Menolak
Nalar Murni, Mencegah Hidup Tanpa Nalar
Oleh
Bagus Takwin
“Apa yang kita sebut alam… adalah puisi
tersembunyi di balik tulisan rahasia yang menakjubkan; jika kita dapat memahami
rahasia itu, semestinya kita mengenali di dalamnya pengembaraan batin manusia
yang dalam keterpanaan menanggalkan waham dirinya saat mencari diri.” –
Ernst Cassirer -
ALAM yang memuat puisi
tersembunyi itu makin sulit dipahami sebab tulisan rahasianya pun makin tak
terbaca. Dunia bergerak cepat dan makin tak terpahamkan aturannya. Realitas di
dalamnya seolah menghindar dari teori-teori. Selalu ada yang luput dari
konstruksi filsafat dan ilmu. Setiap satu hal pelik terjelaskan, muncul masalah
baru yang menuntut konstruksi pengetahuan baru untuk memahaminya. Ibarat puzzle
dengan kepingan-kepingan tak terhingga, kompleksitas realitas dunia makin berbelit
memaparkan belantara acak yang seolah tak berpeta, tak berpola, tanpa kategori.
Apakah manusia harus berhenti membaca dan memahami realitas? Apakah itu tanda
berakhirnya kemampuan manusia memahami realitas? Menurut saya: tidak. Dunia
yang makin kompleks justru tanda bahwa usaha manusia memahami dunia punya efek.
Satu persatu tirai semesta tersingkap, makin ke dalam kompleksitas alam makin
tampak. Kompleksitas menantang manusia melanjutkan ekspedisi di alam semesta.
Pengembaraan batin yang mengingatkan manusia untuk menanggalkan satu lagi
waham: telah mengetahui dan menguasai segalanya. Manusia pun diingatkan untuk
mencari cara baru menafsir realitas, nalar yang memahami kompleksitas dunia.
Dari sejarah kita tahu,
ada banyak suara manusia yang begitu percaya diri mampu menjelaskan realitas.
Salah satunya dari Wilhelm von Humboldt yang dikutip Husain Heryanto dalam
“Imajinasi Tak Berjejak Ancam Padamkan Nalar” (suplemen “Bentara”, Kompas,
6-6-2003), “Berkat logos, nalar dan kata kita memanusiakan realitas dan jadilah
kita manusia sepenuhnya.” Begitu Humboldt meringkas fungsi hidup manusia di
alam semesta. Manusia menjadi variabel yang derajat kemanusiaannya ditentukan
oleh logos, nalar dan kata. Humboldt, dengan asumsi bahwa bahasa mewakili
‘weltansichten’ (pandangan dunia), menegaskan bahwa hanya dengan bahasa manusia
dapat menjalankan aktivitas yang bermakna di dunia. Pengertian bahasa mencakup
isi keteraturan dan struktur. Bahasa sebagai asas pengaturan untuk menata chaos
(ketiadaan aturan atau the absent of order) menjadi logos (keteraturan atau the
present of order). Keteraturan itu harus didukung oleh kepastian sebagai dasar
dan patokan yang menduduki tempat tertinggi dalam struktur bahasa. Nalarlah
yang menjadi puncaknya. Lalu, kata-kata menjadi elemen-elemen yang membangun
struktur bahasa. Maka, hiduplah manusia dengan frame of reference (kerangka
rujukan) dalam realitas yang ditertibkan logos, nalar dan kata. Dan dalam
pengertian Humboldt, itulah kehidupan manusia yang manusiawi.
Namun, siapa yang
menentukan logos, nalar dan kata? Darimana asalnya bahasa? Bagaimana nalar
diperoleh? Jawabannya belum jelas hingga kini. Banyak cerita tentang asal-usul
nalar, logos dan bahasa. Dalam berbagai cerita mitis, kita temukan bahwa bahasa
dan pengetahuan diperoleh manusia langsung dari ’Tuhan’ atau ’guru ilahi’.
Pendapat ini bisa dimaklumi dengan memahami premis pertama dari mitos. Dalam
mitos, segala sesuatu harus dikembalikan kepada kondisi asali, ke masa lalu
yang jauh dan mandiri, terisolasi dari yang kini dan oleh karenanya bersifat
murni. Masa kini hanya derivasi dari kondisi asali, tak punya penjelasan
sendiri. Berpikir mitis adalah berpikir yang menetapkan adanya
kepastian-kepastian tak terbantahkan, suci dan murni. Kebenaran dalam mitos
diklaim bersifat genetik, inherent dalam proposisi-proposisi yang dikandungnya.
Kebenaran yang selesai dan tuntas. Ternyata, cara berpikir mitis masih
ditemukan dalam pemikiran filosofis. Sejarah filsafat menunjukkan dalam ratusan
tahun bahwa masalah-masalah sistematik filsafat dibayangi oleh proposisi
genetik yang merupakan jawaban dari masalah-masalah genetik. Sekali masalah
genetik terjawab menghasilkan proposisi yang dianggap sebagai kepastian tak
terbantah maka masalah-masalah sistematik akan terselesaikan satu demi satu di
bawah naungan kebenaran proposisi genetik.
Cara Berpikir Mitis dalam Konstruksi Nalar Murni
Kita temukan cara berpikir
mitis dalam esei Husain Heriyanto tersebut di atas. Husain menjunjung tinggi
nalar yang tak dipengaruhi kepentingan, emosi, kehendak, imajinasi, dan
dorongan naluriah. Ia juga curiga bahwa pemikiran filosofis seperti positivisme
yang dipelopori Comte, idealisme Hegel, neopositivisme, filsafat eksistensi
Nietzsche, fenomenologi Heidegger, dan dekonstruksi Derrida adalah hasil intervensi
dominan fakultas mental non-nalar. Begitu pula klaim kemutlakan sains dan
agama. Husain tampaknya tergabung dalam clique of pure reason bersama
Parmenides, Zeno, Pythagoras, dan Plato. Mereka memuja nalar murni, sebuah
konsep hipotetis yang tak bisa ditunjuk wujud atau jejaknya. Nalar itu
diperoleh dari intuisi rasional. Sebuah misteri yang konon hanya diketahui oleh
orang-orang tertentu. (Untuk selanjutnya nalar menurut Husain Heryanto saya
sebut ’nalar murni’).
Manakah hasil nalar yang
murni itu? Dapatkah manusia benar-benar menggunakannya tanpa keterlibatan
fakultas mental yang lain? Konsep nalar yang murni ini lebih bersifat mistik
ketimbang filosofis. Ia bersifat mistik karena cerita asal-usulnya dikembalikan
pada sebuah wilayah misterius yang tak terjelaskan, sebuah wilayah yang
membutuhkan lompatan keyakinan untuk dapat memahaminya. Bagaimana mencapai
nalar itu, tetap jadi misteri. Secara ideologis-psikologis-sosiologis-politis
nalar murni ini perlu dipertanyakan sebab ia adalah sebuah belief, kepercayaan
yang tak terlacak asal-usulnya. Andai ada orang yang mengklaim sudah sepenuhnya
menggunakan nalar murni, bagaimanakah membuktikannya? Apa kita percaya begitu
saja? Kita biarkan ia menentukan kebenaran bagi yang belum mencapainya? Orang
seperti ini justru menakutkan karena kuasanya akan kebenaran amat besar,
mengingatkan kita pada ungkapan “kekuasaan cenderung korup.”
Di akhir paparannya,
Husain menggunakan Tuhan sebagai penjamin nalar. Puisi penutupnya menegaskan
itu: “…Bersama nalar yang berdisiplin dan bertanggung jawab/…Tuhan akan
menjulurkan rahasia jubahNya…” Dalam puisinya, cara berpikir mitik kita
temukan. Nalar yang bertualang akan sampai kepada asal, pada
proposisi-proposisi genetik dengan kebenaran inherent pada dirinya. Suatu akhir
ironis dan paradoksal. Ironis karena jatuh-bangunnya nalar berjuang
memerdekakan manusia berakhir pada kepastian yang dapat diperoleh lewat
keyakinan; mengingatkan kita pada semboyan Abad Pertengahan, faith over reason.
Setelah sekian jauh berjalan, akhirnya nalar manusia kembali ke pangkuan iman.
Masihkah kita bisa agungkan nalar? Paradoksal, karena nalar yang konon
membebaskan dunia, memanusiakan manusia, adalah ’sang pengemis’ yang menanti
juluran ’rahasia jubahNya’. Optimisme dari nalar semacam itu adalah hasil
kepercayaan akan adanya kuasa ’tangan gaib’ yang membimbing dan menopang, bukan
dari kekuatan nalar yang membebaskan. Nalar itu percaya pada kemampuan ’tangan
gaib’ menyatukan pluralitas setelah jubah-jubah keragaman tersingkap
menampakkan singgasana kebenaran yang hanya satu. Menyerahkan nalar kepada
’tangan gaib’ berarti mengembalikannya kepada kondisi asali, ke masa lalu yang
jauh dan mandiri, terisolasi dari yang kini. Pada hemat saya, nalar dalam
pengertian Husain Heryanto adalah nalar yang menetapkan kepastian-kepastian tak
terbantahkan, suci dan murni seperti kebenaran dalam mitos yang diklaim
genetik, inherent dalam proposisi-proposisinya; mengingatkan kita pada rasio
Hegel, benar dalam pikiran, sempurna sebagai ide namun tak mewujud dalam
kenyataan, tak suka bersinggungan dengan kenyataan.
Husain menulis bahwa nalar
murni berkemampuan untuk berdialog karena mengenal kategori subyek dan obyek,
aku dan dia, memahami perbedaan realitas dan ilusi, kenyataan dan keinginan.
Pernyataan ini tak punya alasan yang koheren. Dialog berarti percakapan antara
dua pihak yang sejajar, antara dua subyek. Dari asal katanya dialectic yang
mengandung pengertian penggalian berbagai kemungkinan kebenaran berdasarkan
proposisi yang belum pasti kebenarannya, dialog juga memungkinkan kedua pihak
yang terlibat menyampaikan kebenarannya masing-masing, saling menguji, mencapai
kesepakatan atau sepakat untuk tidak sepakat. Dialog tidak terjadi antara
subyek dan obyek sebab kedudukan keduanya tidak setara. Subyek bersifat aktif-menentukan
sedangkan obyek, pasif-ditentukan. Obyek ada dalam pengamatan dan pantauan
subyek. Hubungan subyek dan obyek tak pernah menjadi hubungan dialogis.
Hubungan ’aku dan dia’ pun bukan hubungan dialogis. ’Dia’ adalah kata ganti
orang ketiga dalam percakapan antara ’aku dan kau’. Sang aku berkata tentang
’dia’ kepada engkau, bukan berdialog dengan ’dia’ sebagai subyek dalam dialog.
Begitu pula halnya dalam aktivitas membedakan realitas dan ilusi, kenyataan dan
keinginan. Nalar murni yang seperti Matahari menyinari dan bahkan menghidupkan
Bumi jadi sebuah ketegasan memahami dunia, menegaskan kebenaran yang sudah
jadi, bukan kebenaran hasil dialog.
Pernyataan bahwa nalar
murni tidak akan pernah merengkuh absolutisme dengan alasan cara kerja nalar
pada hakikatnya adalah pengambilan jarak dari realitas, tidak logis sebab
pernyataan itu mencampuradukkan esensi dengan properti. Kemampuan nalar
memahami, mencermati, dan menentukan kebenaran-yang pada ujungnya bisa saja
jadi kebenaran yang diklaim mutlak-adalah esensi nalar. Absolutisme kebenaran
adalah persoalan esensi nalar. Sementara itu, kemampuan mengambil jarak adalah
properti dari nalar sebagai konsekuensi logis dari kemampuan nalar memahami dan
mengatur realitas. Mengambil jarak dapat saja dilakukan baik oleh mereka yang
berkuasa absolut maupun oleh mereka yang tidak berkekuasaan sama sekali.
Seorang tiran dapat saja berperilaku mengambil jarak tanpa mengurangi sama
sekali tiraninya. ’Kemampuan mengambil jarak’ tidak berhubungan kontradiktif
dengan ’absolutisme’. Dua hal itu dapat berjalan bersama, hubungan keduanya
bisa juxtapose (selaras).
Lebih jauh lagi, dilihat
dari esensi nalar, pernyataan itu mengandung paradoks dan di dalamnya
terkandung term-term yang bertentangan. Meski cara kerjanya adalah pengambilan
jarak dari kenyataan, nalar murni itu dianggap fakultas mental penentu
benar-salah dan baik-buruk. Pada akhirnya, nalar murni itu yang dijunjung
sebagai penentu kebenaran. Dalam pandangan Husain Heryanto, seolah nalar murni
ibarat orang yang sangat piawai berdialog, negosiasi, dan kompromi. Namun,
bagaimana sesuatu yang dianggap berkedudukan dan berwenang kebenaran paling
tinggi dapat tunduk atau mengikuti kemauan pihak-pihak yang di bawahnya?
Kemampuan nalar murni menyadari kelemahan dan keterbatasan-keterbatasannya tak
otomatis menjadikan nalar murni bebas dari klaim paling mampu memahami
realitas. Oleh karena nalar murni dianggap sebagai fakultas mental manusia
terunggul, pada akhirnya penentuan kebenaran diserahkan padanya. Dalam tataran
praktis, konsep nalar murni tak dapat dipakai menyelesaikan persoalan
pluralitas. Dunia yang terus-menerus menampilkan seabreg ide dan bentuk yang
berbeda satu sama lain adalah sebuah kompleksitas yang berbelit menuntut
pemahaman akan keragaman. Beragam pemikiran muncul, dilengkapi dengan alasan
masing-masing, berdebat satu dengan lainnya, tak putus-putus, tak habis-habis;
pengusung konsensus vs disensus, monisme vs pluralisme, rasionalisme vs
empirisme, idealisme vs materialisme, realisme vs antirealisme, subyektivisme
vs obyektivisme, hermeneutik vs dekonstruksi, teori sistem vs strukturalisme,
konstruktivisme vs pragmatisme, dan sebagainya. Bagaimana sejauh ini nalar
murni mengatasi rangkaian perdebatan itu? Setelah ribuan tahun diklaim sebagai
fakultas mental terunggul, nalar murni belum menunjukkan kemujarabannya.
Masalah-masalah dunia tak juga selesai oleh konsep nalar murni karena memang
identitasnya tak pernah jelas di wilayah praktis. Seperti mitos, nalar murni
adalah konstruksi manusia yang mungkin punya pengaruh psikologis namun jauh
dari realitas, sebuah kemurnian sakral yang sejak sediakala tak ingin dibantah.
Berangkat dari Kenyataan Plural, Menghindari Reduksi
Nalar
Keberatan terhadap nalar
murni terletak pada sifat mitis dan kecenderungannya menyingkirkan keberagaman
cara pikir dan mengklaim diri sendiri sebagai ’murni’. ’Waham kemurnian’ yang
menjauhkannya dari realitas tidak dapat menyelesaikan persoalan pluralitas.
Justru, masalah muncul dari waham ini. Saat ada banyak pihak dengan pemikiran
berbeda mengklaim telah menggunakan nalar murni, siapa yang harus dimenangkan?
Siapa juri yang menentukan ’nalar murni’ yang paling sahih? Dalam pengertian
yang berbeda dengan nalar murni, tak pelak lagi nalar dibutuhkan. Nalar adalah
fakultas mental yang memungkinkan manusia hidup dalam pluralitas, yang sudah
menggerakkan manusia mencapai bentangan peradaban di hadapan kita kini. Untuk
mengkonstruksinya, kita perlu berangkat dari realitas sehari-hari.
Membaca berbagai persepsi
atas fakta, dapat dipahami bahwa dunia yang kita hidupi mengandung pluralitas.
Dalam keseharian, kita dihadapkan dengan pluralitas opsi yang diturunkan dari
beragam budaya, pandangan dunia dan rentetan sugesti indrawi yang gencar
menggempur. Pada kenyataannya pluralitas itu tak bisa dihindari dan secara
psikologis kita tak mungkin luput dari pengaruhnya-positif atau negatif. Kita
tetap berkomunikasi dengan orang yang beragam betapapun minimalnya keterlibatan
kita dengan mereka. Kita pun tak dapat memilih satu saja budaya, pandangan
dunia atau sugesti indrawi sebagai stimulus yang hendak ditanggapi sebab dari
waktu ke waktu secara internal kita makin terpengaruh dan diberi watak oleh
pluralitas yang mengepung. Dalam kesehariannya, manusia selalu bergerak dari
satu kondisi ke kondisi lain yang berbeda masing-masing. Peradaban manusia
menunjukkan bahwa dari masa ke masa manusia makin mengarah ke cultural hybrids
(budaya hibrida), hidup dalam keragaman sebagai hasil percampuran budaya.
Masyarakat manakah yang masih murni sejak awal terbentuknya?
Dari psikologi kita
dapatkan data tentang pluralitas pikiran yang menghasilkan pernik-pernik
beragam bagi dunia. Kajian-kajian terhadap perkembangan kognitif bayi
menunjukkan bahwa sejak masa infansi manusia mengembangkan cara berpikir
sendiri untuk memahami realitas. T.G.R. Bower (1989) dalam The Rational Infant;
Learning in Infancy menjelaskan bahwa anak yang dalam perkembangannya diberi
kesempatan mempertahankan cara berpikirnya yang unik menunjukkan kemampuan
memahami realitas dan menyelesaikan masalah dengan baik. Logika yang
dikembangkan anak itu sering bertentangan dengan oposisi biner atau prinsip
identitas, hukum kontradiksi dan excluded middle, mengandung paradoks,
sebagian metaforikal dan tak jarang melompat-lompat. Namun, kemampuan pemecahan
masalahnya setara bahkan beberapa lebih baik dari orang-orang yang menguasai
logika formal. Logika yang digunakan adalah relevan logic, logika yang
relevan dengan masalah yang dihadapi. Dari sini dapat ditarik satu pemahaman
tentang pikiran manusia: ada lebih dari satu cara berpikir yang dapat digunakan
manusia untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya.
Pemahaman terhadap
keragaman realitas dan cara berpikir menunjukkan watak nalar manusia. Nalar
yang sejauh ini membantu manusia hidup dalam pluralitas mestilah punya atribut
mampu melintas batas, bergerak dari satu garis ke garis lain, dari satu jalur
ke jalur lain, dari satu kutub ke kutub lain. Keutamaan dari sifat nalar adalah
kelenturannya, fleksibilitas untuk bergerak dari satu hal ke hal lain, selain
tentu saja memiliki kemampuan memahami, menambah pengetahuan-pengetahuan baru
sembari terus menjelajahi kemungkinan baru. Secara metaforikal, untuk
menegaskan sifat kelenturannya saya menggunakan istilah ’nalar lincah dan
supel’ untuk nalar yang berbeda dari nalar murni. Dalam hemat saya, yang
dinamakan nalar mestilah mampu menari-nari sambil membawa manusia maju terus.
Geraknya memberi dinamika pada hidup, memberi optimisme, peduli pada dunia dan
isinya, menyentuh bumi, mencermati langit. Dengan nalar, manusia adalah makhluk
paling antusias mengarungi hidup, paling mampu memahami pluralitas, mengurai
kompleksitas dan peduli pada dunia. Nalar lincah dan supel mencakup fungsi
kapasitas reflektif manusia memayungi beragam jenis konstruksi rasionalitas
dewasa ini. Ia adalah fakultas mental yang secara setara bersikap netral
terhadap beragam jenis rasionalitas dan memungkinkan kita menjelaskan keragaman
rasionalitas. Nalar bukan hanya kapasitas untuk memahami berdasarkan kategori
atau prinsip identitas. Kemampuannya bukan hanya memilih dan memutuskan, tetapi
juga menengahi, mengkoordinasi, berimajinasi, bekerja sama dengan emosi dan
kehendak. Ia membawa manusia pada pengetahuan yang lebih baik dari sebelumnya
dan kepada kemungkinan-kemungkinan pengetahuan yang lebih baik di masa datang.
Nalar mencakup keseluruhan kemampuan mental menghasilkan puisi, filsafat,
sains, dan teknologi. Nalar membawa peradaban manusia menjadi lebih baik dengan
semua pengetahuan itu. Oleh karenanya, penempatan satu pengetahuan di atas
pengetahuan lain dengan nalarnya masing-masing merupakan reduksi terhadap
nalar.
Satu bentuk reduksi nalar
tampil dalam esei Donny Gahral Adian, Tanah Tak Berjejak Para Penyair (Suplemen
“Bentara”, Kompas, 2 Mei 2003). Jika Husain Heryanto menyuntikkan waham
kemurnian pada konsep nalar, Donny mereduksi nalar sebatas nalar puitis dalam
argumentasi yang kental oleh pikiran Heidegger. Donny memandang pesimistis
usaha manusia memahami realitas. Membayangkan keterasingan manusia
terkatung-katung di antara ribuan pulau, ia mengikuti para penyair yang dalam
usaha membebaskan diri, mati iseng sendiri, menyerah pada pluralitas. Hidup
seolah hanya berisi kabar muram dan keasingan di belantara ’dunia tanpa tanda’;
mengingatkan pada orang depresi atau neurosis yang menjauhi dunia, tak
bersinggungan dengan manusia lain. Dalam gambaran Donny seolah puisi hanya
berasal dari dan berakhir pada keterasingan. Padahal, puisi juga bisa berasal
dari cinta, kegembiraan menghirup hidup. Saya setuju bahwa bahasa puisi bukan
representasi dari gagasan tentang kebenaran atau kebaikan. Puisi adalah sebuah
kisah yang terlepas dari realitas konkrit, sebuah ’dunia sendiri’ yang tak
terkait dengan ’bumi’ dalam istilah Heidegger. Puisi menari di wilayah
imajiner, digerakkan oleh imajinasi hasil dari kelincahan nalar bekerja sama
dengan kehendak bebas mencari ruang-ruang baru yang kelak menjelma realitas.
Kajian psikologi menunjukkan bahwa kekayaan imajinasi dipengaruhi oleh kekayaan
pengetahuan. Prerequisite knowledge (pengetahuan awal) harus dimiliki seseorang
agar dapat berimajinasi. Semakin kaya pengetahuan awal, semakin kaya pula
imajinasi. Dari mana asal pengetahuan itu? Dari penalaran kategorikal yang
menghasilkan kesimpulan, bukan lamunan mengambang. Kesimpulan itu diolah dengan
nalar puitis agar lentur dan membuka kemungkinan penafsiran baru, untuk
kemudian dinalar secara kategorikal agar menghasilkan putusan baru. Jadi,
penalaran puitis dan penalaran kategorikal adalah bagian dari perwujudan nalar
dalam mengarungi kehidupan.
Dengan menempatkan ’nalar
yang memuisi’ dari para penyair, Donny mereduksi nalar dari keseluruhannya.
’Nalar lain’ ditempatkan di bawah nalar yang memuisi, ilmuwan. teknokrat dan
filsuf ditempatkan di bawah penyair; lalu ’nalar yang memuisi’ dinobatkan jadi
juru selamat yang menerangi dunia. Sang juru selamat membongkar rimba mesin,
menghancurkan peradaban yang menggelapkan dunia, sampai pada tanah lapang tak
berjejak, semesta yang mandi cahaya keasingan, banjir pesona kemungkinan. Lalu,
akan diapakan kemungkinan itu? Jawabannya: untuk dijajaki lagi, dibangun lagi,
dikembangkan lagi, dijadikan realitas lagi. Dengan apa? Dengan fungsi mental
manusia untuk memutuskan, menentukan dan membedakan yang satu dari yang lain.
Seperti juga penalaran puitis, fungsi mental menentukan dan membedakan itu ada
pada nalar. Keduanya, bersama dengan fungsi mental yang lain, memadu pada
nalar. Bukan hanya ’nalar yang memuisi’, bukan hanya nalar yang menegaskan
kategori, tetapi nalar sebagai keseluruhan. Begitulah nalar mengalirkan hidup
dan menggerakkan peradaban manusia; tak putus-putus sebab nalar adalah
kelincahan gerak mental dan refleksi manusia yang tak beku-beku mengaliri
kompleksitas dialektika beragam kemungkinan. Gerak yang tak lelah-lelah mencari
pulau baru bagi kehidupan manusia yang serba mungkin, terus mengembara,
berlayar, berlabuh dan berlayar lagi; terus menggali puisi tersembunyi di balik
tulisan rahasia yang menakjubkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar