Senin, 28 Juli 2014

Narasi Otobiografis Annemarie Schimmel




Oleh Annemarie Schimmel

Pada suatu masa, hiduplah seorang gadis kecil di Erfurt, sebuah kota kecil nan indah di Jerman tengah. Sebuah kota yang dihias katedral-katedral bergaya Gothik dan sekaligus pusat industri holtikultura. Mistikus besar abad pertengahan, Meister Eckhart, pernah berkhotbah di sini; Luther pernah menunaikan sumpahnya untuk menjadi biarawan dan menghabiskan hidupnya beberapa tahun di balik dinding biara Augustine.  Goethe sang sastrawan besar Jerman pun pernah bertemu dengan Napoleon di Erfurt karena jarak kota ini dari pusat kesusastraan Jerman, Weimar dan Jena, hanya beberapa jam ditempuh dengan berkuda atau berkereta.

Gadis kecil itu amat menyukai membaca dan menggambar, namun sama sekali tak menyukai kegiatan di luar ruangan. Karena ia adalah satu-satunya anak, pun lahir agak lambat, kedua orangtuanya selalu menaunginya dengan segenap kasih sayang dan penjagaan. Ayahnya yang berasal dari kota lain, juga di Jerman tengah tak jauh dari Erzgebirge, adalah seorang pegawai di Kantor Pos dan Telegraf; sementara ibunya yang dibesarkan di bagian utara negeri itu, tak jauh dari perbatasan Belanda, adalah putri dari keluarga yang selama berabad-abad hidup dari bisnis pelayaran. Ayah gadis cilik itu adalah seorang lelaki yang memiliki pembawaan lembut dan baik hati. Kesukaannya terhadap bacaan-bacaan tasawuf dari berbagai agama seakan melengkapi kecenderungan beragama istrinya yang dibesarkan dalam tradisi keagamaan kaku khas Kristen Protestan Jerman Utara, yang berjalin dengan kemampuan meramal—sebuah kelebihan yang tidak jarang dimiliki oleh mereka yang hidup berdampingan dengan laut yang sifatnya sering tak terduga.

Gadis cilik itu senang menghabiskan liburan musim panasnya di desa neneknya, mendengarkan kisah-kisah mengenai keluarga mereka yang dengan gagah berani menantang gelombang besar antara Cape Horn ke India. Atau tentang kakeknya yang kehilangan perahu kecilnya di dekat Rio Grande del Sul sesudah lebih dari seratus hari berlayar dengan membawa barang-barang berharga. Semua cerita ini selalu lekat dengan keluarganya. Belakangan, adik ibunya menulis novel dan sejumlah naskah sandiwara radio mengenai kehidupan masyarakat tepi laut. Kedua orangtuanya menyukai puisi. Ayahnya sering membacakan puisi-puisi Jerman dan, belakangan, puisi klasik Prancis untuk keluarga kecilnya pada hari Minggu sore.

Si gadis kecil itu memiliki sebuah buku dongeng tentang peri-peri terbitan tahun 1827. Pada usia tujuh tahun ia mulai senang memeriksa kesalahan-kesalahan ejaan yang ia temui di buku itu: sebuah metode ortografis kuno yang kerap digunakan sebelum bahasa Jerman mengalami reformasi tahun 1900. Kebiasaan ini ternyata menjadi semacam persiapan untuk meneliti ribuan lembar naskah yangharus ia baca di kelak kemudian hari.

Di dalam buku itu ada satu cerita yang nyaris dihafalnya di luar kepala –sebuah cerita yang tak ada duanya dan tak dijumpainya dalam semua buku yang ia baca sepanjang hidupnya. Dongeng itu berjudul “Padmanaba dan Hasan”, yang menceritakan kunjungan seorang suci India (Padmanaba) ke Damaskus, di mana ia mengenalkan seorang bocah Arab (Hasan) kepada misteri kehidupan batin dan dunia bawah tanah, tempat di mana peti jenazah raja yang mulia diletakkan di tengah hamparan permata. Di atas peti itu terdapat tulisan “Orang-orang tertidur, dan ketika mati baru mereka terjaga.” Sepuluh tahun kemudian, ketika gadis kecil itu berusia 18 tahun, ia mengetahui bahwa kata-kata itu adalah sebuah kalimat yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad: sosok yang teramat dicintai oleh para sufi besar di dunia Islam.

Gadis kecil itu menyukai sekolah, terutama pelajaran bahasa seperti Prancis dan Latin. Ia pernah mengejutkan guru sekolah menengahnya dengan esai pertamanya yang berjudul “Surat untuk Bonekaku” yang bercerita mengenai pemberontakan Boxer di China. Di dalam esai itu ia mengutip beberapa karakter asing dari sebuah buku terbitan British Bible Society berjudul God’s Wordin Many Languages. Seperti ayahnya, ia juga menyukai puisi. Salah satu penyair favoritnya adalah Friedrich Rickert (1788-1866), seorang penyair Orientalis terkemuka yang karya-karyanya dalam bahasa Arab dan Persia sangat memukau gadis itu.

Cita-cita terbesar gadis itu adalah belajar lebih banyak mengenai kebudayaan Timur. Kekuatan mimpinya itulah barangkali yang mempertemukannya dengan guru bahasa Arabnya yang pertama, ketika ia berusia 15 tahun. Baru seminggu ia langsung tergila-gila dengan pelajarannya, karena sang guru tidak hanya mengajarinya tata-bahasa Arab tetapi juga sejarah dan kebudayaan Islam. Bagi gadis itu, seminggu berarti dari Kamis ke Kamis, hari ketika dia pergi ke kelas bahasa Arab, meskipun ia menyimpan semua minat yang menyala itu dalam hati saja. Siapa di antara teman sekelasnya yang akan mengerti, atau siapa di antara keluarga dan kenalannya yang akan menghargai seorang gadis yang mempelajari bahasa Semit pada waktu fanatisme politik dan nasionalisme begitu memekatkan udara?

Gadis itu kemudian melompati dua kelas dan lulus sekolah menengah pada usia 16 tahun. Sayang sekali untuk itu dia harus melahap materi tujuh tahun bahasa Inggris hanya dalam waktu enam bulan, dan itu membuat nilai bahasa Inggrisnya terendah di antara nilai-nilai cemerlang pelajaran lainnya. Tapi mungkin ini alasan mengapa Tuhan yang Maha Baik menganggap perlu mengirim gadis itu ke Harvard kelak untuk memperbaiki bahasa Inggrisnya.

Sebelum masuk ke universitas, si gadis harus menjalani Arbeitsdienst, masa kerja wajib di mana seorang ditempatkan di pedesaan untuk bekerja sebagai pembantu dan pekerja pertanian di wilayah miskin tanpa dibayar. Di situlah saya belajar hal-hal penting seperti membersihkan kandang babi dan memanen bit seraya bersusah payah mempertahankan bahasa Arab yang pernah saya pelajari. Tekad yang membara dan terus menggenggam erat idealisme, barangkali itu yang membuat saya menjadi satu-satunya gadis yang tidak langsung didaftarkan sebagai anggota partai Nazi –sesuatu yang sangat lumrah dijalani ketika seseorang mencapai usia 18 tahun.

Di dalam kamp kerja wajib itulah kami mendengar kabar pecahnya Perang Dunia Kedua. Peristiwa itu menjadi alasan bagi pemimpin kami untuk dengan bangga mengumumkan bahwa kami bisa tinggal lebih lama dari waktu enam bulan yang ditetapkan untuk melayani herrlicher Führer. Hormat yang tidak pernah ada untuk Führer membuat saya tak punya alasan untuk bergembira mendengar berita ini.

Ayah saya dikirim ke Berlin pada hari pertama perang pecah. Tak lama kemudian ibu mendapat kabar bahwa saya bisa dikeluarkan dari Arbeitsdienst sekiranya saya mau mempelajari ilmu-ilmu pasti. Mengapa tidak? Lagi pula, saya menyukai fisika dan membayangkan segera setelah itu saya bisa mempelajari ilmu Islam, terutama mineralogi. Setelah tiba di Berlin dan mendaftar ke Fakultas Seni dan Sains, saya melanjutkan pelajaran bahasa Arab dan mengambil kursus Seni Islam. Pada akhir trimester pertama (setiap semester ketika itu terpaksa diperpendek), pada Natal 1939, Profesor Kühnel, guru paling senior dalam bidang Seni Islam, sambil tersenyum mendorong saya untuk melupakan sains dan berkonsentrasi pada ilmu-ilmu Islam. Beliau juga berjanji akan mengangkat saya sebagai asistennya begitu studi doktoral saya selesai. Namun ini semua tak lebih dari impian. Setelah berhasil meraih gelar Ph.D pada November 1941, saya bergabung dengan Departemen Luar Negeri sebagai penerjemah. Namun karena museum bukan hal penting pada masa perang, tugas saya dialihkan ke angkatan bersenjata. Tapi 40 tahun kemudian, mimpi pertama itu benar-benar terwujud, ketika saya diundang untuk bergabung dengan Metropolitan Museum sebagai pekerja paruh waktu melakukan apa yang dulu diinginkan Kühnel, yakni bekerja di bidang kaligrafi Islam, bidang yang saya ajarkan di Harvard selama beberapa tahun.

Belajar di Berlin pada masa perang –setidaknya untuk saya– adalah seperti hidup di pengasingan yang jauh dari realitas politik. Para professor saya adalah ahli-ahli terkemuka di bidangnya masing-masing. Salah satu yang paling penting untuk saya adalah seorang perempuan professor, Annemarie von Gabain (w. 1993). Saya sangat berutang budi kepadanya karena telah memperkenalkan kepada bidang Turkologi. Saya menganggapnya sebagai kakak sendiri, apa saya. Kalau Richard Hartmann mengajarkan kepada kami mengenai pendekatan sejarah-kritis untuk mendalami sejarah dan kebudayaan Turki-Arab dan Turki-Usmani, maka Hans Heinrich Schaeder, si jenius, yang membawa kami ke pantai-pantai terjauh sejarah dan kebudayaan secara umum. Ketika mengetahui mengenai minat saya kepada Maulana Rumi (yang diawali dari membaca terjemahan bebas Rückfert atas karya-karya Rumi), beliau menyarankan saya membaca Selected Poems from the Divan-I Shams-i Tabriz karya R.A Nicholson (yang saya salin dengan tangan), dan studi-studi Louis Massignon tentang sufi-martir al Hallaj (yang dihukum mati di Baghdad pada tahun 922). Tiga bulan kemudian, tepatnya pada Natal 1940, saya memberinya kejutan dengan terjemahan karya Rumi dan Hallaj yang sampai saat ini saya anggap masih sangat berharga. Setelah perang usai, Schaeder memperkenalkan saya kepada puisi-puisi T.S Elliot, dan alih-alih melakukan kunjungan singkat ke Göttingen untuk menghadiri forum-forum diskusi mengenai puisi Persia, kami membaca Four Quartetsyang baru saja tiba di mejanya. Sebagai kelanjutannya ia menyarankan saya membaca John Donne, yang puisi-puisinya sangat memukau saya. Sedemikian terpukaunya sehingga 20 tahun kemudian saya menerbitkan koleksi puisi tersebut dalam bahasa Jerman. Gaya puisi John Donne sangat mirip dengan puisi-puisi mistik Persia yang amat saya gandrungi.

Baik Schaeder maupun Kühnel menikah dengan perempuan-perempuan baik hati yang mendorong saya menekuni bidang ini. Mungkin ini karena sebagai perempuan saya tidak pernah merasa menjadi orang asing di dunia akademis, di mana perempuan memainkan peran yang sama seperti laki-laki.

Enam semester waktu belajar adalah periode yang sangat tenang. Setiap tiba waktu libur kami harus bekerja di pabrik. Sepuluh jam per-hari. Saya sering pulang dengan tangan berdarah untuk meneruskan menulis disertasi mengenai sejarah Mamluk. Saya belajar banyak dari beratnya kehidupan para perempuan di pabrik. Saya juga bersyukur atas penerimaan mereka terhadap perempuan asing yang kehadirannya memastikan beberapa orang di antara mereka bisa mengambil cuti dengan tetap dibayar. Setelah menyelesaikan masa studi, saya tidak hanya bekerja di Kementerian Luar Negeri, namun juga menyiapkan indeks mengenai sejarah Arab abad ke-16 setebal 1500 halaman yang kemudian diterbitkan di Istanbul ketika perang masih berkecamuk.

Awan kelam peperangan semakin mencekam, bom-bom semakin sering diledakkan. Saya ingat pernah berjalan kaki selama empat jam melalui jalan-jalan yang dipenuhi kobaran api untuk mencari seorang kolega, menyediakan tempat berteduh bagi teman-teman yang kehilangan segalanya, dan terus membaca situasi politik yang kian memburuk melalui tumpukan telegram yang harus kami terjemahkan di kantor. Namun, di sela-sela waktu yang ada, saya tetap setia dengan bahan-bahan mengenai dinasti Mamluk dan menulis Habilitationsschrift. Saya menyerahkan tulisan itu pada 1 April 1945, tepat pada hari kantor kami harus pindah ke Jerman tengah untuk alasan keamanan. Di sebuah desa berciri khas Sakson kami ditawan oleh tentara Amerika dan terpaksa mendekam selama seminggu di sebuah penjara bawah tanah sebelum dikirim ke Marburg. Pada saat itu pihak-pihak yang bertikai sepakat melakukan gencatan senjata. Selanjutnya kami menjadi tawanan yang dipekerjakan di asrama-asrama pelajar. Itu adalah hal terbaik yang bisa kami harapkan terjadi: setidaknya sekarang ada tempat berteduh dan makanan, meskipun sangat ketat dijatah. Segera setelah itu kami membentuk semacam universitas di pengungsian, belajar dan mengajar untuk menyesuaikan diri dengan komunitas kecil yang sebenarnya aneh itu.

Suatu hari seorang tamu penting datang mengunjungi kami. Ia adalah Friedrich Heiler, seorang ahli sejarah agama yang terkenal dan Dekan Fakultas Seni di Universitas Marburg yang kabarnya akan segera dibuka. Ia berbicara mengenai Nathan Söderblom, ketua Gerakan Ekumenis, Uskup Agung Swedia, dan juga seorang sejarawan agama (w. 1931). Meskipun kesan saya bahwa pembicara yang sangat terpelajar itu tidak memperhatikan kehadiran saya selama diskusi, namun ternyata dua bulan kemudian, ketika masa kerja di situ akan segera berakhir, ia mengundang saya datang ke rumahnya. Apakah saya bersedia untuk tinggal di Marburg? Mereka memerlukan seorang professor dalam bidang bahasa Arab dan studi-studi keislaman, menggantikan professor aktif yang ternyata adalah pengikut Nazi militan. Saya bisa dibilang sama sekali tidak siap. Dan hanya karena saya membawa satu kopiHabilitationsschrift di kopor saya –serta beberapa naskah berbahasa Persia dan Arab– saya akhirnya setuju. Akhirnya setelah tiga bulan tinggal bersama bibi saya di Jerman utara, saya menyampaikan pidato pelantikan saya pada 12 Januari 1946, ketika usia saya belum genap 24 tahun. Peristiwa itu bisa dibilang sebuah momen penting di kota sekecil Marburg. Satu-satunya perempuan di fakultas, Luise Berthold, seorang ahli Jerman Abad Pertengahan, menyambut saya dengan mengatakan, “Putriku sayang, ingatlah satu hal –lelaki adalah musuh kita!”

Meskipun demikian, saya sangat menikmati waktu-waktu mengajar di sana. Tak seorang pun bisa membayangkan, bagaimana bahagianya para guru dan murid selama tahun-tahun tersebut. Tak ada lagi perang, hanya ada kebebasan untuk berbicara, membaca buku yang sebelumnya tidak pernah kami dengar sama sekali, menyimak kuliah-kuliah mencerahkan mengenai kembalinya kaum imigran, dan meskipun perut kami hampir tak pernah kenyang, kami terus “makan” dan minum dari mata air ilmu pengetahuan. Setiap kelas –apakah itu bahasa Arab, Persia atau Turki, atau kelas pengantar kesusastraan dan seni Islam– menjanjikan petualangan, termasuk karena beberapa mahasiswa saya pasca perang itu lebih senior dibanding saya. Selain itu saya pun semakin erat berhubungan dengan Heiler dan bekerja sama dengannya untuk bidang studi sejarah agama, membantu di kelasnya untuk materi-materi keislaman dan belajar banyak mengenai pendekatan fenomenologi terhadap agama, Sejarah Gereja dan pelik-melik yang menyertai perkembangannya. Saya juga menikmati persekutuan doa Jerman yang biasa diadakan Heiler setiap hari Minggu di sebuah kapel kecil di rumahnya.

Tapi masa itu sekaligus adalah masa ketika kami harus belajar mengenai berbagai trauma yang berasal dari masa kanak-kanak maupun sesudahnya. Trauma yang terlalu perih untuk diakui, tapi sekaligus hampir takpernah disadari.

Diterjemahkan dari Bahasa Ingris oleh Nurul Agustina

1 komentar: