah strategi untuk menjalankan kuasa dalam masyarakat. Karena dalam pergelaran wacana di seputar praktik-praktik seksualitas yang terselubung ataupun yang terang-terangan, perlahan definisi tentang eksistensi dibangun, yang mengarahkan pada kontrol terhadap berbagai aktivitas manusia oleh pemegang pengetahuan dan kekuasaan [62]. Barangkali, bisa dipahami kalau di balik gemerlap gairah seksualitas film Indonesia kini, atau komersialisasi rubrik konsultasi seks yang vulgar [63] ataupun di balik permukaan tarian erotis di bawah kelap-kelip lampu diskotek, pub, hiburan malam, serta di bawah permukaan bius sosial lewat goyang dangdut [64] di bawahnya sebenamya tersimpan "seksualitas yang tertindas." Ekspresi seksualitas yang di dalamnya menyimpan keresahan sosial.

"Popular culture, especially, is organized around the contradiction: the popular forces versus the power-bloc", demikian peringatan Stuart Hall [65]. Kalau memang benar kebudayaan pop hidup dalam kontradiksi, masuk akal, bila kemudian ia tak hanya mengkomodifikasikan kekuasaan seksualitas melalui bacaan, film, video porno, atau pesan-pesan erotis yang diperuntukkan bagi massa yang haus saja. Tapi, dengan kekuasaan seksualitas itu, dikonstruksi dan direkonstruksi tanpa henti seksualitas kekuasaan. Dan tentu saja kebudayaan massa ikut andil dalam "proyek" ini. Karena ia menciptakan kesenangan seketika dan memegang peranan penting dalam pengalihan perhatian. Ia juga berarti "proyek lupa" dalam pengertian Milan Kundera. Karena itu, dalam sejarah pertumbuhan bangsa modern di mana pun rezim yang korup bisa terus bertahan hanya dengan cara sederhana dan telanjang: membuka "kran seks sebebas-bebasnya." Biarlah masyarakat terbang ke alam mimpi.

Membawa masyarakat ke alam mimpi bisa juga dengan cara lain. Misalnya, dengan membuat mereka terpesona dengan kemilau pentas kehidupan politik yang penuh upacara dan dihiasi rona retorika. Seperti sindiran Rendra, "Para penguasa politik bicara tanpa rujukan yang objektif, dan rakyat bicara dalam bahasa plesetan. Dan di TV bertubi-tubi ditayangkan serial komedi atau melodrama dengan dialog-dialog yang cengeng dan bodoh. Yah, standar akal sehat kolektif dari bangsa menurun karena Hukum Akal Sehat telah dilecehkan dan tidak dihormati" [66]. Tak heran kalau karena "tumor" yang menjadi "rumor" akan menghasilkan "humor politik" sebagai anak haramnya. Plesetan, lelucon, anekdot, dagelan yang konyol bisa dikomodifikasikan oleh suatu subkultur, tapi sekaligus sebagai bentuk resistensi dari subkultur tandingan. Dalam hal ini, antara simbolisme resmi dan lelucon tampaknya saling terkait. Kalau kita melihat merebaknya lelucon mengenai simbol-simbol resmi yang ada (yang hidup di hotel-hotel mewah atau di warteg), ini terutama berkembang subur dalam masyarakat-masyarakat yang tertekan. Apakah dengan cara ini tersalurkan ketidaksenangan terhadap para pejabat atau kebijaksanaan resmi, seperti dikatakan oleh seorang pengamat [67].

Dalam kajian komunikasi politik setidaknya kita bisa memantau bahwa kebudayaan pop memang tak pernah luput dari intervensi dari berbagai kepentingan politik yang beroperasi dengan logikanya sendiri. Tak heran, ketika membahas "Political Celebrity in Popular Magazines," Dan Nimmo dan James E. Combs, berkomentar, "They seeks access to celebrity-oriented media-talk shows, gossip magazines, Sunday newspaper suplements, and other forums-as much as do movie stars or rock singers " [68]. Sebagai "figure-fantasi" hasil konstruksi media mereka mementaskan "teater berita." Di dalam teater itu dipergelarkan tidak hanya ecstasy gaya hidup selebritis, tetapi juga ecstasy bahasa politik yang "teks"-nya telah dipilih dan dipoles untuk memenuhi diskursus media dengan standar logika industri kebudayaan pop itu juga. Lantas setiap komentar dari seorang politisi dianggap sebagai misteri yang menyimbolkan adanya dinamik dalam kehidupan politik. Padahal, menurut Nimmo dan Combs, "As symbolic leaders they represent not only politic per se, but also values, lifestyle, and glamour" [69].

Hal ini pula yang disebut Foucault sebagai "ironi heronisasi" (irony of heronization) [70]. Di bawah ironi heronisasi kekinian manusia modern terus-menerus mencoba menemukan dirinya. Semua orang ingin menjadi "icon pop," sebagai sentrum pemberitaan media. Orang ingin menjadi "politisi yang artis" atau "artis yang politisi." Bukankah kini, tampak bahwa di pentas kehidupan politik, logika kebudayaan pop kian merembes. Berkat jasa industri kebudayaan pop, tak berlebihan kalau dikatakan bahwa politik pun telah menjadi gaya hidup. Dengan logika "politik sebagai gaya hidup" kita tak hanya melihat pergeseran gaya hidup politisi. Tapi, diam-diam, dengan dukungan media, para politisi pun bisa ikut mengontrol citra selebritis mereka melalui penampilan diri, tidak hanya untuk mendiktekan pilihan-pilihan moral dan nilai dalam masyarakat, tapi juga bagaimana bisa tampil memukau di depan umum sambil sesekali mengecam gaya hidup mewah sementara mereka menjadi bagian masyarakat yang menikmatinya. Barangkali, kalau logika "politik sebagai gaya hidup" bisa jadi acuan tak begitu sulit menjelaskan mengapa para artis berbodong-bondong berpolitik ria.

Sementara logika "gaya hidup politik" bisa menerangkan mengapa para pengusaha dan pejabat berdangdut ria atau berpuisi ria. Karena di wilayah inilah persinggungan kebudayaan pop dengan politik dalam artian yang paling telanjang menemukan bentuknya yang tak tepermanai di tengah dunia kita. Komodifikasi gaya hidup menjadi tuntaslah sudah tidak hanya di dalam Mall, di mana "mimpi-mimpi" kekayaan dikonstruksi oleh pasar, tapi juga di dalam ruang batin kita, di mana kekuasaan perlahan disemai, dengan diam-diam, samar-samar, hingga akhirnya kita terlelap pulas dalam alam ecstasy akan gaya. Agaknya, gaya hidup kekinian semakin menuntut ekonomi biaya tinggi. Orang tidak peduli apakah hidup hanya sekali, yang penting bagamaimana bisa tampil modis dan trendy. Berita-berita kampus, tidak marak dengan pemuda-pemuda yang produktif dengan gagasan-gagasan keilmuan yang cerdas, tapi simaklah media pop kita malah mengkomodifikasikan bagaimana pelecehan, seks bebas, dan pelacuran mahasiswa yang katanya sudah semakin memprihatinkan. Apakah era "Buku, Pesta dan Cinta" di lingkungan kampus, kini tengah diganti oleh "Pesta Pesta dan Pesta" (Ah, tentu saja tidak!). Kalau ada para mahasiswa yang suntuk di diskotek, tentu akan ada saja mahasiswa yang produktif, yang mungkin bermandi lumpur bersama rakyat, yang masih merenda sisa-sisa cinta dan optimisme [71]. Dengan bahasa yang paradis Ariel menyimpulkan, "Yang kini melumpuhkan aktivisme bukan semprotan gas air mata Brimob, tapi semprotan parfum Paris [72].

Maka, marilah kita melangkah ke tempat lain, yang lebih agung dan lebih sakral yakni religiusitas. Bidang ini pun ternyata tak pernah luput dari intervensi logika kebudayaan pop. Ada rasa bangga dan haru tapi sekaligus cemas, melihat tempat-tempat ibadah dipenuhi kaum berparfum wangi dan bermobil mengkilap. Sementara para bintang mode terus memperagakan rancangan terbaru untuk busana Muslimah. Barangkali ini fenomena religiusisasi tempat sekular ataukah semacam komodifikasi religiusitas yang elementer. Dakwah pun mulai memasuki wilayah budaya pop. Ada yang menyebutnya "Pengajian Pop" [73] oleh "Mubalig Pop" yang dilukiskan Jalaluddin Rakhmat, "Di wajahnya tidak ada lagi aura sakral; yang ada adalah sinar yang berasal dari lampu sorot kamera. Bahkan sebelum ia tampil, petugas tata rias sudah memoles mukanya. Pada dahinya yang kelihatan bukan bekas sujud, tetapi bekas polesan bedak" [74].

Tentang Buku Ini

Setelah mengangkat beberapa pemikiran yang menyoroti aspek-aspek yang berkaitan dengan perturnbuhan kebudayaan pop dalam masyarakat kornoditas dan implikasinya terhadap gaya hidup, lalu muncul pertanyaan. "Mengapa Ecstasy Gaya Hidup?" Diskursus ini ditarik ke rneja perbincanqan tidak hanya karena godaan "demam" drama ecstasy alias "pil setan" yang kian marak, seperti saat bunga rampai ini dirampungkan.

Tapi, lebih dari itu, ia bertolak dari niat dan keprihatinan untuk menunjukkan bahwa alarn ecstasy juga senantiasa rnembayang dalam wilayah di tingkat kultural dan kesadaran. Masyarakat komoditas dipandang sebagai lahan tempat disemainya ecstasy akan gaya. Dan, industri kebudayaan pop memupuk dan merembeskannya. Dengan menarik semua tuiisan ke dalam payung "gaya hidup" apalagi dengan tambahan "ecstasy", persoalan lain yang rnuncul adalah pertanggung-jawaban atas pembabakan buku ini di hadapan publik.

Namun, dengan segala kemampuan pembacaan yang ada, akhirnya bagian-bagian buku ini diklasifikasikan berdasarkan diskursus yang sudah umum dikenal dalam literatur mengenai kebudayaan masse/pop. Maka, sebagai ujung dari pembacaan terhadap semua tulisan yang terhimpun, dengan "kedalaman" pembahasan yang sangat beragam-sesuai dengan sumber tulisan ini-dibuatlah sistematika sebagai berikut.

Bagian Pertama, menampilkan sejumlah tulisan pendahuluan yang mengantarkan ke persoalan umum budaya massa atau budaya pop dalam konteks kebudayaan Indonesia. Tulisan-tulisan yang terhimpun di bawah payung ini dengan fokus pernbahasan masing-masing melacak akar sosial, kultural, dan struktural yang menjadi basis rnekarnya kebudayaan pop serta tilikan bernuansa konseptual terhadap pernik-pernik pertumbuhan produk industri budaya massa.

Diawali catatan kecil dari Sapardi Djoko Damono, tampak bahwa setiap kali kita berbicara mengenai penyusupan atau pengaruh asing, yang dimaksudkan adalah implikasi kebudayaan massa dalam konteks kebudayaan Indonesia. Dari sudut tilikan yang hampir senada, Kuntowijoyo mempertajamnya dengan mengangkat persoalan budaya elite dan budaya massa serta bagaimana mengatasi massifikasi budaya. Kuntowijoyo lantas mempertanyakan apakah lapisan bawah yang kena elitisasi budaya, atau sebaliknya, lapisan atas yang kena rnassifikasi?

Sementara pembahasan ketiga datang dari Ashadi Siregar yang secara konseptual menyoroti beberapa aspek budaya rnassa, yakni tentang produk budaya dan hiburan massa Menurut Ashadi, budaya massa tidak bisa lepas dari pola hiburan masyarakat. Diilhami kajian atas budaya massa yang merambah pada metode pendekatan budaya atas komunikasi, Ashadi mengupas faktor sosiat, kultural, individual, dan bahkan struktural yang mewarnai pemanfaatan media rekreasi dalam masyarakat.

Masih dalam jalur perspektif pendahuluan terhadap budaya massa, Umar Kayam menganalisis setting sosial budaya yang melatari kehudayaan massa Indonesia. Sebagai ilustrasi, ia rnengupas keadaan film, seni pertunjukan, musik, dan sastra populer yang hidup di kota-kota Indonesia la juga meninjau kondisi masyarakat massa yang menopang kebudayaan Indonesia. Menggarisbawahi kondisi cair masyarakat dan kebudayaan rnassa Indonesia yang lahir dari kondisi kebudayaan yang dinamis, Umar Kayam sampai pada kesimpulan bahwa ikatanikatan tradisional, untuk tingkat tertentu dan sementara waktu akan tetap mendiktekan ukuran komersialisme dalam kebudayaan massa di tanah air. Bagian ini ditutup dengan analisis Clifford Geertz yang berusaha menyelami pernik-pernik kesenian po puler dalam konteks kultural masyarakat Jawa. Geertz mengangkat sebagai contohnya adalah sejumlah seni pertunjukan kolektif yang disaksikan di sebuah kota kecamatan, Jawa Timur, yakni Pare, setelah ia kembali ke kota ini pada 1986, 35 tahun sejak pertama kali ia bekerja di sana Geertz melihat apa yang bergelora di balik ekspresi estetik yang diproduksi masyarakat lokallewat seni pertunjukan. Menurutnya, pengkajian secara sosiologis terhadap peristiwa tersebut berguna untuk memantau adanya pembedaan hirarkis yang terus bertahan di antara gaya dan genre serta daya tarik kultural mereka. Geertz juga menyoroti ritual sosial di balik seni pertunjukan yang menyimpan ketegangan-ketegangan kultural dan ideologis apalagi setelah birokrasi ikut memoles panggung pertunjukan itu. Bahkan ia melihat hal yang luar biasa di balik peristiwa yang mungkin tidak luar biasa, yakni kian kaburnya simbologi Jawa. Padahal semua itu berlangsung dalam kerangka Jawa.

Bagian Kedua, akan menyoroti persoalan budaya media dan budaya citra. Pada bagian ini para menu lis akan melhat bagairnana media sebagai wahana yang penting bagi penyebaran budaya massa menjadi faktor penentu bagi konstruksi citra suatu subkultur dalam masyarakat. Umar Kayam mengawali pembahasan dengan memperlihatkan adanya interaksi antara budaya media dan budaya-budaya etnik. la melihat terjadinya proses dialektika budaya yang melibatkan media massa. Menurutnya, masyarakat modern memanfaatkan media (infermasi) nyaris semaksimal-maksimalnya, sehingga hidup sehari-hari nyaris lumpuh bila pada suatu ketika sang media modern itu hilang tercerabut dari masyarakat.

Menopang tilikan Umar Kayam, Darmanto Jatman menggenapinya dalarn konteks yang lebih spesifik. la menyorot sisi media yang dianggapnya tidak, sekadar merepresentasikan realitas, tapi Juga memproduksinya. Realitas citra permakan media tidak menginduk pada realitas empiris, tapi pada realitas simboliknya. Menurut Darmanto, selebritis adalah contoh fiqur hasil konstruksi media. Oleh media mereka ditarnpilkan serba wah. tantas muncul yang disebut "elite without power"; satu lapis masyarakat kelas atas yang kaya lagi ternama (rich and famous), namun tak memiliki basis kekuasaan nyata.

Lebih jauh lagi, Kuntowijoyo mengangkat ke permukaan perbincangan, sisi-sisi krusial peranan budaya dalam pembangunan pers Pancasila. la lantas menunjukkan beberapa kecenderungan sensibilitas yang senantiasa mewarnai dan mempengaruhi citra budaya pers nasional. Dari pembacaannya, ia sampai pada kesimpulan bahwa pers kita mewakili sensibilitas kelas menengah, yaitu publik pembaca yang terdiri dari mereka yang berpendapatan menengah dari segi daya beli dan kebanyakan mereka yang berselera kota dari segi budaya. Kuntowijoyo lantas mencatat fenomena penting bahwa daiam perkara seks, rupanya orang Indonesia mulai terbuka sama halnya dengan luar negeri.

Seakan menyambut sinyalemen Kuntowijoyo, Marwah Daud Ibrahim tampil menyorot citra perempuan dalam media yang menurutnya tak lebih dari sekadar ajang seksploitasi dan sensasi sadistik. la membongkar penggambaran wanita dan seks yang sudah menjadi komoditas dalam mesin giling kapitalisme yang rakus. Ia mencatat trend yang tampaknya akan terus bertahan bahwa berita seks akan cenderung dominan jika represi bagi pemberitaan yang berbobot politis terus dicengkeramkan. Singkatnya, naluri seks masyarakat terus berkobar, jika pada saat yang sama meruyak pula impotensi politik dan etika yang menggelisahkan.

Bila Marwah menyoroti wajah media secara umum, maka Jiwa Atmaja menilik kebocoran tematik dalam industri film nasional yang lesu darah. Mengintip aura sensasi pada betis Ken Dedes, Jiwa Atmaja menangkap pantulan sensasi pada beberapa film yang hanya menggelorakan nafsu di bawah pusar penonton. Ini terjadi karena kemiskinan logika bertutur dan wanita dalam film nasional diposisikan hanya sebagai dekor. Jiwa mensinyalir bahwa kekerdilan dalam pendefinisian ulang telah membuat film kita menjadi tawanan persoalan lama, masalah teknologi, tema sensasi, dan seksisme.

Masih dalam medium film sebagai ajang pengepakan citra yang memposisikan perempuan, Danarto merenungkan nasib perempuan dalam pusaran pasar film dan kekuasaan yang didiktekan oleh kaum pria. Danarto melihat masih akutnya dominasi Hollywood sebagai kiblat bagi selera masyarakat perempuan di tanah air, apalagi sekadar alternatif film-film Eropa boleh dikata tidak beredar di Indonesia. Ini mempersulit upaya pemberdayaan ruang gerak perempuan, karena film tidak banyak menolong untuk mengembalikan kondisi kita yang semakin vulgar dalam berbagai sektor kehidupan.

Gayung pun bersambut lewat penggambaran radikal dari Afrizal Malna yang melihat ledakan boom sinetron dengan korbannya "mayat erotis teknologi," yang dengan dukungan transformasi teknologi kornunikasi telah bang kit dari kuburnya sebagai "hantu sensual." Lantas media elektronik pun mewadahi impian lama, untuk merepresentasikan personifikasi dewa-dewi. Kapitalisasi media kian merasuk jadi gejala ketubuhan dan personifikasi gaya hidup.

Bagian Ketiga, akan mengetengahkan sisi krusial kebudayaan pop dengan melihat lokus perembesannya dalam ranah budaya simbolik dan bagaimana simbolisasi budaya itu ikut menopang industri budaya dalam memoles pentas ecstasy gaya hidup. Tulisan-tulisan pada bagian ini dengan perspektif dan fokus masing-masing menyorot inti persoalan budaya masyarakat komoditas di mana individu-individu dikonstruksi oleh ideologi simbolisme ikonik, terjerat dalam realitas semu dengan logika pseudorasional.

Membuka bagian ini, Onghokham menyoroti bagaimana penguasa dan pengusaha mendefinisikan status sosial secara amat telanjang. Show kemewahan rupanya telah menjadi simbol sukses dari kalangan orang kava atau orang yang punya kuasa. Dengan melacak akar historis gaya hidup pedagang Cina dan petinggi Jawa masa silam, Onghokham melihat bahwa mereka juga senantiasa melegitimasi kedudukan dengan show kemewahan. Khususnya di Indonesia, show kekayaan dan kemewahan para pedagang sukses disebabkan oleh para pejabat pemerintah. Dan, menurut Onghokham, proses ini mungkin juga terjadi di masyarakat-masyarakat lain birokrasi modern yang bermodel pada birokrat Eropa.

Dalam irama yang hampir senada Bre Redana menyibak drama yang mengoyak qaya hidup manusia kontemporer. Perubahan radikal sebagai hasil konstruksi sosial yang mencerabut manusia dari akar kulturalnya dipandangnya kian mengangakan jurang kehidupan, dan melambungkan ongkos sosial. Melalui analisnya yang kritis terhadap pernik-pernik masyarakat metropolitan ternpat sehari-hari ia menghirup udara, Bre Redana memandang penting kajian budaya yang sanggup membawa diskusi kita pada pengamatan ernpiris atas perubahan radikal dalam gaya hidup masyarakat dan semacamnya sebagai implikasi dari apa yang dirumuskan sebagai kapitalisme mutakhir.

Dalam nafas kajian kritis, Yasraf Amir Piliang membeberkan apa yang telah dipicu oleh Bre Redana. Dalam tamasya literatur dan penghadapannya dengan realitas keseharian, Yasraf menemukan bahwa citracitra yang disuguhkan media massa dan komoditas, yang silih berganti timbul dan tenggelam dalam kecepatan tinggi merupakan representasi dari eksodus umat manusia dan tamasya dalam kecepatan tinggi menjelajahi ruang nihilisme dan fatalisme pencitraan melalui seperangkat media (televisi, komoditas, tubuh). Ini pada gilirannya yang menjerat manusia ke dalam dunia "realitas sernu" sehingga terjadi semacam ketidaksadaran massal akan berlangsungnya transformasi, "pembentukan kembali diri" dan "perumusan kembali makna kehidupan" dalam drama percepatan deru mesin kapitalisme mutakhir.

Rupanya menjadi modern memang membawa impian dan janji-janji. Simbol-simbol kemodernan yang serba wah dan gemerlap setiap saat menjejal bawah sadar masyarakat. Tak heran pada bag ian ini kita juga melihat kupasan Masri Singarimbun yang menyorot pergeseran kultur pergaulan di sebagian kalangan anak muda. Masri membuat sederet daftar mereka yang merayakan kemodernan dengan kehidupan yang serba bebas, serba boleh, kumpul kebo, seks bebas, aborsi. Sementara rangsangan seks bertambah marak, bertubi-tubi. Komodifikasi rangsangan seks di berbagai media yang ikut memoles gaya hidup serba boleh membuat komersialisasi seks kian merajalela. Dan, kehidupan modern yang menjadi acuan adalah konsumtif, juga dari sudut seks.

Pekikan sukma Masri rupanya bergema juga dalam analisis Sarlito Wirawan Sarwono. Sarlito melihat pergeseran mendasar dalam gaya hidup kawula mud a masa kini. Menurutnya, pergeseran itu bahkan hingga ke tingkat orientasi dan nilai-nilai mereka dalam memandang kehidupan. Ketika uang menjadi simbol kekuasaan baru, semua hal dinilai bertumpu kepada materi sehingga tak heran kalau status, prestasi, dan prestise pun dianggap bisa dibeli. Sarlito lantas menyoroti pergeseran orientasi atau nilai-nilai kawula muda dari mencari status ke mencari uang. Masalahnya, kalau dulu orang bisa mendapat uang karena status, sekarang orang bisa mendapat status karena uang.

Jalaluddin Rakhmat kemudian memperlihatkan kemungkinan pengaruh teknologi informasi mutakhir pada perubahan perilaku sosial di kalangan generasi muda. Menurut Jelal, salah satu bentuk ketegangan dan kemelut yang terjadi akibat penetrasi media adalah hancurnya nilai-nilai tradisional dan merembesnya nilai-nilai modernitas yang destruktif. Sementara media informasi yang sarat dengan rnuatan yang merangsang ibahan seksual, perilaku agresif, konsumerisme dan sekularisme bukan tidak mungkin ikut mewarnai gaya hidup. Karena tanpa disadari isi media pun mempengaruhi struktur kognitif dan afektif kita.

Menggenapi seluruh pembahasan pada bagian ini, Ashadi Siregar mengangkat persoalan kebudayaan populer Orde Baru sembari meneropong sisi remaja dalam kornunikasi massa. Bagaimana remaja direpresentasi dan dengan representasi itu mereka lantas mendefinisikan gaya hidupnya. Dalam pandangan Ashadi, gaya hidup remaja hanya bisa dibicarakan jika kita mau melihat kehadiran kelompok remaja ini dalam "kelas"-nya masing-masing. Dan karen a gaya hidup ini merupakan simbol prestise suatu kelas tertentu, ia dapat bersifat modis, yang penyebarannya melalui komunikasi massa menembus batas-batas stratifikasi sosial. Sekilas kajian Ashadi sangat bernuansa struktural, tapi sebenarnya tidak murni demikian karena toh ia tetap melihat aspek-aspek sosio-kultural yang berkelindan dalam mengkonstruksi suatu genre popularisasi gaya hidup remaja sebagai wahana dominasi dan hegemoni yang tersamar.

Bagian Keempat, sebagai rangkaian akhir episode Ecstasy Gaya Hidup menghimpun percikan gagasan yang menangkap endapan kesa¬daran baru yang sayup-sayup meronta dalam kemilau kebudayaan pop Indonesia era Orde Baru. Bagian ini melihat pergeseran esensial di level kesadaran dengan cara mengendus peristiwa di balik beroperasinya industri budaya kapitalisme yang perlahan tapi pasti, telah merubah wajah "industrialisasi budaya" menjadi "industrialisasi pikiran" dan yang membiakkan "industrialisasi kesadaran." Sehingga dalam denyut percepatan industri budaya itu berkelindan pula, baik secara samar-samar atau pun terang-terangan, proses hegemonisasi tidak hanya pada basis kultural tapi juga mewadag sebagai "hegemoni kesadaran" itu sendiri dalam wajahnya yang tidak jarang mempesonakan dan menggiurkan.

Ariel Heryanto, yang mengawali perbincangan ini. memfokuskan pembahasan pada dinamika budaya dalam kapitalisme Indonesia. Dengan rnengambil titik anjak pembahasan pada fenomena musik Iwan-Swami, Ariel tidak menganalis nilai keindahan atau nilai sosial (kritik sosial) dalam musik atau meneliti kehidupan pribadi musisi ini. Keberhasilan Iwan-Swami itu diajukannya sekadar sebagai suatu kasus atau ilustrasi untuk melacak dinamika kebudayaan yang bergelora dalam pusaran kapitalisme. Dalam pandangan Ariel, tak ada perkembangan gagasan dan karya budaya yang mandiri dan terlepas dari dinamika sejarah material termasuk dalam perkara seni, sastra. kuasa, bahkan cinta dan harga diri.

Kalau Ariel menohok akar material pertunjukan musik Iwan-Swami, maka William H. Frederick mengkaji aspek-aspek kebudayaan pop Indonesia dengan mengambil contoh perkembangan jenis musik dangdut dan figur sentralnya Rhoma Irama. Secara detail ia menerobos jauh ke berbagai kontroversi yang mencuat ke permukaan untuk menelusuri akar historis dan kultural yang mewarnai pertumbuhan musik dangdut, khususnya era pasca-Soekarno hingga awaI1980-an. la melihat realitas sukses "superstar" Rhoma yang fenomenalsebagai keberhasilan seorang pemusik memadukan bakat, lingkungan, dan terutama intuisi musik dan bisnis secara bebarengan. Sementara itu, pertumbuhan industri hiburan lewat televisi atau industri rekaman dan film benar-benar menjadikan "raja dangdut" ini menjadi figur yang menasional. Frederick, misalnya, memperkenalkan gagasan "kapitalisasi figur publik" atau "fiksionalisasi biografi" yang mungkin saja memperkuat citra Rhoma di mata publik. Namun demikian, menu rut Frederick, Rhoma bahkan telah menambah bobotnya dengan memberikan sentuhan Islami, sehingga jadilah ia sebagai medium dakwah dan saluran kritik sosial. Lewat alunan lirik-liriknya, "musik rock Islam pertama di dunia" ini selain bisa menarik orang untuk bergoyang, juga mendidik sensibilitas kerakyatan elite, dan sekaligus menghibur rakyat. Dengan cara ini, Rhoma telah menghadirkan genre musik dangdut yang khas. Tak heran. kalau musik dangdut bisa membuat dunia bisnis komersial pun bergoyang. Goyang terus ....

Menyusul kemudian esai Keith Foulcher, yang membahas relasi antara bentuk-bentuk kebudayaan negara dan kompleksitas yang di dalamnya tercakup pula perumusan strategi resistensi. Keith Foulcher memperlihatkan bahwa dunia sastra, drama, dan film Indonesia modern seirama dengan ekspresi kebudayaan lainnya, dirintangi oleh konteks tempat ekspresi kebudayaan itu diproduksi dan dikonsumsi. Dengan mengambil kasus SeJamat TinggaJ Jeannette, Keith Foulcher menunjukkan bahwa film ini bisa ditafsirkan sebaqai suatu struktur pencitraan yang mereproduksi dan memperteguh konsep negara mengenai kebudayaan Indonesia modern. Namun di balik itu masih tersisa secelah ruang ekspresi untuk keluar dari konstruksi citraan yang mengakutkan hegemoni kesadaran. Puisi misalnya, merupakan salah satu contoh pertama suara wanita menentang hegemoni pria dalam masyarakat dan karya sastra Indonesia.

Selanjutnya Krishna Sen mengedepankan kajiannya untuk menafsirkan Feminisme dalam sinema Orde Baru. la mengawali pembahasannya dengan mendeskripsikan stereotipe peran gender dalam sinema Indonesia sejak 1965. Kemudian ia menganalisis perubahan dan pergeseran representasi suara dan tubuh wanita tahun 1980-an dan konotasi yang muncul dari representasi itu. Film-film yang dipergunakan sebagai contoh arah baru representasi wanita adalah film-film produksi 1980-an.

Dari pembacaannya, Krishna Sen memperlihatkan bahwa sinema Indonesia dengan gigih memperteguh ideologi pembagian kerja secara seksual dan hirarki gender tidak dijaga melalui intervensi negara dalam bentuk propaganda atau sensor. Setelah mengupas beberapa film yang diproduksi dalam kurun ini, akhirnya ia memperlihatkan bahwa dalam sinema tahun 1980-an, posisi oposisional disuarakan oleh wanita dan representasi baru wanita di luar peran istri, ibu, atau pelacur barangkali bisa menjadi cara baru mengkolonisasi tubuh wanita, baik karena sebab-musabab politik radikal maupun demi kenikmatan.

Saraswati Sunindyo menuntasi seluruh pembahasan bunga rampai ini dengan menyoroti wacana gender seperti direpresentasikan dalam medium televisi. Kalau tulisan sebelumnya banyak menyinggung produk budaya yang mengendap di balik industri budaya kapitalisme dalam pernik-pernik kebudayaan pop seperti direpresentasikan lewat medium musik, drama, seni, puisi, atau pun film, esai terakhir dari Saraswati Sunindyo membawa kita ke persoalan yang tak kalah krusialnya yakni wacana gender di stasiun televisi milik negara, TVRI.

Saraswati rnelihat adanya dua wajah hegemoni yang menghablur dalarn wacana sinetron yang diproduksi dan disiarkan TVRI, yakni hegemoni kolonialisrne sebagai sisa-sisa warisan masa penjajahan yang rnasih tertanam kuat dalam penggambaran wanita dan kemudian hegernoni Hollywood yang menjadi kekuatan baru dalam mengkonstruksi tubuh wan ita Indo untuk mernancing irnaji bawah pusar penonton Indonesia. Lebih jauh Saraswati juga menunjukkan darnpak ideologi Orde Baru mengenai posisi wanita dan penguatan sistem patriarki rnelalui organisasi-organisasi wanita dan prograrn-programnya. Ia menunjukkan adanya beban ideologi keibuan yang diprornosikan oleh Orde Baru dan ideologi tersebut pun berkontradiksi dengan upaya pemerintah rnendorong partisipasi wanita dalarn angkatan kerja dan mernberi sumbangan dalarn devisa. Dengan menggunakan beberapa sinetron yang dibuat tahun 1987-1988, Saraswati rnenelaah kekhususan historis tentang wacana ras dan gender dalam mengkonstruksi politik representasi melalui medium film, yang sekaligus menunjukkan representasi hegemonik mengenai dominasi kelas dan gender dalarn rnediurn sinetrom, seiring dengan upaya-upaya kontrahegemoni untuk merumuskan kembali representasi kelas dan gender.

Penutup

Setelah sekian jauh kita melangkah, apakah kerja ini sekadar sepenggal "pekikan sukma" tentang masa depan yang barangkali hanya rnenemukan sepetak ruang di tengah begitu menguatnya komodifikasi dan politisasi kebudayaan pop dalarn masyarakat kornoditas mutakhir. Seperti telah disinyalir Jurgen Habermas, "The depolitisized public realm is dominated by the imposed privatism of mass culture" [75] Lantas dalam semesta simbolik modernitas itu - meminjam istilah Berger - manusia mulai "kehilangan rumah secara metafisik." Karena "rumah-rumah" itu telah direnggutkan dari sesuatu yang asali yakni kepekaan akan moralitas yang tertanam dalam ruang batin manusia modern.

Inikah tanda dari sesuatu yang lebih mendasar telah terjadi. Semacam "materialisasi kesadaran" atau "spiritualisasi material" yang membuat benturan-benturan. Bukan dalam pengertian "clash of civilization" -nya Huntington tapi "clash of lifestyle," sebagai ongkos dari benturan di tingkat kesadaran [76].

Namun demikian, dalam kehilangan rumah itu orang seperti Michel Foucault masih mengajak kita optimis: "Jangan membuang moralitas lebih baik Anda menguasainya, tetapi semata-semata sebagai salah satu kaidah, sebagai salah satu dari konvensi-konvensi yang sepenuhnya menantang, tetapi meskipun begitu ia tetap diperlukan agar permainan
bisa berlangsung" [77].

Ya, hari ini, esok, atau jauh rnembentang ke masa depan, apakah permainan itu akan terus berlangsung? Tidak jadi soal apakah dalarn permainan "lalat-lalat beracun di pasar" Zarathustra-Nietslche akan membuat orang makin bahagia atau tidak di "akhir sejarah" -Fukuyama. Ataukah kita akan mernasuki abad ke-21 sebagai "abad teror" atau "abad kekerasan" ataukah "abad cinta" yang akan kembali bersemi di gumpalan tanah kering humanitas. Tapi, bagairnanapun wajah abad yang tengah membayang, hanya bertolak dari kepekaan sejarahlah kita sanggup menangkap relevansi gaung dari apa yang jauh-jauh hari telah diingatkan oleh Rasulullah Muhammad saw., ketika berujar: "Sebaik-baik tempat adalah mesjid dan seburuk-buruk tempat adalah pasar." Wallahu a 'lam bi al-shawab.

Bandung, Novernber 1996
Idi Subandy Ibrahim

Baca selengkapnya buku ini: Idi Subandy Ibrahim (ED.), Lifestyle Ecstacy: Kebudayaan Pop dalam "Masyarakat Komoditas" Indonesia, Jalasutra, Yogyakarta, ISBN 979-3684-02-X

Catatan:  

[1] Sebagai rujukan yang sudah begitu umum, makna ekstase di sini diadopsi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ke-2 (Jakarta: Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995).

[2] Istilah "daur ulang" menjelaskan tentang siklus fashion; setiap orang merasa perlu memperbarui diri mereka setiap tahun, bulan, atau musim lewat pakaian, barang-barang, dan mobil mereka. Karena dengan cara demikian mereka bisa tetap tampil sebagai anggota sejati dari masyarakat konsumer. Untuk lebih jauh, lihat Jean Baudrillard, "Mass Media Culture," dalam Revenge of the Crystal (London: Pluto Press, 1990).

[3] Dengan pertanyaan inilah Kompas menutup dua buah laporan mendalamnya mengenai 'Ecstasy dan Metropolitan', "Bukan Sekadar Fenomena" (1), Kompas, 3 Juli 1996 dan "Tanda-tanda Zaman Modern 7" (2), Kompas, 4Juli 1996.

[4] Lihat Sindhunata, 'Menjelang Tahun 2000', "Demam John Naisbitt" (1), Kompas, 1 September 1995; "Menggugah Utopia Pertumbuhan" (2), Kompas, 2 September 1995

[5] Lihat wawancara yang menarik Kenneth J. Gergen dengan wartawan US News, Alvin P. Sanoff tentang "Identitas di Era Postmodern" yang dimuat dalarn US News and World Report (July 1, 1991). Sebagian wawancara telah diterjemahkan oleh Radhar Panea Dahana, dimuat dalam Horison, No. 11, November 1991, him. 391-392. Lihat kutipan ini dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, "'Kekerasan' Spiritual dalam Masyarakat Pascamodern," Ulumul Qur'an, No.3, Vol. V. 1994, khususnya hlm. 79.

[6] Mengenai fenomena kegilaan dalam modernitas ini.Iihat CR. Badcock, Madness and Modernity (New York: Basil Blackwell, 1983). Diterjemahkan dengan judul Kegilaan dan Modernitas (Jakarta: Arcan, 1987).

[7] Lihat Jean Baudrillard, Simulations (New York: Semiotext[e], 1983)

[8] Lihat Alison J. Murray, No Money No Honey: A Study of Street Traders and Prostitutes in Jakarta (Singapore: Oxford University Press, 1991), hlm. 151.

[9] LihatJean Baudrillard, The Ecstasy of Communication (New York: Serniotext]e]. 1987).


Judul Buku : Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia
Penyunting: Idi Subandi Ibrahim
Edisi Kedua, Tahun 2005
Penerbit: Jalasutra Yogyakarta/ Mizan Bandung
Tebal: xlvii + 397 halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar