Dirangkum
oleh R.S. Kurnia
Ada
banyak gelar yang bisa disandangkan pada sosok yang biasa dikenal sebagai Romo
Mangun ini. Ia adalah seorang arsitek, seorang humanis, seorang sastrawan, juga
budayawan. Sebagai pendidik, ia juga berperan menghadirkan suatu pendidikan
alternatif.
SIAPAKAH
ROMO MANGUN?
Yusuf
Bilyarta Mangunwijaya adalah nama lengkapnya. Ia dilahirkan pada tanggal 6
Maret 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah, sebagai anak sulung dari dua belas
bersaudara. Ayahnya bernama Yulianus Sumadi, sedangkan ibunya Serafin
Kamdaniyah.
Romo
Mangun mengawali pendidikannya di HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang
(1936 -- 1943). Lalu berturut-turut di STM Jetis, Yogyakarta (1943 -- 1947),
dan SMU-B Santo Albertus, Malang (1948 -- 1951). Selanjutnya ia menempuh
pendidikan seminari pada Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta, yang
dilanjutkan ke Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius di Mertoyudan, Magelang.
Pada
masa-masa sekolahnya, Romo Mangun sudah ikut dalam gerakan kemerdekaan. Ia,
misalnya, ikut dalam aksi pencurian mobil-mobil tentara Jepang. Ia pun
bergabung dalam Batalyon X Divisi III sebagai prajurit TKR. Ia turut pula dalam
pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan Mranggen. Selain menjadi prajurit
Tentara Pelajar, ia pernah pula bertugas sebagai sopir pendamping Panglima
Perang Sri Sultan Hamengkubuwono IX memeriksa pasukan. Pernah pula ia menjabat
sebagai komandan Tentara Pelajar saat Agresi Militer Belanda I pada Kompi Kedu.
IMAM
YANG MENEKUNI ARSITEKTUR
Pada
tahun 1951, ia masuk ke Seminar Menengah di Kotabaru. Setahun kemudian, ia
pindah ke Seminari Menengah Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang. Ia melanjut
ke Institut Filsafat dan Teologi Santo Paulus di Kotabaru. Di sinilah ia
bertemu mentornya, Uskup Soegijapranata, SJ., sosok yang juga menjadi tokoh
Nasional. Uskup Soegijapranata, SJ. merupakan uskup agung pribumi pertama di
Indonesia. Tidak hanya mengajar, Soegijapranata pulalah yang menahbiskan Romo
Mangun sebagai imam pada tahun 1959.
Meski
telah menjabat sebagai imam, cita-cita Romo Mangun sejak lama untuk menjadi
insinyur tidaklah hilang. Itulah sebabnya, setelah ditahbiskan, ia justru
melanjutkan pendidikannya di Teknik Arsitektur ITB, juga pada tahun 1959. Dari
ITB, ia melanjutkan studinya di universitas yang sama dengan B.J. Habibie,
yaitu di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman pada
1960, yang diselesaikannya pada tahun 1966. Pendidikan arsitektur inilah yang
kemudian memberinya landasan yang kuat untuk menghasilkan beragam karya
arsitektural yang justru menghadirkan nuansa baru dalam arsitektur Indonesia.
Tidak heran pula bila ia kemudian dikenal sebagai bapak arsitektur modern
Indonesia.
Sebagai
arsitek, ia merancang membangun banyak gedung. Sebut saja kompleks peziarahan
Sendangsono, Gedung Keuskupan Agung Semarang, Bentara Budaya Jakarta, pelbagai
bangunan lain, termasuk beberapa gereja. Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) pun
menganugerahinya IAI Awards 1991 dan 1993 sebagai penghargaan atas beberapa
karyanya. Adapun karya arsitekturalnya di Kali Code menjadi salah satu
"monumen" Romo Mangun. Ia membangun kawasan pemukiman warga pinggiran
itu tidak sebatas pembangunan fisik, tapi sampai pada fase memanusiakan
manusia.
"Penataan
lebih pada segi sosio-politis dan pengelolaan kemasyarakatan," demikian
tutur Romo Mangun, yang dikenal juga sebagai bapak dari masyarakat
"Girli" (pinggir kali) mengenai "monumen"-nya tersebut.
Penataan lingkungan di Kali Code itu pun membuahkan The Aga Khan Award for
Architecture pada tahun 1992. Tiga tahun kemudian, karya yang sama ini
membuahkan penghargaan dari Stockholm, Swedia, The Ruth and Ralph Erskine
Fellowship Award untuk kategori arsitektur demi rakyat yang tak diperhatikan.
MEMIHAK
RAKYAT KECIL
Sisi
humanisme Romo Mangun memang begitu kental. Pada tahun 1986, ia mendampingi
warga Kedungombo yang kala itu memperjuangkan lahannya dari pembangunan waduk.
Pembelaannya kepada nasib penduduk Kedungombo menyebabkan presiden, yang saat
itu masih dijabat oleh Soeharto, menuduhnya sebagai komunis yang mengaku sebagai
rohaniawan. Berbagai teror dan intimidasi menghampirinya pula.
"Kalau
saya dituduh melakukan kristenisasi kepada para santri, silakan tanyakan
langsung kepada warga Kedungombo. Kalau saya dikatakan sebagai warga negara
yang tidak taat kepada pemerintah, saya jawab, ketaatan itu harus pada hal yang
baik. Orang tidak diandaikan untuk menaati perintah yang buruk. Apa yang saya
kerjakan sesuai dengan Mukadimah UUD 1945 dan Pancasila," komentarnya
tenang.
Upaya
yang tidak sia-sia mengingat pada tanggal 5 Juli 1994, akhirnya Mahkamah Agung
RI mengabulkan tuntutan kasasi 34 warga Kedungombo tersebut. Malahan warga
memperoleh ganti rugi yang nilainya lebih besar daripada tuntutan semula.
SEBAGAI
PENULIS SEKALIGUS PENDIDIK
Karya
tulis yang dihasilkan Romo Mangun bukanlah karya tulis sembarangan. Semua
dihadirkan dengan alam pikir yang kompleks. Hal ini terwujud pula dari
kalimatnya yang panjang-panjang, yang tak jarang sulit dipahami. Namun, ia
berkata, "Tulisan saya realitas. Realitas itu kompleks, tidak sederhana,
tidak satu dimensi, canggih, rumit, dan banyak segi. Kalimat mestinya begitu
juga."
Faruk
H.T. berkomentar, "Karya-karya sastra Romo Mangun pada dasarnya berisi
cerita tentang pengorbanan dan penyerahan kekuasaan yang tidak menutup
kemungkinan bagi munculnya pengkhianatan" (Gatra 20 Februari 1999).
Kekayaan
tulisan Romo tidak hanya terlihat lewat bingkai sejarah yang dihadirkan, tetapi
juga persoalan kultur turut dibahasnya. Dalam bukunya, "Pasca-Indonesia,
Pasca-Einstein" (1999), masalah kultur dan dikotomi Barat-Timur, ia bahas
secara tajam.
Dalam
bidang kesusastraan, buah tangannya tidak dimungkiri pula. Sebut saja
"Burung-Burung Manyar" (1981) yang menuai penghargaan dari Ratu
Thailand Sirikit lewat ajang The South East Asia Write Award 1983. Ia juga
menjadi orang Indonesia kedua setelah Goenawan Mohammad yang mendapat
penghargaan The Professor Teeuw Award di Leiden, Belanda, untuk bidang susastra
dan kepedulian terhadap masyarakat. Adapun karya sastra terakhirnya berjudul
"Pohon-Pohon Sesawi", yang diterbitkan setahun setelah ia meninggal.
Tidak
hanya dalam bidang arsitektur dan penulisan, Romo Mangun pun memiliki
keprihatinan terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Ia mewujudkannya dengan
mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Catherine Mills, yang menulis tesis
mengenai Romo Mangun, mengutip perkataan Romo, "When I die, let me die as
a primary school teacher (kalau saya meninggal, biarkan saya meninggal sebagai
guru sekolah dasar)." Bagi Romo Mangun, pendidikan dasar jauh lebih
penting daripada pendidikan tinggi. Itulah sebabnya, ia pun pernah berujar,
"Biarlah pendidikan tinggi berengsek dan awut-awutan. Namun, kita tidak
boleh menelantarkan pendidikan dasar."
Mengenai
cara Romo Mangun mendidik anak-anak, budayawan Mudji Sutrisno memiliki kenangan
tersendiri. Ketika bersama anak-anak didiknya sedang merayakan ulang tahun
salah seorang anak, Romo melihat bahwa anak-anak kecil tersebut tidak sanggup
menghabiskan makanannya. Akhirnya, Romo mengumpulkan sisa makanan tersebut
menjadi satu dan memakannya agar tidak ada yang terbuang.
"Dengan
menghabiskannya serta menjelaskan bahwa makanan adalah rezeki Sang Pencipta,
maka sebuah penghayatan keteladanan dalam menanamkan nilai syukur dan
menghargai nasi tertanam amat menyentuh. Apalagi, santapan itu dihabiskan sang
guru dengan rendah hati," kenang Mudji.
ROMO
BERPULANG
Romo
Mangun sebenarnya telah memasang alat pacu jantung sejak 1990. Lalu sejak 1994,
ia berniat mengurangi aktivitasnya sebagai pembicara di berbagai seminar dan
diskusi. Meski demikian, pada tahun 1999, ia justru menghadiri kegiatan yang ia
hindari itu.
Pada
tanggal 10 Februari 1999, Romo Mangun menghadiri Simposiom "Meningkatkan
Buku Dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia", yang diselenggarakan
Yayasan Obor Indonesia, di Hotel Le Meridien, Jakarta. Ia juga berbagian
sebagai pembicara pada simposium tersebut, namun belum lama, badannya limbung,
nyaris jatuh. Budayawan Mohamad Sobary langsung membaringkannya di lantai Ruang
Puri. Dan tepat pukul 13:55 WIB, Romo Mangun dinyatakan meninggal karena
serangan jantung.
Pemakamannya
dihadiri oleh ribuan pelayat. Hal ini menunjukkan betapa ia merupakan pribadi
yang sangat dikagumi sekaligus dihormati masyarakat dari berbagai kalangan.
Tidak hanya kalangan rohaniawan dan penganut Katolik atau masyarakat
Yogyakarta, berbagai lapisan masyarakat dan agama turut menghadiri.
Budayawan
Mudji Sutrisno mengapresiasi sosok Romo sebagai seorang rohaniawan yang
menghidupi iman Katolik dan imamatnya dengan tindakan nyata. Tidak hanya
seorang pastor yang melayani misa, tetapi juga pastor yang terlibat dalam
membahasakan cinta. Masih menurutnya, Romo Mangun benar-benar mempraktikkan
karya Yesus yang menyapa, peduli, berjuang, menyatu dengan kaum terpinggirkan, dan
hidup bersama mereka.
Cita-cita
Romo Mangun memang banyak yang terlampaui. Sebagai arsitek, ia berhasil
membangun beragam bangunan yang membuahkan penghargaan. Sebagai penulis,
karyanya pun diakui di tingkat dunia. Hanya saja, obsesinya tentang pendidikan
anak-anak miskin belum tercapai. Ia memang telah merintis Yayasan Dinamika
Edukasi Dasar sejak tahun 1980-an, sebuah wadah pengajaran bagi anak-anak
miskin dan telantar. Ia juga merintis sekolah di desa Mangunan, Kalasan, yang
menurut Mudji Sutrisno merupakan karya intelektual yang nyata, yang melakukan
penyebaran ide dan kritis. Intelektual yang tidak saja memiliki
"laboratorium" tapi juga mewakili nurani bangsa.
Sayang,
perjuangannya harus terhenti oleh penyakit jantung, saat SD Mangunan tersebut
baru berjalan lima tahun, kurang empat tahun untuk melihat hasil dari kurikulum
pendidikan dasar sembilan tahun yang dirancang dan diaplikasikan oleh Romo
Mangun sendiri. Mungkinkah ini menjadi tongkat estafet bagi semua orang,
sebagaimana Yesus meninggalkan Petrus dan rekan-rekan lainnya untuk melanjutkan
karya mereka bersama. Ya, tongkat estafet itu harus disambut oleh setiap orang
percaya. Andakah itu?
Dirangkum
dari:
Anonim.
1999. Sang Pastor Pejuang Romo Mangun telah Pergi, dalam SiaR News Service, Rabu
10 Februari 1999, http://www.mail-archive.com/.
Laksono,
Mayong S. Romo Mangun: Merakyat untuk Balas Budi kepada Rakyat, dalam Intisari
on the Net, Maret 2000,
http://www.indomedia.com/intisari/2000/maret/mangun.htm.
Prakosa,
Ambara Muji. 2007. Man For Others: Sketsa Mangun (1), dalam http://orcafilms-inside.blogspot.com/.
Wikipedia
Indonesia. 2007. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, dalam http://id.wikipedia.org/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar