Rabu, 10 September 2014

Ketika Kekayaan Indonesia Dijual Murah



Oleh Abu Zahra

Kursi Gubernur Bank Indonesia kembali diserahkan kepada Mafia Berkeley. Rencana penjualan BUMN jalan terus, sementara di tengah bayang-bayang resesi dunia, pemerintah menutup-nutupi kebobrokan ekonomi dengan permainan statistik.

Dradjad Wibowo masih bercanda dengan beberapa orang warta-wan ketika bel tanda dimulainya kembali sidang paripurna DPR berdering, Rabu (9/4) lalu. Maklumlah, DPR sedang lari maraton sebelum reses tahun ini. Maka, meski sudah lewat waktu makan siang, paripurna dilanjutkan lagi. Kali ini dengan agenda pandangan Komisi XI atas hasil uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono.

Anggota Fraksi PAN itu tampak sedang mencoba menutupi kerisauan hatinya. Sebab, dialah satu-satunya anggota komisi XI yang tak setuju diangkatnya Boediono sebagai Gubernur BI. Selama uji kelayakan dan kepatutan Senin (07/4) lalu, hanya dia pula yang benar-benar menguji calon tunggal pemerintah itu. Mayoritas anggota Komisi XI malah menyelipkan pujian basa-basi dan tak bermutu kepada Boediono.

Padahal ketika nama Boediono disorongkan Presiden sebagai calon tunggal setelah ditolaknya mantan Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo dan Wakil Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset Raden Pardede, partai-partai mengaku kecewa. Bahkan Fraksi PDI Perjuangan, menen-tang pengajuan calon tunggal ini. “Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak demokratis dan ingin memaksakan calonnya,” kata Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo.

Pertemuan beberapa anggota komisi XI pun digelar. Mereka bahkan sepakat menjegal Boediono. Kabarnya, Fraksi PDIP mendapat titah langsung dari Taufiq Kiemas, suami Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk meng-hempang jalan Boediono. Mereka berharap Presiden mengajukan calon lain, jika fit and proper test. Nama yang masuk bursa calon mereka adalah ekonom dan mantan menteri Rizal Ramli.

Tapi skenario penjegalan itu kandas beberapa jam kemudian, ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meng-gelar jamuan untuk para anggota Komisi XI di Rumah Daksa, tempat yang biasa disewa selebritas untuk berpesta, di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dengan tajuk perkenalan calon Gubernur BI yang baru, hampir semua anggota Komisi XI hadir Selasa malam (8/4) lalu.

Dalam jamuan makan itu, Sri Mulyani, “promosi abis” soal Boediono. Padahal, ia bukan orang baru. Sebelum menjadi Menteri Koordinator Perekonomian, ia pernah menjadi Menteri Keuangan, Kepala Bappenas dan juga Direktur Bank Indonesia. Tapi rupanya promosi harus diambil alih Sri Mulyani. Selain Boediono terlalu santun jika tak bisa dikatakan lamban lelaki itu pula tumpuan harapan pemerintah dan Mafia Berkeley agar tetap eksis.

Menurut Sri Mulyani, jamuan makan di Rumah Daksa ini hanya pertemuan silaturahmi. “Ini komunikasi untuk memperkenalkan Pak Boediono sebagai calon gubernur,” ujarnya. Tapi, seorang sumber Suara Islam mengatakan, malam itu semua sudah clear. Semua mem-persilakan Boediono menjadi Gubernur BI. “Fit and proper test di Senayan hanya formalitas,” ujarnya.

Tapi tentu tak ada makan malam gratis. “Hujan cukup merata tadi malam,” kata sumber Suara Islam mengutip ucapan seorang anggota Komisi XI. Maksudnya, semua yang hadir kecipratan hujan amplop tuan rumah. (Lihat Nasional, DPR: Dewan Pengutip Rupiah, halaman 15)

Maka ketika fit and proper test berlangsung, hanya Dradjad yang meng-kritik dan meminta Komisi XI tidak memilih Boediono. Menurut Dradjad, Boediono adalah ekonom yang menganut paham liberal dan konservatif ala konsensus Washington. “Konsep ini tidak lagi cocok dengan kondisi saat ini,” ujarnya. Menurut Dradjad, Indonesia butuh kebijakan ekonomi berbasis fiskal dan moneter yang pro rakyat. Untuk itu, BI harus dipimpin orang-orang dengan trackrecord bersih dan berani.

Dradjad menolak keputusan diambil secara aklamasi, maka voting tertutup digelar. Dari 46 anggota Komisi XI yang hadir, 45 orang memilih Boediono. Hanya satu orang yang menolak. “Apa daya saya hanya sendirian,” kata Dradjad. Maka guru besar Fakultas Ekonomi UGM ini dinyatakan terpilih sebagai Gubernur BI periode 2008-2013. Boediono adalah Gubernur BI ke delapan.

Kepentingan Mafia Berkeley

Tentu saja keputusan Komisi XI memilih Boediono dikecam berbagai pihak. Menurut pengamat ekonomi Kwik Kian Gie, kapabilitas Boediono tak mengesankan. “Boediono itu orang biasa yang tidak mempunyai pemikiran dan arah kebijakan yang jelas,” kata mantan Menteri Negara Perencanaan Pem-bangunan Nasional/Kepala Bappenas era Presiden Megawati itu.

Kwik menilai, Menteri Keuangan di era Presiden Megawati itu, tidak memahami sektor riil. Yang dibutuhkan BI adalah orang-orang muda, yang tidak hanya mengerti urusan teknis, tetapi juga mampu menciptakan navigasi kebijakan.

Direktur ECONIT, DR Hendri Sapa-rini menilai trackrecord Boediono tak cemerlang. Misalnya saat menjadi Kepala Bappenas, dia anggota Tim Perancang Rekapitalisasi Perbankan bersama Men-teri Keuangan Bambang Subiyanto dan Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan negara terbebani Rp 422,6 trilyun. “Prestasi sebagai Menko Per-ekonomian juga payah,” ujarnya.

Maka para pengamat menduga, ter-pilihnya Boediono tak lepas dari agenda besar Mafia Berkeley. Mafia Berkeley adalah sebutan bagi sekelompok ekonom yang dipercaya Jenderal Soeharto di masa awal Orde Baru untuk mengelola ekonomi. Mereka disebut Mafia Berkeley karena sebagian besar lulusan doktor atau master dari University of California at Berkeley pada 1960-an atas bantuan Ford Foundation.

Konon kelompok ini diam-diam telah disiapkan Amerika Serikat sejak Presiden Soekarno berkuasa, untuk memperluas dan melanggengkan pengaruh di Indo-nesia semasa perang dingin. Mereka adalah Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, dan J.B. Soemarlin. Agenda Mafia Berkeley diteruskan para anak didik mereka seperti Boediono dan Sri Mulyani.

Kebijakan ekonomi Mafia Berkeley mengadopsi kebijakan ekonomi yang dirancang IMF dan Bank Dunia yang dikenal dengan nama Konsensus Wa-shington. Tema besarnya kini dikenal sebagai agenda ekonomi neoliberal. Agenda Mafia Berkeley terbagi atas empat kebijakan. Yakni liberalisasi keuangan, liberalisasi perdagangan, kebijakan uang ketat (pengurangan subsidi) dan privatisasi BUMN.

Tiga agenda pertama telah diterapkan sejak awal Orde Baru hingga tahun 1990-an. Sementara, agenda privatisasi BUMN baru dilakukan belakangan ini. Tapi, keempat agenda itu terbukti gagal mengangkat kesejahteraan rakyat, se-mentara negara-negara yang tak mengambil resep IMF, seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia dan China, justru lebih baik dibanding Indonesia. Maklumlah, program kerja Mafia Berkeley ternyata bukan mencari untung untuk negara, tapi justru bagaimana menjual milik negara.

Di masa Presiden Yudhoyono, pemerintah menyerahkan Blok Cepu kepada Exxon Mobil dari AS. Padahal potensi minyak bumi yang dikandung di dalamnya ditaksir mencapai 10,96 miliar barel minyak, termasuk 62,64 TCF gas. Jika dikalkulasikan secara matematis, diperoleh pendapatan kotor sebesar 165,74 miliar dolar AS atau sekitar 1.500 trilyun rupiah.

Penjualan Blok Cepu menambah deret panjang penjualan aset kekayaan milik rakyat. Setelah gagal menarik aset penjahat BLBI, pemerintah memaksa sejumlah BUMN masuk bursa untuk dijual. Padahal BUMN ini bukannya merugi tapi justru selalu membukukan keuntungan. Begitu masuk ke bursa, saham perusahaan-perusahaan ini langsung dicaplok investor asing.

BUMN yang dikuasai asing dan selalu untung itu antara lain PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Semen Gresik Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Adhi Karya Tbk, PT Perusahaan Gas Negara Tbk dan PT Bukit Asam Tbk. Kini 85 persen saham BUMN itu dikuasai asing. “Dengan kepemilikan asing yang sangat besar, pihak asinglah yang menikmati sebagian besar keuntungan BUMN itu,” kata pengamat ekonomi Revrisond Baswir.

Obral Besar

Lewat Komite Privatisasi, tahun ini pemerintah akan melego 34 BUMN dan melanjutkan penjualan 3 BUMN yang tertunda pada 2007. Ke-37 BUMN ini akan dijual lewat IPO di bursa efek dan lewat penjualan strategis langsung ke investor yang ditunjuk. Sasaran utama penjualan BUMN kali ini adalah PT Perusahaan Listrik Negara. Dengan alasan merugi akibat harga BBM yang terus melambung, Pemerintah mendesak agar PLN diswastanisasi.

Obral perusahaan istilah kerennya privatisasi–tahun ini adalah obral terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Pada periode 1991 – 2001 pemerintah 14 kali menjual BUMN dengan jumlah 12 BUMN. Pada periode 2001-2006 pemerintah 14 kali menjual BUMN dengan jumlah 10 BUMN. Kebijakan ini adalah bom privatisasi, karena dalam setahun 37 BUMN akan dilego.

Obral besar-besaran ini sesungguhnya tak lepas dari agenda Kapitalisme Neoliberal, baik negara-negara Kapitalis terutama Amerika Serikat, International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, ADB, maupun perusahaan multi nasional. “Lewat para konsultan mereka di berbagai instansi, mereka merancang skenario agar pemerintah melepas seluruh BUMN dan menyerahkan kepada investor dengan alasan agar BUMN lebih efisien dan menguntungkan,” kata Hendri.

Desakan kepentingan pemodal di balik obral gede-gedean ini terlihat pada penolakan PT Krakatau Steel. Menurut Dirut Krakatau Steel Fazwar Bujang, mereka tak pernah mengundang investor, tetapi investor yang menginginkan BUMN ini dijual. Belakangan, presiden SBY menerima kunjungan produsen baja terbesar di dunia, Arcellor Mittal di Istana, yang berjanji menanamkan US $ 3 miliar dalam bentuk kerjasama dengan PT Aneka Tambang Tbk dan PT Krakatau Steel.

Menurut Menteri Perindustrian Fah-mi Idris, Mittal mengajukan tiga tawaran. Pertama, mengembangkan pertam-bangan yang terkait dengan baja. Kedua, menjadi strategic partner Krakatau Steel. Ketiga, membuat joint venture company bersama Krakatau Steel. “Presiden menanggapi positif dan memerintahkan Pak Boediono merumuskan secara detail,” ujarnya.

Sekali lagi, lihatlah peran sentral Boediono.

Padahal, rencana penjualan Krakatau Steel sudah dikritik habis oleh Pemenang Hadiah Nobel bidang Ekonomi Joseph Stiglitz dalam berbagai artikel yang mengritik kebijakan ekonomi neoliberal. Profesor di bidang ekonomi dari Columbia University dan bekas ekonom terkemuka di World Bank itu mengaku tak habis pikir dengan rencana penjualan BUMN strategis itu.

Disamping menyukseskan agenda ekonomi kalangan Neoliberal, obral besar-besaran ini juga mengindikasikan upaya perampokan harta negara untuk agenda pemilu 2009. “Privatisasi 2008 adalah salah satu ladang potensi korupsi,” kata Fahmi Badoh, dari Indonesia Corruption Wacth (ICW). Pusat Pela-poran dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) juga mengendus transaksi-transaksi mencurigakan menjelang pemi-lu 2009.

Dengan obral perusahaan besar-besaran ini, dapat dipastikan bahwa ratusan trilyun rupiah aset negara akan terlepas dari tangan rakyat dan hanya memuaskan kerakusan Kapitalisme dan segelintir antek asing. Padahal, menurut syariat Islam, perusahaan yang mengua-sai hajat hidup orang banyak terutama di sektor pertambangan adalah harta milik umum, sehingga pemerintah tidak berhak menjualnya kepada swasta dan asing.

Utang dan Manipulasi Statistik

Boediono terpilih ketika resesi dunia mengancam, seiring melonjaknya harga minyak dunia hingga US $ 109/barrel, perekonomian dunia melambat, semen-tara kegagalan panen dan spekulasi membuat harga komoditas pangan membubung tinggi di pasar internasional. “Dunia guncang dari segi keuangan maupun komoditas utama. Jika resesi meluas, akan berdampak pada ekspor, impor, dan aliran dana,” kata Boediono. Dampaknya terasa di Indonesia dengan indikasi laju inflasi bulan Maret yang sudah mencapai 3,6 persen.

Seiring kenaikan harga minyak dunia yang melebihi prediksi saat penyusunan APBN, Departemen Keuangan mengubah strategi menutup defisit APBN dari hanya mengandalkan penerbitan surat berharga negara ke utang luar negeri. Sebab, pemerintah sulit menyerap dana murah dari pasar modal. “Pinjaman luar negeri adalah pertahanan kedua dalam menutup defisit,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu.

Strategi ini khas langkah Mafia Berkeley yang dirancang IMF.

Menurut Anggito, pemerintah dan Panitia Anggaran DPR sepakat menam-bah utang luar negeri untuk menutup defisit APBN Perubahan 2008, dari Rp 19,1 trilyun menjadi Rp 26,4 trilyun. Sumber utamanya World Bank, Asian Development Bank dan Pemerintah Jepang. “Pencarian utang dimulai 11 April 2008, dalam pertemuan Bank Dunia di Washington,” ujarnya.

Menteri Sri Mulyani juga mengusa-hakan pinjaman pada pertemuan ADB di Madrid, Spanyol. Padahal menurut Koordinator Koalisi Antiutang, Kusfiardi, upaya Departemen Keuangan menambah utang luar negeri hanya akan semakin membawa Indonesia semakin terperosok ke dalam jebakan utang yang semakin dalam.

Menurut Deputi Bidang Pendanaan Bappenas Lukita Dinarsyah, Indonesia sulit mendapat pinjaman lunak lagi. Sebab, status Indonesia telah berubah dari negara berpendapatan rendah ke menengah, ditandai dengan pendapatan per kapita US $ 1.600/tahun. Akibatnya, Indonesia kehilangan sumber pinjaman sangat lunak dari skema IDA, Bank Dunia, mulai Juni 2008. Skema pinjaman IDA hanya diberikan untuk negara berpeng-hasilan di bawah US $ 830/kapita/tahun.

Repotnya ketika kondisi ekonomi terancam gagal, pemerintah harus unjuk kemampuan bahwa dapat mengentaskan kemiskinan agar bisa dikatakan berhasil. Tujuannya agar Yudhoyono terpilih lagi dalam pemilu 2009 nanti. Maka statistical engineering dirancang untuk menutupi kebobrokan ekonomi. Cara paling gampang adalah memacu program penghapusan kemiskinan menjelang berakhirnya masa pemerintahan.

Cara itu ditempuh lewat kombinasi pemberian bantuan langsung tunai, beras miskin, dan program padat karya, agar target penurunan tingkat kemiskinan tercapai pada 2009. “Ini program ambisius, tapi sangat mungkin dicapai dengan dukungan program yang jelas dan anggaran yang lebih besar dari tahun sebelumnya,” kata Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, seusai rapat koordinasi untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2009, Rabu (9/4) di Jakarta.

Dalam hitungan pemerintah, tingkat kemiskinan tahun 2007 sebesar 16,58 persen, sedang pada 2008 diperkirakan akan lebih rendah dari 14 persen. Pemerintah menargetkan penurunan tingkat kemiskinan tahun 2009 tinggal 10-11 persen. Dengan kucuran beras miskin, bantuan langsung tunai dan program padat karya selama enam bulan mulai Mei nanti, dengan target 2000 kalori per keluarga, pemerintah optimis akan “mengurangi” tingkat kemiskinan.

Bantuan langsung tunai diberikan untuk rakyat miskin di luar Jawa. Di pulau Jawa, yang dihuni 80 persen penduduk Indonesia, dengan rata-rata tingkat kemiskinan 10-15 persen, difokuskan pada program padat karya.

World Bank pun ingin ikut menyuk-seskan program pengentasan kemiskinan. Karena itu kini mereka sedang menyo-sialisasikan metode penghitungan angka kemiskinan baru. “World Bank ber-kepentingan agar seolah-olah ikut mengentaskan kemiskinan karena 20 persen dana anggaran kemiskinan berasal dari utang ke World Bank,” kata Hendri Saparini.

Jadi jika para ekonom neoliberal Mafia Berkeley merekayasa statistik dengan menekan garis kemiskinan, World Bank malah merekayasa hitungan-nya. Lalu, apa lagi yang akan anda jual ke Washington?

Sumber: Tabloid Suara Islam EDISI 42, Tanggal 18 April – 1 Mei 2008 M/11 – 24 Rabiul Akhir 1429 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar