Pembahasan mengenai sistem yang memproduksi dengan dirinya sendiri
melalui diferensiasi dan seleksi berdasarkan informasi di dalam tiga dimensi
dengan horison ganda telah menghasilkan suatu kesimpulan bahwa sistem itu
bekerja (hanya) dengan artikulasinya sendiri. Hal ini mengabaikan bentuk
diferensiasi yang berdasarkan relasi kesalingan yang konkret, di mana
kesalingan bukanlah pengandaian (diandaikan saja) di dalam satu internal
persepsi atau pun inter-prespektif lalu dideferensiasikan, tetapi kesalingan
adalah usaha yang persis bersama-sama di dalam momen terbangunnya suatu
perspektif bersama. Upaya tersebut adalah di dalam praktek komunikasi
kooperatif keseharian. Komunikasi yang kooperatif ini menghasilkan keintiman
yang akan melahirkan tanggung-jawab para peserta (individual) yang terlibat di
dalamnya serta terciptanya solidaritas sosial. Kata
kunci: makna,
sistem, reproduksi-diri, intersubjektifitas, kesalingan (mutual-understanding),
dunia, dunia kehidupan.
Globalisasi
adalah fenomena yang tengah terjadi saat ini. Globalisasi ditandai oleh adanya
pergerakan hubungan-hubungan sosial, ekonomi, budaya, politik dan lainnya yang
melampaui batas-batas wilayah suatu negara (dan dianggap juga melampaui
otoritas administratifnya bagi sebagian orang). Globalisasi juga ditandai oleh
munculnya masyarakat1 yang semakin kompleks dan berbeda-beda, yang
membentuk relasi-relasi melampaui batasan-batasan spasial. Oleh karenanya,
fenomena globalisasi dan dampak yang muncul darinya juga telah menjadi
tantangan bagi para teoritisi (sosial khususnya) untuk mengkonsepsikan suatu
teori baru yang dapat menangkap fenomena abad ini. Niklas
Luhmann adalah seorang pemikir yang menjawab tantangan tersebut. Teorinya
mengenai “sistem sosial” (karyanya sendiri berjudul “Social System”,
1995) adalah upaya untuk menggambarkan kompleksitas kehidupan sosial tersebut.
Uraiannya ini, tidaklah lagi berfokus pada masyarakat yang biasa dipahami dalam
ilmu-ilmu sosial sebelumnya sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari
individu-individu (subjek) yang menjadi bagiannya atau pun dipahami
sebagai sebuah objek kajian yang terpisah dari pengamat (ilmuwan)
sosial. Menurut Luhmann, teori macam ini tidaklah lagi mencukupi untuk
menangkap suatu realitas sebagai dirinya sendiri yang sedang bergerak secara
otonom dan membentuk relasi-relasi yang kompleks di mana pengamat (ilmuwan
sosialnya) pun tidak terpisah dari domain kajiannya sendiri. Pengamatannya juga
termasuk di dalam operasi dari sistem itu sendiri. Luhmann ingin menghindari
konsepsi relasi subjek-objek dalam kajiannya. Oleh karenanya, masyarakat
tidaklah lagi dipahami sebagai manusia-manusia atau pun subjek-subjek yang
berelasi satu sama lain, tetapi lebih dilihat sebagai realitas yang bergerak
dengan dirinya sendiri (karena Luhmann ingin memperlakukan realitas itu
sebagaimana apa adanya ia dan Luhmann sendiri sebagai bagian di dalamnya).
Realitas yang bergerak sendiri menurut Luhmann, lebih tepat dipahami sebagai
sistem, yakni sesuatu yang berelasi satu sama lain dan bergerak membentuk
dirinya sendiri (sebagaimana halnya sistem-sistem organis yang bergerak
memproduksi dirinya sendiri). Alasannya karena jika masyarakat dilihat sebagai
keseluruhan manusia (subjek) maka akan selalu terbatas relasi-relasinya pada
persoalan eksistensial semacam pergulatan identitas (pengakuan) atau persoalan
relasi distansial subjek-objek di mana yang lain, yang berada di luar dari
pergulatan tersebut terekslusi. Padahal menurut Luhmann, masyarakat telah
membentuk suatu jaringan dari relasinya satu sama lain dan kemudian membentuk
suatu struktur yang juga disebut sebagai sistem. Sistem dipahami sebagai
struktur relasi-relasi, di mana manusia berada di dalam jaringan-jaringannya.
Sistem yang dimaksud adalah sistem sosial yang bergerak seiring dengan
pergerakan sistem kesadaran (psikis) manusia di mana motor penggeraknya adalah
makna (sistem kesadaran yang pergerakannya dilandasi oleh makna).2
Realitas makna (tertentu) pada dirinya sendiri, adalah suatu realitas yang
kompleks, yang menyisakan jejak adanya jaringan-jaringan makna-makna lain di
belakang dirinya, yang ternyata juga (dapat) menjadi landasan acuan bagi
pergerakan sistem-sistem kesadaran lainnya. Jadi satu makna tertentu yang
sedang dipahami bersama pada satu momen tertentu antara satu sistem dengan
sistem lainnya, adalah bersifat sementara karena pergerakan satu elemen sistem
yang berelasi tersebut, mempunyai acuan maknanya sendiri yang berbeda dari
acuan makna elemen sistem lainnya. Oleh karenanya pertemuan antar-sistem (baik
itu sistem-sistem sosial mau pun sistem-sistem psikis yang kedua-duanya
dimotori oleh kesadaran dan acuan pergerakan kesadaran adalah makna) tersebut
adalah pertemuan yang tidak stabil dan kompleks, serta tidak dapat diprediksi,
karena di dalam ruang internal (struktur internal kedirian) kedua sistem
tersebut mempunyai horison makna (acuan)nya yang berbeda-beda dan tentunya
bergerak terus untuk kelangsungan hidupnya.
Tetapi
kelangsungan hidup sistem-sistem tersebut tidak bisa terlepas dari realitas
pergerakan lingkungannya (Luhmann membedakan istilah sistem dan lingkungan agar
mudah menjelaskan pergerakan satu sistem dengan sistem lainnya di mana sistem
lainnya ini disebut sebagai lingkungan bagi sistem tersebut) karena
lingkungannya tersebut turut mempengaruhi pola atau corak reproduksi
sistem-sistem tersebut. Sebab jika tidak, maka sistem-sistem tersebut tidak
akan bisa bertahan hidup jika tidak melihat adanya perubahan (progresifitas)
lingkungannya. Keberadaannya terancam punah jika ia tidak membuka diri pada
lingkungannya sebab lingkungannya adalah acuan dirinya untuk mereproduksi
keberlangsungan eksistensi sistem-sistem tersebut. Dari pemikiran ini, oleh
karenanya, Luhmann meyakini bahwa tidak ada yang terekslusi karena semua sistem
(seluruh isi dunia adalah pergerakan sistem-sistem menurut Luhmann) diakui
keberadaannya dan pergerakan realitasnya sendiri (yang di dalam dirinya sendiri
juga mempunyai kompleksitasnya sendiri). Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa
sistem-sistem (perlu ditekankan lagi yakni sistem-sistem sosial dan
sistem-sistem psikis yang keduanya digerakkan oleh kesadaran dan acuan
pergerakan kesadaran adalah makna) bergerak sendiri-sendiri demi
keberlangsungan hidupnya. Pergerakan sendiri-sendiri sistem-sistem inilah yang
dianalisa oleh Habermas sebagai pergerakan sistem-sistem (kesadaran) yang
berperspektif “ego-sentris”. Lewat uraian fenomenologisnya (fenomenologi
deskriptif), yang memang dinyatakan sendiri oleh Luhmann,3 sistem-sistem
ini bekerja menurut artikulasinya (dengan bahan acuan dari lingkungannya)
sendiri untuk reproduksi dirinya sendiri dan keberlangsungan hidupnya. Perlu
diketahui pula bahwa cara bekerja sistem-sistem ini juga mengandalkan
simbol-simbol general sebagai kode dari lingkungannya karena menurut Luhmann
sendiri cara bekerja sistem-sistem psikis tidak dapat menangkap realitas secara
mendetail. Hal ini membawa Habermas pada analisa kedua mengenai diabaikannya
identitas (yang memang ditolak oleh Luhmann) kedirian sistem-sistem tersebut.
Habermas sendiri menekankan bahwa kesadaran itu tidak dapat terlepas dari
manusia sebagai subjek pemiliknya, oleh karenanya, relasi antara satu elemen
sistem (kesadaran) misalnya, menurutnya, mempunyai kualitas berupa relasi yang
intim dan benar-benar saling memahami satu sama lain dalam pola relasi
intersubjektif kooperatif yang sudah mengendap dalam kehidupannya sehari-hari.
Simbol-simbol
general yang dipakai oleh sistem-sistem (kesadaran) Luhmann ini juga memakai
eksistensi bahasa sebagai medium (saja) bagi relasi-relasi antar sistem
tersebut. Habermas di sini melihat posisi bahasa yang dianggap mempunyai makna
yang netral dan, sepertinya menurut penafsiran penulis, dapat ditangkap dengan
mudah. Padahal menurut Habermas, bahasa juga bersifat menentukan bagi
artikulasi-artikulasi proses relasi antar sistem (kesadaran). Dengan penggunaan
simbol-simbol yang (cukup) umum saja dengan bahasa yang dianggap netral makna
inilah, menurut Habermas, lalu sistem-sistem (kesadaran) tersebut bekerja
dengan “subjektifitas”nya sendiri-sendiri.
Habermas
mencoba menawarkan suatu bentuk relasi-relasi sistem-sistem (kesadaran) yang
tidak sekedar mengandaikan yang lain (yang lain diandaikan di dalam ruang
internal satu sistem) tetapi benar-benar dalam kesalingan satu sama lain (dalam
relasi yang intim di mana yang lain; dengan identitasnya dan seluruh struktur
kediriannya tidak terabaikan) di dalam relasi kesehariannya yang konkret.
Oleh
karena itu, tulisan ini hendak menguraikan lebih jelas latar belakang
permasalahan di atas dengan struktur tulisan sebagai berikut; bab I diawali
dengan uraian konsep makna Luhmann yang melandasi pergerakan sistem, diikuti
dengan bab II yang menganalisa, melalui Habermas, kecenderungan adanya
perspektif “ego-sentris” dari sistem dalam memproduksi dirinya sendiri melalui
makna (cara bagaimana sistem itu bekerja memproduksi dirinya yang diterangi
oleh makna), lalu dilanjutkan dengan tawaran Habermas mengenai suatu bentuk
relasi yang benar-benar dalam kesalingan (intim) antar satu elemen sistem atau
satu kesadaran dengan yang lainnya di mana bahasa juga mempunyai peran yang
signifikan di dalamnya dan diikuti oleh perluasan dari kondisi relasi yang
intim tersebut dan pengaruhnya bagi dunia sosial dalam kesehariannya yang
konkret. Tulisan ini diakhiri dengan uraian tentang suatu kondisi yang
dipengaruhi oleh relasi yang intim tersebut yakni berupa adanya suatu
solidaritas dan tanggung-jawab individu, yang juga diperlukan bagi masyarakat
global (yang kompleks) saat ini (penutup).
I. Makna sebagai
landasan pergerakan sistem
Makna
dalam konsep Luhmann, bergerak membentuk dan memproduksi dirinya sendiri. Makna
lalu membentuk sistem sendiri. Cara memproduksi dirinya sendiri adalah dengan
mereferensi dirinya sendiri (properti makna yang dipunyainya sendiri). Luhmann
menamakannya self-referential systems. Jadi makna sebagai sistem yang
mengacu kepada dirinya sendiri. Makna dalam pengertian Luhmann adalah makna
yang selalu berubah (tidak stabil) karena ia mengandung rangkaian referensi
(acu-mengacu) kepada makna-makna lain. Satu makna misalnya, pada dirinya
sendiri, dapat menjadi jejak tentang adanya kemungkinan-kemungkinan lain bagi
pengalaman dan tindakan. Kemungkinan-kemungkinan ini dapat menjadi aktualitas
nantinya bagi yang lain ketika yang lain tersebut dapat mengaksesnya.
Kemungkinan-kemungkinan lain dalam makna harus selalu diandaikan sebab dengan
cara ini maka yang lain selalu tercakup di dalamnya (yang lain selalu juga
berada dalam pengandaian). Dengan cara ini juga Luhmann hendak menjelaskan
bahwa kehidupan sosial itu kompleks dan kita dapat menjelaskan kompleksitas itu
(melalui kemungkinan-kemungkinan yang terkandung di dalam makna tadi) tanpa
perlu mengesampingkan yang lain dalam mereduksi kompleksitas tersebut (ada pun
sukses atau tidak cara ini, akan kita diskusikan di bawah). Perlu diketahui
pula bahwa makna juga dikatakan sebagai yang selalu mengisi ruang di mana pun.
Kita tidak dapat keluar darinya sebab ketika kita menegasinya, kita telah
selalu berada dalam makna (dalam makna baru setelah negasi). Jadi, tidak ada
yang disebut sebagai “meaningless” baginya. Makna lalu membentuk
horison-horison, dan horison-horison itulah yang disebut dunia.4
Makna
dalam sistem-sistem sosial, adalah hasil produksinya sendiri dalam membedakan
dirinya dengan sistem-sistem psikis. Pembedaan ini lahir dari
saling-pengandaian antara keduanya yang kemudian dibuat distingsi di antara
keduanya. Sistem-sistem sosial terbentuk atas dasar kesatuan (referensi-diri)
jaringan komunikasi-komunikasi (yang dipandu oleh makna) sedangkan
sistem-sistem psikis terbentuk atas dasar kesatuan (referensi-diri) jaringan
kondisi-kondisi sadar (yang juga dipandu oleh makna). Di mana pun dan kapan
pun, keduanya adalah lingkungan bagi satu sama lainnya.5
Cara
kerja membedakan (diferensiasi) adalah cara kerja utama dalam teori sistem
sosial Luhmann ini. Cara ini adalah cara yang cukup mumpuni untuk memproduksi
sekaligus keberlangsungan hidup suatu sistem (baik itu sistem-sistem sosial,
sistem-sistem psikis, atau pun sistem-sistem organik dalam kehidupan empiris).
Hal yang terkait dengan cara diferensiasi ini adalah metode seleksi. Dari
proses diferensiasi-diferensiasi (di mana sudah dikatakan tadi secara implisit
bahwa diferensiasi bisa dilakukan dengan terlebih dahulu memiliki properti
berupa adanya kesalingan-pengandaian antara satu dengan yang lain, yang
kemudian dapat dilakukan pembedaan darinya) kita dapat menyeleksi (bukan satu
di antaranya, tetapi yang dimaksud Luhmann adalah makna baru (itulah yang kita
pilih) dari diferensiasi ini). Misalnya tentang suatu makna tadi (seperti yang
telah diungkapkan di atas bahwa ia mengandung sejumlah kemungkinan-kemungkinan
lain), ia memiliki sejumlah totalitas referensi yang kalau kita mau ikuti
referensi-referensi tersebut, akan terus mengalir tanpa ujung (karena makna
tertentu mengacu kepada makna lainnya, dan makna lainnya mengacu kepada makna
tertentu tersebut atau mengacu kepada makna yang lainnya lagi dan seterusnya).
Metode seleksi dari diferensiasi ini lalu menjadi solusi bagi Luhmann.
Diferensiasi pertama adalah seleksi antara apa yang dianggap potensial dengan
apa yang dianggap aktual pada makna yang hendak ditangkap. Apa yang dianggap
aktual, berdasarkan informasi,6 berarti dapat diseleksi untuk
terbentuknya makna pada suatu situasi. Yang lain lalu dikatakan sebagai potensi
yang dapat menjadi referensi (aktualitas) bagi kemungkinan lain. Begitulah cara
kerja menangkap makna.
Tetapi,
diferensiasi antara apa yang aktual dan apa yang potensial saja tidak cukup. Sebab,
seperti dikatakan tadi, apa yang dianggap aktual, juga merupakan potensi bagi
kemungkinan lain setelah aktualitasnya hilang, atau apa yang dikatakan potensi
dapat menjadi aktualitas bagi yang lain lagi.7 Maka, akan terdapat
jaringan makna yang selalu mengacu antara satu sama lain. Tindakan acu-mengacu
ini dapat membawa kepada kondisi tautologis. Oleh karenanya, Luhmann lalu
mengajukan metode diferensiasi kedua. Untuk mende-tautologi atau untuk
menangkap makna yang diintensikan pada suatu momen yang juga spesifik (namun
bersifat sementara, karena sebentar lagi aktualitas suatu makna akan hilang dan
menjadi potensi bagi makna yang lain), Luhmann membentuk 3 dimensi (yang
tentunya dengan diferensiasi-diferensiasi), yakni; dimensi fakta, dimensi
temporal dan dimensi sosial. Dimensi-dimensi ini juga bekerja dalam 2 horison
(horison ganda). Dimensi fakta misalnya, terdapat 2 horison, yakni eksternal
dan internal. Sistem-sistem dalam dimensi ini bekerja melalui struktur
referensinya dengan pola disjungsi primer.8 Pola ini
menekankan prioritas antara sesuatu yang sudah dideterminasi dengan yang belum
(kalimat Luhmann sendiri; “the fact dimension is constituted in the meaning
divides the reference of what is meant into “this” and “something else”).
Diferensiasi antara yang eksternal dengan yang internal, Luhmann
menganalogikannya dengan pembedaan antara pengalaman dan tindakan
dalam kaitannya kepada sistem yang mengacu kepada dirinya itu sendiri, berikut
ungkapannya; “... meaning system distinguishes experience and action in
relation to itself and in relation to oher systems: if the meaning selection is
attributed to the environment, then what occurs is a selection characterized as
experience, and the system turns to its environment to seek points of contact
for further measures. By contras, if the meaning selection is attributed to the
system itself, then what occurs is characterized as action (“.....sistem
makna membedakan pengalaman dan tindakan dalam relasinya kepada diri sendiri
dan relasinya kepada sistem-sistem lainnya adalah sbb; jika seleksi makna
dikaitkan kepada lingkungan, maka apa yang terjadi dianggap sebagai pengalaman,
dan sistem lalu mengamati lingkungannya untuk mencari celah keterhubungan demi
pertimbangan selanjutnya. Sebaliknya, jika seleksi makna dilekatkan kepada
sistem itu sendiri, maka apa yang terjadi dianggap sebagai tindakan).9
Jadi, perbedaan antara yang internal dan eksternal, dalam penafsiran penulis,
bahwa yang internal sudah berwujud tindakan (dengan pilihan sebagai “this”)
dan yang eksternal adalah pengalaman (“something else”). Jadi menurut
penulis sendiri, yang internal sebagai “this” adalah pilihan yang sudah
mewujud pada tindakan (artinya sudah ada seleksi) dan yang eksternal,
yakni pengalaman adalah “something else” (dapat berupa horison
yang menjadi referensi bagi tindakan).
Dimensi
temporal juga bekerja dalam dua horison ganda, yakni horison masa lalu dan masa
depan. Waktu dimengerti bukan dalam pengertian siklis tetapi waktu yang
mengalir (Luhman menyebutnya durasi10) dalam penghayatan sistem
(yakni dengan pembedaan antara waktu yang lalu dan masa depan lalu membentuk
suatu pemaknaan waktu yang baru dari pembedaan itu). Masa lalu dikatakan
sebagai pengalaman (di mana waktu tidak bisa dihindari karena peristiwa yang
telah menjadi pengalaman tak dapat diputar-balik) yang tengah hadir saat ini
dan masa depan yang juga diantisipasi oleh saat ini juga. Saat ini bukan juga
dimengerti dalam arti spasial tetapi dalam arti penghayatan (bersamaan dengan
mengalirnya waktu di antara masa lalu dan masa depan) dan munculnya makna baru
darinya. 11
Begitu
pula dengan dimensi sosial, bekerja dalam dua horison ganda; ego dan alter ego.
Ego dan alter-ego ini bukanlah dimengerti dalam konsepsi humanistik yang
memakai atribut peran, seseorang, identitas, dll, tetapi adalah penekanan pada
pertimbangan perbedaan-perbedaan perspektif antara satu dengan yang lain
(alter). Ego dan alter-ego ini ditekankan pada fungsinya saja sebagai ego dan
alter-ego dan konsekuensi-konsekuensi yang dihasilkannya. Kedua perspektif ini
(perspektif yang dimiliki ego dan alter) diandaikan oleh sistem yang mengacu
kepada dirinya sendiri dan lalu diputuskan dalam perspektif sistem tersebut
(tergantung perspektif sistem itu sendiri) di sini Luhmann berkata; “....both
perspective—that of ego and that of alter—together or in succession, and then
to decide in whose perspective what means what” (“...kedua perspektif—baik yang
dimiliki oleh ego dan alter—bersama-sama dalam proses suksesi, lalu diputuskan
perspektif siapa tentang apa yang dimaksud apa).12 Skema
diferensiasi ini dapat menghasilkan persetujuan dan ketidaksetujuan (consensus
dan dissenst) lalu kemudian diadaptasikan sesuai dengan proses
operasi sistem yang mengacu kepada dirinya sendirit tersebut.13
Ketiga
dimensi ini bersifat interdependen satu sama lain dalam menghasilkan makna.
Sistem lalu mendapatkan makna yang spesifik dari diferensiasi-diferensiasi
antara dimensi fakta, temporal dan sosial.14
Metode
diferensiasi makna dengan tiga dimensi dalam dua horison ganda ini bekerja
bukanlah atas penangkapan yang esensial sebagaimana cara bekerjanya kesadaran
diri pada filsafat subjek yang dipakai dalam disiplin ilmu lainnya. Dalam
filsafat antropologi misalnya, pembahasan mengenai subjek yang selalu menangkap
apa yang esensial dalam kerja kesadaran-dirinya cukup dominan. Menurut Luhmann,
hal ini akan mengeksklusi hal yang meaningless dalam menangkap esensi
dan mereduksi yang lain, yang juga turut andil dalam memberikan “sumbangan”
referensi bagi pembentukan suatu makna.15 Lebih jauh lagi memang
Luhmann mengemukakan bahwa teorinya adalah teori sosial yang a-centris (a-centric
world concept); suatu pandangan mengenai konsep dunia (makna-makna sebagai
horisonnya) yang tidak memiliki pusat karena semua makna itu mungkin (memiliki
kemungkinan) dan dunia (sebagai makna) lalu dapat diakses di mana pun.16
Oleh karenanya, prosesi pembentukan makna oleh sistem yang mengacu kepada
dirinya sendiri, tidak perlu (atau netral dari) tindakan “pemihakan” berupa
pengenalan pada yang detail, yang lebih mendalam (apalagi menangkap esensial)
dari diferensiasi yang dilakukan. Ia hanya membutuhkan generalisasi simbolik.
Luhmann mengatakan bahwa simbol yang digeneralisasikan ini adalah media yang
menunjukkan adanya kesatuan pluralitas dan kegunaannya adalah untuk mengatasi
multiplisitas secara operatif.17 Mengenai term “generalisasi”
sendiri, Luhmann mendapat ide dari riset psikologis bahwa teori-teori sistem
psikis, hanya dapat menangkap secara globalnya saja dari kondisi lingkungan dan
sejumlah peristiwa karena kapasitas sensory-motor tidak dapat
menerimanya secara detail, hal ini tentunya akan membuyarkan stimulus/respon.
Tindakan menurut Luhmann, hanya mungkin ketika kesatuan hubungan-hubungan di
antara komponen-komponennya diidentifikasi melalui generalisasi simbolik.18
Alasan
lain yang dikemukakan oleh Luhmann adalah bahwa generalisasi simbolik ini juga
akan menghadirkan makna yang tidak hanya menyuplai suatu pengertian pada momen
tertentu dan “mengisi” pengalaman dan tindakan yang dengan begitu sistem lalu
dapat mere-organisir referensi-dirinya, tetapi ia juga dapat menjadi
kemungkinan bagi situasi-situasi yang berbeda dan juga bagi partner (alter)
komunikasi yang lain. maka simbol yang umum itu adalah tepat sebab ia memberi
jejak pada kemungkinan-kemungkinan lain dalam fluktuasi pengalaman.19
Bahasa juga di sini bagi Luhmann, adalah medium komunikasi yang berfungsi
sebagai kode.20
II. Analisa kritis
terhadap proses reproduksi makna (reproproduksi sistem)
Sistem-sistem
sosial dan sistem-sistem psikis (sistem-sistem sadar) yang berproduksi dengan
landasan makna, menurut penulis, perlu ditekankan sekali lagi bahwa
sistem-sistem ini tidak dapat bergerak tanpa kesadaran. Penulis berpikir, kita
juga dapat dapat menyebutnya sebagai sistem-sistem kesadaran yang bergerak di
dalam dirinya sendiri (psikis) dan juga bergerak ke luar dirinya, membentuk
sistem-sistem sosial. Luhmann dalam pengamatan penulis, juga menguraikan konsep
maknanya sebagai yang memproduksi dirinya sendiri, dapat juga disimpulkan,
sekali lagi menurut pertimbangan penulis, sebagai sistem-sistem kesadaran.
Karena kesadaran sudah pasti berisi makna. Makna adalah apa yang disadari. Jika
kesadaran tanpa makna maka tidak ada eksistensi kesadaran. Maka sekali lagi,
kita dapat menyebut sistem-sistem sosial atau sistem-sistem psikis (sadar) atau
makna-makna (dalam uraian di atas sebagai sistem) sebagai sistem-sistem
kesadaran.
Lalu cara
bekerjanya sistem-sistem atau makna-makna (atau juga sistem kesadaran) dalam
mereproduksi dirinya sendiri adalah dengan cara menyeleksi melalui diferensiasi
antara aktualitas dan potensialitas makna melalui informasi dan
dispesifikasikan lagi melalui diferensiasi dalam tiga dimensi; faktual,
temporal dan sosial. Di sini artinya bahwa sistem lalu bekerja dengan artikulasinya
sendiri (berdasarkan struktur (pengalaman)nya sendiri). Dengan perspektifnya
sendiri. Ini berarti, menurut Habermas, seperti mengandaikan adanya “ego
transendental” yang bekerja di dalam kesadarannya sendiri dan mereproduksi
dirinya sesuai dengan perspektifnya sendiri.21 Sistem ini memang,
seperti dikatakan oleh Luhmann sendiri, adalah sistem yang tertutup (entropi)22,
dan sistem yang tertutup ini cenderung untuk surut.23
Kedua,
dengan menghindari penangkapan makna yang esensial dari pola kerja diferensiasinya
dan mengandalkan pada simbol yang umum, dan yang utama adalah menghindari
atribut-atribut subjek, identitas, peran, dll (lihat hal 5 dari tulisan ini),
maka identitas yang lain, yang ingin ikut disertakannya dalam pengandaian
(referensi) kognitifnya, menjadi terabaikan. Begitu pula dengan menganggap
peran bahasa yang bersifat netral terhadap makna atau pun bersifat menentukan
dalam artikulasi-artikulasi suatu (sistem) kesadaran, maka struktur kedirian
kesadaran itu sendiri yang khusus dan unik, menjadi terabaikan.
Analisa
yang saya uraikan di sini adalah analisa Habermas. Penulis tidak bermaksud
mengunggulkan satu dari pada yang lain, tetapi pemikiran Habermas (yang memang
terlibat dalam berdebat dengan Luhmann) dalam pandangan penulis, mencukupi
untuk dijadikan pisau analisa bagi pemikiran Luhmann dalam konsepnya tentang
makna ini.
Perspektif
“ego-sentris”
Di sini,
penulis akan mengutip suatu contoh yang diberikan oleh Habermas dalam
menanggapi pola bekerja sistem-sistem dengan artikulasi (berdasarkan
perspektifnya sendiri). Habermas menggambarkan bentuk pemikiran salah seorang
pewaris fenomenologi, yakni Alfred Schutz, dalam mengkonsepsikan teori
komunikasi dalam mereproduksi dunia-kehidupan. Perlu diketahui pula definisi
mengenai dunia-kehidupan yang penulis kira hampir sama dengan konsepsi dunia
dalam Luhmann, yakni dunia sebagai totalitas makna (seperti disebut di atas,
makna yang membentuk horison-horison dan itulah dunia). Dunia-kehidupan (lifeworld)
adalah semacam pengetahuan yang ada secara langsung yang ditangkap oleh
kesadaran seseorang pada saat ia mulai mengenal sesuatu yang ada di dunia.
Dunia-kehidupan adalah semacam latar belakang (dapat dikatakan juga sebagai
stok) pengetahuan yang dipunyai seseorang secara langsung tanpa seleksi dari
dirinya. Pada saat seseorang mulai menyeleksi, mengenali secara spesifik akan
suatu pengetahuan, maka ia menjadi pengetahuan tertentu dan ia bukan lagi
disebut dunia-kehidupan.24
Alfred
Schuzt dalam uraian Habermas, mempunyai konsepsi tentang teori komunikasi yang
beranjak dari struktur kesadaran (pengalaman) yang dimiliki oleh seseorang.
Menurut Schuzt, seluruh makna sebagai dunia-kehidupan adalah stok pengetahuan
yang kemudian terhubung (dieksplikasikan), dengan pelbagai cara, kepada situasi
yang dihadapi oleh individu yang mempunyai pengalaman-pengalaman, yang kemudian
diaktualisasikannya pada situasi tersebut (“every situation has an infinite
inner and outer horizon; it is to be explicated according to its relation to
other situtations, experiences, etc., with respect to its prior history and its
future”). Sebaliknya, tiap-tiap pengalaman yang diaktualisasikan juga lalu
dimasukkan ke dalam arus pengalaman yang dihidupi dan juga ke dalam biografi,
menurut sejumlah relevansi yang ditemukan dalam stok pengetahuan. Tiap-tiap
situasi menurutnya, mempunyai segmen tertentu dari dunia yang hadir di hadapan
seseorang. Selain segmen tertentu ini, terdapat segmen lain yang terus bergerak
dan dideferensiasikan dalam dimensi temporal sebagaimana dimensi sosial. Pengalaman
juga diaktualisasikan secara temporal; dengan durasi dari dalam yang mengalir
dari pengalaman yang dihidupi, yang juga muncul dari memori-memori dan
ekspektasi-ekspektasi (pada Luhmann juga terdapat ekspektasi). Segmen yang
dieksplisitkan dari diferensiasi-diferensiasi ini juga di-interseksi-kan oleh
waktu dunia, waktu biologi dan waktu sosial dan disimpan dalam sekuensi
keunikan biografi yang diartikulasikan kemudian. Segmen ini juga kemudian
berubah pada situasi lain yang ditemukan relevan pada interpretasi dan situasi
yang lain, karena realitas memang kontingen menurut Schuzt. Dari sini lalu
terbangun stok pengetahuan yang akan menjadi pengalaman-pengalaman nantinya.25
Schuzt,
menurut Habermas, juga mengatakan bahwa tiap-tiap pengalaman mempunyai dimensi
sosial sebagaimana juga rencana-rencana spasial dan temporal suatu pengalaman
juga disosialisasikan. Sosialisasi ini yakni melalui suatu komunikasi
intersubjektif (mengenai signifikansi komunikasi yang intersubjektif, atau
perlunya merenungkan signifikansi filsafat subjek, akan penulis uraikan pada
bab berikut) karena ia juga mengatakan bahwa dunia kehidupan, bukanlah milik
khusus seseorang tetapi dunia intersubjektif; suatu struktur fundamental yang
realitasnya adalah ruang berbagi bersama (ungkapan Schuzt sendiri yang
dikutip oleh Habermas; “my lifeworld is not my privatworld but, rather, is
intersubjective; the fundamental structure of its reality is shared by us”).
Para anggota di dalam bentuk interaksi ini memposisikan dirinya sebagai yang memiliki
dunia-kehidupan dalam skema first-person plural (individu dalam
disposisi sebagai orang yang pertama dalam kondisi yang plural) sebagaimana
individu itu sendiri memposisikan dirinya sendiri (di dalam dirinya) dalam
skema first-person singular (dalam disposisi orang pertama tunggal) di
dalam dunia-kehidupan tersebut. Komunikasi yang dibayangkan oleh Schuzt oleh
karenanya adalah komunikasi inter-prespektif.26
Menurut
Habermas, uraian Schuzt dengan bantuan fenomenologi ini jelas mempunyai
kecondongan pada perspektif individu(alis). Komunikasi yang terjadi adalah
komunikasi dari para aktor-aktor yang merefleksikan bentuk komunikasi dari
ruang yang terisolasi (dari pengalamannya sendiri). Penekanannya adalah pada
ciri perspektif persepsi dan interpretasi yang terkait dengan peran-peran
komunikasi orang pertama, kedua dan ketiga dalam struktur tindakan pada suatu
situasi tertentu.27
Habermas
juga mengatakan bahwa tak dapat diragukan bahwa model-model familiar psikologis
dan sosiologis dari pelaku yang terisolasi (mengisolasikan diri) semacam ini
dalam suatu situasi, yang dipengaruhi oleh stimulus dan bertindak menurut
rencana-rencana, mendapatkan kedalaman fokus tertentu melalui analisa
fenomenologi mengenai dunia-kehidupan dan situasi-situasi tindakan. Hal ini
menurut Habermas, mirip dengan model teori sistem-sistem yang diuraikan secara
fenomenologis (sebagaimana penulis informasikan lagi bahwa Luhmann juga memakai
fenomenologi (deskriptif)) di mana interpretasi-interpretasi individu adalah
lingkungan bagi sistem personal (personality system) atau pun
sebaliknya. Interpretasi individu melalui 3 dimensi (dimensi faktual dengan
diferensiasi horison eksternal-internal, dimensi temporal; diferensiasi horison
masa lalu dan masa depan, serta dimensi sosial; satu perspektif (ego) dengan
perspektif lain (alter-ego)) lalu mendapatkan makna yang kemudian dikonsumsi
oleh sistem untuk operasinya lebih lanjut.28
Relasi kesalingan
yang intim dalam mencapai pemahaman bersama (mutual-understanding)
Habermas
juga melihat ada yang luput dari metode Luhmann mengenai diferensiasi melalui
simbol generalnya, yakni diabaikannya identitas dari pergerakan kesadaran dalam
mereproduksi dirinya. Meski Luhmann sendiri menolak konsepsi subjek di mana
atribut “identitas” ini terkait dengannya, sebagaimana atribut “peran”,29
tetapi lagi-lagi penulis tekankan bahwa teorinya adalah mengenai sistem-sistem
psikis atau pun sistem-sistem sosial, yang berarti juga adalah sistem-sistem
kesadaran. Oleh karenanya, tetaplah tidak dapat dilepaskan pembicaraan mengenai
kesadaran atau pun manusia sebagai yang mempunyai kesadaran yang kemudian
mereproduksi dirinya demi keberlanjutan keberadaannya.
Dalam
metode diferensiasinya dalam menangkap makna sekaligus melalui simbolisasi
general, identitas satu kesadaran (satu kedirian manusia) menjadi terabaikan.
Luhmann mengatakan bahwa cara kerja pada makna yang diintensikan memang
membutuhkan simbol umum saja untuk operasi sistem (untuk reproduksi sistem
dalam situasi yang kompleks, emergen (darurat) dan berubah-ubah). Sistem
bekerja dengan operasinya (artikulasinya) sendiri secara netral-makna30
(karena tidak secara detail menangkap problem artikulasi pemahaman manusia dan
memilih pada simbol yang umum saja).
Habermas
mengatakan bahwa dalam metode diferensiasi (makna) pada relasi satu elemen
(sistem) yang berproduksi dengan kesadaran, maka yang tak dapat dilepaskan
darinya adalah adanya identitas pada satu elemen tersebut.31
Perbedaan ini tidak bisa hanya apa yang ada pada penampakannya saja (yang umum
dan tidak detail) dari elemen yang bekerja dengan kesadaran tersebut. Jika
hanya pada penampakan (simbol) yang umum saja dari suatu kesadaran (satu sistem
psikis misalnya), maka telah terjadi pengabaian pada komplekstias struktur
kedirian sistem psikis itu sendiri. Pengetahuan yang dihasilkannya pun adalah
pengetahuan yang abstrak.32 Pada mahluk yang mempunyai kesadaran
diri, pembedaan atas mereka adalah dengan mengenalinya secara mendalam (intim),
sebab kalau tidak, akan terjadi reifikasi33 pada pola-pola
relasi antar-mereka. Pada Hegel misalnya, diferensiasi pada relasi-relasi
kesadaran-diri memunculkan bentuk-bentuk pengenalan yang mendalam antar
kesadaran-diri yang berelasi; pengenalan dalam pembedaan yang berkelindan
dengan munculnya identitas diri. Pada momen pengenalan misalnya, satu
(kesadaran) diri mengenali yang lain sebagai yang lain, sekaligus sebagai
dirinya dalam yang lain. Pengenalan sebagai yang lain dan dikatakan sebagai
yang berbeda dari dirinya adalah satu partikularitas. Pengenalan sebagai dirinya
dalam yang lain, dikatakan sebagai partikularitas yang lainnya. Pada saat
kembali kepada dirinya dari momen pengenalan tadi, ia melihat dirinya mempunyai
kesesuaian atau pun perbedaan, tetapi tetap dalam kerangka sudah mengenali
dengan yang lain, seperti juga yang lainnya itu, mengalami hal yang sama dan
mengenali dimensi kesesuaian dan perbedaannya dengan yang lain ini. Di sini
kemudian keduanya bertemu dalam momen sublasi (diangkat ke yang lebih tinggi
dari saling-mengenal tadi). Momen ini disebut momen self-relation.34
Pengenalan ini sekaligus juga menghadirkan identitas dari relasi-diri tadi,
karena identitas tidak muncul jika tidak ada pengenalan (perbedaan) dengan yang
lain. Identitas justru muncul ketika ada yang lain, dan tentunya, yang lain
juga adalah esensial bagi adanya satu identitas (satu bentuk kedirian) karena
dengan keberadaannya sebagai mediasi pengenalan atau pembedaan maka identitas
itu muncul. Jadi, momen kemunculan identitas adalah momen mediasi (relasi)
diri.35
Hal yang
mau ditekankan di sini adalah pada sesuatu yang berproduksi dengan kesadaran,
di mana makna juga dapat bekerja di dalamnya, proses kesalingan adalah penting
(kesalingan yang bukan diandaikan dalam perspektif internal suatu kesadaran di
mana ia terbuka pada yang lain tetapi selanjutnya adalah bahwa yang lain lalu
menjadi acuan bagi sistem untuk bertindak demi operasinya selanjutnya).
Pengenalan (pemahaman) tentang yang lain adalah hal yang esensial dan tidak
bisa dikenali hanya berdasarkan penampakannya saja (simbol umum) demi emergensi
situasi (momen tertentu) yang tidak stabil dan kompleks. Yang lain, sebagai
dirinya sendiri yang perlu dikenali dengan keintiman yang penuh, bukan untuk
acuan diri satu pihak, tetapi untuk benar-benar menciptakan suatu
kesalingan-pemahaman antara elemen-elemen yang unik tersebut dan bertindak
secara bersama dalam kesalingan. Sebab jika ini tidak terjadi, maka struktur
kedirian satu kesadaran yang unik dan khas dengan yang lain tersebut atau pun
sebaliknya, akan menjadi terabaikan. Dalam momen kesalah-pahaman misalnya,
perlunya kesalingan-pemahaman dan melihat yang lain sebagai yang lain, dalam
kelainannya, lalu bertindak bersama-sama dalam relasi yang intim namun tetap
mengakui kelainan masing-masing.
Peran Bahasa
Peran
bahasa oleh karenanya menjadi penting dalam proses kesalingan-pemahaman di mana
antar satu kesadaran atau pun antar-sistem mengacu pada pengertian bersama
dalam menangkap satu makna tertentu karena faktor bahasa dalam struktur
kesadaran seseorang itu cukup menentukan dalam mengartikulasikan, misalnya,
suatu relasi kesalingan tertentu. Luhmann sendiri mendefinisikan bahasa sebagai
medium yang netral dalam menangkap makna. Bahasa menurut Luhmann, hanya
merupakan simbol (kode) yang umum saja dalam prosesi makna yang menangkap aktualisasi
pengalaman-pengalaman yang dimiliki. Bahasa lalu menjadi yang kedua dalam
tindakan komunikasi dalam kaitannya dengan kesadaran (artinya bahasa menjadi
netral terhadap makna, lalu makna menjadi netral dari kesadaran). Sementara
menurut Habermas, bahasa, sebagaimana budaya, bersifat konstitutif bagi dunia
kehidupan. Bahasa bukanlah, seperti yang dikatakan Habermas, elemen-elemen
situasi tertentu (yang relevan, yang dieksplisitkan dari dunia-kehidupan). Jika
bahasa dianggap netral dalam tindakan komunikasi, maka analisa bahasa tidak
dapat terjadi pada penjelasan ekspresi-ekspresi manusia yang identik dengan
makna (kesadaran), misalnya dia menyebut tentang 4 konsep yang terlibat di
dalam komunikasi, yakni apakah kejujuran, kebenaran, ketepatan dan kejelasan
itu mungkin di dalam komunikasi36, lalu konsensus dan juga disensus
tentang validitas ungkapan-ungkapan linguistik, serta keumuman konteks makna
dan referensi yang dibahas secara kooperatif.37 Konteks makna, dalam
sumber lain, Habermas menyebutkan konteks relevansi dari makna di mana hal ini
menurutnya cukup penting karena ia juga terlibat dalam komunikasi yang
kooperatif, yang didasarkan pada relasi-relasi yang diregulasikan secara
gramatikal di antara elemen-elemen stok pengetahuan yang diorganisasikan secara
bahasa.38
Maka jika
relasi yang hanya mengandalkan simbol umum (kode) untuk produksi dan reproduksi
satu sistem (satu kesadaran) misalnya, lalu jika terjadi kesalah-pahaman, di
mana Luhmann sendiri mengatakan adalah resiko atau konsekuensi dari satu sistem
yang terancam punah karena bekerja dari kesalah-pahaman atau pun Luhmann
sendiri mengatakan bahwa kesalah-pahaman sendiri adalah suatu makna
(sebagaimana negasi atas makna yang memunculkan makna baru pada Luhmann), hanya
akan menambah kompleksitas dan mengambang di udara.39 Situasi “meaningless”
tersebut (berupa error code misalnya) dan tidak mencoba mengupayakan
kesaling-pemahaman (mutual-understanding) yang melihat yang lain sebagai
yang perlu dipahami secara mendalam, bukanlah berarti mengekslusi (seperti yang
diungkap oleh Luhmann pada paparan di atas) yang lain hanya karena demi
menangkap esensi atau menangkap yang lebih dalam dari permukaan satu relasi,
tetapi justru untuk tidak mengekslusinya dan memperhatikannya dengan perhatian
penuh.
Habermas
menyebutkan di sini suatu bentuk ekspresi yang menciptakan keintiman dalam
relasi yakni ekspresi berupa narasi. Ekspresi semacam narasi ini menurutnya,
adalah hal yang amat signifikan dalam proses pencapaian pemahaman ini. Narasi
adalah bentuk tuturan khusus yang membantu menggambarkan peristiwa-peristiwa
dan objek-objek.40 Bentuk ekspresi naratif ini dimaksudkan sebagai
suatu bentuk interaksi yang lebih mendalam di mana para partisipan terlibat di
dalam topik pembicaraan dan mempunyai intensi untuk saling mempengaruhi.41
Ekspresi narasi juga adalah suatu ekspresi kebertubuhan (embodied) suatu
sistem atau pun suatu kesadaran-diri misalnya di dalam suatu dunia tertentu
karena ia telah menyatu dengan struktur gramatikal suatu dunia (makna
tertentu). Penyatuan ini menurut Habermas adalah dari hasil praktek komunikasi
sehari-hari. Narasi tidak hanya untuk melayani kebutuhan yang remeh-temeh dalam
upaya saling-memahami di antara para partisipan, tetapi ia juga penting untuk
memahami personalitas individu-individu. Dari praktek narasi ini yang telah
disatu-tubuhkan di dalam praktek komunikasi sehari-hari lalu terbangunlah suatu
identitas personal, identitas sosial dan identitas kolektif.
Hal yang
perlu diketahui adalah bahwa identitas personal adalah penting dalam relasi
komunikasi yang intim di mana darinya muncul suatu tanggung-jawab individu dari
proses relasi tersebut, sebagaimana identitas sosial dan identitas kolektif
adalah penting di mana darinya muncul suatu solidaritas sosial.
Penutup
Penulis
mengemukakan pendapat Habermas dalam konteks diskusi kita ini, yakni mengenai
tindakan komunikasi sebagai bentuk relasi-relasi sosial dengan maksud bahwa
komunikasi yang kooperatif di antara subjek yang berelasi dalam kesalingan
adalah untuk menyelamatkan pentingnya arti solidaritas yang termuat di dalam
konsepsi tersebut sebagaimana tanggung-jawab sosial seorang individu juga
merupakan hal penting lainnya. Konsep moral memang tidak termuat di dalam teori
Luhmann, sebagaimana pengakuannya sendiri, karena alasan yang diajukannya
adalah bahwa yang lain, yang dikatakan meaningless dalam pembicaraan
mengenai moralitas atau hal lain yang tidak termuat dalam moralitas, menjadi
diabaikan. Alasan ini dikemukakannya adalah agar teorinya mengenai
sistem-sistem sosial dan sistem-sistem psikis memuat yang lain di luar dari
kajian moralitas, karena memang masyarakat adalah kompleks dan tidak bisa
dijelaskan secara keseluruhan berdasarkan satu fenomena (misalnya fenomena
moral) saja. Menurut pemikiran penulis, jika demi mewadahi yang lain, yang
diabaikan dalam konsepsi moral juga kemudian mengabaikan sisi-sisi lain yakni
semacam solidaritas sosial dan tanggungjawab individu, maka artinya teori itu
juga tidak memuat tentang yang lain.
Pembicaraan
mengenai solidaritas dan tanggung jawab individu adalah penting untuk juga
merespon isu-isu globalisasi seperti isu perdagangan yang berorientasi pada
yang lain (yang lebih lemah) untuk diproteksi di dalam suatu bentuk perdagangan
lintas negara (perdagangan global). Dalam hal ini, peranan subjek seperti
negara, adalah juga penting untuk memproteksi atau mensubsidi warganya sendiri
(pedagang, petani, dll) dalam dunia perdagangan tersebut ketika globalisasi
menciptakan ketidakadilan dalam relasinya satu sama lain.
Pustaka
[1] Niklas Luhmann, Social
Systems, Stanford Univ. Press, California, 1984.
[2] -------------------,
“The Cognitive Program of Constructivism and a Reality that Remains
unknown”, from selforganization: Portrait of a Scientific Revolution” (ed.
Wolfgang
[3] Krohn, Guenter
Kueppers and Helga Nowotny), pp. 65-85. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher,
1990,
[4] Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action, Vol.2, Lifeworld and system, Beacon Press,
Boston, 1981
[5] ---------------------,
The Philosphical Discourse on Modernity, Twelve Lectures, The MIT Press
Cambride, Massachushetts, 1987
[6] Hegel, Introduction
dalam Hegel’s Philosophy of Right, T.M.Knox (translator & ed.), Oxford
Univ. Press, 1981, h.7.
[7] Nicholas Schmidle, Habermas’s
Lifeworld; Valuation and The Significance of Narration, www.new-thinking.org/journal/habermaslifeworld.html
[8] Poul Kjaer, Systems
in Context, Ancilla Iuris (anci.ch) 2006: 66 www.anci.ch/doku/php?id=beitrag:systems
[9] Goerge Ritzer dan
Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar