Kamis, 11 September 2014

Kesalingan dalam Pengandaian dan Kesalingan dalam Keintiman



Oleh Sayyidati Muniroh

Pembahasan mengenai sistem yang memproduksi dengan dirinya sendiri melalui diferensiasi dan seleksi berdasarkan informasi di dalam tiga dimensi dengan horison ganda telah menghasilkan suatu kesimpulan bahwa sistem itu bekerja (hanya) dengan artikulasinya sendiri. Hal ini mengabaikan bentuk diferensiasi yang berdasarkan relasi kesalingan yang konkret, di mana kesalingan bukanlah pengandaian (diandaikan saja) di dalam satu internal persepsi atau pun inter-prespektif lalu dideferensiasikan, tetapi kesalingan adalah usaha yang persis bersama-sama di dalam momen terbangunnya suatu perspektif bersama. Upaya tersebut adalah di dalam praktek komunikasi kooperatif keseharian. Komunikasi yang kooperatif ini menghasilkan keintiman yang akan melahirkan tanggung-jawab para peserta (individual) yang terlibat di dalamnya serta terciptanya solidaritas sosial. Kata kunci: makna, sistem, reproduksi-diri, intersubjektifitas, kesalingan (mutual-understanding), dunia, dunia kehidupan.

Globalisasi adalah fenomena yang tengah terjadi saat ini. Globalisasi ditandai oleh adanya pergerakan hubungan-hubungan sosial, ekonomi, budaya, politik dan lainnya yang melampaui batas-batas wilayah suatu negara (dan dianggap juga melampaui otoritas administratifnya bagi sebagian orang). Globalisasi juga ditandai oleh munculnya masyarakat1 yang semakin kompleks dan berbeda-beda, yang membentuk relasi-relasi melampaui batasan-batasan spasial. Oleh karenanya, fenomena globalisasi dan dampak yang muncul darinya juga telah menjadi tantangan bagi para teoritisi (sosial khususnya) untuk mengkonsepsikan suatu teori baru yang dapat menangkap fenomena abad ini. Niklas Luhmann adalah seorang pemikir yang menjawab tantangan tersebut. Teorinya mengenai “sistem sosial” (karyanya sendiri berjudul “Social System”, 1995) adalah upaya untuk menggambarkan kompleksitas kehidupan sosial tersebut. Uraiannya ini, tidaklah lagi berfokus pada masyarakat yang biasa dipahami dalam ilmu-ilmu sosial sebelumnya sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari individu-individu (subjek) yang menjadi bagiannya atau pun dipahami sebagai sebuah objek kajian yang terpisah dari pengamat (ilmuwan) sosial. Menurut Luhmann, teori macam ini tidaklah lagi mencukupi untuk menangkap suatu realitas sebagai dirinya sendiri yang sedang bergerak secara otonom dan membentuk relasi-relasi yang kompleks di mana pengamat (ilmuwan sosialnya) pun tidak terpisah dari domain kajiannya sendiri. Pengamatannya juga termasuk di dalam operasi dari sistem itu sendiri. Luhmann ingin menghindari konsepsi relasi subjek-objek dalam kajiannya. Oleh karenanya, masyarakat tidaklah lagi dipahami sebagai manusia-manusia atau pun subjek-subjek yang berelasi satu sama lain, tetapi lebih dilihat sebagai realitas yang bergerak dengan dirinya sendiri (karena Luhmann ingin memperlakukan realitas itu sebagaimana apa adanya ia dan Luhmann sendiri sebagai bagian di dalamnya). Realitas yang bergerak sendiri menurut Luhmann, lebih tepat dipahami sebagai sistem, yakni sesuatu yang berelasi satu sama lain dan bergerak membentuk dirinya sendiri (sebagaimana halnya sistem-sistem organis yang bergerak memproduksi dirinya sendiri). Alasannya karena jika masyarakat dilihat sebagai keseluruhan manusia (subjek) maka akan selalu terbatas relasi-relasinya pada persoalan eksistensial semacam pergulatan identitas (pengakuan) atau persoalan relasi distansial subjek-objek di mana yang lain, yang berada di luar dari pergulatan tersebut terekslusi. Padahal menurut Luhmann, masyarakat telah membentuk suatu jaringan dari relasinya satu sama lain dan kemudian membentuk suatu struktur yang juga disebut sebagai sistem. Sistem dipahami sebagai struktur relasi-relasi, di mana manusia berada di dalam jaringan-jaringannya. Sistem yang dimaksud adalah sistem sosial yang bergerak seiring dengan pergerakan sistem kesadaran (psikis) manusia di mana motor penggeraknya adalah makna (sistem kesadaran yang pergerakannya dilandasi oleh makna).2 Realitas makna (tertentu) pada dirinya sendiri, adalah suatu realitas yang kompleks, yang menyisakan jejak adanya jaringan-jaringan makna-makna lain di belakang dirinya, yang ternyata juga (dapat) menjadi landasan acuan bagi pergerakan sistem-sistem kesadaran lainnya. Jadi satu makna tertentu yang sedang dipahami bersama pada satu momen tertentu antara satu sistem dengan sistem lainnya, adalah bersifat sementara karena pergerakan satu elemen sistem yang berelasi tersebut, mempunyai acuan maknanya sendiri yang berbeda dari acuan makna elemen sistem lainnya. Oleh karenanya pertemuan antar-sistem (baik itu sistem-sistem sosial mau pun sistem-sistem psikis yang kedua-duanya dimotori oleh kesadaran dan acuan pergerakan kesadaran adalah makna) tersebut adalah pertemuan yang tidak stabil dan kompleks, serta tidak dapat diprediksi, karena di dalam ruang internal (struktur internal kedirian) kedua sistem tersebut mempunyai horison makna (acuan)nya yang berbeda-beda dan tentunya bergerak terus untuk kelangsungan hidupnya.

Tetapi kelangsungan hidup sistem-sistem tersebut tidak bisa terlepas dari realitas pergerakan lingkungannya (Luhmann membedakan istilah sistem dan lingkungan agar mudah menjelaskan pergerakan satu sistem dengan sistem lainnya di mana sistem lainnya ini disebut sebagai lingkungan bagi sistem tersebut) karena lingkungannya tersebut turut mempengaruhi pola atau corak reproduksi sistem-sistem tersebut. Sebab jika tidak, maka sistem-sistem tersebut tidak akan bisa bertahan hidup jika tidak melihat adanya perubahan (progresifitas) lingkungannya. Keberadaannya terancam punah jika ia tidak membuka diri pada lingkungannya sebab lingkungannya adalah acuan dirinya untuk mereproduksi keberlangsungan eksistensi sistem-sistem tersebut. Dari pemikiran ini, oleh karenanya, Luhmann meyakini bahwa tidak ada yang terekslusi karena semua sistem (seluruh isi dunia adalah pergerakan sistem-sistem menurut Luhmann) diakui keberadaannya dan pergerakan realitasnya sendiri (yang di dalam dirinya sendiri juga mempunyai kompleksitasnya sendiri). Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa sistem-sistem (perlu ditekankan lagi yakni sistem-sistem sosial dan sistem-sistem psikis yang keduanya digerakkan oleh kesadaran dan acuan pergerakan kesadaran adalah makna) bergerak sendiri-sendiri demi keberlangsungan hidupnya. Pergerakan sendiri-sendiri sistem-sistem inilah yang dianalisa oleh Habermas sebagai pergerakan sistem-sistem (kesadaran) yang berperspektif “ego-sentris”. Lewat uraian fenomenologisnya (fenomenologi deskriptif), yang memang dinyatakan sendiri oleh Luhmann,3 sistem-sistem ini bekerja menurut artikulasinya (dengan bahan acuan dari lingkungannya) sendiri untuk reproduksi dirinya sendiri dan keberlangsungan hidupnya. Perlu diketahui pula bahwa cara bekerja sistem-sistem ini juga mengandalkan simbol-simbol general sebagai kode dari lingkungannya karena menurut Luhmann sendiri cara bekerja sistem-sistem psikis tidak dapat menangkap realitas secara mendetail. Hal ini membawa Habermas pada analisa kedua mengenai diabaikannya identitas (yang memang ditolak oleh Luhmann) kedirian sistem-sistem tersebut. Habermas sendiri menekankan bahwa kesadaran itu tidak dapat terlepas dari manusia sebagai subjek pemiliknya, oleh karenanya, relasi antara satu elemen sistem (kesadaran) misalnya, menurutnya, mempunyai kualitas berupa relasi yang intim dan benar-benar saling memahami satu sama lain dalam pola relasi intersubjektif kooperatif yang sudah mengendap dalam kehidupannya sehari-hari.

Simbol-simbol general yang dipakai oleh sistem-sistem (kesadaran) Luhmann ini juga memakai eksistensi bahasa sebagai medium (saja) bagi relasi-relasi antar sistem tersebut. Habermas di sini melihat posisi bahasa yang dianggap mempunyai makna yang netral dan, sepertinya menurut penafsiran penulis, dapat ditangkap dengan mudah. Padahal menurut Habermas, bahasa juga bersifat menentukan bagi artikulasi-artikulasi proses relasi antar sistem (kesadaran). Dengan penggunaan simbol-simbol yang (cukup) umum saja dengan bahasa yang dianggap netral makna inilah, menurut Habermas, lalu sistem-sistem (kesadaran) tersebut bekerja dengan “subjektifitas”nya sendiri-sendiri.

Habermas mencoba menawarkan suatu bentuk relasi-relasi sistem-sistem (kesadaran) yang tidak sekedar mengandaikan yang lain (yang lain diandaikan di dalam ruang internal satu sistem) tetapi benar-benar dalam kesalingan satu sama lain (dalam relasi yang intim di mana yang lain; dengan identitasnya dan seluruh struktur kediriannya tidak terabaikan) di dalam relasi kesehariannya yang konkret.

Oleh karena itu, tulisan ini hendak menguraikan lebih jelas latar belakang permasalahan di atas dengan struktur tulisan sebagai berikut; bab I diawali dengan uraian konsep makna Luhmann yang melandasi pergerakan sistem, diikuti dengan bab II yang menganalisa, melalui Habermas, kecenderungan adanya perspektif “ego-sentris” dari sistem dalam memproduksi dirinya sendiri melalui makna (cara bagaimana sistem itu bekerja memproduksi dirinya yang diterangi oleh makna), lalu dilanjutkan dengan tawaran Habermas mengenai suatu bentuk relasi yang benar-benar dalam kesalingan (intim) antar satu elemen sistem atau satu kesadaran dengan yang lainnya di mana bahasa juga mempunyai peran yang signifikan di dalamnya dan diikuti oleh perluasan dari kondisi relasi yang intim tersebut dan pengaruhnya bagi dunia sosial dalam kesehariannya yang konkret. Tulisan ini diakhiri dengan uraian tentang suatu kondisi yang dipengaruhi oleh relasi yang intim tersebut yakni berupa adanya suatu solidaritas dan tanggung-jawab individu, yang juga diperlukan bagi masyarakat global (yang kompleks) saat ini (penutup).

I. Makna sebagai landasan pergerakan sistem

Makna dalam konsep Luhmann, bergerak membentuk dan memproduksi dirinya sendiri. Makna lalu membentuk sistem sendiri. Cara memproduksi dirinya sendiri adalah dengan mereferensi dirinya sendiri (properti makna yang dipunyainya sendiri). Luhmann menamakannya self-referential systems. Jadi makna sebagai sistem yang mengacu kepada dirinya sendiri. Makna dalam pengertian Luhmann adalah makna yang selalu berubah (tidak stabil) karena ia mengandung rangkaian referensi (acu-mengacu) kepada makna-makna lain. Satu makna misalnya, pada dirinya sendiri, dapat menjadi jejak tentang adanya kemungkinan-kemungkinan lain bagi pengalaman dan tindakan. Kemungkinan-kemungkinan ini dapat menjadi aktualitas nantinya bagi yang lain ketika yang lain tersebut dapat mengaksesnya. Kemungkinan-kemungkinan lain dalam makna harus selalu diandaikan sebab dengan cara ini maka yang lain selalu tercakup di dalamnya (yang lain selalu juga berada dalam pengandaian). Dengan cara ini juga Luhmann hendak menjelaskan bahwa kehidupan sosial itu kompleks dan kita dapat menjelaskan kompleksitas itu (melalui kemungkinan-kemungkinan yang terkandung di dalam makna tadi) tanpa perlu mengesampingkan yang lain dalam mereduksi kompleksitas tersebut (ada pun sukses atau tidak cara ini, akan kita diskusikan di bawah). Perlu diketahui pula bahwa makna juga dikatakan sebagai yang selalu mengisi ruang di mana pun. Kita tidak dapat keluar darinya sebab ketika kita menegasinya, kita telah selalu berada dalam makna (dalam makna baru setelah negasi). Jadi, tidak ada yang disebut sebagai “meaningless” baginya. Makna lalu membentuk horison-horison, dan horison-horison itulah yang disebut dunia.4

Makna dalam sistem-sistem sosial, adalah hasil produksinya sendiri dalam membedakan dirinya dengan sistem-sistem psikis. Pembedaan ini lahir dari saling-pengandaian antara keduanya yang kemudian dibuat distingsi di antara keduanya. Sistem-sistem sosial terbentuk atas dasar kesatuan (referensi-diri) jaringan komunikasi-komunikasi (yang dipandu oleh makna) sedangkan sistem-sistem psikis terbentuk atas dasar kesatuan (referensi-diri) jaringan kondisi-kondisi sadar (yang juga dipandu oleh makna). Di mana pun dan kapan pun, keduanya adalah lingkungan bagi satu sama lainnya.5

Cara kerja membedakan (diferensiasi) adalah cara kerja utama dalam teori sistem sosial Luhmann ini. Cara ini adalah cara yang cukup mumpuni untuk memproduksi sekaligus keberlangsungan hidup suatu sistem (baik itu sistem-sistem sosial, sistem-sistem psikis, atau pun sistem-sistem organik dalam kehidupan empiris). Hal yang terkait dengan cara diferensiasi ini adalah metode seleksi. Dari proses diferensiasi-diferensiasi (di mana sudah dikatakan tadi secara implisit bahwa diferensiasi bisa dilakukan dengan terlebih dahulu memiliki properti berupa adanya kesalingan-pengandaian antara satu dengan yang lain, yang kemudian dapat dilakukan pembedaan darinya) kita dapat menyeleksi (bukan satu di antaranya, tetapi yang dimaksud Luhmann adalah makna baru (itulah yang kita pilih) dari diferensiasi ini). Misalnya tentang suatu makna tadi (seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa ia mengandung sejumlah kemungkinan-kemungkinan lain), ia memiliki sejumlah totalitas referensi yang kalau kita mau ikuti referensi-referensi tersebut, akan terus mengalir tanpa ujung (karena makna tertentu mengacu kepada makna lainnya, dan makna lainnya mengacu kepada makna tertentu tersebut atau mengacu kepada makna yang lainnya lagi dan seterusnya). Metode seleksi dari diferensiasi ini lalu menjadi solusi bagi Luhmann. Diferensiasi pertama adalah seleksi antara apa yang dianggap potensial dengan apa yang dianggap aktual pada makna yang hendak ditangkap. Apa yang dianggap aktual, berdasarkan informasi,6 berarti dapat diseleksi untuk terbentuknya makna pada suatu situasi. Yang lain lalu dikatakan sebagai potensi yang dapat menjadi referensi (aktualitas) bagi kemungkinan lain. Begitulah cara kerja menangkap makna.

Tetapi, diferensiasi antara apa yang aktual dan apa yang potensial saja tidak cukup. Sebab, seperti dikatakan tadi, apa yang dianggap aktual, juga merupakan potensi bagi kemungkinan lain setelah aktualitasnya hilang, atau apa yang dikatakan potensi dapat menjadi aktualitas bagi yang lain lagi.7 Maka, akan terdapat jaringan makna yang selalu mengacu antara satu sama lain. Tindakan acu-mengacu ini dapat membawa kepada kondisi tautologis. Oleh karenanya, Luhmann lalu mengajukan metode diferensiasi kedua.  Untuk mende-tautologi atau untuk menangkap makna yang diintensikan pada suatu momen yang juga spesifik (namun bersifat sementara, karena sebentar lagi aktualitas suatu makna akan hilang dan menjadi potensi bagi makna yang lain), Luhmann membentuk 3 dimensi (yang tentunya dengan diferensiasi-diferensiasi), yakni; dimensi fakta, dimensi temporal dan dimensi sosial. Dimensi-dimensi ini juga bekerja dalam 2 horison (horison ganda). Dimensi fakta misalnya, terdapat 2 horison, yakni eksternal dan internal. Sistem-sistem dalam dimensi ini bekerja melalui struktur referensinya dengan pola disjungsi primer.8 Pola ini menekankan prioritas antara sesuatu yang sudah dideterminasi dengan yang belum (kalimat Luhmann sendiri; “the fact dimension is constituted in the meaning divides the reference of what is meant into “this” and “something else”). Diferensiasi antara yang eksternal dengan yang internal, Luhmann menganalogikannya dengan pembedaan antara pengalaman dan tindakan dalam kaitannya kepada sistem yang mengacu kepada dirinya itu sendiri, berikut ungkapannya; “... meaning system distinguishes experience and action in relation to itself and in relation to oher systems: if the meaning selection is attributed to the environment, then what occurs is a selection characterized as experience, and the system turns to its environment to seek points of contact for further measures. By contras, if the meaning selection is attributed to the system itself, then what occurs is characterized as action (“.....sistem makna membedakan pengalaman dan tindakan dalam relasinya kepada diri sendiri dan relasinya kepada sistem-sistem lainnya adalah sbb; jika seleksi makna dikaitkan kepada lingkungan, maka apa yang terjadi dianggap sebagai pengalaman, dan sistem lalu mengamati lingkungannya untuk mencari celah keterhubungan demi pertimbangan selanjutnya. Sebaliknya, jika seleksi makna dilekatkan kepada sistem itu sendiri, maka apa yang terjadi dianggap sebagai tindakan).9 Jadi, perbedaan antara yang internal dan eksternal, dalam penafsiran penulis, bahwa yang internal sudah berwujud tindakan (dengan pilihan sebagai “this”) dan yang eksternal adalah pengalaman (“something else”). Jadi menurut penulis sendiri, yang internal sebagai “this” adalah pilihan yang sudah mewujud pada tindakan (artinya sudah ada seleksi) dan yang eksternal, yakni pengalaman adalah “something else” (dapat berupa horison yang menjadi referensi bagi tindakan).

Dimensi temporal juga bekerja dalam dua horison ganda, yakni horison masa lalu dan masa depan. Waktu dimengerti bukan dalam pengertian siklis tetapi waktu yang mengalir (Luhman menyebutnya durasi10) dalam penghayatan sistem (yakni dengan pembedaan antara waktu yang lalu dan masa depan lalu membentuk suatu pemaknaan waktu yang baru dari pembedaan itu). Masa lalu dikatakan sebagai pengalaman (di mana waktu tidak bisa dihindari karena peristiwa yang telah menjadi pengalaman tak dapat diputar-balik) yang tengah hadir saat ini dan masa depan yang juga diantisipasi oleh saat ini juga. Saat ini bukan juga dimengerti dalam arti spasial tetapi dalam arti penghayatan (bersamaan dengan mengalirnya waktu di antara masa lalu dan masa depan) dan munculnya makna baru darinya. 11

Begitu pula dengan dimensi sosial, bekerja dalam dua horison ganda; ego dan alter ego. Ego dan alter-ego ini bukanlah dimengerti dalam konsepsi humanistik yang memakai atribut peran, seseorang, identitas, dll, tetapi adalah penekanan pada pertimbangan perbedaan-perbedaan perspektif antara satu dengan yang lain (alter). Ego dan alter-ego ini ditekankan pada fungsinya saja sebagai ego dan alter-ego dan konsekuensi-konsekuensi yang dihasilkannya. Kedua perspektif ini (perspektif yang dimiliki ego dan alter) diandaikan oleh sistem yang mengacu kepada dirinya sendiri dan lalu diputuskan dalam perspektif sistem tersebut (tergantung perspektif sistem itu sendiri) di sini Luhmann berkata; “....both perspective—that of ego and that of alter—together or in succession, and then to decide in whose perspective what means what” (“...kedua perspektif—baik yang dimiliki oleh ego dan alter—bersama-sama dalam proses suksesi, lalu diputuskan perspektif siapa tentang apa yang dimaksud apa).12 Skema diferensiasi ini dapat menghasilkan persetujuan dan ketidaksetujuan (consensus dan dissenst) lalu kemudian diadaptasikan sesuai dengan proses operasi sistem yang mengacu kepada dirinya sendirit tersebut.13

Ketiga dimensi ini bersifat interdependen satu sama lain dalam menghasilkan makna. Sistem lalu mendapatkan makna yang spesifik dari diferensiasi-diferensiasi antara dimensi fakta, temporal dan sosial.14

Metode diferensiasi makna dengan tiga dimensi dalam dua horison ganda ini bekerja bukanlah atas penangkapan yang esensial sebagaimana cara bekerjanya kesadaran diri pada filsafat subjek yang dipakai dalam disiplin ilmu lainnya. Dalam filsafat antropologi misalnya, pembahasan mengenai subjek yang selalu menangkap apa yang esensial dalam kerja kesadaran-dirinya cukup dominan. Menurut Luhmann, hal ini akan mengeksklusi hal yang meaningless dalam menangkap esensi dan mereduksi yang lain, yang juga turut andil dalam memberikan “sumbangan” referensi bagi pembentukan suatu makna.15 Lebih jauh lagi memang Luhmann mengemukakan bahwa teorinya adalah teori sosial yang a-centris (a-centric world concept); suatu pandangan mengenai konsep dunia (makna-makna sebagai horisonnya) yang tidak memiliki pusat karena semua makna itu mungkin (memiliki kemungkinan) dan dunia (sebagai makna) lalu dapat diakses di mana pun.16 Oleh karenanya, prosesi pembentukan makna oleh sistem yang mengacu kepada dirinya sendiri, tidak perlu (atau netral dari) tindakan “pemihakan” berupa pengenalan pada yang detail, yang lebih mendalam (apalagi menangkap esensial) dari diferensiasi yang dilakukan. Ia hanya membutuhkan generalisasi simbolik. Luhmann mengatakan bahwa simbol yang digeneralisasikan ini adalah media yang menunjukkan adanya kesatuan pluralitas dan kegunaannya adalah untuk mengatasi multiplisitas secara operatif.17 Mengenai term “generalisasi” sendiri, Luhmann mendapat ide dari riset psikologis bahwa teori-teori sistem psikis, hanya dapat menangkap secara globalnya saja dari kondisi lingkungan dan sejumlah peristiwa karena kapasitas sensory-motor tidak dapat menerimanya secara detail, hal ini tentunya akan membuyarkan stimulus/respon. Tindakan menurut Luhmann, hanya mungkin ketika kesatuan hubungan-hubungan di antara komponen-komponennya diidentifikasi melalui generalisasi simbolik.18

Alasan lain yang dikemukakan oleh Luhmann adalah bahwa generalisasi simbolik ini juga akan menghadirkan makna yang tidak hanya menyuplai suatu pengertian pada momen tertentu dan “mengisi” pengalaman dan tindakan yang dengan begitu sistem lalu dapat mere-organisir referensi-dirinya, tetapi ia juga dapat menjadi kemungkinan bagi situasi-situasi yang berbeda dan juga bagi partner (alter) komunikasi yang lain. maka simbol yang umum itu adalah tepat sebab ia memberi jejak pada kemungkinan-kemungkinan lain dalam fluktuasi pengalaman.19 Bahasa juga di sini bagi Luhmann, adalah medium komunikasi yang berfungsi sebagai kode.20

II. Analisa kritis terhadap proses reproduksi makna (reproproduksi sistem)

Sistem-sistem sosial dan sistem-sistem psikis (sistem-sistem sadar) yang berproduksi dengan landasan makna, menurut penulis, perlu ditekankan sekali lagi bahwa sistem-sistem ini tidak dapat bergerak tanpa kesadaran. Penulis berpikir, kita juga dapat dapat menyebutnya sebagai sistem-sistem kesadaran yang bergerak di dalam dirinya sendiri (psikis) dan juga bergerak ke luar dirinya, membentuk sistem-sistem sosial. Luhmann dalam pengamatan penulis, juga menguraikan konsep maknanya sebagai yang memproduksi dirinya sendiri, dapat juga disimpulkan, sekali lagi menurut pertimbangan penulis, sebagai sistem-sistem kesadaran. Karena kesadaran sudah pasti berisi makna. Makna adalah apa yang disadari. Jika kesadaran tanpa makna maka tidak ada eksistensi kesadaran. Maka sekali lagi, kita dapat menyebut sistem-sistem sosial atau sistem-sistem psikis (sadar) atau makna-makna (dalam uraian di atas sebagai sistem) sebagai sistem-sistem kesadaran.

Lalu cara bekerjanya sistem-sistem atau makna-makna (atau juga sistem kesadaran) dalam mereproduksi dirinya sendiri adalah dengan cara menyeleksi melalui diferensiasi antara aktualitas dan potensialitas makna melalui informasi dan dispesifikasikan lagi melalui diferensiasi dalam tiga dimensi; faktual, temporal dan sosial. Di sini artinya bahwa sistem lalu bekerja dengan artikulasinya sendiri (berdasarkan struktur (pengalaman)nya sendiri). Dengan perspektifnya sendiri. Ini berarti, menurut Habermas, seperti mengandaikan adanya “ego transendental” yang bekerja di dalam kesadarannya sendiri dan mereproduksi dirinya sesuai dengan perspektifnya sendiri.21 Sistem ini memang, seperti dikatakan oleh Luhmann sendiri, adalah sistem yang tertutup (entropi)22, dan sistem yang tertutup ini cenderung untuk surut.23

Kedua, dengan menghindari penangkapan makna yang esensial dari pola kerja diferensiasinya dan mengandalkan pada simbol yang umum, dan yang utama adalah menghindari atribut-atribut subjek, identitas, peran, dll (lihat hal 5 dari tulisan ini), maka identitas yang lain, yang ingin ikut disertakannya dalam pengandaian (referensi) kognitifnya, menjadi terabaikan. Begitu pula dengan menganggap peran bahasa yang bersifat netral terhadap makna atau pun bersifat menentukan dalam artikulasi-artikulasi suatu (sistem) kesadaran, maka struktur kedirian kesadaran itu sendiri yang khusus dan unik, menjadi terabaikan.

Analisa yang saya uraikan di sini adalah analisa Habermas. Penulis tidak bermaksud mengunggulkan satu dari pada yang lain, tetapi pemikiran Habermas (yang memang terlibat dalam berdebat dengan Luhmann) dalam pandangan penulis, mencukupi untuk dijadikan pisau analisa bagi pemikiran Luhmann dalam konsepnya tentang makna ini.

Perspektif “ego-sentris”

Di sini, penulis akan mengutip suatu contoh yang diberikan oleh Habermas dalam menanggapi pola bekerja sistem-sistem dengan artikulasi (berdasarkan perspektifnya sendiri). Habermas menggambarkan bentuk pemikiran salah seorang pewaris fenomenologi, yakni Alfred Schutz, dalam mengkonsepsikan teori komunikasi dalam mereproduksi dunia-kehidupan. Perlu diketahui pula definisi mengenai dunia-kehidupan yang penulis kira hampir sama dengan konsepsi dunia dalam Luhmann, yakni dunia sebagai totalitas makna (seperti disebut di atas, makna yang membentuk horison-horison dan itulah dunia). Dunia-kehidupan (lifeworld) adalah semacam pengetahuan yang ada secara langsung yang ditangkap oleh kesadaran seseorang pada saat ia mulai mengenal sesuatu yang ada di dunia. Dunia-kehidupan adalah semacam latar belakang (dapat dikatakan juga sebagai stok) pengetahuan yang dipunyai seseorang secara langsung tanpa seleksi dari dirinya. Pada saat seseorang mulai menyeleksi, mengenali secara spesifik akan suatu pengetahuan, maka ia menjadi pengetahuan tertentu dan ia bukan lagi disebut dunia-kehidupan.24

Alfred Schuzt dalam uraian Habermas, mempunyai konsepsi tentang teori komunikasi yang beranjak dari struktur kesadaran (pengalaman) yang dimiliki oleh seseorang. Menurut Schuzt, seluruh makna sebagai dunia-kehidupan adalah stok pengetahuan yang kemudian terhubung (dieksplikasikan), dengan pelbagai cara, kepada situasi yang dihadapi oleh individu yang mempunyai pengalaman-pengalaman, yang kemudian diaktualisasikannya pada situasi tersebut (“every situation has an infinite inner and outer horizon; it is to be explicated according to its relation to other situtations, experiences, etc., with respect to its prior history and its future”). Sebaliknya, tiap-tiap pengalaman yang diaktualisasikan juga lalu dimasukkan ke dalam arus pengalaman yang dihidupi dan juga ke dalam biografi, menurut sejumlah relevansi yang ditemukan dalam stok pengetahuan. Tiap-tiap situasi menurutnya, mempunyai segmen tertentu dari dunia yang hadir di hadapan seseorang. Selain segmen tertentu ini, terdapat segmen lain yang terus bergerak dan dideferensiasikan dalam dimensi temporal sebagaimana dimensi sosial. Pengalaman juga diaktualisasikan secara temporal; dengan durasi dari dalam yang mengalir dari pengalaman yang dihidupi, yang juga muncul dari memori-memori dan ekspektasi-ekspektasi (pada Luhmann juga terdapat ekspektasi). Segmen yang dieksplisitkan dari diferensiasi-diferensiasi ini juga di-interseksi-kan oleh waktu dunia, waktu biologi dan waktu sosial dan disimpan dalam sekuensi keunikan biografi yang diartikulasikan kemudian. Segmen ini juga kemudian berubah pada situasi lain yang ditemukan relevan pada interpretasi dan situasi yang lain, karena realitas memang kontingen menurut Schuzt. Dari sini lalu terbangun stok pengetahuan yang akan menjadi pengalaman-pengalaman nantinya.25

Schuzt, menurut Habermas, juga mengatakan bahwa tiap-tiap pengalaman mempunyai dimensi sosial sebagaimana juga rencana-rencana spasial dan temporal suatu pengalaman juga disosialisasikan. Sosialisasi ini yakni melalui suatu komunikasi intersubjektif (mengenai signifikansi komunikasi yang intersubjektif, atau perlunya merenungkan signifikansi filsafat subjek, akan penulis uraikan pada bab berikut) karena ia juga mengatakan bahwa dunia kehidupan, bukanlah milik khusus seseorang tetapi dunia intersubjektif; suatu struktur fundamental yang realitasnya adalah ruang berbagi bersama (ungkapan Schuzt sendiri yang dikutip oleh Habermas; “my lifeworld is not my privatworld but, rather, is intersubjective; the fundamental structure of its reality is shared by us”). Para anggota di dalam bentuk interaksi ini memposisikan dirinya sebagai yang memiliki dunia-kehidupan dalam skema first-person plural (individu dalam disposisi sebagai orang yang pertama dalam kondisi yang plural) sebagaimana individu itu sendiri memposisikan dirinya sendiri (di dalam dirinya) dalam skema first-person singular (dalam disposisi orang pertama tunggal) di dalam dunia-kehidupan tersebut. Komunikasi yang dibayangkan oleh Schuzt oleh karenanya adalah komunikasi inter-prespektif.26

Menurut Habermas, uraian Schuzt dengan bantuan fenomenologi ini jelas mempunyai kecondongan pada perspektif individu(alis). Komunikasi yang terjadi adalah komunikasi dari para aktor-aktor yang merefleksikan bentuk komunikasi dari ruang yang terisolasi (dari pengalamannya sendiri). Penekanannya adalah pada ciri perspektif persepsi dan interpretasi yang terkait dengan peran-peran komunikasi orang pertama, kedua dan ketiga dalam struktur tindakan pada suatu situasi tertentu.27

Habermas juga mengatakan bahwa tak dapat diragukan bahwa model-model familiar psikologis dan sosiologis dari pelaku yang terisolasi (mengisolasikan diri) semacam ini dalam suatu situasi, yang dipengaruhi oleh stimulus dan bertindak menurut rencana-rencana, mendapatkan kedalaman fokus tertentu melalui analisa fenomenologi mengenai dunia-kehidupan dan situasi-situasi tindakan. Hal ini menurut Habermas, mirip dengan model teori sistem-sistem yang diuraikan secara fenomenologis (sebagaimana penulis informasikan lagi bahwa Luhmann juga memakai fenomenologi (deskriptif)) di mana interpretasi-interpretasi individu adalah lingkungan bagi sistem personal (personality system) atau pun sebaliknya. Interpretasi individu melalui 3 dimensi (dimensi faktual dengan diferensiasi horison eksternal-internal, dimensi temporal; diferensiasi horison masa lalu dan masa depan, serta dimensi sosial; satu perspektif (ego) dengan perspektif lain (alter-ego)) lalu mendapatkan makna yang kemudian dikonsumsi oleh sistem untuk operasinya lebih lanjut.28

Relasi kesalingan yang intim dalam mencapai pemahaman bersama (mutual-understanding)

Habermas juga melihat ada yang luput dari metode Luhmann mengenai diferensiasi melalui simbol generalnya, yakni diabaikannya identitas dari pergerakan kesadaran dalam mereproduksi dirinya. Meski Luhmann sendiri menolak konsepsi subjek di mana atribut “identitas” ini terkait dengannya, sebagaimana atribut “peran”,29 tetapi lagi-lagi penulis tekankan bahwa teorinya adalah mengenai sistem-sistem psikis atau pun sistem-sistem sosial, yang berarti juga adalah sistem-sistem kesadaran. Oleh karenanya, tetaplah tidak dapat dilepaskan pembicaraan mengenai kesadaran atau pun manusia sebagai yang mempunyai kesadaran yang kemudian mereproduksi dirinya demi keberlanjutan keberadaannya.

Dalam metode diferensiasinya dalam menangkap makna sekaligus melalui simbolisasi general, identitas satu kesadaran (satu kedirian manusia) menjadi terabaikan. Luhmann mengatakan bahwa cara kerja pada makna yang diintensikan memang membutuhkan simbol umum saja untuk operasi sistem (untuk reproduksi sistem dalam situasi yang kompleks, emergen (darurat) dan berubah-ubah). Sistem bekerja dengan operasinya (artikulasinya) sendiri secara netral-makna30 (karena tidak secara detail menangkap problem artikulasi pemahaman manusia dan memilih pada simbol yang umum saja).

Habermas mengatakan bahwa dalam metode diferensiasi (makna) pada relasi satu elemen (sistem) yang berproduksi dengan kesadaran, maka yang tak dapat dilepaskan darinya adalah adanya identitas pada satu elemen tersebut.31 Perbedaan ini tidak bisa hanya apa yang ada pada penampakannya saja (yang umum dan tidak detail) dari elemen yang bekerja dengan kesadaran tersebut. Jika hanya pada penampakan (simbol) yang umum saja dari suatu kesadaran (satu sistem psikis misalnya), maka telah terjadi pengabaian pada komplekstias struktur kedirian sistem psikis itu sendiri. Pengetahuan yang dihasilkannya pun adalah pengetahuan yang abstrak.32 Pada mahluk yang mempunyai kesadaran diri, pembedaan atas mereka adalah dengan mengenalinya secara mendalam (intim), sebab kalau tidak, akan terjadi reifikasi33 pada pola-pola relasi antar-mereka. Pada Hegel misalnya, diferensiasi pada relasi-relasi kesadaran-diri memunculkan bentuk-bentuk pengenalan yang mendalam antar kesadaran-diri yang berelasi; pengenalan dalam pembedaan yang berkelindan dengan munculnya identitas diri. Pada momen pengenalan misalnya, satu (kesadaran) diri mengenali yang lain sebagai yang lain, sekaligus sebagai dirinya dalam yang lain. Pengenalan sebagai yang lain dan dikatakan sebagai yang berbeda dari dirinya adalah satu partikularitas. Pengenalan sebagai dirinya dalam yang lain, dikatakan sebagai partikularitas yang lainnya. Pada saat kembali kepada dirinya dari momen pengenalan tadi, ia melihat dirinya mempunyai kesesuaian atau pun perbedaan, tetapi tetap dalam kerangka sudah mengenali dengan yang lain, seperti juga yang lainnya itu, mengalami hal yang sama dan mengenali dimensi kesesuaian dan perbedaannya dengan yang lain ini. Di sini kemudian keduanya bertemu dalam momen sublasi (diangkat ke yang lebih tinggi dari saling-mengenal tadi). Momen ini disebut momen self-relation.34 Pengenalan ini sekaligus juga menghadirkan identitas dari relasi-diri tadi, karena identitas tidak muncul jika tidak ada pengenalan (perbedaan) dengan yang lain. Identitas justru muncul ketika ada yang lain, dan tentunya, yang lain juga adalah esensial bagi adanya satu identitas (satu bentuk kedirian) karena dengan keberadaannya sebagai mediasi pengenalan atau pembedaan maka identitas itu muncul. Jadi, momen kemunculan identitas adalah momen mediasi (relasi) diri.35

Hal yang mau ditekankan di sini adalah pada sesuatu yang berproduksi dengan kesadaran, di mana makna juga dapat bekerja di dalamnya, proses kesalingan adalah penting (kesalingan yang bukan diandaikan dalam perspektif internal suatu kesadaran di mana ia terbuka pada yang lain tetapi selanjutnya adalah bahwa yang lain lalu menjadi acuan bagi sistem untuk bertindak demi operasinya selanjutnya). Pengenalan (pemahaman) tentang yang lain adalah hal yang esensial dan tidak bisa dikenali hanya berdasarkan penampakannya saja (simbol umum) demi emergensi situasi (momen tertentu) yang tidak stabil dan kompleks. Yang lain, sebagai dirinya sendiri yang perlu dikenali dengan keintiman yang penuh, bukan untuk acuan diri satu pihak, tetapi untuk benar-benar menciptakan suatu kesalingan-pemahaman antara elemen-elemen yang unik tersebut dan bertindak secara bersama dalam kesalingan. Sebab jika ini tidak terjadi, maka struktur kedirian satu kesadaran yang unik dan khas dengan yang lain tersebut atau pun sebaliknya, akan menjadi terabaikan. Dalam momen kesalah-pahaman misalnya, perlunya kesalingan-pemahaman dan melihat yang lain sebagai yang lain, dalam kelainannya, lalu bertindak bersama-sama dalam relasi yang intim namun tetap mengakui kelainan masing-masing.

Peran Bahasa

Peran bahasa oleh karenanya menjadi penting dalam proses kesalingan-pemahaman di mana antar satu kesadaran atau pun antar-sistem mengacu pada pengertian bersama dalam menangkap satu makna tertentu karena faktor bahasa dalam struktur kesadaran seseorang itu cukup menentukan dalam mengartikulasikan, misalnya, suatu relasi kesalingan tertentu. Luhmann sendiri mendefinisikan bahasa sebagai medium yang netral dalam menangkap makna. Bahasa menurut Luhmann, hanya merupakan simbol (kode) yang umum saja dalam prosesi makna yang menangkap aktualisasi pengalaman-pengalaman yang dimiliki. Bahasa lalu menjadi yang kedua dalam tindakan komunikasi dalam kaitannya dengan kesadaran (artinya bahasa menjadi netral terhadap makna, lalu makna menjadi netral dari kesadaran). Sementara menurut Habermas, bahasa, sebagaimana budaya, bersifat konstitutif bagi dunia kehidupan. Bahasa bukanlah, seperti yang dikatakan Habermas, elemen-elemen situasi tertentu (yang relevan, yang dieksplisitkan dari dunia-kehidupan). Jika bahasa dianggap netral dalam tindakan komunikasi, maka analisa bahasa tidak dapat terjadi pada penjelasan ekspresi-ekspresi manusia yang identik dengan makna (kesadaran), misalnya dia menyebut tentang 4 konsep yang terlibat di dalam komunikasi, yakni apakah kejujuran, kebenaran, ketepatan dan kejelasan itu mungkin di dalam komunikasi36, lalu konsensus dan juga disensus tentang validitas ungkapan-ungkapan linguistik, serta keumuman konteks makna dan referensi yang dibahas secara kooperatif.37 Konteks makna, dalam sumber lain, Habermas menyebutkan konteks relevansi dari makna di mana hal ini menurutnya cukup penting karena ia juga terlibat dalam komunikasi yang kooperatif, yang didasarkan pada relasi-relasi yang diregulasikan secara gramatikal di antara elemen-elemen stok pengetahuan yang diorganisasikan secara bahasa.38

Maka jika relasi yang hanya mengandalkan simbol umum (kode) untuk produksi dan reproduksi satu sistem (satu kesadaran) misalnya, lalu jika terjadi kesalah-pahaman, di mana Luhmann sendiri mengatakan adalah resiko atau konsekuensi dari satu sistem yang terancam punah karena bekerja dari kesalah-pahaman atau pun Luhmann sendiri mengatakan bahwa kesalah-pahaman sendiri adalah suatu makna (sebagaimana negasi atas makna yang memunculkan makna baru pada Luhmann), hanya akan menambah kompleksitas dan mengambang di udara.39 Situasi “meaningless” tersebut (berupa error code misalnya) dan tidak mencoba mengupayakan kesaling-pemahaman (mutual-understanding) yang melihat yang lain sebagai yang perlu dipahami secara mendalam, bukanlah berarti mengekslusi (seperti yang diungkap oleh Luhmann pada paparan di atas) yang lain hanya karena demi menangkap esensi atau menangkap yang lebih dalam dari permukaan satu relasi, tetapi justru untuk tidak mengekslusinya dan memperhatikannya dengan perhatian penuh.

Habermas menyebutkan di sini suatu bentuk ekspresi yang menciptakan keintiman dalam relasi yakni ekspresi berupa narasi. Ekspresi semacam narasi ini menurutnya, adalah hal yang amat signifikan dalam proses pencapaian pemahaman ini. Narasi adalah bentuk tuturan khusus yang membantu menggambarkan peristiwa-peristiwa dan objek-objek.40 Bentuk ekspresi naratif ini dimaksudkan sebagai suatu bentuk interaksi yang lebih mendalam di mana para partisipan terlibat di dalam topik pembicaraan dan mempunyai intensi untuk saling mempengaruhi.41 Ekspresi narasi juga adalah suatu ekspresi kebertubuhan (embodied) suatu sistem atau pun suatu kesadaran-diri misalnya di dalam suatu dunia tertentu karena ia telah menyatu dengan struktur gramatikal suatu dunia (makna tertentu). Penyatuan ini menurut Habermas adalah dari hasil praktek komunikasi sehari-hari. Narasi tidak hanya untuk melayani kebutuhan yang remeh-temeh dalam upaya saling-memahami di antara para partisipan, tetapi ia juga penting untuk memahami personalitas individu-individu. Dari praktek narasi ini yang telah disatu-tubuhkan di dalam praktek komunikasi sehari-hari lalu terbangunlah suatu identitas personal, identitas sosial dan identitas kolektif.

Hal yang perlu diketahui adalah bahwa identitas personal adalah penting dalam relasi komunikasi yang intim di mana darinya muncul suatu tanggung-jawab individu dari proses relasi tersebut, sebagaimana identitas sosial dan identitas kolektif adalah penting di mana darinya muncul suatu solidaritas sosial.  

Penutup

Penulis mengemukakan pendapat Habermas dalam konteks diskusi kita ini, yakni mengenai tindakan komunikasi sebagai bentuk relasi-relasi sosial dengan maksud bahwa komunikasi yang kooperatif di antara subjek yang berelasi dalam kesalingan adalah untuk menyelamatkan pentingnya arti solidaritas yang termuat di dalam konsepsi tersebut sebagaimana tanggung-jawab sosial seorang individu juga merupakan hal penting lainnya. Konsep moral memang tidak termuat di dalam teori Luhmann, sebagaimana pengakuannya sendiri, karena alasan yang diajukannya adalah bahwa yang lain, yang dikatakan meaningless dalam pembicaraan mengenai moralitas atau hal lain yang tidak termuat dalam moralitas, menjadi diabaikan. Alasan ini dikemukakannya adalah agar teorinya mengenai sistem-sistem sosial dan sistem-sistem psikis memuat yang lain di luar dari kajian moralitas, karena memang masyarakat adalah kompleks dan tidak bisa dijelaskan secara keseluruhan berdasarkan satu fenomena (misalnya fenomena moral) saja. Menurut pemikiran penulis, jika demi mewadahi yang lain, yang diabaikan dalam konsepsi moral juga kemudian mengabaikan sisi-sisi lain yakni semacam solidaritas sosial dan tanggungjawab individu, maka artinya teori itu juga tidak memuat tentang yang lain.

Pembicaraan mengenai solidaritas dan tanggung jawab individu adalah penting untuk juga merespon isu-isu globalisasi seperti isu perdagangan yang berorientasi pada yang lain (yang lebih lemah) untuk diproteksi di dalam suatu bentuk perdagangan lintas negara (perdagangan global). Dalam hal ini, peranan subjek seperti negara, adalah juga penting untuk memproteksi atau mensubsidi warganya sendiri (pedagang, petani, dll) dalam dunia perdagangan tersebut ketika globalisasi menciptakan ketidakadilan dalam relasinya satu sama lain.

Pustaka

[1] Niklas Luhmann, Social Systems, Stanford Univ. Press, California, 1984.
[2] -------------------, “The Cognitive Program of Constructivism and a Reality that Remains unknown”, from selforganization: Portrait of a Scientific Revolution” (ed. Wolfgang
[3] Krohn, Guenter Kueppers and Helga Nowotny), pp. 65-85. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher, 1990,
[4] Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol.2, Lifeworld and system, Beacon Press, Boston, 1981
[5] ---------------------, The Philosphical Discourse on Modernity, Twelve Lectures, The MIT Press Cambride, Massachushetts, 1987
[6] Hegel, Introduction dalam Hegel’s Philosophy of Right, T.M.Knox (translator & ed.), Oxford Univ. Press, 1981, h.7.
[7] Nicholas Schmidle, Habermas’s Lifeworld; Valuation and The Significance of Narration, www.new-thinking.org/journal/habermaslifeworld.html
[8] Poul Kjaer, Systems in Context, Ancilla Iuris (anci.ch) 2006: 66 www.anci.ch/doku/php?id=beitrag:systems
[9] Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar