Oleh Annemarie
Schimmel
Pada suatu masa, hiduplah
seorang gadis kecil di Erfurt, sebuah kota kecil nan indah di Jerman tengah.
Sebuah kota yang dihias katedral-katedral bergaya Gothik dan sekaligus pusat
industri holtikultura. Mistikus besar abad pertengahan, Meister Eckhart, pernah
berkhotbah di sini; Luther pernah menunaikan sumpahnya untuk menjadi biarawan
dan menghabiskan hidupnya beberapa tahun di balik dinding biara Augustine.
Goethe sang sastrawan besar Jerman pun pernah bertemu dengan Napoleon di
Erfurt karena jarak kota ini dari pusat kesusastraan Jerman, Weimar dan Jena,
hanya beberapa jam ditempuh dengan berkuda atau berkereta.
Gadis kecil itu amat
menyukai membaca dan menggambar, namun sama sekali tak menyukai kegiatan di
luar ruangan. Karena ia adalah satu-satunya anak, pun lahir agak lambat, kedua
orangtuanya selalu menaunginya dengan segenap kasih sayang dan penjagaan.
Ayahnya yang berasal dari kota lain, juga di Jerman tengah tak jauh dari
Erzgebirge, adalah seorang pegawai di Kantor Pos dan Telegraf; sementara ibunya
yang dibesarkan di bagian utara negeri itu, tak jauh dari perbatasan Belanda,
adalah putri dari keluarga yang selama berabad-abad hidup dari bisnis
pelayaran. Ayah gadis cilik itu adalah seorang lelaki yang memiliki pembawaan
lembut dan baik hati. Kesukaannya terhadap bacaan-bacaan tasawuf dari berbagai
agama seakan melengkapi kecenderungan beragama istrinya yang dibesarkan dalam
tradisi keagamaan kaku khas Kristen Protestan Jerman Utara, yang berjalin
dengan kemampuan meramal—sebuah kelebihan yang tidak jarang dimiliki oleh
mereka yang hidup berdampingan dengan laut yang sifatnya sering tak terduga.
Gadis cilik itu senang
menghabiskan liburan musim panasnya di desa neneknya, mendengarkan kisah-kisah
mengenai keluarga mereka yang dengan gagah berani menantang gelombang besar
antara Cape Horn ke India. Atau tentang kakeknya yang kehilangan perahu
kecilnya di dekat Rio Grande del Sul sesudah lebih dari seratus hari berlayar
dengan membawa barang-barang berharga. Semua cerita ini selalu lekat dengan
keluarganya. Belakangan, adik ibunya menulis novel dan sejumlah
naskah sandiwara radio mengenai kehidupan masyarakat tepi laut. Kedua
orangtuanya menyukai puisi. Ayahnya sering membacakan puisi-puisi Jerman dan,
belakangan, puisi klasik Prancis untuk keluarga kecilnya pada hari Minggu sore.
Si gadis kecil itu
memiliki sebuah buku dongeng tentang peri-peri terbitan tahun 1827. Pada usia
tujuh tahun ia mulai senang memeriksa kesalahan-kesalahan ejaan yang ia temui
di buku itu: sebuah metode ortografis kuno yang kerap digunakan sebelum bahasa
Jerman mengalami reformasi tahun 1900. Kebiasaan ini ternyata menjadi semacam
persiapan untuk meneliti ribuan lembar naskah yangharus ia baca di kelak
kemudian hari.
Di dalam buku itu ada satu
cerita yang nyaris dihafalnya di luar kepala –sebuah cerita yang tak ada duanya
dan tak dijumpainya dalam semua buku yang ia baca sepanjang hidupnya. Dongeng
itu berjudul “Padmanaba dan Hasan”, yang menceritakan kunjungan seorang suci
India (Padmanaba) ke Damaskus, di mana ia mengenalkan seorang bocah Arab
(Hasan) kepada misteri kehidupan batin dan dunia bawah tanah, tempat di mana
peti jenazah raja yang mulia diletakkan di tengah hamparan permata. Di atas
peti itu terdapat tulisan “Orang-orang tertidur, dan ketika mati baru
mereka terjaga.” Sepuluh tahun kemudian, ketika gadis kecil itu
berusia 18 tahun, ia mengetahui bahwa kata-kata itu adalah sebuah kalimat yang
dinisbahkan kepada Nabi Muhammad: sosok yang teramat dicintai oleh para sufi
besar di dunia Islam.
Gadis kecil itu menyukai sekolah,
terutama pelajaran bahasa seperti Prancis dan Latin. Ia pernah mengejutkan
guru sekolah menengahnya dengan esai pertamanya yang berjudul “Surat untuk
Bonekaku” yang bercerita mengenai pemberontakan Boxer di China. Di dalam esai
itu ia mengutip beberapa karakter asing dari sebuah buku terbitan British Bible
Society berjudul God’s Wordin Many Languages. Seperti ayahnya, ia
juga menyukai puisi. Salah satu penyair favoritnya adalah Friedrich Rickert
(1788-1866), seorang penyair Orientalis terkemuka yang karya-karyanya dalam
bahasa Arab dan Persia sangat memukau gadis itu.
Cita-cita terbesar gadis
itu adalah belajar lebih banyak mengenai kebudayaan Timur. Kekuatan mimpinya
itulah barangkali yang mempertemukannya dengan guru bahasa Arabnya yang
pertama, ketika ia berusia 15 tahun. Baru seminggu ia langsung tergila-gila
dengan pelajarannya, karena sang guru tidak hanya mengajarinya tata-bahasa Arab
tetapi juga sejarah dan kebudayaan Islam. Bagi gadis itu, seminggu berarti dari
Kamis ke Kamis, hari ketika dia pergi ke kelas bahasa Arab, meskipun ia
menyimpan semua minat yang menyala itu dalam hati saja. Siapa di antara
teman sekelasnya yang akan mengerti, atau siapa di antara keluarga dan
kenalannya yang akan menghargai seorang gadis yang mempelajari bahasa Semit
pada waktu fanatisme politik dan nasionalisme begitu memekatkan udara?
Gadis itu kemudian
melompati dua kelas dan lulus sekolah menengah pada usia 16 tahun. Sayang
sekali untuk itu dia harus melahap materi tujuh tahun bahasa Inggris hanya
dalam waktu enam bulan, dan itu membuat nilai bahasa Inggrisnya terendah di
antara nilai-nilai cemerlang pelajaran lainnya. Tapi mungkin ini alasan
mengapa Tuhan yang Maha Baik menganggap perlu mengirim gadis itu ke Harvard
kelak untuk memperbaiki bahasa Inggrisnya.
Sebelum masuk ke
universitas, si gadis harus menjalani Arbeitsdienst, masa kerja wajib di
mana seorang ditempatkan di pedesaan untuk bekerja sebagai pembantu dan pekerja
pertanian di wilayah miskin tanpa dibayar. Di situlah saya belajar hal-hal
penting seperti membersihkan kandang babi dan memanen bit seraya bersusah payah
mempertahankan bahasa Arab yang pernah saya pelajari. Tekad yang membara dan
terus menggenggam erat idealisme, barangkali itu yang membuat saya menjadi
satu-satunya gadis yang tidak langsung didaftarkan sebagai anggota partai Nazi
–sesuatu yang sangat lumrah dijalani ketika seseorang mencapai usia 18 tahun.
Di dalam kamp kerja wajib
itulah kami mendengar kabar pecahnya Perang Dunia Kedua. Peristiwa itu menjadi
alasan bagi pemimpin kami untuk dengan bangga mengumumkan bahwa kami bisa
tinggal lebih lama dari waktu enam bulan yang ditetapkan untuk melayani herrlicher Führer.
Hormat yang tidak pernah ada untuk Führer membuat saya tak punya alasan untuk
bergembira mendengar berita ini.
Ayah saya dikirim ke
Berlin pada hari pertama perang pecah. Tak lama kemudian ibu mendapat kabar
bahwa saya bisa dikeluarkan dari Arbeitsdienst sekiranya saya mau
mempelajari ilmu-ilmu pasti. Mengapa tidak? Lagi pula, saya menyukai fisika dan
membayangkan segera setelah itu saya bisa mempelajari ilmu Islam, terutama
mineralogi. Setelah tiba di Berlin dan mendaftar ke Fakultas Seni dan Sains,
saya melanjutkan pelajaran bahasa Arab dan mengambil kursus Seni Islam. Pada
akhir trimester pertama (setiap semester ketika itu terpaksa diperpendek), pada
Natal 1939, Profesor Kühnel, guru paling senior dalam bidang Seni Islam, sambil
tersenyum mendorong saya untuk melupakan sains dan berkonsentrasi pada
ilmu-ilmu Islam. Beliau juga berjanji akan mengangkat saya sebagai asistennya
begitu studi doktoral saya selesai. Namun ini semua tak lebih dari impian.
Setelah berhasil meraih gelar Ph.D pada November 1941, saya bergabung dengan
Departemen Luar Negeri sebagai penerjemah. Namun karena museum bukan hal
penting pada masa perang, tugas saya dialihkan ke angkatan bersenjata. Tapi 40
tahun kemudian, mimpi pertama itu benar-benar terwujud, ketika saya diundang
untuk bergabung dengan Metropolitan Museum sebagai pekerja paruh waktu
melakukan apa yang dulu diinginkan Kühnel, yakni bekerja di bidang kaligrafi
Islam, bidang yang saya ajarkan di Harvard selama beberapa tahun.
Belajar di Berlin pada
masa perang –setidaknya untuk saya– adalah seperti hidup di pengasingan yang
jauh dari realitas politik. Para professor saya adalah ahli-ahli terkemuka di
bidangnya masing-masing. Salah satu yang paling penting untuk saya adalah seorang
perempuan professor, Annemarie von Gabain (w. 1993). Saya sangat berutang budi
kepadanya karena telah memperkenalkan kepada bidang Turkologi. Saya
menganggapnya sebagai kakak sendiri, apa saya. Kalau Richard Hartmann
mengajarkan kepada kami mengenai pendekatan sejarah-kritis untuk mendalami
sejarah dan kebudayaan Turki-Arab dan Turki-Usmani, maka Hans Heinrich
Schaeder, si jenius, yang membawa kami ke pantai-pantai terjauh sejarah dan
kebudayaan secara umum. Ketika mengetahui mengenai minat saya kepada Maulana
Rumi (yang diawali dari membaca terjemahan bebas Rückfert atas karya-karya
Rumi), beliau menyarankan saya membaca Selected Poems from the Divan-I
Shams-i Tabriz karya R.A Nicholson (yang saya salin dengan tangan), dan
studi-studi Louis Massignon tentang sufi-martir al Hallaj (yang dihukum mati di
Baghdad pada tahun 922). Tiga bulan kemudian, tepatnya pada Natal 1940, saya
memberinya kejutan dengan terjemahan karya Rumi dan Hallaj yang sampai saat ini
saya anggap masih sangat berharga. Setelah perang usai, Schaeder memperkenalkan
saya kepada puisi-puisi T.S Elliot, dan alih-alih melakukan kunjungan singkat
ke Göttingen untuk menghadiri forum-forum diskusi mengenai puisi Persia, kami
membaca Four Quartetsyang baru saja tiba di mejanya. Sebagai kelanjutannya
ia menyarankan saya membaca John Donne, yang puisi-puisinya sangat memukau
saya. Sedemikian terpukaunya sehingga 20 tahun kemudian saya menerbitkan
koleksi puisi tersebut dalam bahasa Jerman. Gaya puisi John Donne sangat mirip
dengan puisi-puisi mistik Persia yang amat saya gandrungi.
Baik Schaeder maupun
Kühnel menikah dengan perempuan-perempuan baik hati yang mendorong saya
menekuni bidang ini. Mungkin ini karena sebagai perempuan saya tidak pernah
merasa menjadi orang asing di dunia akademis, di mana perempuan memainkan peran
yang sama seperti laki-laki.
Enam semester waktu
belajar adalah periode yang sangat tenang. Setiap tiba waktu libur kami harus
bekerja di pabrik. Sepuluh jam per-hari. Saya sering pulang dengan tangan
berdarah untuk meneruskan menulis disertasi mengenai sejarah Mamluk. Saya
belajar banyak dari beratnya kehidupan para perempuan di pabrik. Saya juga
bersyukur atas penerimaan mereka terhadap perempuan asing yang kehadirannya
memastikan beberapa orang di antara mereka bisa mengambil cuti dengan tetap
dibayar. Setelah menyelesaikan masa studi, saya tidak hanya bekerja di
Kementerian Luar Negeri, namun juga menyiapkan indeks mengenai sejarah Arab
abad ke-16 setebal 1500 halaman yang kemudian diterbitkan di Istanbul ketika
perang masih berkecamuk.
Awan kelam peperangan
semakin mencekam, bom-bom semakin sering diledakkan. Saya ingat pernah berjalan
kaki selama empat jam melalui jalan-jalan yang dipenuhi kobaran api untuk
mencari seorang kolega, menyediakan tempat berteduh bagi teman-teman yang
kehilangan segalanya, dan terus membaca situasi politik yang kian memburuk
melalui tumpukan telegram yang harus kami terjemahkan di kantor. Namun, di
sela-sela waktu yang ada, saya tetap setia dengan bahan-bahan mengenai dinasti
Mamluk dan menulis Habilitationsschrift. Saya menyerahkan tulisan itu pada
1 April 1945, tepat pada hari kantor kami harus pindah ke Jerman tengah untuk
alasan keamanan. Di sebuah desa berciri khas Sakson kami ditawan oleh tentara
Amerika dan terpaksa mendekam selama seminggu di sebuah penjara bawah tanah
sebelum dikirim ke Marburg. Pada saat itu pihak-pihak yang bertikai sepakat
melakukan gencatan senjata. Selanjutnya kami menjadi tawanan yang dipekerjakan
di asrama-asrama pelajar. Itu adalah hal terbaik yang bisa kami harapkan
terjadi: setidaknya sekarang ada tempat berteduh dan makanan, meskipun sangat
ketat dijatah. Segera setelah itu kami membentuk semacam universitas di
pengungsian, belajar dan mengajar untuk menyesuaikan diri dengan komunitas
kecil yang sebenarnya aneh itu.
Suatu hari seorang tamu
penting datang mengunjungi kami. Ia adalah Friedrich Heiler, seorang ahli
sejarah agama yang terkenal dan Dekan Fakultas Seni di Universitas Marburg yang
kabarnya akan segera dibuka. Ia berbicara mengenai Nathan Söderblom, ketua
Gerakan Ekumenis, Uskup Agung Swedia, dan juga seorang sejarawan agama (w.
1931). Meskipun kesan saya bahwa pembicara yang sangat terpelajar itu tidak
memperhatikan kehadiran saya selama diskusi, namun ternyata dua bulan kemudian,
ketika masa kerja di situ akan segera berakhir, ia mengundang saya datang ke
rumahnya. Apakah saya bersedia untuk tinggal di Marburg? Mereka memerlukan
seorang professor dalam bidang bahasa Arab dan studi-studi keislaman,
menggantikan professor aktif yang ternyata adalah pengikut Nazi militan. Saya
bisa dibilang sama sekali tidak siap. Dan hanya karena saya membawa satu
kopiHabilitationsschrift di kopor saya –serta beberapa naskah berbahasa
Persia dan Arab– saya akhirnya setuju. Akhirnya setelah tiga bulan tinggal
bersama bibi saya di Jerman utara, saya menyampaikan pidato pelantikan saya
pada 12 Januari 1946, ketika usia saya belum genap 24 tahun. Peristiwa itu bisa
dibilang sebuah momen penting di kota sekecil Marburg. Satu-satunya perempuan
di fakultas, Luise Berthold, seorang ahli Jerman Abad Pertengahan, menyambut
saya dengan mengatakan, “Putriku sayang, ingatlah satu hal –lelaki adalah musuh
kita!”
Meskipun demikian, saya
sangat menikmati waktu-waktu mengajar di sana. Tak seorang pun bisa
membayangkan, bagaimana bahagianya para guru dan murid selama tahun-tahun
tersebut. Tak ada lagi perang, hanya ada kebebasan untuk berbicara, membaca
buku yang sebelumnya tidak pernah kami dengar sama sekali, menyimak
kuliah-kuliah mencerahkan mengenai kembalinya kaum imigran, dan meskipun perut
kami hampir tak pernah kenyang, kami terus “makan” dan minum dari mata air ilmu
pengetahuan. Setiap kelas –apakah itu bahasa Arab, Persia atau Turki, atau
kelas pengantar kesusastraan dan seni Islam– menjanjikan petualangan, termasuk
karena beberapa mahasiswa saya pasca perang itu lebih senior dibanding saya.
Selain itu saya pun semakin erat berhubungan dengan Heiler dan bekerja sama
dengannya untuk bidang studi sejarah agama, membantu di kelasnya untuk
materi-materi keislaman dan belajar banyak mengenai pendekatan fenomenologi
terhadap agama, Sejarah Gereja dan pelik-melik yang menyertai perkembangannya.
Saya juga menikmati persekutuan doa Jerman yang biasa diadakan Heiler setiap
hari Minggu di sebuah kapel kecil di rumahnya.
Tapi masa itu sekaligus
adalah masa ketika kami harus belajar mengenai berbagai trauma yang berasal
dari masa kanak-kanak maupun sesudahnya. Trauma yang terlalu perih untuk
diakui, tapi sekaligus hampir takpernah disadari.
Diterjemahkan dari Bahasa
Ingris oleh Nurul Agustina
Apakah Anne Marie Schimmel masuk islam kah?
BalasHapus