Flavius Yosefus adalah ahli
sejarah abad pertama berdarah Yahudi yang dikenal dengan karya-karya seperti The
Jewish War (tahun 75) dan Antiquities of the Jews (94). Bernama
Ibrani Yusuf bin Matias, Yosefus dikenal sebagai imam yang memimpin perlawanan
terhadap bangsa Romawi tahun 66 di Galilea. Ia mengalami kekalahan, dan
menyusul tindakan bunuh diri anggota menyerah dan ditangkap.
Pada
tahun 69 Yosefus dibebaskan dan direkrut menjadi penerjemah pribadi Jenderal
Vespasian dan putranya, Titus -yang memimpin penyerangan dan penghancuran
Yerusalem. Sesudah perang, oleh kaisar Vespasian, ia dianugerahi
kewarganegaraan Romawi. Disebut-sebut bahwa begitu ditangkap, Yosefus
memberikan kepada pihak Romawi informasi untuk menerobos dinding Yerusalem.
Oleh karena itu, sejarah menobatkan Yosefus sebagai pengkhianat terhadap
bangsanya. Meskipun demikian, ada kalangan yang meyakini jika Yosefus
sesungguhnya bukanlah pengkhianat. Ia menyerah kepada pihak Romawi dengan
maksud menjadi mata-mata di dalam istana Romawi. Alhasil, catatan sejarahnya
mengenai pengepungan dan penghancuran Yerusalem yang banyak dicari di dunia
Romawi diduga mengandung sejumlah ketidakbenaran.
Tokoh
sejarah inilah yang menjadi roh yang menyelubungi novel bertajuk The Last
Ember karya perdana Daniel Levin, seorang pengacara yang membuka praktik
hukum internasional di New York. Kemisteriusan kehidupan Yosefus ia coba ungkap
melalui upaya penyelamatan yang diduga dilakukan Yosefus terhadap sebuah
artefak dari Baitallah (Al Haram asy Syarif) di Yerusalem. Artefak itu telah
menjadi target pencarian berbagai bangsa seperti Assyria, Babilonia, Persia,
Romawi, dan Yunani.
Dikisahkan,
Jonathan Marcus, seorang pengacara muda New York, ditugaskan ke Roma untuk
terlibat persidangan kasus berkenaan dengan dua potong Forma Urbis Romae―peta
kota Roma yang diukir pada batu besar berdiameter lebih dari 30 meter.
Kementerian Kebudayaan Italia menuduh bahwa kedua potongan itu dicuri dari
arsip kenegaraan Italia di Roma puluhan tahun silam. Saksi ahli kementerian,
seorang pejabat PBB bernama Dr. Emili Travia, mengaku pernah melihat potongan
itu saat menyelidiki penggalian ilegal di kompleks Baitallah di Yerusalem.
Kedatangan Jonathan ke Roma, dengan modal pengetahuan dalam bidang studi
klasik, diharapkan bisa mementahkan kesaksian sang doktor yang sebenarnya
pernah memiliki romansa dengannya.
Tujuh
tahun sebelumnya, Jonathan adalah mahasiswa program doktor bidang studi klasik
Akademi Amerika di Roma. Berkat tesisnya mengenai Yosefus, ia memenangkan Penghargaan
Roma pra-doktoral. Gairah penelitian membuatnya terlibat penggalian ilegal
sebuah katakombe yang berakhir malapetaka. Gianpaolo Narcusi, salah satu dari tiga rekannya―yang lain Emili
Travia dan Sharif Lebag―tewas. Jonathan dikeluarkan dari Akademi Amerika,
mengambil kuliah hukum, lalu menjadi pengacara. Namun, ia tidak sepenuhnya
meninggalkan bidang klasik. Latar belakangnya justru membuatnya menjadi
komoditas yang diburu para pedagang barang antik yang terlilit masalah. Seperti
halnya maksud kedatangannya kembali ke Roma.
Jonathan menemukan,
ternyata, potongan Forma Urbis Romae itu menyimpan sebuah pesan
steganografi yang berbunyi: Error Titi (Kesalahan Titus). Menurut
sejarawan kuno, di penghujung hidupnya, Titus, yang juga ikut dalam penyerangan
Yerusalem, pernah mengatakan: "Aku membuat sebuah kesalahan".
Perkataan Titus ini telah menjadi misteri besar dari dunia kuno yang belum
terjawab. Jonathan menemukan juga jika Potongan Forma Urbis
Romae itu berkaitan dengan Yosefus.
Dalam persidangan terkuak, sebelumnya, Emili yang dikenal di dunia konservasi barang kuno sebagai Malaikat Artefak, tidak bisa mengabaikan laporan mengenai dugaan penghancuran arkeologi di bawah Baitallah yang dilakukan Dewan Wakaf. Ia hendak mendatangi kompleks Baitallah, tetapi yayasan perwalian rahasia Islam yang menangani Baitallah sejak 1187 tidak memberinya izin. Maka, secara diam-diam, ia melakukan penyelidikan bersama rekannya, Sharif Lebag. Di sanalah Emili melihat potongan Forma Urbis Romae ―dan gambar digital sejumlah halaman dari manuskrip Yosefus― sebelum Sharif Lebag tewas. Emili menduga kematian Lebag tidak bisa dilepaskan dari potongan itu.
Bukannya melawan dengan gigih, selanjutnya Jonathan justru bekerja sama dengan Emili untuk menguak misteri potongan Forma Urbis Romae. Mereka menemukan sebuah tsurat ha-hidah (teka-teki simbolis), sebuah kalimat yang ditulis dalam bahasa Latin dan Yahudi, Kodosh Arbor Ohr' (Pohon Cahaya Suci). Penemuan ini menghanyutkan mereka ke dalam arus petualangan yang melibatkan sejumlah karakter. Tidak hanya di bawah Colosseum yang menjadi asal Forma Urbis Romae, tetapi juga mengalir hingga kompleks Baitallah di Yerusalem. Mereka akan menjadi saksi mata penghapusan sejarah yang terjadi di bawah dua kota berjarak seribu enam ratus kilometer: Roma dan Yerusalem. Dalam petualangan mereka, terungkap kebenaran keberadaan artefak berumur dua ribu tahun, simbol sejarah yang dipandang lebih hebat dari mitos agama mana pun, yang bertaut erat dengan "Kesalahan Titus".
"Kesalahan Titus" telah menjadi obsesi seorang lelaki bernama samaran Salahuddin. Obsesi itu merupakan obsesi beranting dari kakeknya, Mufti Agung Haji Amin al-Husaini, yang pernah memimpin Dewan Wakaf tahun 1930-an. Sang kakek telah memanfaatkan persahabatannya dengan Adolf Hitler untuk merampok arsip arkeologi di seluruh wilayah pendudukan Nazi untuk menggali maksud perkataan Titus. Penyelidikan sang mufti memunculkan keyakinan bahwa eksistensi bangsa Yahudi terkait dengan artefak yang diselamatkan Yosefus dari Baitallah. Sama seperti Titus, sampai mati, al-Husaini gagal menuntaskan obsesi antisemitis-nya. Saat ini, Salahuddin tidak ingin mengalami kegagalan yang sama.
Seiring dengan itu, di Roma, bersama timnya, Jacopo Profeta, komandan Pelindung Warisan Kebudayaan Italia―unit penyelidik kejahatan barang antik dalam kepolisian Italia, menemukan mayat wanita cantik tanpa busana yang diawetkan dalam sebuah pilar marmer kuno. Di tempat yang sama juga ditemukan sejumlah halaman yang dirobek dari manuskrip Yosefus. Investigasi yang dilakukan Profeta menggiringnya pada kesimpulan jika mayat wanita cantik itu diambil dari lokasi yang sama dengan tempat penggalian ilegal yang dilakukan Jonathan tujuh tahun sebelumnya.
Perguliran plot akan mengelupas lapis demi lapis siung yang membungkus pencarian misterius yang menghubungkan pasangan Jonathan-Emili, Salahuddin, dan Profeta. Di titik kulminasi, tidak hanya terungkap jejak terakhir artefak dengan bara api penghabisannya, namun juga pengkhianatan yang dirancang dengan licik tanpa disadari para korbannya.
The Last Ember diramu menggunakan formula identik yang pernah digunakan pengarang seperti ―sebut saja― Dan Brown, Steve Berry, atau James Rollins. Petualangan berporos pada misteri zaman kuno yang menjadi obsesi sementara kalangan, sejoli protagonis yang terlibat romansa, dan karakter antagonis tak terduga. Tidak lupa, plot yang mengalir kencang, semakin meruncing seiring terungkapnya berbagai petunjuk penting, yang tentu saja selalu membuka jalan bagi para protagonis menuju kemenangan.
Sebagai sarjana dalam bidang kebudayaan Romawi dan Yunani (Universitas Michigan), Levin mengangsurkan misteri kuno berlandaskan bidang yang dikuasainya. Meskipun apa yang menjadi misteri kuno di sini sesuatu yang fiktif, Levin memberikan latar belakang sejarah yang mampu membangun keyakinan pembaca terhadap apa yang ia suguhkan. Dampaknya, novel ini tersaji secara menarik, sejak awal hingga akhir.
Levin masih mengaduk kuali permasalahan keagamaan, tetapi tidak dalam kapasitas menyerang kubu agama tertentu demi melahirkan sensasi. Si karakter antagonis memiliki obsesi yang merupakan wujud rasa antipati pada eksistensi sebuah agama, tetapi dalam berbagai percakapannya, kita tidak akan menemukan ungkapan-ungkapan pedas yang menjelek-jelekkan keyakinan bersangkutan. Boleh dikatakan, berbicara soal agama, Levin tergolong santun.
Sejoli protagonis seperti telah menjadi kemestian dalam novel thriller. Rasanya 'kurang lezat' jika pasangan protagonis merupakan pasangan perempuan ataupun laki-laki. Levin mengenal resep ini, dan melakukannya juga. Diberi latar belakang, ketertautan satu dengan yang lain, kecerdasan yang kurang lebih sama, dan bumbu romansa, The Last Ember pun hadir membawa bara bagi semua gender.
Karakter antagonis kerap mendatangkan kebencian di hati pembaca. Tetapi apa jadinya The Last Ember tanpa karakter antagonis? Karakter inilah sesungguhnya yang membuat sebuah novel thriller hidup hingga sanggup merampok perhatian pembaca. Levin menggarap karakter antagonisnya dengan daya guncang yang akan membuat pembaca mencelus ketika kedoknya tersingkap. Latar belakang yang diberikannya pada karakter antagonis ini terasa begitu kuat sehingga memberikan kelogisan pada semua tindakannya.
Meskipun merupakan karya perdana, The Last Ember adalah sebuah novel yang ditulis dengan mahir. Karenanya, para pembaca novel ini pastinya berharap Levin akan melanjutkan kiprahnya dalam dunia penulisan novel thriller. Melihat trend yang berkembang seolah tanpa henti di dunia perbukuan, bisa diduga, Jonathan Marcus -dan mungkin Emili Travia- masih akan muncul dalam novel-novel Levin berikutnya. Bagi penggemar fiksi thriller yang mengusung kemisteriusan dunia kuno, suguhan Levin akan selalu dinanti (Jody).
Dalam persidangan terkuak, sebelumnya, Emili yang dikenal di dunia konservasi barang kuno sebagai Malaikat Artefak, tidak bisa mengabaikan laporan mengenai dugaan penghancuran arkeologi di bawah Baitallah yang dilakukan Dewan Wakaf. Ia hendak mendatangi kompleks Baitallah, tetapi yayasan perwalian rahasia Islam yang menangani Baitallah sejak 1187 tidak memberinya izin. Maka, secara diam-diam, ia melakukan penyelidikan bersama rekannya, Sharif Lebag. Di sanalah Emili melihat potongan Forma Urbis Romae ―dan gambar digital sejumlah halaman dari manuskrip Yosefus― sebelum Sharif Lebag tewas. Emili menduga kematian Lebag tidak bisa dilepaskan dari potongan itu.
Bukannya melawan dengan gigih, selanjutnya Jonathan justru bekerja sama dengan Emili untuk menguak misteri potongan Forma Urbis Romae. Mereka menemukan sebuah tsurat ha-hidah (teka-teki simbolis), sebuah kalimat yang ditulis dalam bahasa Latin dan Yahudi, Kodosh Arbor Ohr' (Pohon Cahaya Suci). Penemuan ini menghanyutkan mereka ke dalam arus petualangan yang melibatkan sejumlah karakter. Tidak hanya di bawah Colosseum yang menjadi asal Forma Urbis Romae, tetapi juga mengalir hingga kompleks Baitallah di Yerusalem. Mereka akan menjadi saksi mata penghapusan sejarah yang terjadi di bawah dua kota berjarak seribu enam ratus kilometer: Roma dan Yerusalem. Dalam petualangan mereka, terungkap kebenaran keberadaan artefak berumur dua ribu tahun, simbol sejarah yang dipandang lebih hebat dari mitos agama mana pun, yang bertaut erat dengan "Kesalahan Titus".
"Kesalahan Titus" telah menjadi obsesi seorang lelaki bernama samaran Salahuddin. Obsesi itu merupakan obsesi beranting dari kakeknya, Mufti Agung Haji Amin al-Husaini, yang pernah memimpin Dewan Wakaf tahun 1930-an. Sang kakek telah memanfaatkan persahabatannya dengan Adolf Hitler untuk merampok arsip arkeologi di seluruh wilayah pendudukan Nazi untuk menggali maksud perkataan Titus. Penyelidikan sang mufti memunculkan keyakinan bahwa eksistensi bangsa Yahudi terkait dengan artefak yang diselamatkan Yosefus dari Baitallah. Sama seperti Titus, sampai mati, al-Husaini gagal menuntaskan obsesi antisemitis-nya. Saat ini, Salahuddin tidak ingin mengalami kegagalan yang sama.
Seiring dengan itu, di Roma, bersama timnya, Jacopo Profeta, komandan Pelindung Warisan Kebudayaan Italia―unit penyelidik kejahatan barang antik dalam kepolisian Italia, menemukan mayat wanita cantik tanpa busana yang diawetkan dalam sebuah pilar marmer kuno. Di tempat yang sama juga ditemukan sejumlah halaman yang dirobek dari manuskrip Yosefus. Investigasi yang dilakukan Profeta menggiringnya pada kesimpulan jika mayat wanita cantik itu diambil dari lokasi yang sama dengan tempat penggalian ilegal yang dilakukan Jonathan tujuh tahun sebelumnya.
Perguliran plot akan mengelupas lapis demi lapis siung yang membungkus pencarian misterius yang menghubungkan pasangan Jonathan-Emili, Salahuddin, dan Profeta. Di titik kulminasi, tidak hanya terungkap jejak terakhir artefak dengan bara api penghabisannya, namun juga pengkhianatan yang dirancang dengan licik tanpa disadari para korbannya.
The Last Ember diramu menggunakan formula identik yang pernah digunakan pengarang seperti ―sebut saja― Dan Brown, Steve Berry, atau James Rollins. Petualangan berporos pada misteri zaman kuno yang menjadi obsesi sementara kalangan, sejoli protagonis yang terlibat romansa, dan karakter antagonis tak terduga. Tidak lupa, plot yang mengalir kencang, semakin meruncing seiring terungkapnya berbagai petunjuk penting, yang tentu saja selalu membuka jalan bagi para protagonis menuju kemenangan.
Sebagai sarjana dalam bidang kebudayaan Romawi dan Yunani (Universitas Michigan), Levin mengangsurkan misteri kuno berlandaskan bidang yang dikuasainya. Meskipun apa yang menjadi misteri kuno di sini sesuatu yang fiktif, Levin memberikan latar belakang sejarah yang mampu membangun keyakinan pembaca terhadap apa yang ia suguhkan. Dampaknya, novel ini tersaji secara menarik, sejak awal hingga akhir.
Levin masih mengaduk kuali permasalahan keagamaan, tetapi tidak dalam kapasitas menyerang kubu agama tertentu demi melahirkan sensasi. Si karakter antagonis memiliki obsesi yang merupakan wujud rasa antipati pada eksistensi sebuah agama, tetapi dalam berbagai percakapannya, kita tidak akan menemukan ungkapan-ungkapan pedas yang menjelek-jelekkan keyakinan bersangkutan. Boleh dikatakan, berbicara soal agama, Levin tergolong santun.
Sejoli protagonis seperti telah menjadi kemestian dalam novel thriller. Rasanya 'kurang lezat' jika pasangan protagonis merupakan pasangan perempuan ataupun laki-laki. Levin mengenal resep ini, dan melakukannya juga. Diberi latar belakang, ketertautan satu dengan yang lain, kecerdasan yang kurang lebih sama, dan bumbu romansa, The Last Ember pun hadir membawa bara bagi semua gender.
Karakter antagonis kerap mendatangkan kebencian di hati pembaca. Tetapi apa jadinya The Last Ember tanpa karakter antagonis? Karakter inilah sesungguhnya yang membuat sebuah novel thriller hidup hingga sanggup merampok perhatian pembaca. Levin menggarap karakter antagonisnya dengan daya guncang yang akan membuat pembaca mencelus ketika kedoknya tersingkap. Latar belakang yang diberikannya pada karakter antagonis ini terasa begitu kuat sehingga memberikan kelogisan pada semua tindakannya.
Meskipun merupakan karya perdana, The Last Ember adalah sebuah novel yang ditulis dengan mahir. Karenanya, para pembaca novel ini pastinya berharap Levin akan melanjutkan kiprahnya dalam dunia penulisan novel thriller. Melihat trend yang berkembang seolah tanpa henti di dunia perbukuan, bisa diduga, Jonathan Marcus -dan mungkin Emili Travia- masih akan muncul dalam novel-novel Levin berikutnya. Bagi penggemar fiksi thriller yang mengusung kemisteriusan dunia kuno, suguhan Levin akan selalu dinanti (Jody).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar