Di samping fakta-fakta
sejarah ini diambil dari referensi kitab-kitab klasik yang sesungguhnya
dihormati, beredar luas, dan tersimpan tak jauh dari jangkauan pihak-pihak yang dikritik dan khalayak umum. Tapi mungkin karena saking
dihormati, maka dianggap sakral, dan tak berani disentuh, apalagi dibaca atau
membayangkan isinya. Lalu apa sih isi kitab-kitab tersebut. Di sini saya akan
menuliskan ulang beberapa contoh isi buku Farag Fouda berikut referensi
sumbernya, yang menceritakan bagaimana para sahabat Nabi yang katanya dijamin
masuk surga, justru saling mengangkat senjata menumpahkan darah sesama mereka.
Dan nyatanya jelas bahwa tiga di antara empat khalifah pertama semuanya mati
terbunuh. Kita bisa saja bilang dan menempelkan stigma bahwa para pembunuhnya
adalah orang munafik dan murtad. Tetapi apakah kita tidak mau mengecek semua
sentimen keagamaan itu, bahwa di balik peristiwa selalu ada kepentingan, motif,
atau peristiwa lain melatar belakanginya. Dan itu semua tidak semata persoalan
keimanan, atau bisa jadi hal lain yang berbeda.
1. Kisah pembunuhan orang
Murtad yang dilakukan oleh Abu Bakar
Apakah serangan Khalifah
Abu Bakar terhadap orang-orang yang dituduh murtad dari Islam, hanya karena
kemurtadan yang dilakukannya, atau karena mereka enggan membayar zakat kepada
pemerintahan baru yang dipimpin oleh Abu Bakar? Lalu apakah pembunuhan itu
bertumpu pada prioritas politik atau agama? Karena kalau pembunuhan terhadap
orang murtad adalah prioritas agama, tapi mengapa langkah kebijakan Abu Bakar
tidak diikuti oleh Umar Ibn Khattab.
Dalam kitab Tarikh
al-Thabari yang ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari,
juz III, dalam bab “Tarikh al-Rusul wa al-Muluk,” dikatakan bahwa alasan
kelompok yang tidak mau membayar zakat adalah dikarenakan semasa Nabi hidup,
mereka menyerahkan zakat kepada Nabi sebagai pengakuan kepemimpinan Nabi.
Sedangkan sepeninggal Nabi, mereka tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar dan
tidak mau menyerahkan zakat kepadanya. Mereka yang dituduh murtad sejatinya
tetap menjalankan shalat, namun hanya saja tidak mau membayar zakat kepada
pemerintah Umar.
Hal ini digambarkan oleh
puisi milik al-Huthai’ah:
Kami tunduk kepada
Rasulullah selama beliau berada di antara kita,
Wahai hamba-hamba
Allah, apa pedulinya dengan Abu Bakar,
Apakah beliau
mewariskannya kepada Abu Bakar setelah beliau meninggal,
Demi Allah, itu
merupakan kehancuran. (Tarikh al-Thabari, juz III, hlm. 246).
Qarrah Ibn Hubairah dari
Amman berkata pada Amr Ibn al-Ash, “Sesungguhnya bangsa Arab tidak menyukai
kamu lantaran memunguti pajak. Jika kalian menghapuskan pajak dari mereka,
niscaya mereka akan taat dan patuh kepada kalian. Dan jika kalian berkeras,
saya tidak akan pernah merasa menyetujui kalian (sebagai pemimpin).” Amr
berkata: “Kamu telah membangkang hai Qarrah.” Sementara di belakang mereka ada
suku Bani Amir, jika timbul perang di sana, maka gejolak baru akan timbul. Lalu
Amr berkata: “Apakah kamu akan mengancam kami dan menakut-nakuti kami dengan
bangsa Arab? Janji kamu adalah kehormatan ibumu. Demi Allah, aku pasti akan
menginjakkan kuda kepada kamu.” (Tarikh al-Thabari, juz III,
hlm. 259).
Sementara jawaban Abu
bakar tegas: “Jika mereka semua menolak membayar zakat, saya pasti memerangi
mereka karena alasan itu.” Peperangan terhadap mereka yang dituduh murtad
karena tidak mau membayar zakat kepadanya tidak hanya dilakukan sekali waktu,
tetapi beberapa kali, dan ada sejumlah riwayat yang menceritakannya.
Umar Ibn Khattab berkata
kepada Abu Bakar ketika dia hendak memerangi Musailamah: “Apakah anda hendak
memerangi mereka, sementara anda mendengar Rasulullah melarang memerangi orang
yang telah mengucapkannya?” Lalu Abu Bakar menjawab teguran itu: “Demi Allah,
saya tidak membedakan antara shalat dan zakat. Saya akan memerangi saja siapa
yang membedakan antara keduanya.” (musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal, juz I, hlm.
181).
Dalam riwayat lain Abu
Bakar mengirimkan surat pada kabilah-kabilah “pengemplang pajak” yang
dinyatakan murtad olehnya: “Sungguh saya mengirimkan kepada kalian si fulan
yang memimpin pasukan yang terdiri dari sahabat Muhajirin dan Anshar serta
orang-orang yang mengikuti mereka. Saya memerintahkan agar mereka tidak
memerangi siapa pun, dan tidak membunuhnya sampai ia meminta orang tersebut
kembali kepada seruan Nabi Allah.
Siapa saja yang menerima,
mengakui, menahan diri, dan berbuat baik maka ia akan diterima dan dibantu.
Sementara siapa saja yang membangkang maka saya memerintahkan untuk
memeranginya sampai tidak ada yang tersisa di antara mereka. Saya juga
memerintahkan agar membakar mereka, dan menjadikan anak serta istri mereka
sebagai tawanan. Mereka akan diterima hanya apabila mereka kembali kepada
Islam.” (Tarikh al-Thabari, Juz III, hlm. 251).
Lalu Abu Bakar mengirimkan
Khalid Ibn Walid ke daerah Bithah, namun sesampainya di sana, ia tak menemukan
seorang pun. Ia mendapatkan Malik Ibn Nuwaira ternyata telah memerintahkan
kelompoknya untuk membawa harta mereka masing-masing untuk mengungsi. Lalu
Khalid berkata kepada Malik: “Hai Bani Yarbu’, dahulu kita pernah membangkang
kepada para pemimpin kita ketika mereka mengajak kita menerima agama ini, dan
kita memengaruhi masyarakat untuk tidak melayani seruan itu, ternyata kita
tidak beruntung dan tidak pernah berhasil. Oleh karena itu, berhati-hatilah,
jangan kalian melawan kelompok yang diciptakan untuk mereka (keberhasilan).
Bubarlah kalian, pergilah menuju rumah kalian dan bersatulah dalam masalah
(pembayar zakat) ini.”.
Kemudian Malik dan anggota
kelompoknya kembali pulang ke rumah-rumah mereka. Meskipun demikian, Khalid Ibn
Walid tetap membunuh mereka semua, sekalipun mereka telah meneriakkan Azan dan
shalat. Pasukan Khalid menjadikan kepala mereka yang terbunuh kaki tungku dan
membakar tempat tinggal mereka. Setelah Malik bin Nuwairah tewas, Khalid
mengambil istri Malik sebagai istrinya, yaitu Ummu Tamim puteri al-Mihal.
Ketika berita perkawinan itu tersebar, Umar Ibn Khattab berang dan berkata
padanya: “Musuh Allah telah memerangi orang muslim, kemudian si muslim
membunuhnya, setelah itu si muslim merampas istrinya.” Meskipun demikian, Abu
Bakar menerima alasan tindakan Khalid Ibn Walid tersebut. (Tarikh al-Thabari, juz
III, hlm. 277-280).
2. Musyawarah ala Umar Ibn
Khattab
Banyak yang mengatakan
bahwa dewan musyawarah yang terdiri dari enam sahabat senior adalah cikal bakal
demokrasi dalam Islam. Walaupun sesungguhnya musyawarah yang dipraktikkan kala
itu adalah warisan sistem konsensus kesukuan sebelum masa pra-Islam, dan berbeda
dengan sistem demokrasi modern. Dalam sistem permusyawaratan suku, hasil
majelis merupakan putusan tertinggi yang tidak dapat diganggu gugat bahkan oleh
seorang pemimpin kabilah atau ketua suku. Bahkan yang menentang boleh
dibunuh.
Dewan permusyawaratan yang
dibentuk Umar terdiri dari Ali Ibn Thalib, Utsman Ibn Affan, Abdurrahman Ibn
Auf, Sa’ad Ibn Abi Waqash, Zubair Ibn al-Awwam, dan Thalhah. Sementara salah
seorang sahabat Ibn Abbas menyadari susunan tersebut, dia memperingatkan kepada
Ali: “Jangan masuk bersama mereka.” Namun Ali menjawab: “Saya tidak suka
perselisihan.” Abbas mengatakan: “Kalau demikian, kamu akan melihat apa yang
tidak kamu sukai.” Dan itulah yang terjadi. Dalam suatu waktu, Umar pernah
berkata kepada Shuhaib: “Lakukan Shalat bersama orang banyak selama tiga hari.
Kemudian masukkan juga Ali, Utsman, Zubair, Sa’ad, Abdurrahman, dan Thalhah
apabila dia datang. Libatkan pula anakku Abdullah Ibn Umar, namun ia tidak
memiliki hak apa pun. Kemudian pimpinlah (musyawarah) bersama mereka. Jika lima
di antara mereka sepakat dan merestui seseorang, sementara yang satu menolak
maka pecahkanlah kepalanya, atau tebaslah dengan pedang. Jika empat di antara
mereka sepakat dan dua di antara mereka menolak maka penggallah leher mereka
berdua. Jika tiga di antara mereka merestui salah satu, dan tiga lainnya
merestui orang lain. Maka serahkan keputusannya kepada Abdullah Ibn Umar, mana
di antara dua kelompok tersebut yang dia putuskan. Hendaklah mereka memilih
salah seorang di antara mereka. Jika mereka tidak puas dengan keputusan
Abdullah Ibn Umar, maka hendaklah mereka bersama dengan kelompok di mana
Abdurrahman Ibn Auf berada, dan bunuhlah sisanya yang tidak mengikuti
kesepakatan orang banyak. (Tarikh al-Thabari, juz IV, hlm. 229).
3. Pemberontakan Terhadap
Usman Dari Kalangan Sahabat
Keenam dewan yang dibentuk
oleh Umar seolah menandakan bahwa para sahabat senior ibarat kesatuan korps
yang seirama dan sejalan. Tetapi ketika Usman terbunuh ketika dirinya menjabat
sebagai Khalifah, banyak yang menunjukkan jarinya kepada seseorang bernama Amr
Ibn Hamiq al-Khuza’i yang kemudian dijustifikasi sebagai oportunis munafik.
Tapi tahukah siapa Amr Ibn Hamiq tersebut?
Amr Ibn Hamiq Ibn Kahin
Ibn al-Khuza’i memeluk Islam sebelum fathul Makkah dan peristiwa Hijrah, ada
pula yang mengatakan kalau ia memeluk Islam pada Haji Wada. Rasulullah pernah
berdoa untuknya: “Semoga Allah memberimu usia yang baik.” Ia hidup sampai umur
80 tahun, dan tidak ada sehelai uban di rambutnya. Namun dia adalah salah satu
dari empat orang yang menerobos rumah Usman, dan melompat ke dada Usman lalu
menikam dengan sembilan tikaman seraya berkata: “Adapun tiga tikaman karena
Allah, dan enam tikaman karena dendam di dalam dadaku.” (Ibn Katsir,
al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz VII, hlm. 208 & juz VIII, hlm. 48 ).
Amr Ibn Hamiq adalah salah
seorang sahabat Nabi yang disebutkan oleh Ibn Hajar dalam al-Tahzib,
juz VIII, no. 37 dan al-Taqrib, juz I, hlm. 733. Hadis yang diriwayatkan
olehnya dikodifikasi dalam Sunan Ibn Majah dan Sunan al-Nasa’I, dan dibenarkan
oleh Ibn Hatim perihal posisinya sebagai sahabat Nabi dalam kitab al-Jarh
wa al-Ta’dil, juz VI, no. 1248.
Tapi ternyata konspirasi
pembunuhan Usman tidak berhenti sampai pada penunjukkan siapa yang mengangkat
senjatanya. Para aktor yang merencanakan dan merekayasa pemberontakan tersebut
juga dipelopori oleh Sahabat, dan di antara mereka adalah orang-orang yang
berdiri bersama Usman dalam dewan permusyawaratan bentukan Khalifah sebelumnya,
yakni Umar.
Abdurrahman Ibn Auf,
misalnya menyerukan kepada Ali: “Ali, Kalau engkau berkenan. Silahkan angkat
senjata. Akupun akan angkat senjata. Ia (Usman) telah mengambil kembali apa
yang telah ia berikan kepadaku.” Kemudian ketika Abdurrahman Ibn Auf jatuh
sakit, ia sempat berkata kepada sahabat yang mengelilinginya: “Bersegeralah
kalian untuk memberontak terhadap Usman, sebelum kekuasaannya yang akan
menindas kalian.” Demikian pula Thalhah juga memprovokasi para pemberontak,
sampai-sampai Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali membuka akses Baitul
mal, lalu membagi-bagikan kepada mereka. Tetapi, saat itu Usman justru
membenarkan tindakan Ali sebagai tindakan untuk meredam konflik. Namun Usman
tetap saja terbunuh. Anehnya, justru kemudian Thalhah yang tampil sebagai orang
yang menuntut balas atas kematian Usman dalam kelompok tentara Aisyah melawan
tentara Ali dalam perang Jamal. Thalhah terbunuh oleh rekannya sendiri, Marwan
Ibn Hakam, di saat Marwan melontarkan tombaknya yang dimaksud untuk mengenai
musuh. Tatkala tombak itu mengenainya, ia berkata: “Inilah tombak yang
ditikamkan Allah kepadaku, Ya Tuhan, ambillah balasan untuk Usman dariku,
sampai engkau ridha.” (Thaha Husein, al-A’mal al-Kamilah li Taha Husein,
bagian al-Fitnah al-Kubra, vol. IV, hlm. 360-367).
Menurut Sejarawan al-Thabari,
jenazah Usman terpaksa bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ketika
mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja
dilarang menyhalatinya. Jasad orang tua berumur 83 tahun itu kemudian
dikuburkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi.
4. Berbalas Tuduhan Sesama
Sepupu
Abdullah Ibn Abbas dan Ali
Ibn Abi Thalib merupakan saudara sepupu. Sewaktu ia menjabat sebagai Khalifah,
Ali mendapatkan surat dari pengurus Baitul Mal di Bashrah, yakni Abu al-Aswad
al-Duwali. Surat itu memberitahukan bahwa orang kepercayaan Ali sekaligus
sepupunya telah mengambil apa yang bukan menjadi haknya tanpa sepengetahuannya.
Lalu Ali mengirimkan surat kepada Ibn Abbas, “Telah sampai padaku berita
tentang dirimu. Jika engkau benar-benar melakukannya, sungguh engkau telah
membuat murka Tuhan, jauh dari amanat, melawan pemimpinmu, dan khianat pada
umat. Aku mendengar engkau telah mengkavling tanah dan menikmati apa yang
engkau kuasai. Tunjukkan padaku laporanmu sebelum perhitungan Tuhan yang lebih
keras menimpamu.”.
Namun datang jawaban dari
Ibn Abbas, “Yang sampai kepadamu tak lebih dari kebohongan. Aku senantiasa
menghitung dan menjaga apa-apa yang berada di bawah wewenangku. Karena itu
janganlah kau memercayai rumor belaka. Semoga rahmat Tuhan menyertaimu.”.
Tetapi Ali bersikeras
ingin mengetahui laporan penggunaan uang milik Ibn Abbas, ia tidak mendapatkan
apa-apa kecuali sanggahan terhadap tuduhan dan ucapan salam. Lalu ia
mengirimkan surat balasan: “Saya tidak kuasa meninggalkan perkaramu sampai
engkau memberitahuku apa yang kau ambil dari pajak; dari mana engkau dapat, dan
engkau kemanakan harta itu. Bertakwalah kepada Allah dalam perkara yang aku
mandatkan kepadamu karena aku memintamu untuk menjaganya.”.
Sebenarnya Ibn Abbas masih
menjawab, namun tetap tidak menyentuh soal sumber penghasilan dan pengeluaran.
Lantas perseteruan itu semakin meruncing, Ali melemparkan tuduhan pada Ibn
Abbas telah menggelapkan keuangan negara, sementara Ibn Abbas menuduh Ali telah
menumpahkan banyak darah umat Islam demi meraih kekuasaan. Ibn Abbas menulis
surat: “Saya memahami mengapa anda terlalu membesar-besarkan perkara kebun yang
mendasari tuduhan anda. Demi Tuhan, dilontarkan Tuhan segala yang ada dalam
perut bumi ini kepadaku lebih baik bagiku daripada aku harus menumpahkan darah
umat hanya demi merebut kekuasaan dan kepemimpinan. Kirimkanlah kepadaku
pengganti yang engkau sukai!”.
Surat pengunduran diri
yang aneh tersebut membuat Ali sangat marah, “Apakah Ibn Abbas tidak ikut
menumpahkan darah?” katanya. Tetapi yang membuat Ali meledak-ledak adalah
setelah mengundurkan diri, Ibn Abbas justru menghimpun semua yang tersisa di
Baitul Mal yang jumlahnya sekitar 6 juta dirham. Lalu mengumpulkan sanak
keluarganya dan juga kalangan Bani Hilal di Bashrah untuk mencari perlindungan.
Tetapi para penduduk Bashrah yang marah mengancam Bani Hilal untuk meninggalkan
harta yang diberikan oleh Ibn Abbas sebagai upah mereka, hal itu guna
menghindari pertumpahan darah. Tetapi akhirnya Ibn Abbas melarikan diri ke
Mekkah, dan di sana dia membeli tiga orang budak, masing-masing tiga ribu
dinnar untuk melayaninya. Ironisnya adalah, orang yang katanya meriwayatkan
ratusan hadis ini sampai sekarang dianggap sebagai periwayat hadis yang
produktif, sementara Ali Ibn Abi Thalib justru menyebutnya telah memakan yang
haram dan minum dari yang haram. (Tarikh al-Thabari, juz IV, hlm. 107-109.
Lalu apa yang tertinggal
bagi kita? Inilah dunia manusia, bukan malaikat. Tidak ada kesucian yang
mutlak, dunia nyata yang tak pernah terlepas dari salah dan dosa. Lalu di mana
masa keemasan itu, masa yang diibaratkan seperti alam surgawi. Seperti ketika
ada seorang tokoh di acara TV berjudul Islam KTP, tokoh itu bilang bahwa ada
manusia-manusia yang tidak bisa tersentuh oleh setan, dia adalah empat khalifah
pertama. Tapi mungkin tokoh itu tidak bisa baca kitab-kitab klasik atau hanya
mengikuti skenario belaka. Padahal empat khalifah pertama sama manusianya
dengan kita, yang dapat tergoda dan terpuruk.
Sementara dinamika
perubahan terus terjadi tatkala agama bertautan dengan kekuasaan. Orang memakai
dalih agama untuk memertahankan tahta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tetapi
sebenarnya mereka tahu: tak ada yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, mereka
harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta. (Goenawan Mohamad,
epilog dalam al-Haqiqat al-Ghaibah versi terjemahan Indonesia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar