Selasa, 21 Juni 2016

Hempher, Kisah Sang Intelijen Inggris (Bagian Ketiga)


Ketika aku sampai di Bashrah, untuk mencari tempat tinggal aku pergi ke salah satu masjid. Di masjid itu ada seorang alim Sunni, Arab tulen. Namanya Syeikh Umar Ath-Thâ`i. Aku perkenalkan diriku dan beramah-tamah dengannya. Tetapi sejak pandangan pertama, lelaki ini sudah curiga kepadaku. Ia bertanya di mana aku berasal, soal nasab dan keluargaku. Ia juga menyelidiki hal-ihwalku. Mungkin karena warna kulit dan logat bicaraku yang membuat dirinya ragu. Tetapi aku berusaha meyakinkan dirinya bahwa aku dari keturunan Aghdir di Turki, aku murid Syeikh Ahmad di Astana, aku pernah bekerja sebagai tukang kayu di juragan Khalid dan seterusnya…

Apa saja yang kuketahui dan kualami selama aku di Turki kuceritakan padanya, dan aku sempat bicara beberapa kata bahasa Turki. Dengan berhati-hati Syeikh memberi isyarat kepada salah satu hadirin, bahwa aku bicara bahasa Turki atau tidak!? Orang yang mencoba mengetesku, mengisyaratkan kepadanya dengan jawaban positif. Aku senang sekali bahwa aku berhasil meyakinkan Syeikh. Tetapi dugaanku, kepercayaannya terhadapku hanya siasatnya saja. Aku yakin hal ini ketika setelah beberapa hari, diam-diam ia memandangku curiga. Dan menduga bahwa aku seorang mata-mata Turki. Aku mengetahui kecurigaannya setelah jelas bahwa Syeikh adalah seorang penentang walikota yang dipilih pemerintah. Antara keduanya saling tuding dan berburuk sangka.

Alhasil mau tidak mau, aku harus hengkang dari masjid milik Syeikh Umar dan pindah ke Khan, tempat penginapan para turis dan musafir. Di sana aku sewa kamar. Pemilik penginapannya seorang pandir yang setiap pagi rajin mengganggu istirahatku. Awal waktu subuh dia sudah mendatangi kamar dan menggedor pintu dengan keras, untuk membangunkanku salat subuh. Dan aku harus menuruti cara doktrinnya dan aku bangun untuk salat subuh, kemudian ia menyuruhku membaca Al-Qur`an sampai matahari terbit. Ketika aku katakan bahwa membaca Al-Qur`an itu tidak wajib (sunnah), “lalu kenapa ia memaksaku sedemikian rupa?”.

“Tidur di waktu pagi akan menyebabkan kemiskinan dan malapetaka bagi penginapan dan penghuninya” jawabnya. Maka mau tidak mau aku menuruti kata-katanya, salat di awal waktu dan kemudian membaca Al-Qur`an selama satu jam lebih pada setiap hari. Karena kalau tidak, ia akan mengusirku.

Kesulitanku tak hanya berhenti sampai di situ, ketika suatu hari pemilik lain penginapan itu yang bernama Mursyid Afandam menemuiku, mengatakan padaku, “Sejak Anda menginap di sini, banyak masalah yang aku hadapi dan pikiranku hanya tertuju padamu, dan kupikir kaulah sebabnya. Sebab kau seorang bujang sedangkan bujangan itu membawa sial. Maka pilihlah salah satu dari dua hal ini: kau menikah atau tinggalkan penginapan ini!”. Kujawab, “Aku tidak punya harta untuk persiapan menikah (aku takut jika mengatakan bahwa aku tidak punya sesuatu yang semestinya dimiliki kaum lelaki umumnya, lalu ia mencoba melihat auratku apakah benar apa yang aku katakan?). Jika aku beralasan dengan uzur ini, maka ia pasti ingin tahu kebenarannya.

Afandam berkata kepadaku, “Wahai yang imannya lemah, bukankah Anda membaca firman Allah, “Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunianya”.  Aku sangat bingung dan bimbang dengan perkara ini, apa yang harus kuperbuat? Dengan alasan apa harus kujawab? Akhirnya aku katakan kepadanya, “Baiklah, lalu bagaimana aku menikah tanpa harta? Apakah Anda bersedia membantuku dengan harta yang cukup atau Anda temukan untukku seorang perempuan yang kunikai tanpa mahar?”

Dia berpikir sejenak kemudian mengangkat kepalanya sambil berkata, “Aku tidak mengerti ucapanmu! Begini saja, kuberi waktu sampai awal bulan Rajab, jika Anda tidak menikah juga maka Anda harus pergi dari penginapan ini”.  Sementara memasuki awal bulan Rajab masih ada dua puluh lima hari lagi, dan waktu itu tanggal lima bulan Jumadil tsani. Berkenaan dengan nama-nama bulan Islam, secara berurutan pertama dimulai bulan: Muharram, lalu Shafar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Tsani, Jumadil Awal, Jumadil Tsani, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Menurut perhitungan Hilal, yang masyhur tidak lebih dari tiga puluh hari dan tidak kurang dari dua puluh sembilan.

Akhirnya kupecahkan masalah Afandam, ketika telah kutemukan sebuah tempat milik seorang tukang kayu. Aku melamar pekerjaan kepadanya dan ia menerimaku bekerja dengan gaji kecil, dan aku makan dan tinggal di tempatnya. Akhirnya sebelum akhir bulan (Jumadil Tsani) aku sudah keluar dari penginapan Afandam, dan pindah ke toko kayu milik Abdur Ridha, juragan kayu yang berbangsa Persia dari desa Khurasan. Ia seorang Syi’ah, pintar, cerdas dan terhormat. Ia perlakukan aku seperti anaknya sendiri. Dan tidak aku sia-siakan keberadaan diriku bersamanya untuk belajar bahasa Persia. Setiap waktu Asar di rumahnya, orang-orang Islam Syi’ah berbangsa ‘ajam (non Arab) berkumpul, berbincang-bincang dari soal politik sampai masalah ekonomi. Mereka sangat menentang pemerintah mereka sebagaimana mereka juga menentang Khalifah di Astana. Namun jika muncul perdebatan yang tidak mereka ketahui, mereka berhenti dan mengalihkan ke pembicaraan masalah-masalah pribadi mereka.

Aku sendiri tidak mengerti, mengapa mereka percaya kepadaku. Akhirnya aku tahu bahwa mereka menyangka aku berasal dari Azerbaijan, mendengar bahwa aku bicara dengan bahasa Turki. Ditambah warna kulitku yang putih seperti kulit bangsa Azerbaijan.

Dalam keadaan yang demikian itu, aku berkenalan dengan seorang anak muda yang sering datang ke toko, namanya Muhammad bin Abdul Wahab. Ia mengerti tiga bahasa: Turki, Persia dan Arab. Ia pernah belajar ilmu agama, seorang pemuda yang angkuh dan keras kepala. Ia anti pemerintah Usmaniah, adapun pemerintah Persia ia tidak berkomentar. Adapun sebab ia bersahabat dengan pemilik toko, bahwa mereka sama-sama anti Khalifah. Aku tidak tahu, dari mana ia bisa berbahasa Persia padahal ia seorang Sunni, sedangkan Abdur Ridha adalah seorang Syi’ah? Di Bashrah adalah hal biasa jika orang Sunni bergaul dengan orang Syi’ah, mereka seperti saudara. Dan mayoritas penduduk setempat (Bashrah) mengerti bahasa Persia dan (sudah tentu) Arab. Dan tidak sedikit mereka mengerti bahasa Turki.

Muhammad Abdul Wahab seorang pemuda yang berpikir bebas, tidak fanatik terhadap Syi’ah –tidak seperti kaum Sunni umumnya yang fanatik dan anti syi’ah. Hingga sampai pada batas tokoh-tokoh mereka mengkafirkan orang-orang Islam Syi’ah dan mengatakan mereka bukan kaum muslimin- sebagaimana ia tidak pernah melihat sebuah perbandingan untuk mengikuti empat mazhab yang berlaku di antara Sunni. Dan ia mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan empat mazhab melalui seorang penguasa”.

Adapun riwayat empat mazhab, ialah bahwa muncul sebuah jalan dari kaum muslimin sesudah lebih dari satu abad setelah nabi mereka wafat, dengan lahirnya dari mereka empat ulama. Mereka adalah Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Malik dan Muhammad bin Idris. Sebagian khulafa mewajibkan agar kaum muslimin bertaqlid (mengikuti) salah seorang dari empat imam ini. Dan bahwa tiada seorang alim yang berijtihad di dalam Al-Qur`an dan sunnah, dan pandangan ini pada hakikatnya menutup pintu pemahaman mereka dan bahwa pengharaman ijtihad akan menjumudkan kaum muslimin.

Adapun kaum Islam Syi’ah menggunakan peluang itu dengan mengembangkan mazhab (pemikiran) mereka seluas mungkin. Sehingga setelah jumlah kaum Islam Syi’ah tidak mencapai angka sepuluh dari jumlah Sunni, kini jumlah mereka lebih banyak dan menyamai jumlah mereka. Dan hal yang alami bahwa ijtihad merupakan perkembangan Islam di bidang fikih dan memperluas pemahaman Al-Qur`an dan sunnah sesuai kebutuhan zaman seperti senjata yang canggih. Dan sebaliknya pembatasan mazhab dalam metode yang khusus, dan menutup pintu pemahaman dan pendengaran dari seruan kebutuhan-kebutuhan zaman, maka itu ibarat senjata yang lemah. Seumpama Anda punya senjata yang lemah sedangkan musuh Anda bersenjatakan canggih, maka –cepat atau lambat- Anda pasti berusaha mengalahkan musuh Anda! (Perkiraanku, akan datang dengan dekat di suatu masa, orang-orang Sunni yang berakal membuka pintu ijtihad. Jika tidak, maka aku kabarkan kepada kaum Sunni bahwa mereka akan berlalu pada masa kurun waktu dengan jumlah yang semakin sedikit dan Syi’ah akan menjadi jumlah yang besar!).

Muhammad bin Abdul Wahab, si pemuda angkuh ini mengikuti apa yang ia pahami dalam Al-Qur`an dan Sunnah, dan membandingkan dengan pandangan masyâikh (ulama)-nya. Ia tidak mengikuti pandangan ulama zamannya dan tidak pula mazhab yang empat. Bahkan ia menolak pandangan Abu Bakar dan Umar, jika apa yang ia pahami dari Al-Qur`an berbeda dengan apa yang mereka pahami. Ia mengatakan, “Bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian Al-Kitab (al-Qur`an) dan Sunnah, dan beliau tidak bersabda aku tinggalkan kepada kalian Al-Kitab, Sunnah, Sahabat dan mazhab-mazhab”. Karena yang wajib diikuti adalah Al-Qur`an dan Sunnah meskipun pandangan keduanya berbeda dengan pandangan-pandangan mazhab-mazhab dan sahabat serta ulama.

Pernah ketika ia (dan kami) bertamu di rumah salah satu ulama Persia (Abdul Ridha), memenuhi undangan jamuan makan bersama. Kami yang menjadi para tamunya, ialah Muhammad Abdul Wahab, Syeikh Jawad Al-Qummi (seorang alim Syi’ah), dan aku bersama sebagian temannya tuan rumah. Terjadi perdebatan seru dan serius antara Muhammad dan Syeikh, dan aku tidak ingat semuanya dari perdebatan itu, yang aku ingat adalah poin-poinnya.

Syeikh Al-Qummi berkata kepadanya, “Jika Anda berpikir bebas dan berijtihad sebagaimana yang Anda nyatakan, kenapa Anda tidak mengikuti Ali seperti orang-orang Syi’ah?”.

“Karena Ali seperti Umar dan lainnya yang ucapannya bukan hujjah. Sesungguhnya hanya Al-Qur`an dan Sunnah lah yang menjadi hujjah,” jawab Muhammad.

Syeikh: “Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa “Aku kota ilmu dan Ali pintunya”? Jika begitu Ali tidak sama dengan sahabat yang lainnya”.

Muhammad: “Jika ucapan Ali itu hujjah, lalu mengapa Rasulullah tidak mengatakan Kitabullah dan Ali bin Abu Thalib?”.

Syeikh: “Bahkan beliau bersabda, Kitabullah dan Itrah Ahlul Baitku, sementara Ali adalah kepala ‘Itrah!”.

Muhammad tidak menerima bahwa Rasulullah pernah mengatakan demikian. Namun Syeikh memberi jawaban yang memuaskan sehingga Muhammad diam dan tidak menjawab. Tetapi ia membantahnya, “Jika Rasulullah mengatakan “Kitabullah dan ‘Itrahku” maka di mana sunnahnya?”.

“Sunnah Rasul adalah syarahnya Kitabullah! Ketika beliau mengatakan “Kitabullah dan ‘Itrahku” yang beliau maksud adalah Kitabullah dengan syarahnya yaitu Sunnah,” jawabnya.

Muhammad: “Kalau begitu, ucapan Itrah juga merupakan syarah bagi Kitabullah! Lalu apa perlunya dengan mereka (karena sudah ada sunnah)?”.

Syeikh: “Ketika Rasulullah wafat, umat membutuhkan syarah Al-Qur`an, sebuah syarah yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan zaman. Karena itu Rasulullah mengembalikan umat kepada Al-Qur`an sebagaimana asal dan kepada Itrah seperti para pensyarah bagi Al-Qur`an yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman”.

Aku kagum yang tak terhingga dengan pembahasan ini. Melihat Muhammad seorang pemuda di hadapan seorang Syeikh yang sudah berumur tua, seperti seekor burung kecil yang tidak berkutik dalam gengaman tangan seorang pemburu.

Aku menemukan kebingunganku selama ini ada pada dirinya (Muhammad bin Abdul Wahab), kebebasan, keangkuhan dan kekerasannya terhadap masyâikh (ulama) zamannya serta kemandirian berpikirnya yang tidak mengikut pandangan orang lain jika tidak sesuai dengan apa yang ia pahami dari Al-Qur`an dan Sunnah, termasuk khulafa yang empat. Inilah titik kelemahan yang paling menonjol, yang mana dengan itu aku mampu menjatuhkan dirinya. Jelas pemuda yang sesat ini tidak dapat dibandingkan dengan Syeikh Turki, yang mana aku pernah belajar dengannya sewaktu aku di Turki. Syeikh adalah figur salaf yang kokoh seperti gunung. Jika Syeikh (ia pengikut mazhab Hanafi) hendak menyebut nama Abu Hanifah, ia akan bangkit dan berwudu kemudian menyebut nama Abu Hanifah. Jika ia ingin mengambil kitab Al-Bukhari (kitab besar yang amat disucikan oleh Sunni), ia mengambil wudu terlebih dahulu.

Adapun Muhammad bin Abdul Wahab sangat mencela Abu Hanifah, dan ia pernah berkata, “Aku lebih paham dari Abu Hanifah”. Dan juga pernah berkata, “Sesungguhnya separuh kitab Al-Bukhari adalah batil”.

Aku telah menjalin hubungan sangat erat dengannya. Ia selalu aku besarkan hatinya dan aku katakan kepadanya bahwa dirinya lebih utama dari Ali dan Umar. Jika Rasulullah hadir kembali ke dunia ini, maka ia akan memilihmu sebagai khilafahnya. Dan selalu kukatakan padanya, “Pikirkanlah, bahwa kemajuan Islam ada di tangnmu! Kau adalah penyelamat satu-satunya yang diharapkan oleh Islam yang sedang jatuh ini”.

Aku telah sepakat dengannya bahwa “kita harus mengkritik penafsiran Al-Qur`an berdasarkan jalan pemikiran kita, bukan berdasarkan pandangan sahabat dan imam mazhab serta ulama. Kita membaca Al-Qur`an dan bicara tentang poin-poin darinya (aku bermaksud  menjerumuskannya ke dalam perangkap). Dan ia menunjukkan sependapat dengan pandanganku dan menampakkan kepribadiannya yang bebas dan sangat mempercayai aku. Suatu hari aku berkata kepadanya, “Jihad itu tidak wajib”.

“Bagaimana dengan firman Allah “dan perangilah orang-orang kafir”?”, sergahnya. Aku berkata, “Perangilah orang-orang kafir dan munafiqin”. Jika jihad itu wajib, lalu kenapa Rasulullah tidak memerangi kaum munafik?”.

“Rasulullah memerangi mereka dengan lisannya”, katanya.

“Kalau begitu jihad melawan kuffar adalah wajib dengan lisan!” tambahku.

Ia berkata, “Tetapi Rasul berperang dengan Kuffar”.

“Perangnya Rasul adalah difa’ mempertahankan nyawa, ketika mereka hendak membunuhnya maka beliau melawan mereka,” kataku. Akhirnya Muhammad menganggukkan kepalanya tanda menerima.

Pernah suatu hari aku bilang kepadanya, “Kawin mut’ah itu boleh”.

“Tidak!” sergahnya.

Aku berkata, “Allah berfirman, “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (mut’ah) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban..” (An-Nisa Ayat 24).

“Tetapi Umar yang mengharamkan mut’ah! Dengan mengatakan, “Dua mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah, dan aku yang mengharamkan keduanya dan menghukum siapa yang melanggarnya”, katanya.

Aku berkata, “Bukankah kau pernah bilang, aku (Muhammad bin Abdul Wahab) lebih tahu dari Umar, lalu kenapa kau ikut Umar?. Dan jika Umar mengharamkan apa yang dihalalkan Rasul, mengapa kau tinggalkan pandangan Al-Qur`an dan Rasul, dan kau ikuti pandangan Umar?”

Ia terdiam. Melihat ia diam bertanda puas dengan keteranganku, nampaknya bergejolak kebutuhan biologisnya (sementara ia belum punya istri).

Aku bilang padanya, “Bukankah kita (aku dan kau) adalah orang bebas dan mengambil halalnya mut’ah dan kita bersenang-senang?

Ia mengangguk setuju, dan aku memanfaatkan sikap setujunya itu. Kemudian aku janjikan untuknya seorang wanita untuk dimut’ah olehnya. Keinginanku ialah membuyarkan rasa takutnya dari perselisihan antara ia dengan orang lain umumnya. Akhirnya ia memberi syarat bahwa ini rahasia antara aku dengannya dan tidak memberitahu namanya kepada perempuan yang akan dimut’ahinya.

Maka aku langsung pergi ke tempat perempuan-perempuan Nasrani, yang mana mereka adalah para pekerja kementerian kami. Aku dapatkan seorang wanita yang aku panggil dengan nama Shafiyah, dan telah aku ceritakan semuanya tentang pemuda ini. Dan pada waktu yang dijanjikan aku pergi bersama Muhammad, ke rumah Shafiyah yang saat itu sedang sendirian. Aku bacakan akad nikah mut’ah untuk Muhammad dalam waktu seminggu, dengan mahar sekian gram emas secara tunai. Aku senangkan hatinya dari luar sedangkan Shafiyah dari dalam.

Setelah Shafiyah mengambil hatinya dan memberikan manisnya kemaksiatan yang dilakukan Muhammad terhadap syariat di bawah naungan pemikiran dan kemandirian pandangannya yang bebas. Tiga hari kemudian, aku berbincang-bincang panjang dengannya soal bahwa minuman khamar itu tidak haram. Aku perdaya dirinya dengan menyertakan dalil-dalil Al-Qur`an dan hadis, dan pada akhirnya aku bilang padanya, “Dibenarkan bahwa Mu’awiyah dan Yazid serta khulafa Bani Umayyah dan Bani Abbas, mereka saling menawarkan khamar. Maka mungkinkah mereka itu berada dalam kesesatan dan kau sendiri dalam kebenaran? Sesungguhnya tidak syak lagi bahwa mereka itu lebih memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan benarkah mereka tidak mengetahui hal yang haram sementara mereka memahami hal yang makruh dan dibenci? Sedangkan di kitab-kitab Yahudi dan Nasrani menunjukkan kehalalan khamar, masuk akalkah bila agama yang satu mengharamkan khamar sedangkan agama yang lain menghalalkannya? Sementara semua agama berasal dari sisi Tuhan Yang Maha esa! Kemudian disebutkan dalam riwayat bahwa Umar minum khamar sehingga turun ayat, “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (Al-Maidah Ayat 91). Bila khamar itu haram maka Rasul akan menghukumnya, tetapi ia tidak melakukannya maka ini menunjukkan kehalalannya.

Muhammad menyimak keteranganku dengan penuh perhatian, kemudian ia bangkit sambil mengatakan, “Bahkan dibenarkan dalam riwayat bahwa Umar mencampur khamar dengan air lalu meminumnya, dan mengatakan jika mabuk, itu haram. Tetapi jika tidak mabuk maka tidak haram”. Kemudian ia menambahkan bahwa Umar benar dalam masalah ini, sebab Al-Qur`an mengatakan, “Sesungguhnya Setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang..” (Al-Maidah Ayat 91). Maka jika khamar itu tidak memabukkan maka hal itu tidak akan terjadi seperti ayat yang telah kusebutkan, karena itu khamar tidak dilarang jika tidak memabukkan.

Shafiyah memberitahu apa yang berlaku, ia berhasil menuangkan khamar keras kepada pemuda ini dan memberitahuku bahwa ia telah meminumnya sampai mabuk, berkelakuan kasar dan menyetubuhi dirinya beberapa kali di malam itu. Dan telah aku lihat badannya lemah lantaran malam itu. Demikianlah aku dan Shafiyah mengendalikan dirinya sepenuhnya.

Sungguh ini menggetarkan diriku tentang pesan penting yang dikatakan menteri negara-negara jajahan, ketika aku mohon izin berangkat, “Kami telah berhasil mengembalikan Spanyol dari tangan orang-orang kafir (maksudnya kaum muslimin) dengan khamar dan kesesatan, maka kita harus berusaha negara-negara yang menjadi milik kami dengan dua formula itu”.

Pada suatu hari, aku bicara tentang puasa dengan Muhammad, aku katakan, “Sesungguhnya Al-Qur`an mengatakan “dan berpuasa lebih baik bagimu..” (Al-Baqarah Ayat 184) dan tidak mengatakan berpuasa wajib bagimu, maka puasa dalam pandangan Islam itu sunnah dan bukan wajib!” Tetapi ia bangkit dan mengatakan, Hai Muhammad (nama samaran Mr Hempher), kau ingin mengeluarkanku dari agamaku!?”

“Ya Wahab, agama itu kesucian hati, keselamatan jiwa dan tiada permusuhan dengan yang lain. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Agama itu cinta”? Bukankah Al-Qur`an menyebutkan bahwa, “Sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yakin” (Al-Hijr Ayat 99). Jadi jika manusia mendapati keyakinan akan Allah dan Hari Akhir, maka itulah kebajikan hati dan kebersihan amal, dialah orang yang paling utama. Tetapi dia menggelengkan kepala tanda menolak dan tidak senang.

Pernah aku bilang kepadanya, “Salat itu tidak wajib”.

“Kok begitu?” tanyanya.

Aku berkata, “Sebab di dalam al-Qur`an, Allah berfirman, “Dan dirikanlah salat untuk mengingatku” (Thaha Ayat 14), maka yang dimaksud salat ialah mengingat Allah swt. Jadi ingatlah Allah swt sebagai ganti salat!”.

Wahab berkata, “Ya aku pernah dengar, sebagian ulama mengingat Allah swt di waktu-waktu salat sebagai ganti pekerjaan salat”.

Betapa senangnya diriku mendengar perkataanya itu, maka aku bumbui pandangannya ini hingga aku perkirakan bahwa aku dapat mengendalikan jalan pikirannya. Tak lama kemudian aku melihatnya tidak lagi serius dengan perkara salat, terkadang ia salat dan terkadang tidak. Terutama di waktu subuh, ia sering meninggalkan salat subuh. Setelah semalam aku asyik mengobrol panjang dengannya sampai tengah malam lewat, sehingga mendekati subuh ia kelelahan dan ia tinggalkan salat.

Begitulah aku tanggalkan pakaian keimanan dari pundak Wahab sedikit demi sedikit. Pernah suatu kali aku mendebatnya seputar Rasul, tiba-tiba ia langsung menunjuk wajahku dan melotot, lalu berkata, “Jika kau bicara lagi soal ini, maka aku tidak mau berteman lagi denganmu”. Aku khawatir ia akan marah dan benci padaku, karena itu aku menahan diri untuk bicara soal itu lagi.

Tetapi minimal aku telah memperdaya dirinya bahwa ia berpegang pada pemikiran yang ketiga, yang bukan Sunni bukan juga Syi’ah, dan ia sangat menerima pemikiran ini dengan sepenuhnya karena dirinya dipenuhi dengan kesombongan dan kemandiriannya (yang kelewatan).

Ditambah dengan keberadaan Shafiyah yang selalu menemaninya selama seminggu, juga dengan akad-akad yang diperbaharuinya, sehingga kami benar-benar mengendalikan dirinya. Aku bilang pada Wahab, “Banarkah Nabi mempersaudarakan antara sahabatnya?” “Ya”, jawabnya. “Apakah hukum-hukum Islam itu bersifat temporal atau permanen?”, tanyaku. Ia menjawab, “Permanen, sebab Rasulullah pernah bersabda, “Halalnya Muhammad adalah halal sampai hari kiamat dan haramnya Muhammad adalah haram sampai hari kiamat”.

“Jika begitu, mari kita mempersaudarakan antara aku dan kau, maka terjalinlah persaudaraan antara ia dan aku. Setelah itu, aku selalu bersamanya dan menemaninya ke mana ia pergi. Dan aku bersemangat untuk memetik buah hasil dari  pohon yang telah aku tanam sebelumnya. Buah hasil yang paling berharga di masa mudaku.

Setiap bulan, aku tulis hasil kerjaku kepada kementerian sebagaimana itu sudah menjadi tugasku sejak aku pergi dari London. Dan jawaban yang aku terima cukup memuaskan diriku. Aku dan Wahab berjalan di jalan (pemikiran) yang telah kami bangun berdua dengan langkah-langkah yang cepat, dan aku tidak pernah meninggalkannya di mana pun ia berada.

Targetku ialah memperkuat jiwanya yang berpikir sangat bebas dan memperuncing keraguannya. Dan aku selalu mendukungnya dengan suka cita dan memuji jiwanya yang berapi-api. Dan terkadang aku bersikap lembut padanya dengan mengatakan, “Kemarin malam aku mimpi melihat Rasulullah, aku melihatnya seperti yang digambarkan oleh para penceramah di mimbar-mimbar. Ia duduk di atas kursi dan di sekitarnya sekelompok ulama yang tidak aku kenal seorang pun dari mereka. Dan aku melihatmu datang dengan wajahmu yang memancarkan sinar, ketika kamu sampai kepada Rasulullah, beliau berdiri memuliakanmu dan memelukmu, lalu berkata, “Wahai Muhammad (bin Abdul Wahab), kau adalah namaku, mewarisi ilmuku dan menduduki kedudukanku dalam mengatur urusan agama dan dunia”

Kemudian kamu berkata, “Wahai Rasulullah, aku takut menampakkan ilmuku kepada manusia”. Rasulullah berkata kepadamu, “Janganlah takut, sesungguhnya kedudukanmu itu tinggi”. Mendengar kisah mimpiku, dirinya melambung kesenangan, dan bertanya apakah benar mimpimu itu?” “Ya”, kataku. Setiap ia menanyakan hal itu, aku jawab dengan positif sampai ia yakin. Dan aku kira, mulai saat itu ia berniat untuk melaksanakan kewajibannya.

Sabtu, 04 Juni 2016

Haseki Sultan Atau Harem Sultan


Sebagaimana ditulis para sejarahwan dan para pujangga, termasuk oleh banyak penulis Turki sendiri, semisal Orhan Pamuk, Kesultanan Turki Utsmani dikenal sebagai Kekaisaran Fasis terbesar dalam sejarah. Imperium itu acapkali membawa perempuan-perempuan dari ragam negeri secara paksa atau dibeli ‘dengan paksa’ untuk dibawa ke Istanbul (Konstantinopel). Sementara itu, banyak pemuda Kristen direkrut, yang seringkali dicuri dan diambil paksa dari keluarga mereka, untuk dijadikan tentara dan prajurit oleh Turki Utsmani, justru untuk memerangi orang-orang Kristen.

Singkat kata, Turki Utsmani telah menancapkan luka yang teramat dalam bagi bangsa-bangsa Bizantium, Bizantium yang dulu kala dipuji dan dijadikan sekutu oleh Nabi Muhammad saw. Dan inilah salah-satu kisah sisi lain Turki Utsmani.

Alexandra Anastasia Lisowska adalah gadis kecil yang suka mengejar kupu-kupu bersayap beludru ketika ayahnya memimpin misa harian di gereja. Pada masa kecilnya itu, ia sangat terpesona dengan cerita Cleopatra, wanita cantik nan tangguh, yang sanggup meluluhkan hati dua lelaki penguasa, Alexander dan Mark Anthony. Alexandra tumbuh dengan cita-cita yang muluk: menjadi seperti Cleopatra yang dikaguminya sejak kecil itu.

Namun sebuah peristiwa tak terduga tiba-tiba terjadi di Rohatyn, di tenggara lviv, barat Ukraina. Alexa yang tenggelam dalam keputusasaan dikejutkan oleh kehadiran segerombolan lelaki di rumahnya. Ketika membuka mata, ia sudah berada di ruangan tertutup. Ia diculik.

Pada masa itu, Imperium Turki Utsmani yang menguasai hampir seluruh bekas kekuasaan Romawi dan Bizantium mengadopsi tradisi harem dalam istana yang dihuni oleh selir-selir cantik yang mengelilingi tahta sang penguasa. Pola ini dimanfaatkan oleh beberapa kalangan dengan menculik para wanita untuk dijadikan pemuas atau dijual sebagai budak.

Keberuntungan ternyata berpihak pada Alexa. Saat ia dipamerkan untuk dijual, seorang kasim (laki-laki yang sudah dikebiri dan bekerja di istana) melihat potensi dan kecantikan gadis itu. Transaksi terjadi dan Alexa pun dibawa ke istana untuk mengawali hidup barunya sebagai odalik (pembantu selir).

Harem yang dihuni oleh ratusan wanita cantik dan para kasim itu tidak bebas dari konflik. Sebagian dari mereka saling menjatuhkan secara diam-diam. Tidak ada ketulusan atau kawan sejati.

Kala itu Alexa menjadi odalik (pembantu selir) Aysel Zge, wanita yang menjadi iqbal (selir favorit) Sultan. Meskipun bagi Alexa yang polos, persahabatan itu penuh arti, Aysel Zge hanya memanfaatkan kepolosan Alexa demi menjegal siapa pun yang mendekati Sultan.

Untung saja Alexa bertemu dengan kasim yang baik, Samiye, yang banyak membatu Alexa untuk beradaptasi dengan kondisi di istana. Samiye menjelaskan hal-hal apa saja yang harus dilakukan Alexa. Menurut kebiasaan, kasim yang membantu selir menjadi orang penting di istana, turut kecipratan keuntungan alias posisinya menjadi naik.

Suatu hari, karena kepandaiannya, Alexa akhirnya berhasil sampai ke atas ranjang Sultan, dan dari sanalah ia memulai petualangan barunya “menjadi perempuan kesayangan”. Alexa pun mendapat nama baru yang dihadiahkan Sultan kepadanya, HUREM ROXELANE, yang artinya adalah WANITA YANG TERTAWA. Konon Hurem aka Alexa dapat membuat baginda selalu merasa nyaman dan tertawa setiap kali bersamanya.

Sayangnya banyak orang di istana yang ingin sang Hurem Roxelane itu lenyap. Apalagi ketika ia mulai mendapat perhatian sang sultan. Salah satunya adalah MAHIDEVRAN GULBEHAR, haseki (Selir yang melahirkan putra). Menggunakan kuasanya, Mahidevran meminta bantuan kiral berk-kizlar agha (pemimpin kasim hitam), Ugur Yildrim-Kapi agha (pemimpin kasim putih), Ibrahim Pasha, sahabat Sultan Suleiman, sekaligus wazir agung.

Namun, Hurem (Alexa), gadis yang kemudian menjadi cerdik dan tak mudah putus asa itu berkembang sebagai perempuan yang selalu belajar dengan baik untuk membawa dirinya. Ia menggunakan seluruh akalnya untuk mencapai impiannya menjadi Cleopatra. Kecantikannya pun sanggup membuat Sultan Suleiman tak berpaling. Hingga satu hal, pencapaian terbesar seorang selir, berhasil ia dapatkan. Pencapaiannya ini mengukuhkan posisinya di depan banyak orang dan membuatnya tak lagi bisa disentuh (dijahati orang).
Singkat kata, mimpinya telah terwujud.

Posisi Hurem Roxelane semakin kuat ketika ia melahirkan 6 orang anak, 5 putra dan 1 putri diantaranya: Mehmed, Selim ll, Mihrimah Sultan, Beyazid, Abdullah, Cihangir. Dan hal yang terbilang luar biasa dari Hurem Roxelane adalah satu diantara anak anaknya itu merupakan tokoh penting dunia, yaitu Selim ll, yang akan menggantikan posisi sang ayah, Sultan Suleiman.

Suleiman yang Agung dikenal sebagai sultan yang menduduki tampuk pemerintahan pada masa kejayaan Kesultanan Utsmani. Ia menjadi sultan untuk menggantikan ayahnya, Selim Khan, pada tahun 1520 dan berkuasa sampai saat kematiannya, 5 September 1566. Suleiman yang Agung juga dikenal sebagai pendobrak tradisi Turki Utsmani yang menyatakan bahwa seorang sultan tidak bisa menikah. Perempuan yang berhasil memaksa Suleiman untuk mengikatkan diri dalam pernikahan adalah Roxelana atau Russelana.

Sebelum Russelana, Suleiman hanya mempunyai satu perempuan yang  dijadikan sebagai haseki atau selir, yaitu Gülbehar. Gülbehar dikenal sebagai perempuan paling cantik dalam sejarah Turki Utsmani. Perempuan berambut cokelat dan bermata hijau ini memberikan Suleiman seorang putra, Mustafa. Mustafa adalah Shahzade, satu-satunya anak yang akan menjadi sultan berikutnya. Sebuah kenyataan yang tidak merusuhkan hati Suleiman mengingat sejarah Utsmani yang berlumuran darah. Saat Suleiman diangkat menjadi sultan, ayahnya terpaksa membunuh semua saudara lelakinya agar tidak mendapatkan batu sandungan dari dalam keluarga.

Posisi Gülbehar (dalam bahasa Turki berarti Mawar Musim Semi) tidak tergoyahkan hingga Russelana mulai menebarkan ambisinya. Mantan budak itu berhasil menyingkirkan Gülbehar sebagai perempuan kesayangan Suleiman setelah terjadi pertengkaran di antara mereka. Russelana akan memberikan Suleiman lebih dari satu anak, tiga anak laki-laki yaitu Selim, Bayezid, si cacat Cehangir, dan Mithrimah, seorang anak perempuan. Tapi tetap saja, Mustafa yang akan menjadi sultan berikutnya, bukan salah satu dari ketiga anak laki-laki Russelana. Bila Mustafa yang benar-benar menjadi sultan berikutnya, Russelana percaya nasibnya dan nasib anak-anaknya akan berada di ujung tanduk. 

Harem (Harem Sang Sultan) adalah novel historis karya Colin Falconer, yang mengangkat kehidupan Suleiman yang Agung, kisah cintanya dengan Gülbehar dan Russelana, serta kehidupan anak-anaknya. 
 
Konflik dimulai saat Hürrem dimunculkan. Ia seorang gadis Ukraina yang cantik, berkulit pucat, bermata hijau, dan berambut merah. Setelah menjadi salah satu penghuni harem, ia terperangkap dalam kebosanan. Sultan tetap mempertahankan Gülbehar sebagai haseki, dan itu berarti tidak ada tempat bagi para gadis harem lainnya, termasuk Hürrem. Maka, ia pun bertekad mengubah kondisinya saat itu, mencari jalan masuk ke dalam kamar tidur Suleiman. Sejak tekadnya mengeras, ia berubah menjadi perempuan jahat dan licik yang tidak ada bandingannya.

Di tempat di mana tidak ada seorang pun laki-laki diperkenan masuk kecuali sultan sendiri, Hürrem melihat peluang untuk memanfaatkan Kapi Aga, si Kasim Kulit Putih. Ia segera melancarkan rayuan sekaligus ancaman yang membuat Kapi Aga terpojok dan mau tidak mau harus berusaha mendukung ambisi Hürrem. Jalan Hürrem menuju kamar tidur Suleiman pun terbuka lebar. Valide Sultan (Ibu dari Sultan) berhasil dihasut untuk mengecam kehidupan Suleiman dengan Gülbehar yang hanya mempunyai satu anak.  

Jika dipanggil sultan untuk melayaninya di tempat tidur, secara otomatis kehidupan si gadis harem akan mengalami perubahan. Ia akan mendapatkan kedamaian dan tunjangan hidup sendiri sebagai iqbal. Hanya saja, menjadi iqbal bukanlah tujuan akhir Hürrem. Ketika Suleiman tidak lagi mengundangnya ke tempat tidur, Hürrem memutuskan segera bertindak. Siapa lagi yang dipilihnya untuk membuat dirinya hamil selain Kapi Aga? Hürrem pun hamil, dan menjadi kadin kedua.

Sebagai perempuan pilihan sultan, Hürrem memberikan Suleiman pengalaman seksual yang selalu menggairahkan. Selanjutnya, di atas tempat tidur, mereka tidak hanya bercinta tapi juga membicarakan masalah politik dan berbagai kebijakan Suleiman. Hubungan Hürrem dan Suleiman menjadi jauh lebih kuat dibandingkan hubungan Gülbehar dengan Suleiman. Apalagi setelah Hürrem berhasil membuat Suleiman murka pada Gülbehar dan akhirnya mengasingkan perempuan cantik itu. 

Konflik tidak pernah surut karena pemicunya tidak pernah berdiam diri. Setelah menjadi satu-satunya kadin, Hürrem tetap tidak merasa puas. Ia masih punya dua obsesi: menjadikan dirinya istri Suleiman dan salah satu anak kandungnya sebagai calon sultan. Obsesi yang pertama tidak terlalu sukar untuk direalisasikan berkat tabiatnya yang licik dan manipulatif. Tapi obsesi kedua bukan hal yang gampang dicapai. Tidak ada jalan lain yang harus ditempuh selain mengusahakan kematian Mustafa. Padahal Mustafa seorang pangeran yang baik hati dan bijaksana. Mustafa telah bertekad menghindari pertumpahan darah anggota keluarga bila diangkat menjadi sultan.

Sementara itu, di Venesia, Italia, Abbas Mahsouf, pemuda Moor yang tampan, jatuh cinta pada pandangan pertama tatkala melihat Julia Gonzaga di sebuah gereja. Cintanya tidak mendapatkan respons positif dari Antonio, ayah Julia, yang hendak menikahkan putrinya dengan laki-laki uzur. Ludovici Gambetto, sahabat Abbas, menjadi saksi bagaimana cinta Abbas berkembang menjadi sesuatu yang membahayakan hidupnya sendiri. Abbas diculik oleh orang sewaan Antonio, dirusak wajahnya, dikebiri, kemudian dijual sebagai budak di Istanbul.

Lama setelah kejadian itu, Julia pun menikahi Serena, laki-laki renta yang diinginkan Antonio. Sekian lamanya hidup bersama, Julia tetap seorang perawan yang tidak pernah ingin disentuh suaminya. Saat Serena pergi ke Siprus dan Julia diminta menyusulnya, kapal yang ditumpangi Julia diserang bajak laut Turki. Julia ditangkap, dibawa ke perdagangan budak, kemudian dijual ke dalam harem Suleiman yang Agung. Di sana, Julia mengalami gegar budaya begitu menyaksikan ketelanjangan perempuan dan lesbianisme menjadi sesuatu yang lumrah dipertontonkan. Selanjutnya, sebelum takdir membawanya ke atas tempat tidur Suleiman di Istana Topkapi, ia terlibat hubungan sejenis dengan gadis harem lain, Sirhane dari Suriah. 

Diam-diam ada seseorang yang sedang mengamati gerak-gerik Julia di dalam harem. Orang itu tidak ingin Julia melayani Suleiman di atas tempat tidurnya. Ia bertekad mengeluarkan Julia dari harem sekaligus menjauhkannya dari persaingan para gadis harem. Keinginannya seolah-olah tidak akan terwujud manakala sultan akhirnya memilih Julia untuk menghangatkan tempat tidurnya.

Atas campur tangan Hürrem yang tidak ingin disaingi perempuan manapun, Julia gagal memuaskan Suleiman. Gairah sang sultan untuk menyetubuhi gadis Italia itu gembos. Marah karena kegagalan ereksinya, Suleiman mengeluarkan perintah untuk menceburkan Julia ke dalam Selat Bosphorus. Orang yang diam-diam mengamati gerak-gerik Julia dengan saksama melihat kesempatan untuk memberikan Julia kebebasan. Tanpa disadarinya, Hürrem mengetahui semua yang dilakukannya, dan menjadikan rahasia orang itu sebagai senjata fatal yang memaksanya tunduk pada setiap perintah Hürrem .

Tentu saja, Harem tidak sekadar memunculkan konflik dan intrik asmara seputar kehidupan Suleiman yang Agung. Masih ada tokoh-tokoh lain yang dimunculkan untuk membuat plot kisah dalam novel ini semakin rumit dan menarik untuk diikuti tanpa peduli pada ketebalan bukunya. Semakin lama, seiring perguliran plot, Suleiman yang Agung digambarkan mulai merasa jenuh dengan perannya sebagai pemimpin perang dengan alasan eksistensi Utsmani dan nama Allah. Hürrem pun kian ganas menyingkirkan semua hambatan yang merintangi obsesinya menjadi Valide Sultan.

Pembunuhan demi pembunuhan terjadi dan darah membasahi sejarah kehidupan Suleiman yang Agung, termasuk darah yang mengalir dari pembuluh darah anak-anaknya. Diantara semua kerunyaman yang terjadi, Abbas Mahsouf dipaksa kembali ke masa lalunya ketika dendam kesumat dalam dadanya mendapatkan kesempatan dituntaskan dengan kemunculan Antonio Gonzaga di Istanbul. Apakah Abbas akan mendapatkan kesempatan untuk memiliki gadis yang sangat dicintainya dalam keadaannya sebagai kasim? Ataukah nasib mempunyai rencananya sendiri? Tahun-tahun telah berlalu, Abbas yang muda dan tampan telah tiada. Ia menjelma manusia tambun yang terjebak dalam panasnya konspirasi dan intrik politik Kesultanan Utsmani.