Penduduk
yang menetap di Propinsi Western Cape berasal dari bermacam-macam suku,
keturunan dan agama. Salah satu keturunan tersebut adalah keturunan Melayu yang
berjumlah sekitar 600 ribu jiwa dimana sebagian besar dari mereka mengaku
bernenek moyang dari Indonesia. Dan sebagian besar dari mereka menganut Agama
Islam. Menurut catatan Jurnal Boorhaanol Islam, di Semenanjung Cape terdapat
sekitar 320.741 penduduk muslim. Sedangkan untuk keseluruhan Afrika Selatan
jumlah penduduk muslim diperkirakan berjumlah 687.377 jiwa. Jumlah masjid yang
ada di semenanjung ini mencapai sekitar 125 masjid ; jumlah yang cukup
signifikan bila melihat bahwa Afrika Selatan adalah bukan negara mayoritas
Islam.
Agama
Islam datang ke Afrika Selatan dibawa oleh Syekh Yusuf dari Bugis/Makasar yang
diasingkan oleh Belanda pada tahun 1693. Syekh Yusuf dianggap sebagai Bapak
Komunitas Muslim dan Bapak Budaya Melayu dari Indonesia oleh penduduk muslim di
Western Cape. Hingga kini budaya tersebut masih hidup dan secara
"sistematis" terus diaplikasikan.
Beberapa
kegiatan ritual dan tradisi keagamaan yang berasal dari tanah Melayu masih
terus dipraktekkan seperti ratib (debus di Indonesia). Ritual ini berasal dari
tanah Banten. Beberapa ritual dan praktek agama lainnya banyak menggunakan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa penamaan ritual itu seperti puasa, buka puasa,
sembahyang, bang (adhan), abdas (wudhu).Kata-kata Bahasa Indonesia lain yang
masuk dalam kosa kata lokal tapi tidak ada kaitannya dengan ritual antara lain
jamban (wc), terima kasih, kuli, pisang dan roti.
Untuk
memperkuat eksistensinya, tidak sedikit dari masyarakat Melayu secara gigih
berjuang mendapatkan pengakuan resmi pemerintah atas tempat-tempat bersejarah
Melayu sebagai monumen nasional.
Selain
Syekh Yusuf, ada pula tokoh besar lain yang turut berperan penting dalam
membawa budaya Melayu ke negeri ini. Dia adalah Tuan Guru dari Tidore. Berikut
ini keterangan singkat tentang dua tokoh asal Indonesia itu:
Syekh Yusuf
Syahdan,
di Negeri Tallo, pada 13 Juli 1626 M atau bertepatan 8 Syawal 1036 H, muncul
dari langit cahaya terang benderang menyinari negeri itu hingga Negeri Gowa.
Maka, gemparlah masyarakat Gowa melihat cahaya itu. Mereka pun berangkat ke Tallo
menceritakan serta mencari tahu fenomena luar biasa yang terlihat di Gowa.
Namun
orang Tallo tak tahu apa-apa. Yang mereka tahu, di negerinya telah lahir
seorang anak bernama Yusuf. Kisah yang tertoreh dalam lontara Riwayakna
Tuanta Salamaka ri Gowa (RTSG) itu menggambarkan kelahiran seorang ulama
besar yang juga termasyhur sebagai sufi dan pejuang bernama Asy-Syaikh al-haj
Yusuf Abu al-Mahasin Hidayatullah Taj Al-Khalwati al-Makasari atau Syekh Yusuf.
Syekh
Yusuf, menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan
Pejuang lahir dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dinamika. Saat itu,
peperangan tengah berkecamuk di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan
dan terjadi persaingan melawan kompeni Belanda yang tengah sibuk berebut jalur
perdagangan. Suasana keagamaan juga berada dalam masa transisi, sehingga
kepercayaan lama dan Islam masih bercampur-baur.
Asal-usul
ulama besar itu memang tak dapat dipastikan kebenarannya, karena bersumber dari
cerita dan legenda. Menurut lontarak RTSG versi Gowa, ibu Syekh Yusuf bernama
Aminah puteri Gallarang Moncongloe dan ayahnya seorang tua yang tak diketahui
asal kedatangannya. Orang tua itu dikenal sebagai orang suci yang konon
mempunyai banyak keramat. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Jilid IV
meyebutkan ayah Syekh Yusuf bernama Abdullah.
Setelah
40 hari kelahiran Yusuf, Aminah dipersunting Raja Gowa setelah diceraikan
suaminya. Yusuf dan sang ibu pun berpindah ke istana. Nabilah Lubis dalam
bukunya Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makari:Menyingkap Intisari Segala Rahasia
menyebutkan, `'Yusuf bukanlah seorang bangsawan. Dia diangkat oleh Sultan
Alaudin dan dibesarkan di istana Sultan, namun tak pernah mendapat gelar
kebangsawanan.'' Yusuf kecil dibesarkan dalam kehidupan Islami. Selepas
mengkhatamkan Alquran dari gurunya Daeng ri Tasammang, ia menimba ilmu sharaf,
nahwu, mantik dan beragam kitab dari Syed Ba' Alwy bin Abdullah al-Allamah
Thahir di Bontoala. Dalam waktu singkat, Yusuf belia sudah menguasai dan tamat
mempelajari kitab-kitab fikih dan tauhid.
Sejak
kecil, ilmu tasawuf begitu membetot perhatiannya. Sebagain besar perhatiannya
tercurah pada ilmu yang kelak mengantarnya sebagai seorang guru besar. Dianggap
telah cakap, pada usia 15 tahun Yusuf disarankan untuk menimba ilmu di negeri
lain. Yusuf muda pun berguru pada Syekh Jalaludin al-Aidit pun di Cikoang,
selatan Sulawesi Selatan. Rasa ingin tahunya yang begitu besar tentang
ilmu-ilmu keislaman mengantrakannya ke luar negeri. Tepat pada 22 September
1644, saat Kerajaan Gowa dipimpin Sultan Malikussaid, di usia 18 tahun, ia
meninggalkan tanah kelahirannya menuju Makkah menumpang kapal Melayu dari Somba
Opu.
Delapan
hari mengarungi lautan, Yusuf kemudian singgah di Banten. Di tanah para jawara
itu, Yusuf muda yang supel berkenalan dengan ulama, ahli agama dan pejabat.
Yusuf bersahabat dengan Pengeran Surya, putera mahkota Sultan Abdul Mufahir
Mahmud Abdul Kadir. Kelak, Pangeran Surya menjadi, Sultan Ageng Tirtayasa.
Ia
begitu tertarik dengan Syekh Nuruddin ar-Raniri, seorang ulama kondang yang
bermukim di Aceh. Syekh Yusuf menemui Syekh Nuruddin dan berguru sampai
mendapat ijazah tarekat Qadiriyah. `'Tarket Qadiriyah saya terima dari Syekh
kami yang alim, arif sempurnadan menyatukan antara ilmu Syariat dengan ilmu
Hakikat, penghulu kami Syekh Nuruddin Hasanji bin Muhammad Hamid Al-Quraisyi
ar-Raniri,'' ungkapnya dalam risalah Safinat an-Naja.
Lima
tahun sudah Yusuf berkelana di Banten dan Aceh. Timur Tengah, kini menjadi
tujuan berikutnya. Bertolak dari Pelabuhan Banten, Syekh Yusuf akhirnya sampai
ke Timur Tengah. Yaman adalah negeri pertama yang dikunjunginya. Ia berguru
pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji
al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi sampai mendapat ijazah tarket Naqsyabandi.
Di
negeri itu pula, Syekh Yusuf mendapat ijazah tarekat al-Baalawiyah dari Syekh
Maulana Sayed Ali. Setelah menunaikan ibadah haji di Makkah, ia kemudian
menemui Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani di Madinah
hingga mendapatkan ijazah tarekat Syattariyah. Empat ijazah yang telah
digengamnya masih belum dirasa cukup. ia pun mengunjungi Syekh Abu al-Barakat
Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi. Ijazah tarekat Khawatiyah pun
kembali digenggamnya dan mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah.
Di
usia 38 tahun, Syekh Yusuf akhirnya kembali ke Gowa dan telah menjadi seorang
guru yang besar. Menurut sumber lontara, sesampainya di kampung halaman Syekh
Yusuf begitu kecewa, Gowa telah berubah. Nabilah Lubis dalam bukunya mengutip
sumber sejarah yang bersifat separuh dongeng menuturkan pada masa itu syariat
Islam seolah-olah telah dikesampingkan, maksiat dan kemungkaran merajalela.
Setelah
tak berhasil meyakinkan Sultan untuk melaksanakan kembali Syariat Islam, Syekh
Yusuf meninggalkan Gowa menuju Banten. Pada 1664, Banten pun telah berubah.
Sahabatnya, telah menjadi Sultan bergelar Ageng Tirtayasa. Ia kini didaulat
sebagai ulama tasawuf dan syekh tarekat. Dalam sekejap, namanya sudah
termasyhur, karena keluhuran ilmunya.
Sebagai
sufi, Syekh Yusuf juga dikenal memiliki kepribadian yang menarik. Ia dipercaya
mendidik anak-anak Sultan di bidang agama Islam dan membuka pengajian bagi
penduduk. Sejumlah karya mengenai ajaran tasawuf ditulisnya di Banten.
Banten
pun berubah ketika Pangeran Gusti - putera mahkota Banten yang kemudian
mendaulat menjadi Sultan Haji -- tiba dari Makkah. Kompeni Belanda mulai
menghasut Pangeran Gusti untuk memberontak pada sang ayah. Maret 1682, pertempuran
antara kompeni Belanda yang mendukung Sultan Haji dan Sultan Ageng pun meletus.
Syekh Yusuf dan Sultan Ageng serta Pangeran Purabaya bahu membahu melawan
kompeni.
Setahun
kemudian, Sultan Ageng ditangkap kompeni setelah ditipu anaknya. Perjuangan
belum habis. Syekh Yusuf memimpin 5.000 pasukan termasuk 1.000 orang dari
Makassar bersama Pangeran Purabaya mengobarkan perang gerilya. Pasukan yang
dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya. Pada 1683, Syekh
Yusuf ditangkap Belanda di Sukapura.
Awalnya,
ia ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta). Pengaruhnya yang begitu besar
dianggap membahayakan kompeni Belanda. Ia dan keluarga kemudian diasingkan ke
Srilanka, bulan September 1684. Di tempat baru itu, Syekh Yusuf memulai
perjuangan baru, menyebarkan agama Islam.
Di
Srilanka, ia bertemu dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah
satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar dari India. Ia pula yang
meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul
Kayfiyyat Al-Tasawwuf.
Syekh
Yusuf pun leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan muridnya di negeri
Srilanka. Kabar dari dan untuk keluarganya, ia terima dan sampaikan melalui
jamaah haji singgah di Srilanka. Lewat jalur itu, ajarannya sampai kepada
muridnya. Belanda kembali kebakaran jenggot dan menganggap Syekh Yusuf masih
mejadi ancaman. Pengaruhnya masih begitu besar, meski berada jauh dari tanah
kelahiran.
Guna
menjauhkan pengaruh Syekh Yusuf di Tanah Airnya, Belanda membuangnya ke Afrika
Selatan. Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49
pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Cape Town
dengan kapal De Voetboog dan diasingkan ke daerah Zandvliet sekitar 35 km dari
kota Cape Town yang kemudian dikenal dengan daerah Macassar.
Syekh
Yusuf wafat di Cape Town pada tanggal 23 Mei 1699. Pada tahun 1704, jenazah
beliau dipulangkan ke tanah air, dan tepatnya pada tangal 5 April 1705
dilaksanakan pemakaman kembali atas jenazah beliau di Lakiung, Gowa.
Tuan Guru
Nama
lengkapnya adalah Imam Abdullah ibn Qadi Abdul Salam. Beliau dilahirkan di
Ternate Tidore, dibesarkan di dalam Istana Kerajaan Tidore sebagai seorang
pangeran. Beliau tiba di Afrika Selatan sebagai tahanan politik pada tanggal 6
April 1780 dan dipenjarakan oleh Belanda di pulau Robben selama 13 tahun. Pada
tahun 1792 beliau dibebaskan oleh Belanda.
Setelah
dibebaskan dari penjara beliau memulai aktifitas dawahnya sebagai seorang guru agama.
Media utama kegiatan dawah beliau adalah madrasah dan masjid. Beliau mendirikan
sebuah madrasah di daerah Bo-Kaap dan kemudian sebuah masjid tepatnya di Jalan
Dorp pada tahun 1795 di Cape Town. Adapaun tahun pendirian Masjid terssebut
tercatat dalam sejarah sedangankan tahun pendirian madrasah tidak diketahui
dengan jelas. Masjid tersebut di beri nama Owwal Mosque (masjid pertama) karena
dianggap sebagai masjid pertama di Afrika Selatan.
Di
samping Syeikh Yusuf dan Tuan Guru, masih ada lagi tokoh-tokoh politik
Indonesia lainnya yang juga diasingkan oleh Belanda ke Afrika Selatan seperti
tokoh asal Sumatra yang dikenal dengan sebutan Orang Cayen dan Pangeran
Cakradiningrat IV dari Madura. Makam pangeran asal pulau garam ini dapat
ditemukan di Robben Island dan dikenal oleh penduduk setempat dengan sebutan
karamat Syekh Matura. Makam Orang Cayen tidak diketahui dengan pasti
keberadaannya. Namun demikian, di Constantia terdapat karamat tokoh asal
Sumatra yang kemungkinan adalah makam Orang Cayen.
Belanda
banyak mengirim orang-orang Indonesia ke Afrika Selatan, di antara mereka
sebagai tahanan politik dan sebagian besar lainnya sebagai tenaga kerja di
perkebunan. Tenaga kerja dalam jumlah yang relatif banyak ini pada gilirannya
turut berperan dalam memperbesar jumlah orang Melayu di Cape Town. Di kota ini,
jumlah mereka diperkirakan mencapai sekitar 400 ribu orang. Bahasa sehari-hari
mereka adalah Bahasa Afrikaans juga penganut agama Islam. Rata-rata kehidupan
sosial mereka ada di tingkat menengah ke bawah. Adapun profesi mereka antara
lain sebagai tukang bangunan, tukang jahit, pekerja di perkebunan dan pedagang
eceran kecil-kecilan. Tetapi ada beberapa di antara mereka yang sudah menjadi
pengusaha dengan skala nasional. Dalam kehidupan politik ada beberapa yang
aktif sebagai anggota parlemen dan beberapa lainya menduduki pos-pos penting di
pemerintahan. Di dunia intelektual dan akademis, terlihat beberapa dari mereka
cukup menonjol sebagai pemikir bebas maupun sebagai guru besar.
Komunitas
Melayu ini dikenal dengan sebutan Cape Malay. Di masa regim Apartheid mereka
seperti golongan non-putih lainnya telah ditindas dan teraniaya oleh sistem
diskriminatif saat itu. Mereka tidak mempunyai hak-hak yang sama dengan
golongan kulit putih. Mereka juga tidak dibenarkan mempraktekkan beberapa sisi
dari Budaya Melayu, termasuk di dalamnya Bahasa Indonesia hal tersebut mungkin
dianggap akan membawa ancaman bagi regim berkuasa.
Dalam
penghayatan agama masyarakat Melayu cukup baik dan kuat. Hal itu dapat dilihat
umpamanya dari kebiasaan sholat jamaah lima waktu yang sangat membudaya. Setiap
waktu solat tiba terlihat masyarakat Muslim banyak berbondong-bondong menuju
masjid. Tradisi menghafal Al-Quran juga sangat kuat di Cape Town. Pada Bulan
Suci Ramadhan, setiap satu masjid biasanya dipandu oleh sedikitnya empat imam
untuk solat tarawih secara bergiliran. Para imam tersebut kebanyakan sudah atau
sedang menghafal Al-Quran. Jumlah tersebut jika dikalikan dengan jumlah masjid
yang ada, yaitu 125 maka jumlah individu yang telah/sedang menghafal Al-Quran
mencapai angka yang cukup signifikan.
Perkampungan
masyarakat Melayu terkonsentrasikan di beberapa tempat seperti Bo-Kaap, Salt
River,Woodstock, Michels Plain Athlone, Gatesville dan di sekitar kota Cape
Town. Perkampungan pertama yang dihuni oleh Syekh Yusuf dan pengikutnya adalah
daerah Eerste River dan akhirnya berubah menjadi Maccasar. Disinilah beliau
dimakamkan terlebih dahulu. Makam ini masih terus dikunjungi dan diagungkan
oleh masyarakat Muslim setempat, terlepas dari kontroversi yang ada apakah
jenazah beliau masih ada di makam itu atau telah dipulangkan ke Indonesia. Pada
masa-masa tertentu, seperti menjelang musim haji, makam itu semakin ramai
dikunjungi terutama oleh mereka yang hendak berangkat ke Tanah Suci untuk
melaksanakan Rukun Islam yang kelima. Kedatangan mereka biasanya untuk memohon
berkah agar selamat dalam perjalanan dan diberikan kemudahan selama berada di
Tanah Suci. Namun, tidak sedikit yang bermotif sekedar untuk memberi hormat
atas jasa-jasa beliau membawa dan menyebarkan Islam di Afrika Selatan. Pada
hari lebaran iedul fitri maupun iedul adha makam tersebut juga ramai diziarahi
oleh orang Muslim.
Setiap
tahun bertepatan dengan Liburan Paskah, Komunitas Muslim di Maccasar secara
rutin membuat kegiatan Maccasar Festival. Adapun kegiatan tersebut diisi dengan
acara-caran keagamaan disamping itu juga pasar malam dan pertunjukan kesenian
yang bernuasakan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar