Manusia
merupakan sebangsa binatang. Dia memiliki banyak
persamaan dengan binatang lainnya. Pada saat yang sama manusia memiliki banyak
ciri yang membedakan dirinya dengan binatang lainnya,[1]
salah satu di antaranya yaitu berfikir. Manusia adalah makhluk berfikir dan
merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibanding makhluk Tuhan lainnya,
kapasitas berfikir yang dimilikinya menjadikan manusia menempati kedudukan
tertinggi di antara makhluk Tuhan yang lain.[2]
Manusia mempunyai kemampuan berfikir, sehingga mampu membuat keputusan dangan
dasar pikiran, akal dan nalar.[3]
Binatang memiliki kemampuan mengenal (mengetahui), segala sesuatu yang ada di
sekitarnya hanya melalui indra (alat untuk merasa, mencium bau, mendengar,
melihat, meraba dan merasakan sesuatu secara naluriah).
Dari segi pengetahuan binatang tidak sanggup
keluar dari kerangka lahiriahnya, kekhususannya, lingkungan hidupnya dan masa
sekarang. Sedangkan manusia selain melihat, dia juga mampu menafsirkan melalui
pemikiran sehingga terciptalah bangunan ilmu pengetahuan. Inilah kemudian yang
menjadikan manusia ebih unggul daripada binatang. Karena itu, dikatakan al-insan
hayawan natiq “manusia adalah binatang yang berfikir” atau dengan istilah
lain yang lebih populer dikenalHomo sapiens “makhluk yang berfikir.
Berpikir itulah yang menjadi ciri khas manusia dan karena berfikirlah dia
menjadi manusia.
Manusia adalah manusia, dikarenakan adanya berbagai
potensi yang sangat luar biasa diberikan pada awal penciptaannya. Manusia
pikiran dan rasio, berbagai potensi ilmiah, yang mana semua itu tidak terdapat
pada binatang, tumbuhan, dan benda mati.[4]
Karenah itulah manusia lebih terhormat daripada seekor binatang atau tumbuhan.
Manusia tidak seperti benda-benda. Ia berada di
tengah dunia dengan cara yang khas, yaitu bahwa manusia sadar akan benda-benda
yang ada di sekitarnya.[5]Kesadaran
akan kehadiran benda-benda yang ada di sekitarnya ini melahirkan pemikiran
sebagai dasar sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan
serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pikiran tertentu yang
akhirnya sampai pada kesimpulan yang berupa pengetahuan.
Setiap manusia tentu mengetahui berbagai hal dalam
kehidupan dan dalam dirinya terdapat berbagai pemikiran dan pengetahuan.[6]
Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor dan semen
peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih
sempurna.[7]
Namun ada sederet persoalan yang senantiasa menghadang manusia sebagai makhluk
berkesadaran dan berfikir, serta bagi yang mereka yang memiliki salah satu ciri
utama sebagi manusia, sebagaimana yang dikemukakan Rene Descartes (1596-1650)
dalam bahasa Perancis berbunyi: Je pensee, donct je suis, atau lebih
dikenal dengan bahasa latin: Cogito, ergo sum, yang berarti: aku
berfikir, karena itu aku ada.
Ketidakpuasan dan kebutuhan inilah yang terutama
mendorong manusia dari zaman ke zaman untuk mencari penyebab asal dari segala
sesuatu, untuk menelusuri dasar-dasar dari semua pengetahuan.[8]
Ketidakpuasan karena tidak memadainya suatu
pengetahuan untuk menjawab suatu masalah, atau tidak tuntasnya penjelasan yang
diberikan oleh suatu pengetahuan, atau sudah bosannya manusia dengan
pengetahuan, penjelasan dan kemampuan yang mereka miliki, sudah menghantui manusia
sejak dahulu kala. Sejak manusia pertama kali mulai berfikir (atau lebih tepat
bernalar).[9]
Secara historis, kegiatan olah pikir sudah dimulai
sejak enam abad sebelum masehi. Kegiatan itu disebut falsafah atau filsafat.
Sementara di dalam Islam, kegiatan seperti itu disebut dengan hikmah.[10]
Falsafah berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia, yang berarti
“cinta akan pengetahuan”.[11]
Sejak semula, filsafat ditandai dengan rencana umat manusia untuk menjawab
persoalan seputar alam, manusia, dan Tuhan.[12]
orang yang mula-mula sekali menggunakan akal secara serius adalah orang Yunani
yang bernama Thales (+624 – 546 SM). Orang inilah yang digelari Bapak
Filsafat. Gelar itu diberikan kepadanya karena ia mengajukan pertanyaan yang
aneh, apakah sebenarnya bahan alam semesta ini? dia sendiri menjawab:
air. Setelah itu silih bergantilah filosof sezamannya dan sesudahnya mengajukan
jawabannya. Semakin lama persoalan yang dipikirkan semakin luas, dan semakin
rumit pula pemecahannya.[13]
Puncak kebingungan terlihat pada tokoh sofisme,
yaitu Protagoras (481-411 SM). Dia mengatakan bahwa manusia adalah ukuran
segala-galanya. Nah, inilah rumus utama relativisme.[14]
Kebenaran telah direlatifkan. Yang benar ialah apa yang menurutku, menurutmu;
kebenaran objektif tidak ada.[15]
Di tengah anggapan bahwa semua kebenaran relatif, cara mengungkapkan yang
memukau menjadi penting. Maksudnya, kebenaran tidak lagi tergantung pada isi
(bukankah isinya sudah dianggap relatif); kebenaran tergantung pada bagaimana
cara menyampaikannya; juga sebaliknya.
Tokoh kedua dari kaum sofis adalah Georgias
(483-375 SM). Filsuf satu ini menyatakan tidak ada satupun yang benar. Dia
mengatakan, tidak ada sesuatu pun yang ada, jika ada maka ia tidak dapat
diketahui, dan jika dapat diketahui sesuatu itu tidak dapat dikabarkan”.[16]
Georgias menyatakan dengan tegas bahwa segala pemikiran atau pendirian adalah
salah, salah satu kebalikan dari pemikiran Protagoras yang menyatakan segala
pendirian atau pemikiran bisa jadi benar. Protagoras dianggap sebagai seorang
skeptis, ia meragukan adanya kebenaran di dunia ini, sedang Georgias bisa
disebut sebagai nihilis karena ia menyatakan lebih keras lagi, kebenaran itu
memang sudah tidak ada lagi. Retorika (keterampilan mengelola kata) sekali lagi
menjadi cara untuk meyakinkan orang.
Aliran sofisme ternyata mulai mengubah pandangan
filosofis dari naturalis ke humanis sebagai makhluk yang berpengetahuan dan
berkemauan. Tetapi sofisme terlalu mengemukakan pendirian yang sebyektif,
relatif, skeptis dan nihilis. Sebab itu tak mungkin ia menjadi suatu sistem
pengetahuan yang bulat dan kukuh. Pada umumnya dalam zaman sofisme ini
perhatian orang kepada manusia satu persatu dan norma atau ukuran bagi
baik-buruk diletakkan pada perseorangan. Tidak diakui norma yang umum bagi
semua orang. Jika subjek merasa baik, itulah yang baik, sedangkan yang
dianggapnya jelek, itulah yang jelek. Norma adalah subjektif. Pada masa ini
mulai masa antropologis.
Di tengah kuatnya pengaruh kaum sofis, muncullah
seorang filsuf lain yang mencoba memberikan alternatif baru, Sokrates namanya
(470-399 SM). Dia setuju bahwa pada manusialah memiliki pengetahuan dan
kemauan, “aku tak punya urusan dengan pemikiran-pemikiran tentang alam”,
demikian ujarnya Socrates dalam Apology. Namun ia tidak setuju pada
pendirian bahwa tidak ada kebenaran yang bisa ditemukan ajaran guru-guru sofis
yang merelatifkan kebenaran, atau bahkan menihilkan kebenaran.[17]
Tujuan Socrates ialah mengajar orang mencari kebenaran. Sikapnya itu adalah
suatu reaksi terhadap ajaran sofisme yang merajalelah waktu itu.[18]
Dengan filosofinya yang diamalkan dengan cara hidup dia mencoba memperbaiki
masyarakat yang rusak. Orang diajak memperhitungkan tanggung jawab. Ia selalu
berkata, yang ia ketahui cuma satu, yaitu bahwa ia tak tahu. Sebab itu dia
bertanya. Tanya jawab adalah jalan baginya untuk memperoleh pengetahuan. Itulah
permulaan dialektika.[19]
Usaha Socrates itu diteruskan oleh murid dan
sahabat utamanya. Plato (427-347 SM) adalah pengikut Socrates yang taat di
antara pengikutnya yang mempunyai pengaruh besar. Selain dikenal sebagai ahli
fikir juga dikenal sebagai sastrawan yang terkenal.[20]
Dalam berfilsafat, Plato meneruskan tradisi yang ditempuh oleh Socrates, yaitu
dengan jalan dialog. Plato memilih dialog karena berkeyakinan bahwa filsafat
pada intinya tidak lagi dari pada suatu dialog. Berfilsafat berarti mencari
kebijaksanaan atau kebenaran. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa mencari
kebenaran sebaiknya dilakukan bersama-sama dalam suatu dialog.[21]
Plato dikenal sebagai filosof dualisme, artinya
dia mengakui adanya dua kenyataan yang terpisah dan berdiri sendiri, yaitu
dunia ide dan dunia bayangan (indrawi). Dunia ide adalah dunia tetap dan abadi,
di dalamnya tidak ada perubahan, sedangkan dunia bayangan adalah dunia yang
berubah, yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada indra.
Bertitik-tolak dari pandangan ini, Plato mengajarkan adanya dua bentuk
pengenalan. Di satu pihak ada pengenalan idea-idea yang merupakan pengenalan
yang sebenarnya. Pengenalan ini mempunyai sifat yang sama seperti objek yang
menjadi arah pengenalan yang sifatnya teguh, jelas dan tidak berubah. Di pihak
lain ada pengenalan tentang benda-benda jasmani pengenalan ini mempunyai sifat
tidak tetap, selalu berubah.[22]
Pemikiran filsafat Yunani mencapai puncaknya pada
murid Plato yang bernama Aristoteles (384-322 SM).[23]
Aristoteles dilahirkan di Stagira pada tahun 384. Untuk menyelesaikan
pendidikannya, dia pergi ke Athena dan tinggal selama 20 tahun, sebagai murid
Plato.[24]
Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pertanyaan “Setiap manusia dari
kodratnya ingin tahu”. Dia begitu yakin mengenai hal itu sehingga dorongan
untuk tahu ini tidak hanya disadari tetapi benar diwujudkan di dalam karyanya
sendiri.[25]
Aristoteles yang pertama kali menyusun cara berpikir teratur dalam satu sistem.
Oleh karena itu, tidak salah jika beliau digelari sebagai bapak logika.
Setelah masa Yunani, pemikiran manusia (filsafat)
memasuki suatu periode yang panjang sekali, sekitar 1500 tahun. Periode ini
yang sering disebut abad pertengahan.[26]
Filsafat pertengahan ini bisa pula disebut dengan filsafatskolastik.[27]
Sistem pemikiran filosof di masa ini adalah filsafat teologis/teosentris, yakni
sistem pemikirannya didasarkan pada ajaran agama. Pada pertengahan ini
muncullah dari agama Kristen dan Islam.[28]
Filosof dari kalangan agama Kristen antara lain: Augustinus (354-430, An Selmus
(1033-1109) Abaelardus (1079-1142). Adapun para filosof dari kalangan Islam
yang telah berjasa menerjemahkan filsafat Yunani ke dalam dunia Islam antara
lain: Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi (801-873), Abu Nashr al-Farabi (870-950),
Ibnu Sina (980-1037), dan Abu Hamid ibn Muhammad al-Ghazali (1058-1111).[29]
Selama periode abad pertengahan, pemikiran
pengetahuan filsafat di barat dipengaruhi oleh agama Kristen, boleh dikatakan
tidak banyak menghasilkan penemuan, pemikiran seperti direm. Yang mengeremnya
adalah orang-orang Kristen, atas nama agama Kristen. Akal dikekang dan
dikungkung secara keterlaluan oleh agama Kristen pada masa ini. Itulah sebabnya
periode ini sering disebut juga periode skolastik, dan filsafatnya disebut
skolastisisme.[30]Begitupun
dalam pemikiran Islam ternyata juga sedikit mengalami kemandekan, akibat
kritik-kritik Al-Ghazali. Bagi Al-Ghazali argumen-argumen yang dilontarkan oleh
para filosof tidaklah kuat, dan menurut keyakinannya (Al-Ghazali), ada yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Pada akhirnya ia mengambil sikap menentang
filsafat.[31]
Sejak zaman filsafat Yunani sampai berakhirnya,
akal mendominasi. Setiap orang bebas berpikir guna memperoleh pengetahuan.
Namun setelah 1500 tahun sesudahnya, yaitu abad pertengahan Kristen, akal harus
tunduk pada keyakinan Kristen, maka konsekuensinya kebebasan berpikir dibatasi
dan pemikiran di bawah kendali agama. Oleh sebab itulah, sejak Rene Descartes,
tokoh pertama filsafat modern berusaha mengembalikan peranan akal dalam
mendomiasi filsafat.
Descartes dengan cogito ergo sum-nya
berusaha melepaskan filsafat dari dominasi agama Kristen. Dia ingin akal
mendominasi filsafat.[32]
Akal diberi kepercayaan yang lebih besar, karena adanya suatu keyakinan bahwa
akal pasti dapat menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan juga
pemecahannya. Maka pada era inilah dapat dikatakan, merupakan awal mula
filsafat modern, dan merupakan cikal bakal munculnya berbagai aliran seperti,
rasionalisme, empirisme, kritisisme dan lain-lain.
Dalam peta sejarah pemikiran Islam, filsafat
bercorak Islam sistematis tertulis sejak Alkindi yang dijuluki sebagai filsuf
Arab yang pertama, salah satu perannya yang paling signifikan dalam
mengembangkan corak filsafat Islam adalah menjembatani pemikir Islam dengan
filsafat Yunani Kuno.[33]
Memasuki masa setelahnya, filsafat Islam semakin menemukan bentuknya yang khas
dalam filsafat al-Farabi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang failasuf
muslim pertama dalam arti kata yang sebenarnya, al-Farabi disepakati sebagai
peletak sesungguhnya dasar piramida falsafah dalam Islam yang sejak itu
dibangun dengan tekun. Maka setelah Aristoteles sang “Guru Pertama” (al-muallim
al-awwal), Al-Farabi dalam dunia intelektual Islam dinilai sebagai “Guru
Kedua” (al-muallim al-tsani).[34]
lalu akhirnya muncullah Ibnu Sina sebagai pewaris tulen tradisi filsafat Islam
rintisan al-Kindi dan peletakan fondasi al-Farabi. Pada masa ibnu Sina falsafat
mencapai puncaknya yang tertinggi, dan karena prestasiya itu Ibnu Sina
memperoleh gelar kehormatan sebagai “Al-Syaikh Al-Ra’is” (Kiyai Utama).[35]
Satu generasi setelah Ibnu Sina, tampil al-Ghazali, seorang pemikir dengan
dahsyat dan tandas mengeritik filsafat, khususnya Neoplatonisme.[36]
Di dunia Barat abad pertengahan Al-Ghazali dikenal
dengan nama Abu Hamet Algazel. Di dunia Islam dia diberi gelar Hujjatul Islam.
Al-Ghazali merupakan filosof besar terakhir di dunia bagian timur.[37]
Dalam falsafah al-Ghazali dikenal banyak mengeritik pendapat para
filosof-filosof lainnya. Kritikan pedas tersebut dituangkan dalam bukunya yang
terkenal Tahafut Al-Falasifat (The Incoherence of Philosoper; Kerancuan
Pemikiran Para Filosof).[38]
Sehubungan dengan sanggahan yang mematikan dari al-Ghazali terhadap para
filosof muslim, akhirnya setelah beberapa generasi lahirlah Ibnu Rusyd sebagai
seorang filosof muslim merasa wajib menjawab sanggahan tersebut, yang tidak
pula kalah mautnya dari sanggahan al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd bukan
pemikiran para pemikir muslim yang rancu, melainkan pemikiran al-Ghazali
sendiri.[39]
Oleh karena itu, kalau Ibnu Rusyd di Eropa dikenal sebagai common tator dari
Aristoteles, sedangkan di dunia Islam ia dikenal sebagai orang membela kaum
filosof dari serangan Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah. Untuk
itulah dia susun bukunya yang bernama Tahafut al-Tahafut.[40]
Filsafat Islam pada Ibnu Rusyd seakan-akan
berhenti ini dapat dilihat banyak filosof setelah Ibnu Rusyd tidak mendapat
perhatian yang memadai. Pada waktu yang hampir bersamaan dengan meninggalnya
Ibnu Rusyd, di dunia Islam timur baru saja berdiri sebuah mazhab baru filsafat
Islam, yang disebut filsafat iluminasi (isyraqi) didirikan oleh
Suhrawardi al-Maqtul (w.1191).[41]
Terutama di dunia Syi’ah, filsafat Islam tidak pernah mati dan terus
menghasilkan filosof-filosof besar pada setiap zamannya. Pada abad ketiga
belas, misalnya seorang filosof Syi’ah telah mencoba menghidupkan kembali
filsafat Ibnu Sina, yang bernama Al-Din al-Thusi (w.1274). pada abad
berikutnya, muncullah seorang pengikut Suhrawardi, tetapi juga murid Thusi,
yaitu Quthub al-Din Syirazi(w.1311). Dia telah menulis sebuah karya komentar Syarh
Hikmah Al-Isyraq, di samping karyanya sendiri yang terkenal Durrat
al-Tajj fi Ghurrat al-Dubbaj.[42]
Di samping itu, masih banyak filosof-filosof minor antara Thusi dan Mir Damad,
pendiri mazhab isfahan, dan sekaligus guru utama Mulla Shadra.
Tonggak baru filsafat Islam pasca Ibnu Rusyd
berdiri segera setelah mazhab Isfahani, yaitu mazhab filsafat Hikmah
al-Mutaalliyyah atau filsafat hikmah, yang didirikan oleh Shadr al-Din
al-Syirazi, atau Mulla Sadra (w. 1941).[43]
Jadilah Mullah Shadra bergabung tradisi paripatetik, irfan dan iluminasi,
sekaligus teologi dan tradisi Islam.[44]
Pemikiran filsafat Islam terus bergulir, dengan silih berganti filosof-filosof
setelah era Mullah Shadra sehingga akhirnya sampai pada revolusi Iran, muncul
salah seorang guru besar Ayatullah Khomaini sekaligus sebagai pemimpin
revolusi. Dia merupakan guru filsafat yang handal bersama rekannya Allama
Thabathabai.
Thabathabai dan Imam Khomaini telah mengantarkan
filsafat dan irfan ke puncak kejayaan.[45]
Berkat usaha keduanya dari sinilah akhirnya telah berhasil mencetak puluhan
filsuf-filsuf muslim muda yang kelak mewarnai dinamika intelektual Islam, salah
satu di antaranya yaitu Sayyid Murthadha Muthahhari.
Menyimak dari uraian di atas, dengan munculnya
berbagai aliran mazhab pemikiran, mulai dari usaha manusia untuk menjawab
persoalan alam, manusia dan Tuhan. dapat dianalisa bahwa yang menjadi inti
permasalahan atau pokok persoalan munculnya berbagai aliran tersebut
diakibatkan oleh metode pendekatan epistemologi yang berbeda. Hal ini dapat
dilihat pada filosof tentang alam, Thales menganggap bahwa alam ini berasal
dari air, lalu filosof selanjutnya Anaximandros (710-547 SM) menganggap bahwa
bukanlah air, tapi Apeiron dan Anaximenes (588-528) beranggapan bahwa asal dari
segala sesuatu itu adalah udara sedangkan filosof lainya Heraklitos (535-75 SM)
menganggap bahwa hakekat dari alam ini adalah api.
Perbedaan metode berbagai mazhab pemikiran ini
mencapai puncak kebingungan ketika membahas tentang persoalan manusia pada masa
sofisme. Salah satu tokohnya di antaranya yaitu Protagoras yang mengemukakan
bahwa tidak ada kebenaran mutlak. Manusia adalah ukuran kebenaran, sedangkan
manusia sifatnya subjektif dan relatif. Jadi semua kebenaran relatif, maka dari
sinilah awal munculnya relatifisme. Tokoh yang lain Georgeas lebih parah lagi
karena dia, meniadakan kebenaran dengan mengatakna bahwa segala sesuatu itu ada
pada dasanrya tidak ada, maka dari sinilah pula awal bakal munculnya nihilisme.
Menanggapi pokok persoalan di atas, maka muncullah
seorang bijaksana Socrates mengemukakan bahwa ada kebenaran objektif yang dapat
diperoleh melalui dialektika. Plato selaku pelanjut Socrates mengemukakan bahwa
memang benar ada kebenaran objektif yaitu ada pada dunia idea. Selanjutnya
Aristoteles teman dan murid Plato mengemukakan bahwa kebenaran objektif itu
dapat ditemukan dengan melalui metode silogisme oleh karena itu dia menyusun
aturan-aturan berfikir, akhirnya ia digelari Bapak Logika.
Pada masa abad pertengahan atau zaman skolastik
metode epistemologis yang digunakan di barat, ternyata lebih menitikberatkan
pada agama (ajaran gereja) akal tidak mempunyai peranan. Dalam dunia Islam juga
demikian ketika masa al-Ghazali. Namun pada masa sebelumnya, al-Kindi berusaha
memadukan agama dan filsafat. Sehingga dia membagi pengetahuan ke dalam dua
jenis, pengetahuan Ilahi, yang berdasarkan pada keyakinan dan pengetahuan
filsafat, dasarnya ialah pemikiran (ratio-reasion).[46]
Masa selanjutnya diteruskan oleh Al-Farabi yang
lebih menitikberatkan pada logika. Bagi al-Farabi, logika ialah ilmu tentang
peraturan (pedoman) yang dapat menegakkan pikiran dan menunjukkan kepada
kebenaran dalam lapangan yang tidak bisa dijamin kebenarannya. Filosof
selanjutnya Ibnu Sina metode epistemologi yang digunakan adalah metode deduksi
dan metode induksi. Di samping itu, ia juga mempergunakan metode meditasi,
yakni metode yang menyelidiki keadaan yang di dalamnya diperoleh hakikat.[47]
Maka akhirnya sampailah pada al-Ghazali. Dia ingin mencari kebenaran yang
sebenarnya, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran.
Adapun metode epistemologis yang digunakan
al-Ghazali pada mulanya, yaitu mulai pada awal yang ditangkap oleh pancaindera,
tetapi baginya kemudian ternyata bahwa pancaindera juga berdusta. Karena itu
tidak percaya lagi pada pancaindera. Dia kemudian meletakkan kepercayaannya
pada akal. Tetapi akal juga ternyata tidak dapat dipercaya.[48]
Dia kemudian mempelajari filsafat untuk menyelidiki apakah pendapat-pendapat
yang dikemukakan filosof-filosof itulah yang merupakan kebenaran. Baginya
ternyata argumen-argumen yang mereka kemukakan tidak kuat, dan menurut
keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dia beralih kepada ilmu
kalam, tapi dalam ilmu al-Kalam, sama halnya dengan falsafah mempunyai
argumen yang tidak kuat. Akhirnya dalam tasawuflah dia memperoleh apa yang
dicarinya.[49]
Filosof lainnya yang tak kalah pentingnya ialah
Ibnu Rusyd, metode epistemologi yang digunakan yaitu lebih menitikberatkan pada
falsafah, yang tak lain adalah berfikir. Berfikir tentang wujud untuk mengetahui
pencipta semua yang ada ini. Al-Qur’an, sebagaimana dapat dilihat dari
ayat-ayat yang mengandung kata-kata …dan sebagainya, menyuruh supaya manusia
berfikir tentang wujud dan alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan. dengan
demikian Tuhan sebenarnya menyuruh manusia supaya berfalsafah. Oleh karena itu,
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa berfalsafah wajib atau sekurang-kurangnya sunat.
Kalau pendapat akal bertentangan dengan wahyu, demikian pendapat Ibnu Rusyd,
teks wahyu harus diberi interpretasi begitu rupa sehingga sesuai dengan
pendapat akal.[50]
Filsafat pasca Ibnu Rusyd, berdiri falsafah
Iluminasi (Isyraqi) yang menggunakan metode pencerahan atau pancaran
langsung dari Tuhan, kemudian selanjutnya berdiri lagi mazhab filsafat Hikmah
yang berusaha memadukan semua berbagai metode pemikiran tersebut.
Setelah melihat bahwa titik persoalan yang menjadi
inti permasalahan terletak pada metode epistemologi yang mereka gunakan.
Pemecahan yang keliru dan penyimpangan sebagaimana yang ditawarkan relatifisme
dan nihilisme justru terbukti tidak memberikan kenyamanan psikologis dan
kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, orang perlu mencari sebab utama
terjadinya kerusakan individual dan sosial umat manusia dalam berbagai
pandangan dan pemikiran yang melenceng. Tidak ada cara lain kecuali bertekad
kuat untuk membangun landasan pengetahuan bagi kehidupan manusia, sekaligus
mencegah pengaruh jahat pemikiran dan ajaran yang melenceng.
Kiranya upaya yang perlu dilakukan adalah,
bagaimana agar dapat merenungkan dan merumuskan ulang epistemologi. Sebagai
sebuah tawaran alternatif yang dapat memperbaiki dan melengkapi pengetahuan
dalam memperoleh serta menyusun pengetahuan yang benar; dan menjadi ukuran
keshahihan pengetahuan.
Menanggapi dari berbagai persoalan di atas penulis
merasa tergugah untuk membahas “Prinsip-prinsip epistemologi menurut Murtadha
Muthahhari” sebagai sebuah tawaran alternatif landasan bagi teori pengetahuan
(epistemologi).
Pembahasan epistemologi yang menarik dalam
pandangan Muthahhari adalah karena selain mengakui indra dan akal sebagai alat
dan sumber epistemologi ia juga meyakini bahwa hati adalah bagian dari alat
epistemologi, dan tak hanya itu, argumen-argumennya juga didasarkan kepada
nash. Oleh karena itulah, selain dia terkenal sebagai seorang filosof juga
dikenal sebagai seorang ulama yang pemikiran-pemikirannya masih tetap memiliki
pengaruh yang besar dalam kancah pemikiran Islam.
Muthahhari dalam membahas setiap persoalan pertama
kali secara rasional dan filosofis, lalu kemudian memverifikasinya dengan
dasar-dasar keislaman: Al-Qur’an dan hadits, oleh sebab itulah Muthahhari di
Iran, bersama Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari, dikenal sebagai bagian dari
kelompok “Mazhab Kalami”.[51]
Adapun tujuan dan agenda Muthahhari lebih bersifat
ideologis. Menurutnya, setiap ideologi pasti berlandaskan pada suatu bentuk
pandangan alam (pandangan dunia) dan pandangan alam berlandaskan pada
epistemologi.[52]
Setiap doktrin atau filsafat hidup secara tak terelakkan berdasar atas semacam
kepercayaan, suatu penilaian tentang hidup dan semacam penafsiran dan analisis
tentang dunia. Pemikiran mengenai hidup dan dunia dipercayai merupakan dasar
dari seluruh pemikiran aliran tersebut. Dasar ini disebut sebagai pandangan
atau konsepsi dunia (world view atau world conception).
Semua agama, ajaran, aliran dan filsafat sosial
bertumpu pada suatu bentuk pandangan dunia yang merupakan asas dari pola
pemikiran.[53]
Semua tujuan yang diajukan suatu mazhab pemikiran, cara-cara dan metode-metode
yang dilahirkannya merupakan bagian dari pandangan dunia yang dianutnya. Pada
gilirannya, Muthahhari berkeyakinan bahwa pandangan dunia suatu kelompok
manusia ditentukan oleh filsafat yang dominan dalam kelompok itu. Dengan kata
lain yang menentukan ideologi adalah pandangan dunia filosofis.
Bagi Muthahhari meski epistemologi telah dirintis
pada abad-abad yang lalu termasuk juga dalam filsafat Islam, namun sebagian
besar persoalan yang menyangkut masalah ini dipaparkan secara terpisah-pisah
dalam berbagai pembahasan. Dahulu sedikit banyak orang telah memahami
pentingnya epistemologi, tetapi pada zaman ini segala hal yang terkait dengan
pandangan dunia berpangkal pada masalah ini (epistemologi).
Dalam konteks ini, Muthahhari menyadari benar
peran epistemologi, sebagai akar dari setiap metodologi dalam menentukan
ideologi. Sebab ideologi tidak akan pernah mantap selama pandangan dunia (world
view atau world conception) tidak terarah dan pandangan dunia tidak
akan pernah terarah apabila epistemologi tidak jelas. Maka atas dasar inilah,
mutlak kiranya untuk merumuskan prinsip-prinsip epistemologi sebagaimana yang
ditawarkan Muthahhari sebagai sebuah landasan pokok dalam setiap metodologi,
sehingga mampu melahirkan konsep yang dapat menetralisir kekacauan pengetahuan
umat manusia saat ini.
Geneologi Pemikirannya
Pertama kali Muthahhari belajar filsafat dan ilmu
rasional di bawah bimbingan Mirza Mehdi Syahidi Razawi, setelah guru
pembimbingnya itu wafat., Muthahhari meninggalkan hauzah masyahad dan
berhijjrah ke Qum untuk memperdalam ilmu di hauzah kota suci itu. Di Qum inilah
dia berkenalan dengan ulamah tahbathabai dan kemudian juga, ayatullah ruhullah
komeini, kedua tokoh yang di kenal sebagai ahli filsafat dan irfan ( tasawuf ).
Perhatian besar dan hubungan dekat mencirikan
hubungan Mutahhari dengan guru utamannya yaitu imam Khomeini di Qum. Ketika
muthahhari tiba di Qum, sang imam adalah pengajar ( Mudarris ) muda yang
menonjol karena kedalaman dan keluasan wawasan keislamannya dan kemampuan
menyampaikan kepada orang lain. Sehingga Muthahhari sendiri bercerita betapa
pelajaran-pelajaran irfan dari ayatullah Khomeini telah meninggalkan bekas yang
amat kuat dalam hatinya. Pelajaran-pelajaran yang diberikan gurunya ini bahkan
masih terngiang-ngiang ditelinganya hingga beberapa hari setelah ia
mendengarkannya untuk pertama kalinya selain pada imam Khomeini, Muthahhari
memperdalam filsafat dan irfan. Ia pun belajar filsafat dan irfan pada seorang
guru besar di masanya. Yakni allamah thabatthaba’i. dia juga amat dalam dipengaruhi
oleh pelajaran-pelajaran mengenai Nahj al- balaghah (kumpulan wacana, pidato,
surah-surah, dan kata-kata bijak khalifah keempat dan imam pertama dalam mazhab
syia’ah, Ali bin abi thalib.[54]
Untuk lebih mengenal latar belakang intelektual
Muthahhari, maka terasa perlu mengenal sedikit lebih jauh sumber-sumber
pengaruh atas tokoh tersebut. Ayatullah Ruhullah Khomeini, yang dikenal sebagai
seorang fagih dan pemimpin revolusi, sesungguhnya adalah seorang peminat Irfan
sejak masa mudanya. Meski sesungguhnya minat ayatullah Khomeini meluas sehingga
ke hikmah ( filsafat mistikal ) Mullah Shadra, dia sudah mulai dikenal sebagai
ahli irfan bahkan sejak umurnya sebelum genap 30 tahun. Ketika memberi
pelajaran Irfan kepada Muthahhari itu, usianya belum lagi lebih dari 27 tahun.
Di antara salah satu karya awalnya, yang di tulisnya ketika umur 26 tahun
adalah komentar ( syarh ) atas doa al-sahar dari imam Muhammad al-Baqir. Tiga
tahun kemudian ia menerbitkan Mishbah al-Hidayah, sebuah ulasan ringkas tapi
mendalam tentang hakikat Nabi Saw dan para imam. Sebelum usianya mencapai 40
tahun, tepatnya 37 tahun, Khomeini muda ini menyelesaikan sebuah
catatan-pinggir (hamisy atau glossarium) atas komentar Daud Qaysari atas Fushush
al- Hikamnya Ibnu ‘Arabi dan Mishbah a-Uns-nya Shadruddin al-Qunawi (anak
angkat dan murid Ibnu ‘Arabi ).
Allamah Thabathaba’i adalah juga guru Muthahhari.
Minatnya amat selaras dengan muridnya itu, filsafat dan Irfan. Namun, meskipun
banyak berbicara tentang Irfan. Sejauh mendorong minat tokoh-tokoh seperti
Husayn Nasr, Henry Corbin, dan Tostihiko Izutsu untuk rajin menyambangi
pengajian-pengajiannya. Thabathaba’i dikenal dengan beberapa karya filosofinya
penting, termasuk bidayah al-hikmah dan nihayah al-hikmah, serta Usus-e
falsafeh wa rawisy-e Realism ( Dasar-dasar filsafat dan mazhab Realisme )
yang diberi catatan kaki amat ekstensif oleh Muthahhari. Belakangan dia amat
dikenal dengan mognum-opusnya di bidang tafsir al – Qur’an dengan karya 20
jilidnya berjudul al-mizan fi tafsir al- Qur’an. Meski berlandaskan pada
penafsiran al- Qur’an dengan al- Qur’an, karya ini tak bisa sama sekali lepas
dari kecendrungan filosofinya yang mengambil bentuk penjelasan filosofinya bagi
setiap kelompok ayat yang diulasnya.[55]
Akhirnya di antara guru yang berpengaruh pada Muthahhari di Qum adalah mufassir
besar al- Qur’an dan filosof, Ayatullah Sayyid Muhammad Husein Thabathabai,
Muthahhari mengikuti kuliah-kuliah Thabathaba’i mengenal Asy- Syifa’nya Ibnu
Sina dari tahun 1950-1953, maupun pertemuan-pertemuan kamis malam di bawah
bimbingannya.[56]
Mengenai Nahj al-Balagha, selain dikenal
merupakan suatu model ketinggian sastra arab, seperti antara lain diungkapkan
oleh Syaikh Muhammad ‘Abduh, kitab ini berisi banyak ungkapan-ungkapan
teologis, filosofis, dan mistis yang amat Sophisticated. Dari kitab ini
(disamping ucapan-ucapan para imam lain) kaum Syi’ah menggali banyak
dasar-dasar Filsafat dan Irfan. Inkorporasi Nahj al- Balaghah ke dalam system
Filsafat Islam yang berkembang di Iran diketahui mencapai puncaknya pada aliran
Hikmah Mullah Shadra. Untuk sekedar mengetahui isinya, khususnya yang menarik
minat Muthahhari, berikut ini adalah topik-topik yang terutama dibahas kitab
ini Muthahhari dalam karyanya yang berjudul Sayr-e dar Nahul Balagha (pelancangan
dalam Nahj al- Nalagha). Teologi dan metafisika, suluk (tashawuf ) dan ibadah,
kuliah-kuliah mengenai akhlak, serta dunia dan keduniaan (dalam hubunganya
dengan sikap seseorang arif dan sufi terhadapnya ).
Dari kesemuanya di atas itulah yang membentuk
dasar karakter pola pikir Muthahhari menjadi seorang pemikir Syi’i yang dapat
memadukan antara filsafat dan agama serta menanggapi setiap persoalan secara
rasionalitas dan pendekata filosofis, sebagaimana di dalam Syar dan Nahj al-
Balagha, misalnya Muthahhari membantah pernyataan sebagian pengamat yang
menyatakan bahwa rasionalisme dan kecendrungan kepada filsafat lebih merupakan
Ingredient ke – persi- an ketimbang ke-Islam-an. Dia menunjukkan bahwa semuanya
itu berada di jantung ajaran Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh al–Qur’an,
hadits Nabi dan ajaran para imam.(Masbied)
Catatan:
[1]Murtadha
Muthahhari, Man and universe. Diterj, Ilyas Hasan, Manusia dan Alam
Semesta (Cet. III; Jakarta: Lentera, 2002), h. 1.
[2]Amroen
Drajat, Suhrawardi (Kritik Filsafat Paripatetik) (Cet. I; Yogyakarta:
LKiS, 2005), h. 1.
[3]
Murtadha Muthahhari, Falsafah Pergerakan Islam (Cet; I Jakarta: Amanah
Press, 1988) h. 96
[4]Idem
, Asynaa’i Baa Qur’an. Ditrj, oleh Muhammad Jawad Bafagih, Pelajaran-Pelajaran
Penting dari Al-Qur’an (cet; II Jakarta: Lentera, 2002) h.271
[5]Bambang Q-Anees, Radea Juli A. Hambali, Filsafat
untuk Umum (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2003), h. 199.
[6]Muhammad Baqir Ash-Shadr, Fisalfatuna.
Diterj oleh M. Nur Mufid bin Ali,Falsafatuna; Pandangan Muhammad Baqir
Ash-Shadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia (Cet. IV; Bandung: Mizan,
1998), h. 25.
[7]Jujun
S. Suria Sumantri, Ilmu dalam Perspektif (Cet. XV; Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001), h. 2.
[8]Conny Setiawan, Th..I Setiawan Yufiarti, Panorama
Filsafat Ilmu (Cet. I; Jakarta: Teraju, 2005), h. 114-115.
[9]Ibid.
[10]Amroen
Drajat, Suhrawardi …, op.cit., h. 2.
[11]Muhammad
Hatta, Alam Pikiran Yunani (Cet. III; Jakarta: Tinta Mas, 1986), h. 3.
[12]Majid
Fakhry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis (Cet. III;
Bandung: Mizan, 2002), h. 1.
[13]Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra (Cet.
II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), h. 1
[14]Relativisme
adalah ajaran bahwa tidak ada hal-hal absolute, dalam penerapan
epistemologinya, ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran relative. Ajran
ini dianut oleh Protagoras, Pyrrho, dan pengikut-pengikutnya. Lihat, Logens
Bagus, Kamus Filsafat (Cet; III Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama,
2002) h. 949
[15]Bambang Q-Anees, Radea Juli A. Hambali, op.cit.,
h. 150-151.
[16]Ibid.,
h. 151-152.
[17]Ibid.
[18]Muhammad Hatta, op.cit., h. 75.
[19]Ibid.
[20]Asmoro
Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.
50.
[21]Rizal Mustansyi dan Misnal Munir, Filsafat
Ilmu (Cet. VI; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 63.
[22]Ibid.,
h. 17.
[23]Ibid.
[24]Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam
Filsafat (Cet. XII; Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 19.
[25]Hardono
Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan (Cet. XI; Yogyakarta: Kanisius,
2005), h. 13.
[26]Ahmad
Tafsir, op.cit., h. 3.
[27]
Skolastik (dari istilah latin scholasticus, yang berarti murid) sejumlah
aliran filsafat dan teologi di Eropa Barat antara abad ke-12 dan15. Pada
umumnya berpangkal pada filsafat Aristoteles, mencari sintesis antara akal budi
manusia dan wahyu ilahi, tetapi sekaligus membedakan antara ilmu dan iman
kepercayaan. Lihat, Dick Hardoko, Kamus Populer Filsafat (cet; III
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) h. 88
[28]Abd. Rahman Musa, dkk., Diktat Filsafat (Ujung
Pandang: IAIN Alauddin, 1991), h. 30.
[29]Ibid., h. 54.
[30]Ahmad
Tafsir, op.cit., h. 3.
[31]Harun
Nasution, Falsafah dan Mistisime dalam Islam (Cet. X; Jakarta: Bulan
Bintang, 1999), h. 37.
[32]Ahmad
Tafsir, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 83.
[33] Muhsin Labib, Para Filosof; Sebelum dan
Sesudah Mullah Shadra (Cet. I; Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 35.
[34]Nurcholish Madjid, Khasanah Intelektual
Islam (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 30.
[35]Ibid.,
h. 32-33
[36]Ibid.
[37]Harun Nasution¸ Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Jilid II (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 2002), h. 51.
[38]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan
Filsafatnya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 159.
[39]Ibid.,
h. 227-228.
[40]Harun
Nasution, Falsafah dan Mistisme…, op.cit., h. 43.
[41]Mulyadi
Kartanegara, Gerbang Kearifan (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2006), h.
179.
[42]Ibid.,
h. 179-180.
[43]Ibid.,
h. 186.
[44]Haidar
Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 2005), h. 98.
[45]Muhsin
Labib, Para Filosof, op.cit., h. 56.
[46]Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam
(Jakarta: UI Press, 2006), h. 45.
[47]Ibid.,
h. 49.
[48]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme …, h.
36.
[49]Ibid., h. 37.
[50]Harun
Nasution, Islam Ditinjau .., h. 55.
[51]Haidar Baqir, Membincang Metodologi
Ayatullah Muratadha Muthahhari (Makalah dalam Seminar Pascasarjana UGM,
2004).
[52]Murtadha
Muthahhari, Mas’ale-ye Syenokh .Diterj, oleh M.J. Bafqih, Mengenal
Epistemologi (Cet. I; Jakarta: Lentera, 2001), h. 22.
[53]Idem,
Syesy Maqoleh. Diterj, oleh M.J. Bafqih, Kumpulan Artikel Pilihan (Cet.
I; Jakarta: Lentera, 2003), h. 226.
[54]
Haidar Bagir, Membincang Metodologi…, h.2
[55]
Ibid
[56]
Hamid Algar, Hidup dan Karya Murtadha Muthahhar. Pengantar untuk buku
Murtadha Muthahhari Introduction to Irfan. Diterj, C. Ramli Bihar dengan
judul Mengenal Irfan Meniti Makam-Makam Kearifan (cet. I; Jakarta: Iman dan
Hikmah, 2002) h. xiv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar