Oleh
Dahlan
Iskan (Menteri BUMN RI dan Pemilik Jawa Pos Group)
Sunni
berlebaran Minggu, Syiah keesokan harinya. Di Iraq, tidak ada gejolak atas
perbedaan itu. Pemerintah tidak terlibat. Masing-masing golongan mengumumkan
hari rayanya sendiri.
Hari
itu saya salat Id di Masjid Syekh Abdul Qadir Jailani. Letaknya di tengah Kota
Baghdad. Tidak sampai 15 menit naik mobil dari Hotel Isthar (dahulu Hotel
Sheraton), tempat saya menginap. Hotel tersebut terletak di samping taman yang
patung Saddam Hussein-nya dirobohkan itu.
Nama
Syekh Abdul Qadir Jailani sangat terkenal di Indonesia. Dialah tokoh utama
tarekat/tasawuf Naqsyabandiyah, khususnya aliran Qadiriyah. Sejak saya kecil,
nama itu sudah saya hafal. Doa-doa yang diucapkan ayah saya selalu menyebut
nama itu di bagian akhirnya.
Ke
sinilah memang, ke makam Syekh Abdul Qadir Jailani ini, tujuan utama saya pergi
ke Baghdad. Selama dua hari di Baghdad, tiga kali saya ke makam tokoh tasawuf
tersebut. Tentu saya juga ziarah ke makam Abu Hanifah. Meski di Indonesia
umumnya menganut mazhab Syafi”i, tidak ada salahnya ziarah ke makam pendiri
mazhab Hanafi tersebut. Toh, letaknya juga di dalam Kota Baghdad yang terpisah
hanya sekitar 5 km.
Dua
makam itu sama-sama terletak di dalam masjid. Seperti makam Nabi Muhammad yang
terletak di dalam Masjid Nabawi. Pengunjung tidak henti-hentinya ziarah.
Di
Masjid Syekh Abdul Qadir Jailani, seusai salat Id, sebuah bendera hitam dengan
tulisan Arab berwarna kuning emas diusung ke depan masjid. Ternyata, itulah
bendera “kebangsaan” tarekat Naqsyabandiyah. Orang pun berebut menciuminya.
Pimpinan
masjid itu, yang juga mursyid (pimpinan) tarekat Naqsyabandiyah Qadiriyah,
adalah keturunan ke-17 Syekh Abdul Qadir Jailani. Masih muda, sekitar 35 tahun.
Pagi itu, kami dijamu makan pagi khas Arab. Tentu diselingi diskusi mengenai
tarekat Naqsyabandiyah.
Dia
juga banyak bertanya mengenai pengikut tarekat tersebut di Indonesia. “Saya
ingin ke Indonesia menemui mereka. Waktu ke Malaysia tahun lalu, saya ingin
mampir ke Indonesia, tapi ada masalah visa,” katanya. “Keluarga kami sering ke
Malaysia. Ayah kami meninggal di Malaysia tahun lalu,” tambahnya.
Orang-orang
Iraq memang sangat mudah datang ke Malaysia. Tapi, masih sulit untuk
mendapatkan visa ke Indonesia. Akibatnya, hubungan dagang Indonesia-Iraq
tertinggal jauh dari Malaysia. Perdagangan Indonesia-Iraq baru USD 100 juta.
Sedangkan Iraq-Malaysia sudah mencapai hampir USD 1 miliar. Padahal, Malaysia
belum membuka kedutaan di Iraq.
Ekonomi
Menggeliat
Kami
juga ziarah ke pusat aliran Syiah: Najaf dan Karbala. Najaf terletak sekitar
300 km di luar Kota Baghdad. Atau 4 jam perjalanan dengan mobil.
Sebenarnya
banyak yang mengingatkan agar saya tidak ke sana. Apalagi dengan istri,
anak-anak, dan cucu. Iraq belum sepenuhnya aman. Ledakan-ledakan bom mobil
masih sering terjadi. Sampai-sampai, mereka menyebut istri saya sebagai
perempuan asing pertama yang berani berkunjung ke Iraq. “Mestinya istri Anda
dapat sertifikat,” guraunya.
Saya
merasa beruntung ziarah ke Najaf dan Karbala. Saya bisa melihat kondisi Iraq
tidak hanya di ibu kotanya. Kalau melihat Baghdad saja, hampir-hampir putus
harapan: gersang, panas, kering, dan berdebu.
Tidak
terlihat geliat ekonomi baru sama sekali. Tidak banyak bangunan bekas perang
yang sudah direnovasi. Jalan-jalan penuh dengan barikade militer. Kendaraan
harus sering berhenti melewati pos bersenjata. Melewati jalan raya pun seperti
memasuki terowongan: kanan kiri jalan dipagar dengan beton-beton knockdown
setinggi 3 meter.
Tapi,
begitu keluar dari Baghdad, ke arah selatan menuju Najaf, kesan saya tentang
Iraq berubah. Ekonomi terasa mulai menggeliat di jalur itu. Hampir sepanjang
jalan saya melihat pelebaran jalan, pembangunan jalan baru, dan pembuatan
flyover. Di beberapa lokasi, seperti di Provinsi Babilon (di sinilah pusat
kekaisaran Babilonia kuno), terlihat pembangunan perumahan rakyat. Bentuknya
apartemen empat lantai yang terdiri atas ratusan blok.
“Sebetulnya
rakyat kurang senang apartemen. Tapi, zaman modern harus diikuti,” ujar teman
saya yang orang Iraq. “Kami sebenarnya senang dengan rumah biasa berlantai dua.
Pada musim tertentu, kami terbiasa tidur di atas atap. Bisa terasa seperti
tidur di padang pasir,” tambahnya.
Kami
tidak berhenti di Babilon meski di situ ada makam Nabi Ayub. Kami langsung ke
Najaf: ke makam Sayidina Ali bin Abi Thalib. Dialah sahabat utama Nabi Muhammad
SAW yang menjadi khalifah ke-4 pada zaman Khulafaur-rasyidin. Dialah tokoh
sentral golongan Syiah.
Luar
biasa banyaknya pengunjung makam Sayidina Ali yang juga menantu Nabi Muhammad itu.
Banyak sekali peziarah yang sangat emosional: meratap, mengusap, dan menciumi
pintu makam yang letaknya di dalam Masjid Imam Ali tersebut. Setelah ziarah,
kami salat dua rakaat di dekat makam itu. Tentu kami segera diketahui bukan
orang Syiah lantaran kami salat tidak menggunakan thurob.
Thurob
adalah tanah kering yang berbentuk bundar seperti kue mari. Thurob harus
diletakkan di lantai, tepat di lokasi kening kita saat bersujud. Semua orang
Syiah mengantongi thurob di sakunya. Ke mana pun mereka pergi dan di mana pun
mereka salat, sujudnya harus di thurob itu.
Waktu
pejabat tinggi Iran datang ke Jakarta beberapa bulan lalu dan saya bertugas
menjemputnya di bandara, saya juga melihat itu. Waktu itu, sang pejabat minta
salat di bandara. Saya jadi makmumnya. Saya lihat beliau merogoh saku dan
meletakkan thurob di tempat sujud. Waktu saya ke Iran tahun lalu, saya juga
membeli thurob di sana. Namun, ke Najaf kali ini, saya membeli thurob lagi
karena yang dari Iran dulu diminta orang.
Masjid
Imam Ali indahnya luar biasa. Interiornya gemerlapan karena campuran kristal
dan potongan-potongan cermin yang dibentuk dengan indahnya. Dulunya masjid ini
sangat kecil. Tidak lama setelah Saddam Hussein terguling, diperluas menjadi
dua kali lipatnya.
Yang
juga menarik, begitu banyak keranda yang dibawa masuk ke dalam masjid tersebut.
Hanya untuk dilewatkan dekat makam Imam Ali. Hampir tiap 10 menit ada keranda
yang lewat di makam itu. Tentu, maksudnya agar mendapat syafaat Imam Ali.
Begitu
banyak yang meninggal? Ternyata, mayat itu tidak hanya dari Najaf. Mayat
tersebut datang dari seantero negeri. Seluruh orang Syiah, di mana pun
meninggal, mayatnya dibawa ke makam yang letaknya di sebelah Masjid Imam Ali.
Tentu
makam itu sangat-sangat luasnya. Garis tengahnya 7 km! Pasti, itulah makam
terbesar di dunia! “Ayah saya meninggal di Baghdad. Juga dimakamkan di sini,”
ujar teman saya tersebut.
Dengan
dimakamkan di situ, tidak saja bisa bersebelahan dengan makam Imam Ali (yang
dipercaya juga sekaligus makamnya Nabi Adam dan Nabi Nuh), namun juga membuat
kunjungan lebih praktis. Ziarah ke makam Imam Ali sekalian ke keluarga
masing-masing.
Bagi
warga Syiah, sekali datang ke Najaf juga harus ke Karbala. Dua kota tersebut
berjarak 70 km. Itu mirip dengan orang yang ke Makkah sebaiknya juga ke
Madinah. Bedanya, perjalanan ziarah Najaf-Karbala ini sangat demonstratif,
atraktif, dan emosional. Di Karbala itulah anak Imam Ali, Sayidina Hussein,
dimakamkan.
Setiap
bulan Asyura, jutaan orang Syiah melakukan perjalanan suci dari Najaf ke Karbala.
Mereka jalan kaki sambil merintih, menangis, dan memukul-mukul dada. Mereka
mengenang penderitaan Sayidina Hussein dan solider atas penderitaan itu.
Menyusuri
jalan dua arah yang sangat mulus itu, saya membayangkan betapa padatnya
sepanjang jalan tersebut saat bulan Asyura. “Kami biasanya menempuh jarak
Najaf-Karbala tiga hari,” kata teman saya itu. “Anda lihat, di sepanjang jalan
ini banyak dibangun toilet umum dan rumah singgah. Kami bisa bermalam di
sepanjang jalan ini,” tambahnya.
Kisah
penderitaan Hussein di Karbala tentu tidak bisa hilang dari ingatan saya.
Pelajaran tarikh (sejarah) Islam sewaktu di madrasah tsanawiyah, khususnya bab
Karbala, sangat hidup di benak saya. Apalagi guru tarikh saya sangat pandai
bercerita. Bagaimana Hussein dan rombongannya dikhianati, disiksa, dan akhirnya
dibunuh dengan kejamnya diceritakan seperti dalang menceritakan babak perang
Baratayuda. Bagaimana kepala Sayidina Hussein yang setelah dipenggal kemudian
ditendang-tendang ke sana kemari menimbulkan imajinasi seperti permainan sepak
bola dan kepala Hussein sebagai bolanya.
Ketika
dewasa, saya menemukan dua buku yang bercerita sangat baik mengenai tragedi
berdarah dalam sejarah Islam tersebut. O Hassem menulis dengan judul Karbala
yang penuturannya penuh dengan gaya jurnalistik. Rupanya, ketika Hussein dan
rombongan meninggalkan Makkah berjalan kaki berminggu-minggu menuju Khurasan
(sekarang berada di wilayah Iran), ada seorang pencatat yang mengikutinya.
Pencatat
itu, meskipun menguntit dalam jarak yang tidak dekat, masih bisa melihat dengan
jelas tragedi apa saja yang menimpa Hussein dan rombongan sepanjang perjalanan
tersebut. Catatan “jurnalistik” itulah yang jadi sumber penulisan O Hassem.
Baru
belakangan saya tahu bahwa O Hassem yang meninggal di Jakarta pada 1990-an
tersebut adalah seorang penganut Syiah di Indonesia. Begitu detail catatan itu
sampai-sampai ketika di suatu tempat Hussein harus lari dari cegatan musuhnya,
digambarkan bagaimana salah satu sandal Hussein tertinggal.
Buku
satunya lagi adalah sebuah novel berjudul Jalan Menuju Khurasan. Saya lupa
siapa penulisnya. Tapi, rupanya, itu novel terjemahan.
Ketika
berada di makam Sayidina Hussein, saya merenungkan mengapa bisa terjadi tragedi
seperti itu. Juga tragedi-tragedi berdarah lainnya. Sejak zaman
Khulafaur-rasyidin hingga zaman setelah Abbasyiah. Bagaimana bisa terjadi,
gara-gara politik kekuasaan, pertumpahan darah tidak henti-hentinya mengalir
justru ketika umat Islam menganut paham pemerintahan kekhalifahan.
Permenungan
saya terhenti karena tiba-tiba ada suara riuh rendah. Saya lihat ada atraksi
yang menakjubkan di dalam masjid itu. Sekitar 50 orang berdiri membuat
lingkaran. Mereka mengayun-ayunkan badan, mengalunkan puji-pujian, sambil menunjukkan
gerakan memukul dada seperti penari saman dari Aceh. “Mereka itu peziarah dari
Iran,” ujar teman saya. “Mereka menggunakan bahasa Parsi,” tambahnya.
Sejak
Saddam Hussein yang Sunni tergusur oleh tentara Amerika Serikat, pemerintahan
Iraq memang dikuasai golongan Syiah. Maka, kawasan padat Syiah seperti Najaf
dan Karbala bangkit luar biasa. “Dulu tidak ada perhatian Saddam ke wilayah
ini,” kata teman saya tersebut.
Sore
itu saya kembali ke Baghdad. Puluhan barikade pemeriksaan bersenjata kembali
harus kami lewati. Sore itu hari terakhir bulan puasa. Kami ingin berbuka puasa
di Baghdad, di sebuah restoran terbuka di pinggir Sungai Tigris yang
legendaris. Buka puasa terenak tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar