“Di Perang Hunain aku
melihat Umar bin Khattab melarikan diri. Lalu aku katakan kepadanya: –Coba
lihat– apa yang kamu perbuat?! Dan dia menjawab: Ini adalah takdir Ilahi”
Bagian Kedua (Selesai)
Oleh Muhsin Pur Muhammad. Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs
Sadeqin)
3. Acuh Tak Acuh dan Mau Enaknya Sendiri (Khawarij dan
Murji’ah)
Setelah Usman khalifah
kedua terbunuh, Muawiyah mengibarkan pakaian Usman menjadi bendera untuk
menuntut balas darah dia dan mengumumkan perang melawan Ali as. Dalam hal ini,
sebagian dari umat Islam ada yang berpihak kepada Ali as dan sebagian yang lain
berpihak kepada Muawiyah. Ada juga kelompok seperti Khawarij yang mengkafirkan dua pihak tersebut.
Di tengah gejolak politik yang semakin memanas ini, ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa sebaiknya mereka diam dan tidak menghakimi dua tokoh tersebut, mereka menjunjung tinggi khalifah yang pertama dan yang kedua serta menunda penilaian mereka tentang khalifah ketiga dan keempat. Kelompok ini menamakan dirinya dengan Murji’ah.
Di tengah gejolak politik yang semakin memanas ini, ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa sebaiknya mereka diam dan tidak menghakimi dua tokoh tersebut, mereka menjunjung tinggi khalifah yang pertama dan yang kedua serta menunda penilaian mereka tentang khalifah ketiga dan keempat. Kelompok ini menamakan dirinya dengan Murji’ah.
Selama beberapa waktu inti
pembicaraan mereka adalah itu, namun ketika persoalan tentang Usman dan Ali as
mulai terlupakan karena hal-hal tertentu maka mereka melontarkan persoalan
tentang perbuatan dosa besar. Sebagian orang berpendapat bahwa pelaku dosa
besar adalah mukmin sementara sebagian yang lain seperti Khawarij berpendapat
pelaku dosa besar adalah kafir. Dalam kondisi seperti inilah aliran Murji’ah
berkembang dengan warna yang berbeda; menurut mereka iman dalam hati dan
kesaksian lidah sudah cukup untuk menjamin keselamatan manusia, sedangkan amal
atau pelaksanaan tugas sama sekali tidak ada hubungannya dengan iman dia.
Mereka disebut dengan Murji’ah karena mengedepankan iman dan menendang amal ke
belakang. Bahkan mereka melangkah lebih jauh lagi dalam membanting nilai amal,
mereka katakan bahwa iman seorang pelaku dosa yang mukmin sejajar dengan
imannya para malaikat dan nabi. Dan pada puncaknya mereka mendukung perdamaian
universal dalam artian hati manusia harus senantiasa suci, adapun amal tidaklah
penting dan masih ada harapan Tuhan untuk memaafkan!
Sebab munculnya aliran
Murji’ah adalah sikap acuh tak acuh dan mau enaknya sendiri, karena jika memang
mereka tidak demikian maka pada kenyataannya jarak waktu mereka dengan awal
kemunculan Islam tidaklah jauh, masih banyak sahabat Rasulullah saw yang hidup
pada waktu itu, dan mereka bisa bertanya langsung kepada mereka untuk mencari
jalan yang sesungguhnya dan terhindar dari penyimpangan.
Ketika itu masih banyak
bukti dan tanda-tanda untuk mengenali jalan yang benar, salah satunya adalah
keberadaan Ammar bin Yasir. Ibnu
Abil Hadid menukil percakapan yang menarik antara Duzul Kala’ dari kubu
Muawiyah dengan Abu Nuh dari kubu Amirul Mukminin Ali as sebelum terjadi Perang
Shiffin, di sini bisa disaksikan bagaimana mereka berusaha untuk mencegah
terjadinya perang dengan cara bersandar pada bukti dan tanda kebenaran. Mereka
mengatur sebuah pertemuan dan dialog antara Ammar dengan Amr bin Ash. Dalam
pertemuan itu Amr bin Ash mengakui bahwa Ammar selalu berada di pihak
kebenaran. Namun demikian, mereka tetap saja tidak mau mengambil pelajaran dari
tanda kebenaran ini.
Ibnu Abil Hadid heran
terhadap orang-orang yang tetap ragu untuk ikut berperang di kubu Ali as, padahal
Ammar ikut bersamanya, dan hal yang lebih mengherankan lagi bagi dia adalah
bagaimana mereka tidak memperhitungkan Ali as itu sendiri yang merupakan panji
hidayah. Ibnu Abil Hadid mengatakan: “Rahasia
di balik kenyataan ini adalah kaum Quraisy sangat berusaha keras untuk
mengasingkan Ali as dan menyembunyikan keutamaan-keutamaannya sehingga praktis
beliau tidak lagi dikenal di tengah masyarakat dan tidak juga punya kelebihan
di mata mereka, intinya ketika itu posisi beliau di hati masyarakat sangatlah
berkurang”.
Sebetulnya dari cerita pertemuan antara Ammar dengan Amr bin Ash bisa ditarik kesimpulan bahwa jika memang seseorang benar-benar ingin mengetahui kebenaran dan membedakannya dari kebatilan maka dia bisa mencapai keinginan itu. Contoh-contoh cerita seperti ini seringkali terjadi dan tercatat oleh sejarah Islam. Pernah ada seorang mendatangi Ibnu Mas’ud yang merupakan sahabat Nabi saw dan penulis wahyu, dia bertanya kepadanya apa yang harus dilakukan jika seseorang bingung antara mana yang haq dan mana yang batil? Ibnu Mas’ud menjawab: “Berpeganglah kepada al-Qur’an”, orang itu kembali bertanya bagaimana jika masing-masing pihak mengaku sebagai pembela al-Qur’an, apa yang harus dia lakukan? Ibnu Mas’ud menjawab: “Ammar senantiasa bersama kebenaran”. [1] Ibnu Abil Hadid juga meriwayatkan dari Zaid bin Arqam bahwa Rasulullah saw bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang apabila kalian bersepakat dengannya maka kalian tidak akan binasa? –Sesuatu itu adalah– Sesungguhnya wali kalian adalah Allah dan imam kalian adalah Ali bin Abi Thalib, maka hendaklah kebaikan dia dan benarkanlah dia, sesungguhnya Jibril telah memberitahuku demikian”. [2]
Ibnu Abil hadid mengatakan
bahwa dari sejak semula kaum Quraisy bermaksud untuk menutup-nutupi
keutamaan-keutamaan Ali as, [3] dan sejarah menunjukkan kepada kita
bahwa campur tangan khalifah dalam mengasingkan Ali as dan menyembunyikan
keutamaan beliau lebih besar daripada yang lain, mereka telah melarang periwayatan
hadis-hadis Nabi saw yang mengungkapkan keutamaan Ali Bin Abi Thalib as.
4. Larangan Periwayatan Hadis Nabi saw
Salah satu kejadian
penting di awal kedatangan Islam yang sekaligus merupakan faktor lain dari
kemunculan aliran-aliran Islam adalah larangan periwayatan hadis Nabi saw.
Berdasarkan laporan yang ditulis oleh Ahmad bin Hanbal di dalam buku Musnadnya
dan juga oleh pembuku-pembuku hadis yang lain bahwa ketika Umar bin Khattab
menjadi khalifah dia mengirimkan surat edaran resmi ke berbagai penjuru dunia
Islam yang isinya adalah: “Sungguh barangsiapa yang telah menulis sebuah hadis
maka dia harus menghapuskannya”. [4] Setelah dua khalifah pertama
meninggal, larangan penulisan, pembukuan dan penyebaran hadis-hadis Nabi saw diberlakukan
secara terbatas; contohnya pada masa khilafah Usman bin Affan hanya hadis-hadis
yang terdengar pada masa khilafah Abu Bakar dan Umar yang boleh untuk
disebarkan. [5]
Selanjutnya, Muawiyah
hanya memperbolehkan periwayatan hadis yang terdengar pada masa khilafah Umar
bin Khattab. Dan larangan ini diberlakukan secara ketat dan atas nama
penghormatan serta pengultusan al-Qur’an sampai masa khilafah Umar bin Abdul
Aziz (99-101). Perjalanan waktu menunjukkan bahwa larangan untuk meriwayatkan
dan menulis hadis-hadis peninggalan Rasulullah saw akan berakibat kehancuran
agama Islam itu sendiri. Itulah sebabnya Umar bin Abdul Aziz berkata kepada Abu
Bakar bin Hazm, seorang ulama di kota Madinah: “Lihatlah hadis-hadis Nabi dan
tulislah. Aku takut bangunan ilmu menjadi rapuh dan orang-orang alim menjadi hilang.
Jangan menerima hadis selain hadis Nabi saw. Lakukan penelitian terhadap ilmu
hadis dan duduklah di bangku pendidikan untuk mengajarkan ilmu itu kepada
orang-orang yang tidak tahu. Ilmu tidak akan hilang selama tidak mengalami
kondisi tertutup dan tersembunyi”. [6]
Walau sudah ada langkah
yang serius dan penekanan dari Umar bin Abdul Aziz, namun tetap saja tidak
terjadi sebuah pergerakan yang kasat mata di bidang penulisan dan pembukuan
hadis, tidak lebih dari segelintir orang saja yang pada masa itu berhasil
menulis dan menyuguhkan buku-buku yang tidak teratur. Dalam pada itu, akhirnya
kekuasaan Dinasti Umayyah gugur dan digantikan oleh Dinasti Abbasiyah pada
tahun 143 Hijriah, tepatnya pada masa khilafah Mansur dibangunlah sebuah
gerakan besar di bidang penulisan, pembukuan dan penyebaran hadis. Namun pada
masa itu juga hanya ada segelintir buku yang tidak teratur.
Di lain pihak, keinginan masyarakat dan pemerintah untuk mendengar hadis-hadis peninggalan Nabi saw disalahgunakan oleh orang-orang bangsat yang menuhankan dunia, kondisi itu mereka gunakan untuk mengantongi keuntungan dan meraih kedudukan dengan cara mengarang hadis-hadis palsu dan memainkan peran sebagai guru.
Di lain pihak, keinginan masyarakat dan pemerintah untuk mendengar hadis-hadis peninggalan Nabi saw disalahgunakan oleh orang-orang bangsat yang menuhankan dunia, kondisi itu mereka gunakan untuk mengantongi keuntungan dan meraih kedudukan dengan cara mengarang hadis-hadis palsu dan memainkan peran sebagai guru.
Buku-buku Rijal atau biografi hidup orang-orang
terdahulu memperkenalkan banyak sekali pembohong dan pembuat hadis palsu di
antara mereka yang mengarang berbagai hadis untuk mencapai kedudukan dan
kekayaan atau karena fanatisme dan keinginan untuk menjatuhkan
kelompok-kelompok lawan. Satu contoh,
Allamah Amini saja di dalam kitab al-Ghadir mengumpulkan tujuh ratus nama orang
dari mereka secara urutan alphabet. Dan sudah barang tentu statistik pemalsu
hadis ini lebih itu. Dan masing-masing dari mereka telah mewariskan ribuan
hadis palsu.
Hadis nabawi di abad kedua dan ketiga hijriah membentuk sebuah kerucut yang bagian teratasnya diisi oleh masa hidup Rasulullah saw, sedangkan bagian-bagian lainnya diisi oleh masa-masa setelah itu. Semakin dekat kita ke masa Rasulullah saw, maka bilangan hadis itu semakin sedikit, sebaliknya semakin jauh kita dari masa beliau maka bilangan itu semakin bertambah banyak, sehingga Ahmad bin Hanbal (242 H) menghitung hadis sahih lebih dari tujuh ribu, dan Bukhari yang hidup semasa dengan Ahmad memilih empat ribu hadis sahih dari enam ratus ribu hadis yang dia dapatkan, lalu Abu Dawud memilih hadis sahih dari lima ratus ribu hadis dan menurutnya hanya empat ribu delapan ratus hadis yang sahih. [7] Bahkan, hadis-hadis pilihan ini sendiri setelah diteliti oleh para ahli setelah mereka ternyata tidak sedikit dari hadis-hadis itu yang diragukan atau ditolak.
Pasar hadis yang semrawut ini disalahgunakan oleh budak-budak dunia bahkan terkadang juga oleh pezuhud-pezuhud yang dungu sehingga tuntunan Islam; dasar-dasar akidah, tafsir, sejarah, dan manaqib (ilmu silsilah) mengalami kesimpangsiuran yang luar biasa. Itulah kenapa masing-masing penghulu mazhab dapat dengan mudah mencari dukungan dari referensi hadis-hadis Nabi saw untuk tiap-tiap akidah, prinsip dan pendapat mereka. Seluruh aliran Islam memiliki melandaskan ideologi mereka di atas hadis-hadis yang dicantumkan oleh para ahli dan periwayat hadis di dalam buku-buku induk hadis mereka. Segala macam hadis dapat ditemukan di sana, seperti hadis tentang tubuh Tuhan, keserupaan Tuhan dengan manusia, keterpaksaan manusia dalam bertindak, keterlihatan Tuhan di Hari Kiamat dengan mata kepala, dan lain sebagainya, semua hadis itu tertera di dalam –contohnya– buku induk hadis Shahih al-Bukhari.
5. Pendeta dan Rahib
Rasulullah saw –sebelum meninggal dunia, telah
mewariskan dua amanat yang sangat berharga di tengah masyarakat, dua amanat
berharga itu adalah al-Qur’an dan Ahlul Bait as. [8]. Beliau menekankan kepada mereka
bahwa dua amanat ini saling menyempurnakan dan tidak akan pernah berpisah satu
sama yang lain. Namun, ide “hasubna kitabullah”, yang berarti al-Qur’an saja
sudah cukup bagi kita, berusaha untuk memisahkan antara dua amanat itu dengan
cara melarang periwayatan dan pembukuan hadis-hadis Nabi saw serta mengasingkan
masyarakat dari Ahlul Bait as dalam kapasitas mereka sebagai pewaris ilmu Nabi
saw dan salah satu dari dua amanat besar beliau. Akan tetapi di satu sisi, rasa
ingin tahu manusia tidak pernah diam dan vakum, sebaliknya rasa itu selalu
ingin mengubah kebodohan mereka menjadi pengetahuan, dan jika rasa ingin tahu
itu tidak terpuaskan melalui jalan yang wajar, maka dia akan mencari jalan lain
untuk memuaskannya.
Pada waktu itu, masyarakat
merasa sangat membutuhkan kepada rujukan agama dan penafsir al-Qur’an, selain
itu mereka juga menikmati cerita-cerita tentang para nabi yang terdahulu. Ternyata,
ulama palsu menangkap kondisi ini secara baik dan segera ingin menyalahgunakannya
untuk kepentingan mereka sendiri. Tepatnya, ketika sahabat-sahabat terkemuka
nabi seperti Abu Dzar al Ghifari dan Abdullah bin Mas’ud dilecehkan oleh pemerintah, Tamim Aus ad-Dari
yang telah melewatkan umurnya bersama agama Kristen dan baru masuk Islam pada
tahun sembilan hijriah diizinkan oleh pemerintah untuk mengobral
dongeng-dongengnya di Masjidun Nabi. Sejak periode kekuasaan khalifah kedua dan
seterusnya, para pendeta Kristen dan rahib Yahudi mendapatkan surat izin resmi
dari pemerintah untuk mengobral sejarah dan dongeng-dongeng tentang para nabi.
Salah satu orang yang punya peran penting dalam memecah belah umat Islam adalah
Ka’bul Ahbar, Wahab bin Munabbih, dan Tamim Aus ad-Dari. Dulunya, dua orang
yang pertama beragama Yahudi sedangkan yang ketiga beragama Kristen.
Satu versi mengatakan Ka’bul Ahbar ditarik ke dunia Islam pada masa khilafah Abu Bakar, dan versi yang lain mengatakannya pada periode khilafah Umar. Dalam waktu yang singkat, dia sudah berhasil menarik banyak perhatian masyarakat muslim sampai-sampai Dzahabi berkata tentang dia: “Dia adalah khazanah ilmu dari kalangan ulama Ahli Kitab. Sebagian orang-orang tabi’in telah meriwayatkan hadis dari dia”. [9] Dia dikenal sebagai orang alim yang menguasai Taurat dan Injil, oleh karena itu dengan mudah dia dapat menyebarkan akidah Yahudi di kalangan muslimin. Riwayat-riwayatnya penuh dengan pernyataan bahwa Tuhan bertubuh dan bisa dilihat dengan mata kepala.
Tak lama kemudian, dua
pandangan itu menjadi bagian dari akidah kelompok yang dikenal dengan nama Ahli
Hadis. Ka’bul Ahbar berhasil menarik perhatian khalifah kedua dengan segala
tipu muslihatnya, begitu pula setelah kematian khalifah kedua dia langsung
mencuri tempat di hati khalifah ketiga bahkan berhasil memperoleh kedudukan
sebagai rujukan agama di tengah umat Islam!, dalam hal itu khalifah kedua
sering mengajukan persoalan hukum fikih kepadanya, dan karena perbuatan itu
pula khalifah kedua diprotes oleh Abu Dzar. [10] Ka’bul Ahbar juga
berniat untuk mempersiapkan pemerintahan Muawiyah, akan tetapi ajal tidak
memberinya kesempatan untuk itu. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ka’bul
Ahbar berkata: “Tempat lahir Nabi (saw) di Mekkah, hijrah beliau ke Tayyibah
(Madinah), dan kerajaan beliau akan berdiri di negeri Syam”. [11]
Dan di masa-masa selanjutnya, pernyataan seperti dia ini sering terulang di
dalam riwayat-riwayatnya Abu Hurairah dan yang lain.
Wahab bin Munabbih adalah figur berikutnya yang lahir pada akhir periode khilafah Usman bin Affan dan meninggal dunia pada tahun 114 hijriah. Dia juga dikenal dengan sebagai ulama yang menguasai Taurat dan Injil, dia juga telah menulis buku yang berjudul Qishosh al-Abror wa Qishosh al-Akhyar yang memuat kisah-kisah tentang para nabi. Di penghujung abad yang pertama hijriah, persoalan tentang jabar dan ikhtiar muncul ke permukaan, dan dia tergolong kelompok yang membela konsep jabar –atau keterpaksaan manusia dalam bertindak– dan merupakan orang yang berperan besar dalam memanaskan suasana perselisihan. Kesimpulannya bahwa begitulah proses masuknya kepercayaan-kepercayaan ulama Yahudi dan Kristen ke tubuh ajaran Islam, sampai-sampai kisah tentang penciptaan Adam dan Hawa di dalam buku Tafsir al-Thabari persis sekali dengan kisah mereka yang tertera di dalam Taurat, dan kisah itu telah diriwayatkan oleh Wahab bin Munabbih.
6. Sentuhan Peradaban Asing
Sewaktu kawasan
pemerintahan Islam semakin meluas, orang-orang muslim baru mengenal pengikut
agama-agama yang lain dan bertatapan langsung dengan mereka. Ketika itu pula
komunitas Yahudi dan Kristen memperkuat dasar-dasar ideologi mereka dengan
bukti-bukti rasional yang menggunakan logika Aristoteles dan peradaban Yunani.
Muslimin, ketika berhadapan dengan mereka, merasakan sebuah kehampaan
inetelektual dan ideologis di dalam diri mereka, itulah sebabnya mereka menjadi
lebih empuk untuk menerima pukulan. Mengingat mental terbuka dan lapang dada
yang diwariskan oleh Islam kepada muslimin, maka pada saat itu pula mereka
menyalin karya-karya filosof Yunani dan Persia ke dalam Bahasa Arab dan
bermaksud untuk menggunakan sebagai sarana untuk melawan musuh-musuh mereka.
Oleh karena itu muncullah jawaban yang berbeda-beda untuk berbagai persoalan
yang mengemuka sehingga dari sanalah aliran-aliran Islam lahir.
7. Endapan Akidah Pra Islam
Banyak kaum yang memeluk
agama Islam sementara sebelum itu mereka memiliki bayangan tersendiri tentang
Tuhan dan sifat-sifatnya, qadha dan qadar, pahala dan siksa, dan lain
sebagainya. Dalam pada itu, sudah barang tentu akidah yang secara gamblang
bertentangan dengan Islam –seperti bilangan Tuhan atau sembah arca– telah
hengkang dari hati mereka. Adapun ajaran-ajaran Islam yang multi sisi dan masih
mungkin untuk ditafsirkan ke berbagai macam, maka secara alami mereka cenderung
pada penafsiran yang selaras dengan akidah mereka sebelumnya; contohnya, menurut
agama Yahudi, Tuhan digambarkan seperti manusia, kadang-kadang matanya sakit, jalan-jalan
bersama Nabi Adam as, bersembunyi di balik pohon, bergulat dengan Nabi Ya’qub
as, dan kalah dalam pergulatan, dan lain-lain sebagainya. Dan ketika
orang-orang yang meyakini hal-hal tersebut masuk Islam maka mereka cenderung
pada ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata-kata seperti telinga, mata dan
tangan. Itulah kenapa mereka memilih makna lahir dari kata-kata itu dan
mengatakan sungguh benar bahwa Tuhan memiliki tubuh, telinga dan mata. [12]
8. Keragaman Nalar Manusia
Manusia selalu mempunyai
pola pikir yang berbeda-beda; mungkin sekali orang menggambarkan Tuhan sebagai
berikut: Malikul Mulk, Maha Raja, pemimpin mutlak yang tidak ada satu pun yang
berhak dan atau bisa memerintahnya; Fa’alun Ma Yasya’, Pelaku apa saja yang Dia
kehendaki dan tidak ada satu pun yang berhak dan atau bisa menuntut-Nya kenapa;
Mukhtar, Bebas untuk mengampuni pelaku dosa dan memberi pahala kepada pelaku
kebaikan, Dialah yang karena kekuasaanya gunung menjadi krikil, malam menjadi
siang, dan api menjadi dingin, Dialah sebab segala sesuatu, oleh karena itu
manusia bukanlah keberadaan yang bebas bertindak melainkan apa saja yang dia
lakukan adalah perbuatan Tuhan. Ini
adalah pemikiran kelompok Asy’ari.
Di sisi yang berlawanan, mungkin sekali orang berpikir tentang Tuhan bahwa: Semua keputusan dan perbuatan Tuhan pasti berdasarkan maslahat dan tidak mungkin hampa hikmah atau kebijaksanaan, Dia menciptakan alam semesta ini berdasarkan asas dan fondasi yang kokoh sehingga sama sekali tidak ada celah di sana, Dia tetapkan ciri khas dan pengaruh tertentu di dalam tiap-tiap sesuatu sekiranya tidak akan mungkin terpisah dari sesuatu tersebut, Dia ciptakan manusia merdeka dan bebas, sungguh seluruh perbuatan dan keputusan dia berdasarkan keadilan. Ini adalah pemikiran kelompok Mu’tazilah. Terkadang, perbedaan tabiat manusia bisa digambarkan dalam bentuk yang lain, yaitu: sebagian orang mengikut-campurkan akal ke semua persoalan dan tidak mau mempercayai sesuatu apapun selama tidak terbukti secara rasional, sebagian lagi sama sekali tidak mau banyak bertanya atau protes dan mereka mempercayai apa saja yang mereka dengar dari senior. Pola pikir-pola pikir semacam ini selalu ada di setiap masa dan abad. [13]
9. Cara Pergaulan Ulama dan Ahli Hadis
Salah satu faktor utama
perselisihan adalah cara pergaulan ulama dan Ahli Hadis, umumnya mereka tidak
mau bergaul kecuali dengan orang yang sealiran, kadang-kadang dengan alasan
bahwa pergaulan dengan kelompok asing adalah tidak diperbolehkan, dan
kadang-kadang karena mereka sibuk sekali dengan penelitian hadis sehingga tidak
punya peluang dan kesempatan untuk mengurusi hal yang lain. Di samping itu,
jarak yang jauh dan fasilitas yang sedikit membuat suara yang berbeda tidak
pernah sampai ke telinga mereka. Satu contoh, Syekh Maturidiyah yang hidup di
sekitar Khurasan adalah semasa dengan Syekh Abul Hasan Asy’ari yang hidup di
Bashrah. Dua-duanya menentang kejanggalan-kejanggalan Ahli Hadis dan dua-duanya
juga bersumber dari Ahli Hadis, dan walaupun Maturidi lebih dekat kepada
Mu’tazilah, akan tetapi baik Asy’ari maupun Maturidi sama-sama menentang
Mu’tazilah. Meski demikian, karena masing-masing dari mereka tidak saling mengenal
satu sama yang lain, maka perselisihan antara dua kelompok tadi mengacu pada
perselisihan antara kelompok Asya’riyah dan Maturidiyah. [14]
10. Pemerintah dan Penguasa
Di sepanjang sejarah,
betapa banyak pemerintah dan penguasa yang memperbolehkan segala cara untuk
mencapai tujuan mereka dan tidak melewatkan kesempatan sekecil apa pun untuk
kepentingan mereka. Maka dari itu, mengingat bahwa ajaran Islam yang menjulang
menduduki posisi yang luar biasa penting di tengah masyarakat, maka dia tidak
luput dari ulah kotor tangan-tangan mereka. Banyak sekali bukti yang
menunjukkan bagaimana pemerintah dan penguasa menyodorkan sebuah tafsir khusus
mengenai teks-teks agama untuk mencapai target mereka dan mereka mendukungnya
dengan kekuasaan penuh.
Di lain pihak, teks suci
agama tersebut memiliki penafsiran-penafsiran yang berbeda sesuai dengan
kepentingan penguasa setempat. Kondisi ini membuat setiap penafsiran mempunyai
pendukung tersendiri dan secara otomatis telah memecah belah umat. Satu contoh,
kita coba menelusuri perjalanan sejarah pembahasan tentang “Qadla dan Qadar”
serta “Jabar dan Ikhtiar”: Akidah jabar, berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an,
adalah akidah syirik yang diikuti oleh Arab Jahiliah:
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُواْ لَوْ شَاء اللّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلاَ آبَاؤُنَا وَلاَ حَرَّمْنَا مِن شَيْءٍ / الانعام: 148
Artinya: “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan, Kalau Allah menghendaki niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan Tuhan dan Kami tidak mengharamkan sesuatu apapun”. (QS. 6: 148).
Sampai tempo yang cukup
lama akidah ini tetap populer di tengah masyarakat muslim. Waqidi contohnya,
dia menukil sebuah riwayat dari seorang perempuan bernama Ummu Harits yang
mengatakan: “Di Perang Hunain aku
melihat Umar bin Khattab melarikan diri. Lalu aku katakan kepadanya: –Coba
lihat– apa yang kamu perbuat?! Dan dia menjawab: Ini adalah takdir Ilahi”. [15]
Bukan cuma dia yang masih memegang akidah itu melainkan ada banyak orang lain
yang juga mempercayainya; Suyuthi meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa ada
seorang lelaki yang mendatangi Abu Bakar seraya bertanya: Apakah perbuatan zina
itu terjadi karena takdir Ilahi? Dia menjawab: Iya. Lelaki itu mempertanyakan:
Bagaimana mungkin dikatakan bahwa Allah telah menakdirkanku untuk perbuatan
tertentu lalu Dia menyiksaku karena itu?! Abu Bakar menjawab: Ya begitulah
wahai putra wanita yang bau busuk! Demi Allah, kalau saja sekarang ada orang
yang bersamaku maka akan aku perintahkan dia untuk menghajar hidungmu”. [16]
Pemerintahan Dinasti Umayyah juga berusaha untuk menyebarluaskan akidah “Qadla dan Qadar”. Abu Hilal Askari mengatakan: “Muawiyah adalah orang pertama yang mengatakan bahwa seluruh perbuatan manusia adalah terlaksana dengan keinginan Allah”. [17] Ketika Aisyah, mantan istri Nabi saw, menuntut Muawiyah kenapa kamu memaksa masyarakat untuk berbaiat kepada putramu Yazid? Muawiyah menjawab: Ini merupakan qadla dan kadar (keputusan dan takdir) Tuhan, dan manusia tidak punya hak dan ikhtiyar dalam hal itu”. [18] Begitu pula ketika Abdullah bin Umar memprotes Muawiyah karena keputusannya berkenaan dengan Yazid, Muawiyah berkata: “Aku peringatkan kamu dari perbuatan memecah belah persatuan umat Islam dan membuat kerusuhan serta pertumpahan darah di antara mereka. Khilafah putraku Yazid adalah keputusan dan takdir Ilahi, dan masyarakat sama sekali tidak punya hak dan ikhtiyar dalam hal itu”. [19] Lambat laun, pola pikir ini menular ke yang lain. Ketika Abdullah bin Muti’ protes terhadap Umar bin Sa’ad Waqqash, kenapa dia lebih memilih kekuasaan di Hamadan dan Rei daripada pembantaian Husein bin Ali as, dia Umar bin Sa’ad menjawab: “Semua ini sudah tercantum di ilmu Tuhan dan merupakan takdir-Nya” [20]
Dinasti Umayyah selain menyebarluaskan akidah tersebut, mereka juga telah membuat hadis-hadis palsu untuk itu. Enam buku induk hadis sahih –menurut Ahli Sunnah– penuh dengan hadis-hadis palsu ini. Pokok-pokok keyakinan Ahli Hadis telah dibangun berdasarkan hadis-hadis tersebut. Ahmad bin Hanbal, tokoh terkemuka kelompok Ahli Hadis, mengatakan: “Takdir baik maupun buruk, sedikit maupun banyak, lahir maupun batin, manis maupun pahit, disukai maupun dibenci, bagus maupun jelek, awal maupun akhir semuanya adalah keputusan dan ketentuan Allah”. [21]
Dalam hal ini, Syekh Abu Hasan Asy’ari mengatakan: “Allahlah yang menyukseskan orang-orang mukmin untuk taat kepada-Nya dan Dialah yang memberi mereka hidayah, sebaliknya Allahlah yang menyesatkan orang-orang kafir dan Dialah yang tidak memberi mereka hidayah ... baik dan buruk adalah qadla dan takdir Ilahi, kami beriman kepada semua takdir baik yang baik maupun yang buruk dan yang manis maupun yang pahit, kami tahu bahwa apa yang tidak sampai kepada kami tidak akan mungkin sampai kepada kami dan apa yang sampai kepada kami tidak akan mungkin tercegah dari kami. Manusia sama sekali tidak memiliki untung dan rugi kecuali jika Allah menghendaki”. [22]
11. Reaksi Sosial, Rasional dan Religius
Qadariyah
adalah aliran yang meyakini ikhtiyar dan kebebasan manusia. Munculnya aliran
Qadariyah merupakan reaksi sosial dan rasional dari akidah Jabariyah yang disebarkan oleh periwayat-periwayat yang dikehendaki
oleh pemerintah. Para pengikut Qadariyah diburu, disiksa dan digantung hanya
karena mereka telah menyebarkan akidah ikhtiyar dan kebebasan manusia dan
menentang akidah qadla dan qadar. Ma’bad Juhani, salah satu pendiri aliran
Qadariyah, berkata kepada Hasan Basri: “Anak-anak
Umayyah menumpahkan darah seenaknya saja lalu mengatakan bahwa perbuatan kita
ini berdasarkan takdir Ilahi”. Hasan Basri membalas: “Mereka adalah musuh-musuh Allah dan sungguh mereka berbohong”. [23]
Ghailan Demesyqi juga sependapat dengan Ma’bad Juhani. Syahrestani mengatakan: “Ghailan seringkali mengatakan: “Baik dan buruk ada di tangan manusia itu sendiri””. [24] Sejarah mencatat dua orang ini betul-betul tertindas, mereka bersikukuh dengan keyakinan mereka di hadapan para khalifah, dan karena itu pula mereka harus menerima segala bentuk musibah. Ma’bad Juhani dihukum mati oleh Hajjaj (80 H), sedangkan Ghailan setelah menjalani proses pengadilan formalitas yang dipimpin oleh jaksa Awza’i dihukum gantung di pintu gerbang Kisan Damaskus (150 H).
Alasan bahwa hukuman mati orang-orang seperti mereka berdimensi politis adalah surat-surat yang mereka kirim kepada para khalifah. Ghailan Demesyqi mengirim surat kepada Umar bin Abdul Aziz dan memperingatkan kondisi ghanimah perang dan baitul mal yang menyedihkan. Ketika itu, Hisyam bin Abdul Malik yang belum menjadi khalifah tapi termasuk keluarga Dinasti Umayyah, bersumpah suatu saat aku menjadi khalifah maka aku akan menghabisi Ghailan karena perbuatannya ini. Dan ternyata benar, dia habisi Ghailan ketika dia menjadi khalifah. [25] Atas dasar itu, meskipun para khalifah membantai orang-orang yang mengakui ikhtiyar dan kebebasan manusia akan tetapi pola pikir ini mengalami pengkristalan dan berapa waktu kemudian membentuk sebuah aliran besar yang bernama Mu’tazilah.
Kesimpulannya adalah: “Jika kita menengok kembali sejarah awal kemunculan Islam, maka akan kita saksikan bahwa arus perlawanan terhadap Rasulullah saw sudah bermula dari zaman ketika beliau masih hidup, lalu secara bertahap arus itu semakin menguat dan di saat-saat beliau akan meninggal dunia muncullah sebuah gelombang politik besar yang kemudian berhasil merebut kekuasaan di Saqifah Bani Sa’idah, berangkat dari situlah maka umat Islam menjadi terpecah belah”.
Catatan:
1. Ibid. Jilid 3, hal. 98
dan jilid 8, hal. 17 dan hal. 271.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ahmad bin Hambal, ibid. Jilid 3, hal. 12-13; Sunan Daromi, jilid 1, hal. 119.
5. Kanz al-Ummal, jilid 10, hal. 295, hadis ke29490.
6. Bukhari, ibid. Bab ke77, jilid 1, hal. 114.
7. Ja’far Subhani, Buhutsun fi al-Milal wa al-Nihal, cetakan kedua, 1408, jilid 1, hal. 64.
8. Hadis yang mengandung arti serupa dinukil dalam kitab Ghoyah al-Marom, ada 39 hadis dari mazhab Ahli Sunnah dan 82 hadis dari mazhab Syi’ah yang serupa dengan hadis ini. (hal. 211-235).
9. Ja’far Subhani, ibid. Jilid 1, hal. 72, dinukil dari Muhammad bin Ahmad Dzahabi, Tadzkiroh al-Huffadz, jilid 1, hal. 52.
10. Ja’far Subhani, ibid. Jilid 1, hal. 76, dinukil dari Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jilid 2, hal. 339-340.
11. Ja’far Subhani, ibid. Hal 77, dinukil dari Sunan Daromi, jilid 1, hal. 5.
12. Syabli Nu’mani, Tarikh Ilm Kalam, hal. 8-9.
13. Ibid. Hal. 9-10.
14. Berkenaan dengan perbedaan antara dua kelompok ini, Anda bisa lihat karya Ja’far Subhani, Buhutsun fi al-Milal wa al-Nihal, jilid 3, hal. 7.
15. Waqidi, Maghozi, diterjemahkan oleh Mahmud Mahdawi Damghani, Teheran, Markaze Nasyre Donisygohi, 1366, jilid 3, hal. 690.
16. Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Bairut, Darul Qalam, 1406, hal. 106 dan 107.
17. Muhammad Taqi Syekh Tustari, al-Awa’il, jilid 2, hal. 125.
18. Ibnu Qutaibah Dainuri, al-Imamah wa al-Siyasah wa Huwa al-Ma’ruf bi Tarikh al-Khulafa’, jilid 1, Qom, Mansyurot ar-Ridho, 1363, hal. 183.
19. Ibid. Jilid 1, hal. 171.
20. Ibnu Sa’ad, Thobaqot al-Shohabah, cetakan Bairut, hal. 148.
21. Ahmad bin Hambal, Thobaqot al-Hanabilah, jilid 1, hal. 15, Kitabus Sunnah, hal. 44-50.
22. Abul Hasan Asy’ari, ibid. Hal. 320-325.
23. Ja’far Subhani, ibid. Jilid 3, hal. 103, dinukil dari al-Khuthoth al-Maghriziyah, jilid 2, hal. 356.
24. Syahrestani, ibid. Jilid 1, hal. 16 dan 47.
25. Ibid.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ahmad bin Hambal, ibid. Jilid 3, hal. 12-13; Sunan Daromi, jilid 1, hal. 119.
5. Kanz al-Ummal, jilid 10, hal. 295, hadis ke29490.
6. Bukhari, ibid. Bab ke77, jilid 1, hal. 114.
7. Ja’far Subhani, Buhutsun fi al-Milal wa al-Nihal, cetakan kedua, 1408, jilid 1, hal. 64.
8. Hadis yang mengandung arti serupa dinukil dalam kitab Ghoyah al-Marom, ada 39 hadis dari mazhab Ahli Sunnah dan 82 hadis dari mazhab Syi’ah yang serupa dengan hadis ini. (hal. 211-235).
9. Ja’far Subhani, ibid. Jilid 1, hal. 72, dinukil dari Muhammad bin Ahmad Dzahabi, Tadzkiroh al-Huffadz, jilid 1, hal. 52.
10. Ja’far Subhani, ibid. Jilid 1, hal. 76, dinukil dari Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jilid 2, hal. 339-340.
11. Ja’far Subhani, ibid. Hal 77, dinukil dari Sunan Daromi, jilid 1, hal. 5.
12. Syabli Nu’mani, Tarikh Ilm Kalam, hal. 8-9.
13. Ibid. Hal. 9-10.
14. Berkenaan dengan perbedaan antara dua kelompok ini, Anda bisa lihat karya Ja’far Subhani, Buhutsun fi al-Milal wa al-Nihal, jilid 3, hal. 7.
15. Waqidi, Maghozi, diterjemahkan oleh Mahmud Mahdawi Damghani, Teheran, Markaze Nasyre Donisygohi, 1366, jilid 3, hal. 690.
16. Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Bairut, Darul Qalam, 1406, hal. 106 dan 107.
17. Muhammad Taqi Syekh Tustari, al-Awa’il, jilid 2, hal. 125.
18. Ibnu Qutaibah Dainuri, al-Imamah wa al-Siyasah wa Huwa al-Ma’ruf bi Tarikh al-Khulafa’, jilid 1, Qom, Mansyurot ar-Ridho, 1363, hal. 183.
19. Ibid. Jilid 1, hal. 171.
20. Ibnu Sa’ad, Thobaqot al-Shohabah, cetakan Bairut, hal. 148.
21. Ahmad bin Hambal, Thobaqot al-Hanabilah, jilid 1, hal. 15, Kitabus Sunnah, hal. 44-50.
22. Abul Hasan Asy’ari, ibid. Hal. 320-325.
23. Ja’far Subhani, ibid. Jilid 3, hal. 103, dinukil dari al-Khuthoth al-Maghriziyah, jilid 2, hal. 356.
24. Syahrestani, ibid. Jilid 1, hal. 16 dan 47.
25. Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar