Selasa, 16 September 2014

Tasawuf Menurut Murtadha Muthahhari –Bagian Pertama




Oleh Sabara Nuruddin al-Raniri (Doktor Filsafat UIN Alauddin Makassar)

Manusia adalah makhluk yang paling mulia dan sekaligus paling unik –jika dibandingkan dengan makhluk Allah lainnya. Karena keunikannya inilah, manusia selalu menarik untuk diteliti dan dibicarakan. Pembicaraan mengenai manusia dan hakekatnya seolah-olah tidak pernah mengenal kata "tuntas", walaupun telah menggunakan perspektif yang bermacam-macam. Keunikan dan kedalaman hakekat kemanusiaan inilah yang menyebabkan lahirnya berbagai cabang ilmu yang membahas manusia dari berbagai macam perspektif yang berbeda-beda.

Dalam perspektif filsafat –disimpulkan bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir (al- insan al hayawanu al-nathiq), karena manusia memiliki nalar intelektual (akal). Dengan nalar intelektual inilah manusia berpikir, menganalisis, memperkirakan, membandingkan, menyimpulkan, dan beragam aktivitas intelektual lainnya. Nalar intelektual inilah yang membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk (etika), serta antara yang benar dan salah (ilmu). Adapun dalam perspektif tasawuf atau spiritualitas Islam,[1] disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang secara fitrahnya dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan jiwanya –ketika jiwanya suci maka akan tampil prilaku suci dan terpuji, sebaliknya jika jiwanya tidak suci maka akan tampil prilaku yang tak suci atau tercela.[2]

Karena keistimewaan dan keunikan manusia dibandingkan makhluk Allah lainnya inilah, nalar dan jiwa manusia sering "digelisahkan" oleh berbagai persoalan mengenai kehidupannya. Salah satu persoalan utama yang senantiasa menghantui pikiran dan perasaan manusia adalah mengenai tujuan penciptaan alam semesta –termasuk adalah tujuan penciptaan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari alam raya.[3] Dari sudut pandang spiritualitas atau mistisisme secara umum (tak terkecuali tasawuf dalam Islam), secara fitrawi manusia pada umumnya memiliki gejala konstan akan kerinduan nurani (jiwa) unruk mencapai kemanunggalan dengan Tuhan.[4]

Kemanunggalan dengan Tuhan tersebut merupakan ultimate goal (tujuan utama) dari penciptaan manusia –dan oleh karena itu setiap gerak langkah manusia dalam hidup dan kehidupannya mestilah didasari atas upaya mencapai kemanunggalan yang abadi dengan Tuhan sebagai modus existence. Posisi Tuhan sebagai modus existence didasarkan pada pandangan kaum sufi yang menyatakan potensialitas diri yang hakiki manusia pada sesuatu yang tak terhingga dan tak terbatas kepada diri yang bersifat material (jasmaniyah) semata.

Potensialitas hakiki manusia yang tak terhingga tersebut merentang dari titik awal penciptaan yang tak diketahui (azal) hingga titik keabadian yang tak diketahui pula (abad).[5] Potensialitas hakiki tersebut adalah ruh Ilahiyah yang merupakan awal dan akhir kehidupan manusia –yang jika diwujudkan dalam ranah praksis kehidupan menjadi spirit sekaligus orientasi gerak kehidupan. Hal ini secara implisit tergambar dalam firman Allah “Innalillahi wa inna ilaihi raji'un” (Sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya). Tasawuf merupakan bidang ilmu yang berkaitan dengan ruh, hati (qalb), dan jiwa (nafs). Jika hati telah mendapatkan pancaran (emanasi), maka ia dapat merasakan eksistensiNya, merasakan keagunganNya, dan menikmati pesonaNya yang Tak Terbatas dan Abadi.[6]

Dalam perspektif para sufi, tasawuf merupakan puncak dari realisasi (tahaqquq) dan penghayatan terhadap terhadap kehambaan manusia kepada Allah sebagai Sang Modus Existence. Dalam mencapai puncak kehambaan ini, sebagian sufi (seperti al-Ghazali) menekankan ketakutan, sedangkan sebagian sufi yang lain (seperti Jalal al-Din al-Rumi) menekankan kecintaan. Penekanan ini lagi-lagi sangat terkait dengan tingkat pemahaman dan pengalaman kita menuju kepada Allah. Oleh sebab itu, tasawuf dalam Islam mengajarkan kepasrahan (Islam) kepada Allah –dan dalam keadaan pasrah inilah hamba akan merasa damai (sulam) ketika menemukan sisi menakutkan dan sisi yang melahirkan cinta kepada Allah.[7]

Seorang manusia yang berbekal hati yang bersih dan jiwa yang stabil –memahami ibadah yang tidak lagi bersifat kewajiban yang mengesankan keterpaksaan, namun sebagai momen perjumpan dengan kekasih, sebagai kata sandi untuk membuka khazanah misteriusNya. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as: "Ada hamba yang beribadah kepada Allah swt karena ingin mendapatkan imbalan, itulah ibadah tingkat pedagang. Ada hamba yang beribadah karena takut siksaan itulah ibadah tingkat budak. Adapula hamba yang beribadah karena cinta kepada Allah swt, itulah ibadahnya orang mukmin."[8]

Ibadah karena cinta tanpa mengharapkan imbalan pahala dan takut akan siksaNya merupakan esensi dari ibadah yang dilakukan oleh para sufi. Konsepsi ketuhanan (teosofi) dan epistemologi ketuhanan (manhaj kalam) yang dipakai menjadi landasan utama dari para sufi untuk merumuskan secara teoritis pandangan tasawufnya serta menjadi pedoman praksis untuk menempuh jalan kesufian (suluk). Selain itu, hal tersebut akan membawa pada efek praksis yang dirasakan baik secara individual oleh para sufi –berupa hal dan maqam yang dilalui dalam perjalanan spiritual dan efek sosiologis, tentang sejauh mana sufisme (tasawuf) memberikan konstribusi bagi masyarakat dan perkembangan peradaban Islam.

Secara umum kelompok tasawuf dalam Islam berdasarkan konsep teosofi dan manhajnya terbagi kedalam dua kelompok (mazhab) –yaitu tasawuf monistik dan tasawuf dualistik. Tasawuf monistik mendasarkan konsep teosofinya pada konsep wahdah al-wujud, al-ittihad, atau hulul –kelompok ini kemudian dikenal dengan istilah tasawuf falsafi. Kelompok ini berpandangan bahwa hakekat realitas antara hamba dan Tuhannya merupakan kesatuan wujud yang tak terpisahkan (wahdah al-wujud).[9] Dalam pandangan epistemologisnya kelompok ini memadukan pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis.[10] Atau degan kata lain, kelompok ini memadukan dua alat epistemologis manusia –yaitu akal dan hati, serta memfungsikan keduanya secara sinergis dan simultan dalam menempuh perjalanan menuju Tuhan.

Berkebalikan dengan kelompok tasawuf monistik, kelompok tasawuf dualistik menolak dengan keras pandangan wahdah al-wujud kelompok monistik –bahkan mengkafirkannya. Tasawuf dalam kelompok ini telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan teologi Asy'ariyah (kalam Sunni). Kelak kelompok ini diidentifikasi sebagai kelompok tasawuf Sunni.[11] Kelompok tasawuf ini lebih mementingkan praktik-praktik syari’at dalam tasawufnya –dan cenderung mengabaikan penalaran rasional-filosofis sebagai basis tasawuf. Atau dengan kata lain kelompok ini hanya menggunakan satu alat epistemologi saja dalam mencapai kesempurnaan perjalanan manusia –yaitu intuisi (hati) dan menafikan kerja akal.

Dalam makalah singkat ini, penulis akan berusaha memaparkan pemikiran-pemikiran tasawuf dari seorang tokoh penganut tasawuf falsafi (‘irfani) –yaitu Ayatullah Murtadha Muthahhari. Syahid Murtadha Muthahhari adalah seorang filosof, ulama, sufi Syi’ah kontemporer –serta salah seorang ideolog revolusi Islam Iran. Lahir pada tanggal 2 februari 1920 M yang bertepatan dengan tahun 1338 Hijriyah di desa Fariman, dekat kota Masyhad, Iran. Masyhad merupakan salah satu kota suci Muslim Syiah Imamiyah (Mazhab Ahlulbait as). Ayahnya adalah Muhammad Husein Muthahhari –ulama yang cukup terkemuka di kalangan Muslim Syi’ah Iran.[12] Beliau adalah murid terdekat dari dua tokoh besar Syiah, yaitu Allamah Thabaththba"i dan Ayatullah Khomaeni –guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri.

Pada usia 12 tahun Murtadha Muthahhari mulai belajar ilmu-ilmu agama di hawzah (pesantren) ilmiah di Masyhad. Ia menunjukkan minat yang cukup besar pada filsafat, khazanah ilmu-ilmu rasional serta ‘irfan. Pertama kali beliau belajar filsafat dan khazanah ilmu-ilmu rasional yang lainnya pada Mirza Mehdi Syahidi Razawi. Setelah guru pembimbimnya wafat, beliau meninggalkan kota suci Masyhad untuk hijrah ke kota suci Qum untuk melanjutkan studi agamanya di hawzah ilmiah di kota suci tersebut.[13] Pada usianya yang mashi relatif muda, Muthahhari telah mengajar mata kuliah logika, filsafat, fiqih, dan teologi (kalam) di fakultas teologi universitas Teheran. Bahkan ia juga sempat menjabat sebagai ketua jurusan filsafat di universitas tersebut.[14]

Muthahhari sangat menaruh minat yang cukup besar kepada filsafat dan bidang-bidang ilmu rasional. Bagi Muthahhari, filsafat tidak hanya sekedar untuk polemik atau disiplin intelektual belaka. Filsafat merupakan suatu pola tertentu dari religiusitas dan suatu jalan untuk memahami dan merumuskan Islam yang sesungguhnya.[15] Selain menyibukkan diri pada aktivitas keilmuan, Murtadha Muthahhari juga menyibukkan diri pada kegiatan-kegiatan politik melwan rezim diktator Syah Pahlevi. Bahkan beliau termasuk sebagai salah seorang ideolog dan propagandis Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini pada tahun 1979.

Murtadha Muthahhari mengawali konfrontasi politiknya yang pertama pada tanggal 6 Juni 1963. Ia menunjukkan secara serius dan terbuka sebagai salah seorang pengikut Imam Khomeini (pemimpin spiritual Syi’ah) –baik secara politis dan intelektual. Beliau tampil di masyarakat Iran dengan membagi-bagikan seruan-seruan politik Imam Khomeini dan mendesak masyarakat Iran untuk mendukungnya dalam setiap khutbah yang beliau sampaikan.[16] Dalam pergerakan politiknya beliau aktif di berbagai organisasi politik –diantaranya adalah Persatuan Ulama Militan, sebuah organisasi yang menghimpun ulama-ulama Syi’ah Iran yang bertujuan untuk mendukung seruan revolusi Islam Imam Khomeini dan menggulingkan Syah Reza Pahlevi.

Sedemikian banyaknya peran yang beliau lakukan dalam mendukung gerakan revolusi Islam, membuat beliau akhirnya sangat dekat dekat tokoh Imam Khomeini. Pada tanggal 12 Januari 1979, satu bulan menjelang terjadinya revolusi Islam Iran, Muthahhari ditunjuk sebagai ketua dewan revolusi bersama dengan beberapa ulama Syiah yang lain, seperti Ayatullah Javad Bahonar dan Ayatullah Husein Behesyti.[17] Akhirnya, aktivitas politik beliau dalam mendukung cita-cita revolusi Islam mengantarkan beliau pada kesyahidan yang terjadi pada tanggal 1 Mei 1979 (tiga bulan setelah Revolusi Islam) oleh kelompok Furqani (kelompok Islam garis keras). Beliau syahid setelah memimpin rapat dewan revolusi di rumah Dr. Tadullah Shahabi. Sebutir peluru bersarang tepat di kepalanya dan menembus kelopak matanya.[18] Imam Khomeini, selaku pemimpin tertinggi revolusi tak kuasa menahan tangis dan kesedihannya ketika beliau syahid –bahkan kesedihan beliau sangat mendalam dibandingkan ketika anak kandungnya sendiri, Sayyid Mustafa Khomeini, syahid di tangan rezim Syah Pahlevi.

Meskipun ketika syahid beliau duduk sebagai ketua dewan revolusi, namun beliau tak dapat dipisahkan dari dunia pemikiran Islam. Hasil-hasil pemikirannya hampir mencakup seluruh bidang keilmuan yang relevan dengan kebutuhan umat Islam dan demi kemajuan peradaban Islam di dunia. Karya-kartya Murtadha Muthahhari yang telah diterbitkan –baik dari hasil ceramah-ceramahnya maupun tulisan beliau cukup banyak, mencakup lebih dari 200 judul dari berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, kalam, sejarah, sosiologi, antropologi, etika, ushul fiqh dan fiqh, hukum Islam, akhlak, irfan (tasawuf), sejarah, politik, serta ekonomi.[19]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar