Oleh Sabara
Nuruddin al-Raniri (Doktor Filsafat UIN Alauddin Makassar)
Manusia adalah makhluk
yang paling mulia dan sekaligus paling unik –jika dibandingkan dengan makhluk
Allah lainnya. Karena keunikannya inilah, manusia selalu menarik untuk diteliti
dan dibicarakan. Pembicaraan mengenai manusia dan hakekatnya seolah-olah tidak
pernah mengenal kata "tuntas", walaupun telah menggunakan perspektif
yang bermacam-macam. Keunikan dan kedalaman hakekat kemanusiaan inilah yang
menyebabkan lahirnya berbagai cabang ilmu yang membahas manusia dari berbagai
macam perspektif yang berbeda-beda.
Dalam perspektif filsafat –disimpulkan
bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir (al- insan al hayawanu al-nathiq),
karena manusia memiliki nalar intelektual (akal). Dengan nalar intelektual
inilah manusia berpikir, menganalisis, memperkirakan, membandingkan,
menyimpulkan, dan beragam aktivitas intelektual lainnya. Nalar intelektual
inilah yang membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk
(etika), serta antara yang benar dan salah (ilmu). Adapun dalam perspektif
tasawuf atau spiritualitas Islam,[1]
disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang secara fitrahnya dipengaruhi oleh
kecenderungan-kecenderungan jiwanya –ketika jiwanya suci maka akan tampil
prilaku suci dan terpuji, sebaliknya jika jiwanya tidak suci maka akan tampil
prilaku yang tak suci atau tercela.[2]
Karena keistimewaan dan
keunikan manusia dibandingkan makhluk Allah lainnya inilah, nalar dan jiwa
manusia sering "digelisahkan" oleh berbagai persoalan mengenai
kehidupannya. Salah satu persoalan utama yang senantiasa menghantui pikiran dan
perasaan manusia adalah mengenai tujuan penciptaan alam semesta –termasuk
adalah tujuan penciptaan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari alam raya.[3] Dari sudut pandang spiritualitas
atau mistisisme secara umum (tak terkecuali tasawuf dalam Islam), secara
fitrawi manusia pada umumnya memiliki gejala konstan akan kerinduan nurani
(jiwa) unruk mencapai kemanunggalan dengan Tuhan.[4]
Kemanunggalan dengan Tuhan
tersebut merupakan ultimate goal (tujuan utama) dari penciptaan manusia –dan
oleh karena itu setiap gerak langkah manusia dalam hidup dan kehidupannya
mestilah didasari atas upaya mencapai kemanunggalan yang abadi dengan Tuhan
sebagai modus existence. Posisi Tuhan sebagai modus existence didasarkan pada
pandangan kaum sufi yang menyatakan potensialitas diri yang hakiki manusia pada
sesuatu yang tak terhingga dan tak terbatas kepada diri yang bersifat material
(jasmaniyah) semata.
Potensialitas hakiki
manusia yang tak terhingga tersebut merentang dari titik awal penciptaan yang
tak diketahui (azal) hingga titik keabadian yang tak diketahui pula (abad).[5] Potensialitas hakiki tersebut
adalah ruh Ilahiyah yang merupakan awal dan akhir kehidupan manusia –yang jika
diwujudkan dalam ranah praksis kehidupan menjadi spirit sekaligus orientasi
gerak kehidupan. Hal ini secara implisit tergambar dalam firman Allah “Innalillahi wa inna ilaihi raji'un”
(Sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya).
Tasawuf merupakan bidang ilmu yang berkaitan dengan ruh, hati (qalb), dan jiwa
(nafs). Jika hati telah mendapatkan pancaran (emanasi), maka ia dapat merasakan
eksistensiNya, merasakan keagunganNya, dan menikmati pesonaNya yang Tak
Terbatas dan Abadi.[6]
Dalam perspektif para
sufi, tasawuf merupakan puncak dari realisasi (tahaqquq) dan penghayatan
terhadap terhadap kehambaan manusia kepada Allah sebagai Sang Modus Existence. Dalam mencapai puncak kehambaan ini,
sebagian sufi (seperti al-Ghazali) menekankan ketakutan, sedangkan sebagian
sufi yang lain (seperti Jalal al-Din al-Rumi) menekankan kecintaan.
Penekanan ini lagi-lagi sangat terkait dengan tingkat pemahaman dan pengalaman
kita menuju kepada Allah. Oleh sebab itu, tasawuf dalam Islam mengajarkan
kepasrahan (Islam) kepada Allah –dan dalam keadaan pasrah inilah hamba akan
merasa damai (sulam) ketika menemukan sisi menakutkan dan sisi yang melahirkan
cinta kepada Allah.[7]
Seorang manusia yang
berbekal hati yang bersih dan jiwa yang stabil –memahami ibadah yang tidak lagi
bersifat kewajiban yang mengesankan keterpaksaan, namun sebagai momen perjumpan
dengan kekasih, sebagai kata sandi untuk membuka khazanah misteriusNya. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh
Imam Ali bin Abi Thalib as: "Ada hamba yang beribadah kepada Allah swt
karena ingin mendapatkan imbalan, itulah ibadah tingkat pedagang. Ada hamba
yang beribadah karena takut siksaan itulah ibadah tingkat budak. Adapula hamba
yang beribadah karena cinta kepada Allah swt, itulah ibadahnya orang mukmin."[8]
Ibadah karena cinta tanpa
mengharapkan imbalan pahala dan takut akan siksaNya merupakan esensi dari
ibadah yang dilakukan oleh para sufi. Konsepsi ketuhanan (teosofi) dan
epistemologi ketuhanan (manhaj kalam) yang dipakai menjadi landasan utama dari
para sufi untuk merumuskan secara teoritis pandangan tasawufnya serta menjadi
pedoman praksis untuk menempuh jalan kesufian (suluk). Selain itu, hal tersebut
akan membawa pada efek praksis yang dirasakan baik secara individual oleh para
sufi –berupa hal dan maqam yang dilalui dalam perjalanan spiritual dan efek
sosiologis, tentang sejauh mana sufisme (tasawuf) memberikan konstribusi bagi
masyarakat dan perkembangan peradaban Islam.
Secara umum kelompok tasawuf
dalam Islam berdasarkan konsep teosofi dan manhajnya terbagi kedalam dua
kelompok (mazhab) –yaitu tasawuf
monistik dan tasawuf dualistik.
Tasawuf monistik mendasarkan konsep teosofinya pada konsep wahdah al-wujud,
al-ittihad, atau hulul –kelompok ini kemudian dikenal dengan istilah tasawuf falsafi. Kelompok ini
berpandangan bahwa hakekat realitas antara hamba dan Tuhannya merupakan
kesatuan wujud yang tak terpisahkan (wahdah al-wujud).[9] Dalam pandangan epistemologisnya kelompok ini memadukan
pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis.[10] Atau degan kata lain, kelompok ini
memadukan dua alat epistemologis manusia –yaitu akal dan hati, serta
memfungsikan keduanya secara sinergis dan simultan dalam menempuh perjalanan
menuju Tuhan.
Berkebalikan dengan
kelompok tasawuf monistik, kelompok tasawuf dualistik menolak dengan keras
pandangan wahdah al-wujud kelompok monistik –bahkan mengkafirkannya. Tasawuf
dalam kelompok ini telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan teologi Asy'ariyah
(kalam Sunni). Kelak kelompok ini diidentifikasi sebagai kelompok tasawuf
Sunni.[11] Kelompok tasawuf ini
lebih mementingkan praktik-praktik syari’at dalam tasawufnya –dan cenderung
mengabaikan penalaran rasional-filosofis sebagai basis tasawuf. Atau dengan
kata lain kelompok ini hanya menggunakan satu alat epistemologi saja dalam
mencapai kesempurnaan perjalanan manusia –yaitu intuisi (hati) dan menafikan
kerja akal.
Dalam makalah singkat ini,
penulis akan berusaha memaparkan pemikiran-pemikiran tasawuf dari seorang tokoh
penganut tasawuf falsafi (‘irfani) –yaitu Ayatullah Murtadha Muthahhari. Syahid
Murtadha Muthahhari adalah seorang filosof, ulama, sufi Syi’ah kontemporer –serta
salah seorang ideolog revolusi Islam Iran. Lahir pada tanggal 2 februari 1920 M
yang bertepatan dengan tahun 1338 Hijriyah di desa Fariman, dekat kota Masyhad,
Iran. Masyhad merupakan salah satu kota suci Muslim Syiah Imamiyah (Mazhab
Ahlulbait as). Ayahnya adalah Muhammad Husein Muthahhari –ulama yang cukup
terkemuka di kalangan Muslim Syi’ah Iran.[12]
Beliau adalah murid terdekat dari dua tokoh besar Syiah, yaitu Allamah Thabaththba"i
dan Ayatullah Khomaeni –guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri.
Pada usia 12 tahun
Murtadha Muthahhari mulai belajar ilmu-ilmu agama di hawzah (pesantren) ilmiah
di Masyhad. Ia menunjukkan minat yang cukup besar pada filsafat, khazanah
ilmu-ilmu rasional serta ‘irfan. Pertama kali beliau belajar filsafat dan
khazanah ilmu-ilmu rasional yang lainnya pada Mirza Mehdi Syahidi Razawi.
Setelah guru pembimbimnya wafat, beliau meninggalkan kota suci Masyhad untuk
hijrah ke kota suci Qum untuk melanjutkan studi agamanya di hawzah ilmiah di
kota suci tersebut.[13] Pada usianya
yang mashi relatif muda, Muthahhari telah mengajar mata kuliah logika,
filsafat, fiqih, dan teologi (kalam) di fakultas teologi universitas Teheran.
Bahkan ia juga sempat menjabat sebagai ketua jurusan filsafat di universitas
tersebut.[14]
Muthahhari sangat menaruh
minat yang cukup besar kepada filsafat dan bidang-bidang ilmu rasional. Bagi
Muthahhari, filsafat tidak hanya sekedar untuk polemik atau disiplin
intelektual belaka. Filsafat merupakan suatu pola tertentu dari religiusitas
dan suatu jalan untuk memahami dan merumuskan Islam yang sesungguhnya.[15] Selain menyibukkan diri pada
aktivitas keilmuan, Murtadha Muthahhari juga menyibukkan diri pada
kegiatan-kegiatan politik melwan rezim diktator Syah Pahlevi. Bahkan beliau
termasuk sebagai salah seorang ideolog dan propagandis Revolusi Islam Iran yang
dipimpin oleh Imam Khomeini pada tahun 1979.
Murtadha Muthahhari
mengawali konfrontasi politiknya yang pertama pada tanggal 6 Juni 1963. Ia
menunjukkan secara serius dan terbuka sebagai salah seorang pengikut Imam
Khomeini (pemimpin spiritual Syi’ah) –baik secara politis dan intelektual.
Beliau tampil di masyarakat Iran dengan membagi-bagikan seruan-seruan politik
Imam Khomeini dan mendesak masyarakat Iran untuk mendukungnya dalam setiap
khutbah yang beliau sampaikan.[16]
Dalam pergerakan politiknya beliau aktif di berbagai organisasi politik –diantaranya
adalah Persatuan Ulama Militan, sebuah organisasi yang menghimpun ulama-ulama
Syi’ah Iran yang bertujuan untuk mendukung seruan revolusi Islam Imam Khomeini
dan menggulingkan Syah Reza Pahlevi.
Sedemikian banyaknya peran
yang beliau lakukan dalam mendukung gerakan revolusi Islam, membuat beliau
akhirnya sangat dekat dekat tokoh Imam Khomeini. Pada tanggal 12 Januari 1979,
satu bulan menjelang terjadinya revolusi Islam Iran, Muthahhari ditunjuk
sebagai ketua dewan revolusi bersama dengan beberapa ulama Syiah yang lain,
seperti Ayatullah Javad Bahonar dan Ayatullah Husein Behesyti.[17] Akhirnya, aktivitas politik beliau
dalam mendukung cita-cita revolusi Islam mengantarkan beliau pada kesyahidan
yang terjadi pada tanggal 1 Mei 1979 (tiga bulan setelah Revolusi Islam) oleh
kelompok Furqani (kelompok Islam garis keras). Beliau syahid setelah memimpin
rapat dewan revolusi di rumah Dr. Tadullah Shahabi. Sebutir peluru bersarang
tepat di kepalanya dan menembus kelopak matanya.[18] Imam Khomeini, selaku pemimpin tertinggi revolusi tak kuasa
menahan tangis dan kesedihannya ketika beliau syahid –bahkan kesedihan beliau
sangat mendalam dibandingkan ketika anak kandungnya sendiri, Sayyid Mustafa
Khomeini, syahid di tangan rezim Syah Pahlevi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar