Menurut
Hussein, penjaga makam Habib Abdullah Bin Ali Al Uraidhi, riwayat Habib
Abdullah Bin Ali Al Uraidhi sampai di desa Sukawali masih simpang siur. Husein
menceritakan, awalnya Habib Abdullah Bin Ali Al Uraidhi berlayar dari Hadramaut
menuju pulau Jawa. Ketika akan memasuki perairan Banten, kapalnya diterjang
badai sehingga kandas di pesisir pantai desa Sukawali. Akhirnya memutuskan
untuk menetap di desa Sukawali dan menyebarkan agama Islam. “Habib Abdullah Bin
Ali Al Uraidhi konon menyebarkan agama Islam sampai kemana-mana bahkan sampai
ke Madura. Maka banyak orang Madura yang mencari cari makam ini,” ujarnya. Menurut
peziarah yang datang, rata-rata mereka sebelumnya mendapat mimpi supaya
berziarah ke makam keramat ini. Husein menuturkan, gambaran peziarah terhadap
Habib Abdullah Bin Ali Al Uraidhi ketika bermimpi hampir sama. Dalam mimpinya
mereka ditemui seseorang bertinggi besar, berwajah Arab, berewokan, memakai
surban dan jubah berwarna putih.
Cuma
sampai sekarang tidak jelas lagi keturunan Habib Abdullah Bin Ali Al Uraidhi.
Husein mengaku tidak mengetahui sisa-sisa keturunan Habib Abdullah Bin Ali Al
Uraidhi. Selama ini juga belum ada orang yang mengaku sebagai anak keturunan
Habib Abdullah Bin Ali Al Uraidhi. Sehingga riwayat kehidupan Habib Abdullah
sulit dilacak karena tidak ada peninggalan tertulis dan tidak ditemukan
keturunannya. Mengenai makam Habib Abdullah yang memiliki panjang diluar
kewajaran, banyak versi yang beredar. Husein menerangkan,panjang makam yang
mencapai 9 meter ini sebenarnya sebuah bentuk penghormatan masyarakat masa itu.
“Dulu jika seorang tokoh yang meninggal dunia, maka makamnya dibuat panjang
untuk menghormatinya. Semakin panjang makammnya berarti namanya semakin harum.
Jadi bukan karena orangnya panjang 9 meter,” tandasnya.
Wali Penyebar
Islam
Mengutip
pendapat budayawan Betawi, Drs Ridwan Saidi. Menurut dia, proses Islamisasi di
Jakarta dan sekitarnya sudah terjadi jauh lebih awal. Bahkan, lebih dari 100
tahun sebelum kedatangan balatentara Falatehan yang mengusir orang Barat
(Portugis) di Teluk Jakarta (sekitar Pasar Ikan). Tepatnya pada tahun 1412,
yang digerakkan oleh Syekh Kuro, seorang ulama dari Campa (Kamboja). Pada tahun
tersebut, ia telah membangun sebuah pesantren di Tanjung Puro, Karawang. Dalam
abad ke-14 dan 15 kraton-kraton di Jawa sudah menerima Islam karena alasan
politik.’ Menurut kitab ‘Sanghyang Siksakanda’, sejak pesisir utara Pulau Jawa
mulai dari Cirebon, Karawang, Bekasi dan Tangerang terkena pengaruh Islam yang
disebarkan orang-orang Pasai, maka tidak sedikit orang-orang Melayu yang masuk
Islam. “Habib Abdullah Bin Ali Al Uraidhi dapat dikatakan pula wali penyebar
Islam di wilayah Betawi dan Tangerang,” papar Hussein.
Di
kawasan ini terdapat situs Kramat yang mengindikasikan suatu pemukiman dalam
ukuran besar (Saptono, 1997). Situs Kramat terdapat di Desa Sukawali, Kecamatan
Paku Haji. Situs ini berada di pantai sebelah timur laut situs Sugri. Di
kawasan situs ini terdapat beberapa obyek arkeologis, antara lain makam,
fragmen, komponen bangunan, kapal, serta fragmen keramik, gerabah, dan besi.
Makam yang terdapat di situs ini berupa makam panjang. Berdasarkan sebaran
artefak yang terdapat di permukaan, luas situs Keramat ini diperkirakan 10
hektar. Situs Keramat saat ini merupakan sebuah kawasan pemukiman penduduk,
kebun, penggalian pasir, komplek makam dan empang. Dari hasil penggalian yang
disebabkan oleh aktivitas sehari-hari penduduk sekitar banyak ditemukan temuan
berupa fragmen keramik lokal maupun asing, fragmen benda-benda kaca dan fragmen
besi.
Artefak
tersebut kebanyakan ditemukan antara permukaan tanah dan kedalaman 0,5 meter di
dalam tanah. Bahkan sekitar 500 meter dari pantai pernah ditemukan fragmen
kapal dengan posisi membentang arah timur-barat sejajar dengan garis pantai.
Fragmen kapal yang terlihat tersebut merupakan bagian sisi lambung kapal
sepanjang 2 meter. Hanya saja sisa fragmen kapal tersebut sudah tertutup oleh
timbunan tanah dan pemukiman penduduk. Beberapa fragmen kecil kini disimpan di
Kantor Dinas P dan K Kabupaten Tangerang. Temuan artefak keramik dapar
menunjukkan kronologi situs secara relatif. Berdasarkan analisis terhadap
fragmen yang ditemukan di situs Kramat, diperkirakan pemukiman di situs Kramat
berlangsung sejak abad VII hingga XX. Namun karena tidak ditemukannya keramik
dari masa Dinasti Yuan (abad XIII-XIV) diduga pada masa tersebut mengalami
pasang surut.
Aktifitas
meningkat pesat pada masa dinasti Ming (abad XIV-XVII) dan mencapai puncaknya
pada masa dinasti Qing (abad XVII-XX) dan selanjutnya surut lagi. Kajian
sejarah menyimpulkan bahwa situs Kramat adalah bekas kota pelabuhan Cheguide. Dari
tepi pantai, hanya sepelangkahan dari situ, terdapat kelenteng yang cukup
terkenal yaitu Kelenteng Tanjung Kait. Kelenteng itu memiliki keunikan karena adanya
tempat keramat yang menjadi tempat pemujaan terhadap tokoh lokal, seperti Dewi
Neng. Warga Betawi dan Sunda pun kerap berziarah ke tempat itu. Peneliti
Perancis Claudine Salmon dan Denis Lombard dalam buku Klenteng-klenteng dan
Masyarakat Tionghoa di Jakarta mencatat, sosok dewa-dewi lokal seperti Dewi
Neng menjadi bagian penting dalam situs kelenteng di Jakarta dan sekitarnya. Tahun
1792 Andries Teisseire, seorang pelaut Barat, mencatat adanya kelenteng ini.
Kelenteng ini memiliki dewa tuan rumah, yakni Kongco Tjoe Soe Kong, seorang
tabib yang hidup di zaman Dinasti Song. Dia berasal dari Cuanciu di Provinsi
Hokkian. Dia kerap menolong orang tanpa meminta imbalan. Sewaktu beliau wafat,
orang pun menghormati dengan memujanya untuk mengingat jasa-jasanya bagi
manusia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar