Rabu, 21 September 2016

Hana



Cerita Pendek Ryunosuke Akutagawa


Semua orang di Ikeno O (suatu kampung di pinggiran kota Kyoto) tidak ada yang tidak tahu tentang hidung Pendeta Naigu. Panjangnya sekitar 16 sentimeter, menjuntai dari bibir atas hingga ke bawah dagunya. Baik ujung maupun pangkalnya berbentuk sama besar. Pendek kata seperti sosis yang bergayut dari pertengahan wajahnya.



Usia Naigu sudah lebih dari 50 tahun. Sejak sebagai calon pendeta hingga menjadi pendeta kepala, batinnya sebenarnya tersiksa karena bentuk hidungnya itu. Tentu saja kesedihan itu tidak tampak pada roman mukanya, karena ia pikir sebagai pendeta tidak baik bila hanya memikirkan hidung melulu. Ditambah lagi dengan keinginannya masuk surga. Lebih daripada itu, ia tidak ingin orang lain mengetahui keadaan batinnya. Naigu merasa cemas dengan segala omongan orang tentang hidungnya dalam pembicaraan sehari-hari.



Naigu punya alasan berkenaan dengan hidungnya yang merepotkan itu. Salah satunya dengan kenyataan bahwa hidungnya yang panjang itu tidak praktis. Pertama-tama sewaktu ia makan tidak dapat melakukannya sendiri. Bila makan sendiri ujung hidungnya akan menyentuh nasi di dalam mangkuk. Karena itu, jika sedang makan, Naigu menyuruh seorang muridnya untuk duduk di sampingnya dan mengangkat hidungnya dengan sebilah papan sepanjang kurang-lebih 60 sentimeter dan lebar sekitar lima sentimeter. Tapi, makan dengan cara demikian bagi Naigu maupun muridnya merupakan hal yang tidak mudah. Suatu kali, tangan seorang murid bernama Chudoji yang menggantikan murid yang biasanya membantu Naigu terguncang ketika bersin dan hidung Naigu terjatuh ke dalam mangkuk bubur. Cerita tentang jatuhnya hidung Naigu ke dalam mangkuk bubur itu tersebar sampai ke Kyoto. Meski demikian, tidak ada alasan kuat baginya untuk merasa sedih dengan kodrat hidungnya itu, walaupun sebenarnya batinnya sangat sedih karena hidungnya itu.


Orang-orang di Ikeno O mengatakan bahwa Naigu beruntung karena ia seorang pendeta, bukan orang biasa. Dengan hidung demikian, siapapun tentu akan berpikir tidak ada seorang perempuan pun yang bersedia menjadi istrinya. Di antara orang-orang itu ada pula yang mengatakan bahwa Naigu menjadi pendeta mungkin karena hidungnya itu. Naigu sama-sekali tidak merasa tenang dengan hidungnya, meskipun dirinya seorang pendeta. Naigu peka sekali terhadap persoalan hidup yang dihadapinya, seperti masalah perkawinan misalnya. Karena itu Naigu mencoba mengembalikan kehormatannya yang ternoda dengan berbagai cara.


Pertama-tama yang dipirkan Naigu adalah mencari cara agar hidungnya yang panjang itu menjadi tampak lebih pendek. Ketika tidak ada orang, ia menghadap ke cermin dengan serius sambil melihat wajahnya dari berbagai sudut. Terkadang tak puas hanya dengan mengubah letak, ia lantas menopang pipi dengan tangan, meletakkan jari di ujung dagu, dan terkadang pula ia melihat mukanya di cermin dengan sungguh-sungguh. Tapi, hingga sekarang, hidungnya tidak tampak cukup pendek hingga dapat memuaskan dirinya. Malah terkadang semakin dicemaskan hidungnya semakin terlihat bertambah panjang. Pada saat-saat demikian, sambil meletakkan cermin kembali ke dalam kotak, ia mengeluh seolah-olah itu adalah hal baru, dan lantas dengan berat hati ia kembali ke meja membaca kitab Kan On.



Setelah itu Naigu kembali terus-menerus memperhatikan hidung orang lain. Kuil Ikeno O adalah kuil yang sering mengadakan ceramah dan upacara-upacara lainnya. Di dalam kuil ini terdapat berderet-deret kamar para pendeta, dan setiap hari para pendeta memasak air panas di tempat pemandian. Karena itu, tempat tersebut banyak dilalui oleh para pendeta maupun orang biasa. Naigu memperhatikan wajah orang-orang yang berlalu-lalang itu. Ia cemas karena tidak melihat seorang pun yang hidungnya serupa dengan hidungnya. Lantaran itu, sampai-sampai ia tidak dapat membedakan antara pakaian berburu biru tua dengan pakaian musim panas yang putih. Apalagi penutup kepala oranye dan jubah abu-abu yang biasa mereka kenakan sama-sekali tidak tampak berbeda di matanya. Naigu tidak melihat orang, hanya hidungnya saja yang dilihatnya. Meskipun ada yang berhidung mancung, tak ada seorang pun yang memiliki hidung seperti dirinya. Semakin tidak menemukan orang yang sama dengannya, semakin batinnya merasa tidak nyaman pula. Sewaktu berbicara dengan orang lain, tanpa sadar Naigu memegang ujung hidungnya yang menjuntai, wajahnya merah-padam karena malu merasa menjadi orang tua yang lupa umur. Tingkah lakunya digerakkan oleh perasaan yang sama-sekali tidak menyenangkan.



Naigu setidak-tidaknya akan merasa lega seandainya di dalam kitab Buddha dan kitab-kitab lain terdapat cerita tentang orang yang memiliki hidung yang sama dengan dirinya. Tapi, di dalam kitab suci manapun tidak terdapat tulisan yang mengisahkan tentang hidung Mokuren, seorang pengikut Buddha yang terkenal berhidung panjang. Tentu saja Ryuju dan Memyo memiliki hidung seperti orang biasa. Ketika mendengar bahwa di dalam cerita Cina terdapat kisah Ryugentoku dari Shokkan yang bertelinga panjang, ia tidak merasa lega. Ia akan merasa lega seandainya yang panjang itu adalah hidungnya.



Tidak perlu dijelaskan secara khusus di sini bahwa di satu sisi merasa puyeng dengan keadaan itu, ia juga aktif mencari cara untuk memendekkan hidungnya itu. Naigu sedapat mungkin berusaha melakukan hal itu. Ia pernah mencoba minum rebusan labu air, juga pernah mengolesi hidungnya dengan air kencing tikus. Tapi, bagaimanapun juga, hidungnya masih tetap menjuntai dari atas bibir atas kurang-lebih 16 sentimeter seperti semula.



Suatu ketika di musim gugur, salah satu muridnya yang pergi ke Kyoto atas suruhan Naigu bertemu dengan seorang tabib kenalannya yang mengajarkan cara memendekkan hidung. Tabib itu berasal dari Cina dan pernah menjadi Guso di Kuil Choraku.



Naigu, seperti biasa, tidak berkomentar apapun tentang usul itu dan pura-pura tidak memedulikan hidungnya. Di lain pihak, ia menggerutu karena setiap kali makan selalu menyusahkan muridnya. Tentu saja di dalam batinnya ia berharap muridnya itu akan mendesaknya untuk mencoba cara baru itu. Demikian pula, muridnya tahu persis apa yang sebetulnya diinginkan oleh Naigu. Murid itu, sebagaimana dikehendaki oleh Naigu, mendesaknya untuk mencoba cara itu. Selanjutnya Naigu sendiri, sesuai harapannya, akhirnya menerima anjuran yang sungguh-sungguh itu.



Caranya sangat sederhana, yakni hanya dengan mencelupkan hidungnya ke dalam air panas, kemudian diinjak-injak dengan kaki. Setiap hari mereka merebus air di pemandian kuil. Murid itu menuangkan air sangat panas ke dalam ember yang diambil dari tempat pemandian. Saking panasnya sampai-sampai ia tak sanggup mencelupkan tangan ke dalamnya. Karena khawatir bila langsung mencelupkan hidung ke ember wajah Naigu akan melepuh, mereka membuat lubang di baki yang diletakkan di atas ember yang penuh dengan air panas sebagai tempat masuk hidung. Dengan hanya mencelupkan hidung ke dalam air yang sedang mendidih, maka panasnya tidak terasa di wajah. Beberapa saat kemudian murid itu berkata, “Sudah saatnya direbus.”


Naigu tersenyum kecut, karena terbayang jika ada orang yang mendengarnya tentu tak akan berpikir bahwa yang sedang dibicarakan itu adalah hidung. Setelah direndam di dalam air yang sangat panas, hidung itu terasa gatal seperti digigit kutu. Dengan sekuat tenaga murid itu mulai menginjak-injak hidung Naigu yang masih mengepulkan asap karena baru saja dikeluarkan dari lubang baki. Naigu berbaring miring dan meletakkan hidungnya di atas yukaita; saat itu ia melihat kaki muridnya bergerak naik turun di depan matanya. Terkadang murid itu merasa kasihan, dan sembari melihat kepala botak Naigu ia berkata,



“Apa tidak terasa sakit? Tabib menyuruh menginjak dengan keras. Tapi apa tidak sakit?”

Naigu berusaha menggelengkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia tidak merasa kesakitan. Tapi karena hidungnya sedang diinjak-injak, maka ia tidak bisa menggelengkan kepala seperti yang dikehendakinya. Sambil menatap kaki muridnya, yang kulitnya pecah-pecah, dengan membelalakkan mata ia menjawab dengan suara yang terdengar marah.

“Tidak sakit!”

Sebenarnya, sewaktu diinjak-injak pada bagian yang gatal, hidungnya justru terasa lebih enak daripada terasa sakit. Setelah diijak-injak beberapa waktu maka mulai keluarlah semacam butiran-butiran jewawut. Dapat dibilang hidung Naigu seperti burung yang dipanggang setelah dicabuti bulunya. Ketika melihat hal itu, sang murid berhenti menginjaknya dan berkata seperti kepada diri sendiri, “Katanya supaya dicabuti dengan pencabut bulu.”


Naigu hanya menggelembungkan pipinya seperti tampak kesal, namun ia tetap membiarkan tindakan muridnya. Tentu saja karena ia mengetahui kebaikan hati muridnya. Walaupun demikian, bukan berarti ia senang hidungnya diperlakukan bagai benda mati. Dengan roman muka seperti pasien yang sedang dioperasi oleh dokter yang tidak meyakinkan, ia mengamati muridnya yang sedang mencabuti butiran lemak dengan pencabut bulu. Lemak itu berbentuk seperti tangkai bulu burung, dan panjangnya sekitar satu sentimeter.



Setelah selesai, dengan wajah terlihat lega si murid akhirnya berkata, “Saya kira sebaiknya direbus sekali lagi.” Dengan muka masam Naigu menuruti perkataan muridnya.


Singkat cerita, setelah direbus untuk kedua kalinya, dan lemaknya dicabuti keluar, maka benar juga hidung itu menjadi pendek. Tak ubahnya seperti paruh burung betet. Naigu mengusap hidungnya yang memendek, dan dengan ragu dan malu-malu dilihatnya di dalam cermin yang diberikan oleh muridnya.



Hidungnya yang semula menjuntai hingga ke bawah dagu, hampir tak dapat dipercaya, kini menyusut menjadi kecil, menempel di atas bibir atas. Di sana-sini tampak bintik-bintik merah bekas injakan kaki. Bila seperti ini tentu tidak aka nada lagi orang yang menertawakannya. Wajah yang ada di dalam cermin memandang wajah Naigu yang ada di luar cermin, kemudian mengerdipkan mata tanda puas.


Tapi hari itu, baru hari pertama, ia merasa gelisah, takut kalau-kalau hidungnya memanjang kembali. Maka baik sewaktu membaca sutra maupun sewaktu makan, juga setiap ada kesempatan, diam-diam ia mengangkat tangan untuk meraba ujung hidungnya. Tentu saja hidungnya tetap bertengger dengan apiknya di atas bibir atas, tak ada tanda-tanda akan bertambah panjang kembali. Selain itu ketika bangun di pagi hari, yang mula-mula dilakukannya adalah meraba hidung. Hidungnya masih tetap pendek. Maka ia merasakan kebahagiaan yang sudah bertahun-tahun tak dirasakannya, seperti ketika berhasil menyalin sutra.



Tapi dalam dua-tiga hari berikutnya, Naigu mengalami perkembangan yang tidak terduga. Yakni bertepatan dengan datangnya seorang samurai ke Kuil Ikeno O untuk suatu keperluan. Dengan raut wajah seperti merasa aneh, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia hanya memandangi hidung Naigu saja. Tak hanya itu, Chudoji, yang pernah menjatuhkan hidungnya ke dalam bubur, ketika berpapasan dengan Naigu di luar ruangan mula-mula memandang ke bawah menahan rasa geli, tapi akhirnya gelak tawanya pecah tak tertahankan lagi. Tak hanya satu-dua kali saja terjadi, pendeta-pendeta pembantu yang diberinya perintah mula-mula mendengarkan dengan hormat saat berhadapan dengannya, tapi kemudian tertawa terpingkal-pingkal setelah membelakanginya.



Mula-mula Naigu mengira hal itu terjadi karena ada perubahan di wajahnya. Tapi dugaannya meleset, ia tidak mendapat penjelasan yang tuntas. Tentu saja penyebab Chudoji dan pendeta-pendeta pembantu tertawa adalah karena perubahan itu. Meskipun sama-sama tertawa, tampak berbeda dibandingkan dulu ketika hidungnya masih panjang. Kalau dikatakan bahwa hidungnya yang pendek itu, yang tidak biasa mereka saksikan, lebih menggelikan ketimbang hidungnya yang panjang seperti sebelumnya, itu sudah keterlaluan. Tapi, rupanya lebih daripada itu.


“Selama ini mereka tidak pernah tertawa secara terbuka seperti itu.”



Ada kalanya Naigu ngedumel seperti itu, lalu berhenti mengkaji kitab sutra yang baru dibacanya, sambil memiringkan kepalanya yang botak. Kalau sudah begitu, Naigu yang mestinya penuh kasih-sayang tampak tak tenang, dan sambil memandang gambar Fugen yang tergantung di sebelahnya, ia terbuai oleh lamunan ketika hidungnya masih panjang empat-lima hari lalu. Naigu bermuram durja mengenang masa jayanya, yang sekarang mereka rendahkan. Tapi sayang, Naigu tidak dapat memecahkan persoalan ini.


Dalam hati manusia ada dua perasaan yang saling bertentangan. Tentu saja tidak ada seorang pun yang tidak bersimpati terhadap nasib malang orang lain. Tapi jika ada orang yang ingin berusaha mengatasi nasib buruknya, maka akan ada orang yang tidak suka. Kalau sedikit dilebih-lebihkan, bahkan ada orang yang ingin agar orang yang bernasib malang itu tetap malang, dan bahkan ingin menjerumuskannya. Tanpa sadar berarti orang itu secara pasif sudah menaruh rasa permusuhan kepadanya. Hal yang entah mengapa membuat Naigu jengkel walaupun tak tahu sebabnya, tidak lain adalah sikap para pendeta dan orang-orang biasa di kuil Ikeno O; ia hanya dapat merasakan egoisme orang-orang itu tanpa menjerumuskannya.


Dengan demikian tiap hari Naigu semakin merasa kesal. Dimakinya setiap orang yang dirasa menjengkelkan. Karena perbuatannya itu, bahkan muridnya yang telah merawat hidungnya itu akhirnya mengumpat dan mengatakan bahwa Naigu pantas mendapatkan hukuman atas perbuatannya itu. Chudoji yang jahillah yang sebetulnya membuat dia sangat kesal dan marah.


Suatu hari, ketika terdengar anjing manyalak keras Naigu pergi keluar. Tanpa sengaja ia melihat Chudoji sedang megejar-ngejar anjing kerempeng dengan mengayunkan tongkat sepanjang sekitar 70 sentimeter di tangannya. Tidak hanya itu, ia mengejarnya sambil mengolok-olok,


“Awas kupukul hidungmu! Awas nanti kupukul hidungmu.” Naigu merampas tongkat dari tangan Chudoji dan memukulkan ke wajahnya. Tongkat itu adalah tongkat yang dulu dipakai untuk menyangga hidungnya. 

Naigu, sebaliknya, merasa menyesal telah memaksakan diri memendekkan hidung.


Pada suatu malam, tiba-tiba berisik suara denting lonceng-lonceng di menara kuil karena hempasan angin kencang terdengar oleh Naigu di pembaringan. Lebih daripada itu, udara terasa sangat dingin. Naigu yang sudah tua itu ingin tidur tapi tidak bisa. Dalam keadaan berbaring tapi tak bisa tidur itu tiba-tiba ia merasakan gatal-gatal pada hidungnya. Ketika diraba terasa hidungnya itu membengkak seperti berisi air. Bahkan sepertinya terasa agak panas.



“Karena saya memendekkannya dengan paksa, mungkin malah menyebabkan sakit.”

Ia menggumam sambil dengan khidmat menekan hidungnya, seperti ketika sedang membakar dupa dan menyajikan kembang kepada sang Buddha.


Keesokan harinya, ketika Naigu bangun pagi-pagi sekali seperti biasa, ia melihat daun-daun pohon Ginko dan Tochi berguguran di taman kuil hingga halaman itu berkilauan bagai disepuh emas. Mungkin disebabkan oleh embun yang turun dari atap menara. Sembilan lingkaran logam yang ada di situ berkilauan terkena cahaya mentari pagi yang masih agak redup. Zenchi Naigu berdiri di serambi sambil menggulung tirai jendela ke atas, lalu menghela nafas panjang.


Saat itulah sekali lagi muncul perasaan yang sudah hampir dilupakannya.


Naigu buru-buru meletakkan tangannya ke hidung. Yang teraba bukanlah hidung pendek seperti malam sebelumnya, melainkan hidungnya yang dulu, yaitu hidung panjang yang menjuntai 16 sentimeter dari atas bibir atas hingga ke bawah dagunya. Kini ia sadar bahwa hidungnya itu telah memanjang seperti sediakala dalam semalam. Bersamaan dengan itu, entah dari mana, perasaan lega seperti ketika merasakan hidungnya menjadi pendek muncul kembali.

“Kalau seperti sekarang tentu tidak akan ada orang yang menertawakanku lagi,” bisik Naigu dalam hati, sambil mengibaskan hidungnya yang panjang agar diembus sejuknya angin pagi musim gugur. 

Catatan: Guso adalah nama salah satu jabatan di kuil dan Yukaita adalah lantai papan.