Rabu, 02 Juli 2014

Warisan Syekh Yusuf dan Banten di Afrika Selatan




Penduduk yang menetap di Propinsi Western Cape berasal dari bermacam-macam suku, keturunan dan agama. Salah satu keturunan tersebut adalah keturunan Melayu yang berjumlah sekitar 600 ribu jiwa dimana sebagian besar dari mereka mengaku bernenek moyang dari Indonesia. Dan sebagian besar dari mereka menganut Agama Islam. Menurut catatan Jurnal Boorhaanol Islam, di Semenanjung Cape terdapat sekitar 320.741 penduduk muslim. Sedangkan untuk keseluruhan Afrika Selatan jumlah penduduk muslim diperkirakan berjumlah 687.377 jiwa. Jumlah masjid yang ada di semenanjung ini mencapai sekitar 125 masjid ; jumlah yang cukup signifikan bila melihat bahwa Afrika Selatan adalah bukan negara mayoritas Islam.

Agama Islam datang ke Afrika Selatan dibawa oleh Syekh Yusuf dari Bugis/Makasar yang diasingkan oleh Belanda pada tahun 1693. Syekh Yusuf dianggap sebagai Bapak Komunitas Muslim dan Bapak Budaya Melayu dari Indonesia oleh penduduk muslim di Western Cape. Hingga kini budaya tersebut masih hidup dan secara "sistematis" terus diaplikasikan.

Beberapa kegiatan ritual dan tradisi keagamaan yang berasal dari tanah Melayu masih terus dipraktekkan seperti ratib (debus di Indonesia). Ritual ini berasal dari tanah Banten. Beberapa ritual dan praktek agama lainnya banyak menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa penamaan ritual itu seperti puasa, buka puasa, sembahyang, bang (adhan), abdas (wudhu).Kata-kata Bahasa Indonesia lain yang masuk dalam kosa kata lokal tapi tidak ada kaitannya dengan ritual antara lain jamban (wc), terima kasih, kuli, pisang dan roti.

Untuk memperkuat eksistensinya, tidak sedikit dari masyarakat Melayu secara gigih berjuang mendapatkan pengakuan resmi pemerintah atas tempat-tempat bersejarah Melayu sebagai monumen nasional.

Selain Syekh Yusuf, ada pula tokoh besar lain yang turut berperan penting dalam membawa budaya Melayu ke negeri ini. Dia adalah Tuan Guru dari Tidore. Berikut ini keterangan singkat tentang dua tokoh asal Indonesia itu:

Syekh Yusuf

Syahdan, di Negeri Tallo, pada 13 Juli 1626 M atau bertepatan 8 Syawal 1036 H, muncul dari langit cahaya terang benderang menyinari negeri itu hingga Negeri Gowa. Maka, gemparlah masyarakat Gowa melihat cahaya itu. Mereka pun berangkat ke Tallo menceritakan serta mencari tahu fenomena luar biasa yang terlihat di Gowa.

Namun orang Tallo tak tahu apa-apa. Yang mereka tahu, di negerinya telah lahir seorang anak bernama Yusuf. Kisah yang tertoreh dalam lontara Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa (RTSG) itu menggambarkan kelahiran seorang ulama besar yang juga termasyhur sebagai sufi dan pejuang bernama Asy-Syaikh al-haj Yusuf Abu al-Mahasin Hidayatullah Taj Al-Khalwati al-Makasari atau Syekh Yusuf.

Syekh Yusuf, menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang lahir dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dinamika. Saat itu, peperangan tengah berkecamuk di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dan terjadi persaingan melawan kompeni Belanda yang tengah sibuk berebut jalur perdagangan. Suasana keagamaan juga berada dalam masa transisi, sehingga kepercayaan lama dan Islam masih bercampur-baur.

Asal-usul ulama besar itu memang tak dapat dipastikan kebenarannya, karena bersumber dari cerita dan legenda. Menurut lontarak RTSG versi Gowa, ibu Syekh Yusuf bernama Aminah puteri Gallarang Moncongloe dan ayahnya seorang tua yang tak diketahui asal kedatangannya. Orang tua itu dikenal sebagai orang suci yang konon mempunyai banyak keramat. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Jilid IV meyebutkan ayah Syekh Yusuf bernama Abdullah.

Setelah 40 hari kelahiran Yusuf, Aminah dipersunting Raja Gowa setelah diceraikan suaminya. Yusuf dan sang ibu pun berpindah ke istana. Nabilah Lubis dalam bukunya Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makari:Menyingkap Intisari Segala Rahasia menyebutkan, `'Yusuf bukanlah seorang bangsawan. Dia diangkat oleh Sultan Alaudin dan dibesarkan di istana Sultan, namun tak pernah mendapat gelar kebangsawanan.'' Yusuf kecil dibesarkan dalam kehidupan Islami. Selepas mengkhatamkan Alquran dari gurunya Daeng ri Tasammang, ia menimba ilmu sharaf, nahwu, mantik dan beragam kitab dari Syed Ba' Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala. Dalam waktu singkat, Yusuf belia sudah menguasai dan tamat mempelajari kitab-kitab fikih dan tauhid.

Sejak kecil, ilmu tasawuf begitu membetot perhatiannya. Sebagain besar perhatiannya tercurah pada ilmu yang kelak mengantarnya sebagai seorang guru besar. Dianggap telah cakap, pada usia 15 tahun Yusuf disarankan untuk menimba ilmu di negeri lain. Yusuf muda pun berguru pada Syekh Jalaludin al-Aidit pun di Cikoang, selatan Sulawesi Selatan. Rasa ingin tahunya yang begitu besar tentang ilmu-ilmu keislaman mengantrakannya ke luar negeri. Tepat pada 22 September 1644, saat Kerajaan Gowa dipimpin Sultan Malikussaid, di usia 18 tahun, ia meninggalkan tanah kelahirannya menuju Makkah menumpang kapal Melayu dari Somba Opu.

Delapan hari mengarungi lautan, Yusuf kemudian singgah di Banten. Di tanah para jawara itu, Yusuf muda yang supel berkenalan dengan ulama, ahli agama dan pejabat. Yusuf bersahabat dengan Pengeran Surya, putera mahkota Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir. Kelak, Pangeran Surya menjadi, Sultan Ageng Tirtayasa.

Ia begitu tertarik dengan Syekh Nuruddin ar-Raniri, seorang ulama kondang yang bermukim di Aceh. Syekh Yusuf menemui Syekh Nuruddin dan berguru sampai mendapat ijazah tarekat Qadiriyah. `'Tarket Qadiriyah saya terima dari Syekh kami yang alim, arif sempurnadan menyatukan antara ilmu Syariat dengan ilmu Hakikat, penghulu kami Syekh Nuruddin Hasanji bin Muhammad Hamid Al-Quraisyi ar-Raniri,'' ungkapnya dalam risalah Safinat an-Naja.

Lima tahun sudah Yusuf berkelana di Banten dan Aceh. Timur Tengah, kini menjadi tujuan berikutnya. Bertolak dari Pelabuhan Banten, Syekh Yusuf akhirnya sampai ke Timur Tengah. Yaman adalah negeri pertama yang dikunjunginya. Ia berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi sampai mendapat ijazah tarket Naqsyabandi.

Di negeri itu pula, Syekh Yusuf mendapat ijazah tarekat al-Baalawiyah dari Syekh Maulana Sayed Ali. Setelah menunaikan ibadah haji di Makkah, ia kemudian menemui Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani di Madinah hingga mendapatkan ijazah tarekat Syattariyah. Empat ijazah yang telah digengamnya masih belum dirasa cukup. ia pun mengunjungi Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi. Ijazah tarekat Khawatiyah pun kembali digenggamnya dan mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah.

Di usia 38 tahun, Syekh Yusuf akhirnya kembali ke Gowa dan telah menjadi seorang guru yang besar. Menurut sumber lontara, sesampainya di kampung halaman Syekh Yusuf begitu kecewa, Gowa telah berubah. Nabilah Lubis dalam bukunya mengutip sumber sejarah yang bersifat separuh dongeng menuturkan pada masa itu syariat Islam seolah-olah telah dikesampingkan, maksiat dan kemungkaran merajalela.

Setelah tak berhasil meyakinkan Sultan untuk melaksanakan kembali Syariat Islam, Syekh Yusuf meninggalkan Gowa menuju Banten. Pada 1664, Banten pun telah berubah. Sahabatnya, telah menjadi Sultan bergelar Ageng Tirtayasa. Ia kini didaulat sebagai ulama tasawuf dan syekh tarekat. Dalam sekejap, namanya sudah termasyhur, karena keluhuran ilmunya.

Sebagai sufi, Syekh Yusuf juga dikenal memiliki kepribadian yang menarik. Ia dipercaya mendidik anak-anak Sultan di bidang agama Islam dan membuka pengajian bagi penduduk. Sejumlah karya mengenai ajaran tasawuf ditulisnya di Banten.

Banten pun berubah ketika Pangeran Gusti - putera mahkota Banten yang kemudian mendaulat menjadi Sultan Haji -- tiba dari Makkah. Kompeni Belanda mulai menghasut Pangeran Gusti untuk memberontak pada sang ayah. Maret 1682, pertempuran antara kompeni Belanda yang mendukung Sultan Haji dan Sultan Ageng pun meletus. Syekh Yusuf dan Sultan Ageng serta Pangeran Purabaya bahu membahu melawan kompeni.

Setahun kemudian, Sultan Ageng ditangkap kompeni setelah ditipu anaknya. Perjuangan belum habis. Syekh Yusuf memimpin 5.000 pasukan termasuk 1.000 orang dari Makassar bersama Pangeran Purabaya mengobarkan perang gerilya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya. Pada 1683, Syekh Yusuf ditangkap Belanda di Sukapura.

Awalnya, ia ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta). Pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Ia dan keluarga kemudian diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Di tempat baru itu, Syekh Yusuf memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam.

Di Srilanka, ia bertemu dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.

Syekh Yusuf pun leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan muridnya di negeri Srilanka. Kabar dari dan untuk keluarganya, ia terima dan sampaikan melalui jamaah haji singgah di Srilanka. Lewat jalur itu, ajarannya sampai kepada muridnya. Belanda kembali kebakaran jenggot dan menganggap Syekh Yusuf masih mejadi ancaman. Pengaruhnya masih begitu besar, meski berada jauh dari tanah kelahiran.

Guna menjauhkan pengaruh Syekh Yusuf di Tanah Airnya, Belanda membuangnya ke Afrika Selatan. Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Cape Town dengan kapal De Voetboog dan diasingkan ke daerah Zandvliet sekitar 35 km dari kota Cape Town yang kemudian dikenal dengan daerah Macassar.

Syekh Yusuf wafat di Cape Town pada tanggal 23 Mei 1699. Pada tahun 1704, jenazah beliau dipulangkan ke tanah air, dan tepatnya pada tangal 5 April 1705 dilaksanakan pemakaman kembali atas jenazah beliau di Lakiung, Gowa. 
Tuan Guru

Nama lengkapnya adalah Imam Abdullah ibn Qadi Abdul Salam. Beliau dilahirkan di Ternate Tidore, dibesarkan di dalam Istana Kerajaan Tidore sebagai seorang pangeran. Beliau tiba di Afrika Selatan sebagai tahanan politik pada tanggal 6 April 1780 dan dipenjarakan oleh Belanda di pulau Robben selama 13 tahun. Pada tahun 1792 beliau dibebaskan oleh Belanda.

Setelah dibebaskan dari penjara beliau memulai aktifitas dawahnya sebagai seorang guru agama. Media utama kegiatan dawah beliau adalah madrasah dan masjid. Beliau mendirikan sebuah madrasah di daerah Bo-Kaap dan kemudian sebuah masjid tepatnya di Jalan Dorp pada tahun 1795 di Cape Town. Adapaun tahun pendirian Masjid terssebut tercatat dalam sejarah sedangankan tahun pendirian madrasah tidak diketahui dengan jelas. Masjid tersebut di beri nama Owwal Mosque (masjid pertama) karena dianggap sebagai masjid pertama di Afrika Selatan.

Di samping Syeikh Yusuf dan Tuan Guru, masih ada lagi tokoh-tokoh politik Indonesia lainnya yang juga diasingkan oleh Belanda ke Afrika Selatan seperti tokoh asal Sumatra yang dikenal dengan sebutan Orang Cayen dan Pangeran Cakradiningrat IV dari Madura. Makam pangeran asal pulau garam ini dapat ditemukan di Robben Island dan dikenal oleh penduduk setempat dengan sebutan karamat Syekh Matura. Makam Orang Cayen tidak diketahui dengan pasti keberadaannya. Namun demikian, di Constantia terdapat karamat tokoh asal Sumatra yang kemungkinan adalah makam Orang Cayen.

Belanda banyak mengirim orang-orang Indonesia ke Afrika Selatan, di antara mereka sebagai tahanan politik dan sebagian besar lainnya sebagai tenaga kerja di perkebunan. Tenaga kerja dalam jumlah yang relatif banyak ini pada gilirannya turut berperan dalam memperbesar jumlah orang Melayu di Cape Town. Di kota ini, jumlah mereka diperkirakan mencapai sekitar 400 ribu orang. Bahasa sehari-hari mereka adalah Bahasa Afrikaans juga penganut agama Islam. Rata-rata kehidupan sosial mereka ada di tingkat menengah ke bawah. Adapun profesi mereka antara lain sebagai tukang bangunan, tukang jahit, pekerja di perkebunan dan pedagang eceran kecil-kecilan. Tetapi ada beberapa di antara mereka yang sudah menjadi pengusaha dengan skala nasional. Dalam kehidupan politik ada beberapa yang aktif sebagai anggota parlemen dan beberapa lainya menduduki pos-pos penting di pemerintahan. Di dunia intelektual dan akademis, terlihat beberapa dari mereka cukup menonjol sebagai pemikir bebas maupun sebagai guru besar.

Komunitas Melayu ini dikenal dengan sebutan Cape Malay. Di masa regim Apartheid mereka seperti golongan non-putih lainnya telah ditindas dan teraniaya oleh sistem diskriminatif saat itu. Mereka tidak mempunyai hak-hak yang sama dengan golongan kulit putih. Mereka juga tidak dibenarkan mempraktekkan beberapa sisi dari Budaya Melayu, termasuk di dalamnya Bahasa Indonesia hal tersebut mungkin dianggap akan membawa ancaman bagi regim berkuasa.

Dalam penghayatan agama masyarakat Melayu cukup baik dan kuat. Hal itu dapat dilihat umpamanya dari kebiasaan sholat jamaah lima waktu yang sangat membudaya. Setiap waktu solat tiba terlihat masyarakat Muslim banyak berbondong-bondong menuju masjid. Tradisi menghafal Al-Quran juga sangat kuat di Cape Town. Pada Bulan Suci Ramadhan, setiap satu masjid biasanya dipandu oleh sedikitnya empat imam untuk solat tarawih secara bergiliran. Para imam tersebut kebanyakan sudah atau sedang menghafal Al-Quran. Jumlah tersebut jika dikalikan dengan jumlah masjid yang ada, yaitu 125 maka jumlah individu yang telah/sedang menghafal Al-Quran mencapai angka yang cukup signifikan.

Perkampungan masyarakat Melayu terkonsentrasikan di beberapa tempat seperti Bo-Kaap, Salt River,Woodstock, Michels Plain Athlone, Gatesville dan di sekitar kota Cape Town. Perkampungan pertama yang dihuni oleh Syekh Yusuf dan pengikutnya adalah daerah Eerste River dan akhirnya berubah menjadi Maccasar. Disinilah beliau dimakamkan terlebih dahulu. Makam ini masih terus dikunjungi dan diagungkan oleh masyarakat Muslim setempat, terlepas dari kontroversi yang ada apakah jenazah beliau masih ada di makam itu atau telah dipulangkan ke Indonesia. Pada masa-masa tertentu, seperti menjelang musim haji, makam itu semakin ramai dikunjungi terutama oleh mereka yang hendak berangkat ke Tanah Suci untuk melaksanakan Rukun Islam yang kelima. Kedatangan mereka biasanya untuk memohon berkah agar selamat dalam perjalanan dan diberikan kemudahan selama berada di Tanah Suci. Namun, tidak sedikit yang bermotif sekedar untuk memberi hormat atas jasa-jasa beliau membawa dan menyebarkan Islam di Afrika Selatan. Pada hari lebaran iedul fitri maupun iedul adha makam tersebut juga ramai diziarahi oleh orang Muslim.

Setiap tahun bertepatan dengan Liburan Paskah, Komunitas Muslim di Maccasar secara rutin membuat kegiatan Maccasar Festival. Adapun kegiatan tersebut diisi dengan acara-caran keagamaan disamping itu juga pasar malam dan pertunjukan kesenian yang bernuasakan Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar