Selasa, 17 Juni 2014

Ayat Mubahalah


فَمَنْ حَاجَّكَ فيهِ مِنْ بَعْدِ ما جاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعالَوْا نَدْعُ أَبْناءَنا وَ أَبْناءَكُمْ وَ نِساءَنا وَ نِساءَكُمْ وَ أَنْفُسَنا وَ أَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكاذِبينَ.
Siapa yang membantahmu (tentang kisah Isa) sesudah datang ilmu (yang sampai kepadamu), maka katakanlah (kepada mereka):" Marilah kita memanggil anak- anak kami dan anak- anak kamu, istri- istri kami dan istri- istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah, kemudian kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang- orang yang dusta. (Ali Imran; 61 )

Poros Pembahasan

Ayat Mubahalah termasuk satu ayat lain yang berkaitan dengan wilayah Amirul Mukminin Ali a.s. dan kedua putranya; Al-Hasan dan Al-Husain. Tema utama yang dikandung oleh ayat mulia ini adalah berkaitan dengan masalah Mubahalah kaum muslimin dengan kaum Nasrani Najran. Pada satu sisi membuktikan kebenaran kenabian Rasulullah Saw, sisi kedua juga memberitahukan kepada semuanya bahwa para imam Ahlul bait a.s. memiliki posisi dan kedudukan yang begitu tinggi dan pada sisi ketiga ayat ini juga dapat digunakan untuk menetapkan wilayah Amirul mukminin Ali a.s.

Pendahuluan

Sebelum memasuki penafsiran ayat mulia ini terlebih dahulu perlu dipahami dua poin penting berikut ini:

Ayat ke-35 hingga ayat ke-60 surah Ali Imran berkaitan dengan Nabi Isa a.s. Dalam 26 ayat ini telah dibahas hal-hal yang berkaitan dengan kelahiran, posisi, kepribadian ibunda beliau; Sayyidah Maryam s.a, keutamaannya, dialog beliau dengan para Malaikat, hidangan dari langit dan yang lain. Allah Swt setelah panjang lebar memaparkan permasalahan tentang Nabi Isa a.s., berfirman kepada Rasulullah Saw: jika orang-orang Kristen tetap tidak mau menerima hal-hal yang berdalil dan logis di atas maka tempuhlah jalan lain untuk menghadapi mereka; bermubahalah dengan mereka dan tampakkanlah kebenaran.

Apakah Mubahalah itu?

Mubahalah berasal dari kata Bahl. Dalam bahasa Arab kata ini bermakna melepas. Unta-unta saat beranak, terkadang pemiliknya mengikat puting susunya agar supaya air susu unta tersebut tidak dihabiskan oleh anak-anaknya. Terkadang pula sebagian pemilik unta membiarkan susu-susu itu dan tidak mengikatnya sehingga anak-anak unta dapat meminum air susu sesuka mereka. Orang-orang Arab menyebut unta yang demikian dengan Ibil Bahil, artinya unta yang susunya terbuka dan dilepas untuk anak-anaknya.

Sedang dalam Istilah, kata ini berkaitan dengan sebuah kasus ketika dua orang tidak mampu memuaskan satu sama lain dengan berbagai argumentasi yang disampaikan, maka satu sama lain saling menghujat seraya berkata: jika aku dalam posisi yang benar dan engkau dalam posisi yang salah maka engkau akan terkena siksaan tuhan. Peristiwa semacam ini dengan berbagai syarat yang ada disebut dengan Mubahalah.
           
Kaitan arti linguistik dan terminologis kata Mubahalah sangat gamblang; karena dalam Mubahalah seseorang yang mengklaim bahwa dirinya benar telah melepaskan lawannya dan menyerahkan kelanjutannya kepada Allah Swt.

فَمَنْ حَاجَّكَ فيهِ مِنْ بَعْدِ ما جاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ Wahai Nabi! Barang siapa dari kaum
Nasrani, setelah pembahasan panjang lebar tentang Nabi Isa a.s. yang disertai pelbagai argumen yang kuat masih tetap keras kepala dan tidak mau mengakui kebenaran maka tempuhlah jalan lain; bermubahalahlah dengan mereka.

فَقُلْ تَعالَوْا نَدْعُ أَبْناءَنا وَ أَبْناءَكُمْ وَ نِساءَنا وَ نِساءَكُمْ وَ أَنْفُسَنا وَ أَنْفُسَكُمْ 
Pada bagian ini, telah ditentukan mereka yang pantas hadir dalam Mubahalah tersebut. Wahai Nabi! Katakan kepada  mereka bahwa dari setiap pihak harus mengikut sertakan empat kelompok ini;

Pemimpin  kaum muslimin, yaitu Rasulullah Saw dan pemuka orang-orang Nasrani Najran.

Anak-anak kami dan anak-anak kalian.

Wanita-wanita kami dan wanita-wanita kalian.

Jiwa-jiwa kami dan jiwa-jiwa kalian.

Pada pembahasan mendatang akan dibahas secara terperinci maksud dari anak-anak, wanita dan jiwa-jiwa tesebut.

ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكاذِبينَ  

Setelah empat kelompok dari kedua belah pihak telah hadir untuk bermubahalah, maka prosesi ini demikian, bahwa barang siapa yang berdusta dan apa yang didakwakannya itu gombal semata, maka siksa tuhan akan menimpa kepadanya sehingga akan tampak jelas di hadapan manusia hakikat dan kebenaran yang sebenarnya.

Apakah Mubahalah yang disebut di atas telah terjadi?

Soal: apakah prosesi Mubahalah yang digambarkan oleh Al-Quran itu telah terjadi? Jika demikian apa hasil yang didapat darinya?

Jawab: Al-Quran dalam hal ini tidak mengungkapkan apa-apa dan dari ayat-ayatnya tidak dapat disimpulkan apapun tentangnya. Akan tetapi kisah ini sangat terkenal di dalam sejarah Islam.

Sesuai penukilan sejarah, Rasulullah Saw telah memaparkan kisah yang dialami beliau bersama kaum Nasrani Najran tersebut, dan beliau telah menentukan hari H-nya. Kepala pendeta Nasrani yang memiliki posisi tertinggi berkata kepada para jamaahnya:

“Bersiap-siaplah untuk bermubahalah  dan hadirlah tepat pada waktu yang ditentukan. Jika Nabi Islam pada hari itu membawa para sahabat terkenalnya maka lakukanlah mubahalah itu! Akan tetapi jika dia (Muhammad Saw) datang dengan membawa anak dan istrinya, maka janganlah kalian melanjutkannya! Karena pada kemungkinan pertama telah terbukti kebohongan risalah yang dibawanya dan pertanda kekalahannya. Namun dalam bentuk kedua telah jelas kalau dia memiliki hubungan dengan Allah Swt dan  dengan penuh pasrah maju ke medan laga.

Alhasil, hari H tersebut tiba, para Nasrani menyaksikan Rasulullah Saw telah menuntun tangan dua anak kecil; Hasan a.s. dan Husain a.s. dan didampingi oleh Ali a.s. dan Fathimah Zahra s.a.

Ketua para pendeta saat menyaksikan hal tersebut berkata: Aku melihat raut-raut muka yang jika mereka berdoa akan dikabulkan segala permohonannya dan kalian semua akan binasa.[1] Urungkan niat kalian untuk bermubahalah, dan beri tahukan kepada kaum muslimin bahwa kita sebagai pengikut agama minoritas siap untuk hidup berdampingan dan membayar pajak/upeti.

Rasulullah Saw mengabulkan permintaan mereka dan tidak jadi bermubahalah.

Kisah mubahalah –yang singkat tadi- telah dicatat dalam kitab-kitab sejarah. Abu Bakar Jashash; salah seorang ulama abad ke-empat Hijriah dalam dua kitabnya telah mengungkapkan dua ungkapkan yang begitu indah:

Dalam kitab Ahkamul Quran, dia berkata:”Sesungguhnya para ahli sejarah tidak berbeda pendapat bahwa Nabi Saw telah menuntun Hasan dan Husain dan membawa Ali. serta Fathimah untuk menantang kaum Nasrani Najran bermubahalah.”[2]

Dalam kitabnya yang lain di juga mengatakan:sesungguhnya riwayat-riwayat yang dinukil dari Abdillah bin Abbas dan perawi lain yang disebut di dalam kitab-kitab tafsir bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw telah membawa Hasan, Husain dan Ali serta Fathimah di belakang mereka, di mana beliau berkata: merekalah anak-anak, jiwa dan wanita-wanita kami, adalah riwayat-riwayat yang mutawatir.[3]

Oleh karena itu, telah terdapat riwayat-riwayat yang begitu banyak yang menjelaskan turunnya ayat tersebut. Berikut ini dua riwayat darinya:

Di dalam bagian “Fadhail Sahabah” kitab Sahih Muslim, tercatat sebuah riwayat yang begitu menarik dan mencengangkan. Sebuah riwayat yang dinukil dari Sa’ad bin Abi Waqash. Sa’ad berkata: Aku datang menemui Mu’awiyah, Dia berkata kepadaku, aku mendengar engkau tidak mencaci Ali? Kenapa engkau tidak melaknat putra Abi Thalib itu? Apa yang mencegahmu?[4]

Sa’ad menjawab: aku mendengar tiga hal dari Rasulullah Saw tentang Ali yang mencegahku untuk melaksanakan perintahmu itu;

Saat Rasulullah Saw hendak menuju peperangan Tabuk, beliau menunjuk Ali sebagai penggantinya di kota Madinah. Ali bertanya kepada beliau: kenapa Anda meninggalkanku di Madinah dan tidak mengikut sertakan diriku berperang? Nabi Saw menjawab: Apakah kamu tidak rela hubunganmu denganku sama dengan hubungan Harun a.s. terhadap Musa a.s.; sebagaimana Harun saudara dan pengganti Musa maka engkau adalah saudara dan penggantiku.

Pada peperangan Khaibar, telah banyak orang yang pergi untuk membuka gerbang benteng namun mereka kembali dengan kegagalan. Sampai pada satu malam, Rasulullah Saw bersabda: besok hari, aku akan memberikan bendera kepada seseorang yang tidak mengenal lelah dalam berjuang dan tidak pernah lari dari peperangan. Semua sahabat menanti siapa gerangan orang yang dimaksud oleh beliau. Keesokan harinya, Nabi Saw melihat semua sahabat, akan tetapi beliau tidak melihat Ali a.s. Beliau bertanya, di mana Ali? Sahabat menjawab, dia sedang sakit mata dan sekarang sedang beristirahat. Beliau bersabda: datangkan Ali ke mari! Ali a.s. datang kemudian Rasulullah Saw memoleskan ludahnya ke mata beliau. Akhirnya berkat ludah Nabi dan izin Allah Swt mata beliau sembuh. Lalu bendera diberikan kepada Ali a.s. dan setelah itu beliau menjebol gerbang benteng Khaibar.


Pada kisah Mubahlah, Rasulullah Saw membawa Ali, Fathimah, Hasan dan Husain untuk bermubahalah dengan Nasrani Najran.

Sa’ad setelah memaparkan hal tersebut kepada Mu’awiyah, berkata: wahai Mu’awiyah apakah dengan keutamaan-keutamaan yang aku dengar dari Rasulullah Saw tentang Ali itu, aku mau melaknatnya?

Mu’awiyah terdiam tidak mau melanjutkan permintaannya.[5]

Siapakah  أَبْناءَنا نِساءَناوَ أَنْفُسَنا ?

Berkenaan dengan yang dimaksud kata نِساءَنا  adalah putri Rasulullah Saw, Fathimah s.a kurang lebih tidak ada perbedaan di antara Syi’ah dan Ahli sunah. Sebagaimana para ulama juga tidak berselisih bahwa yang dimaksud dengan  أَبْناءَنا  adalah Hasan dan Husain a.s.

Oleh karena itu poros pembahasan ayat ini hanya berkaitan dengan maksud  أَنْفُسَنا sehingga untuk memahami maksudnya tersebut butuh kepada pembahasan lebih lanjut.

Marhum Qadhi Nurullah Syusytari dalam kitabnya yang sangat berharga Ihqaqul hak berkata:” Para mufasir telah bersepakat bahwa  أَبْناءَنا adalah Hasan a.s. dan Husain a.s. dan نِساءَنا  yang dimaksud adalah Sayyidah Fathimah s.a. dan maksud dari  أَنْفُسَنا  adalah Ali a.s. Ayatullah ‘Udzma Mar’asyi r.a. dalam catatan kaki kitab ini menukil poin di atas dari sekitar 60 kitab (dari Ahli sunah).[6]  Dengan demikian, masalah ini begitu gamblang sehingga tidak hanya terdapat di kitab-kitab Syi’ah tapi juga disebut dalam kitab-kitab Ahli sunah.

Akan tetapi sayang sekali, kendati riwayat yang begitu banyak ini ada segelintir mufasir Ahli sunah yang terjebak dalam kefanatikan dan tafsir bi Ra’y sehingga mereka terpaksa menyodorkan hal-hal yang membingungkan. Berikut ini dua contoh darinya:

Alusi dalam kitab Ruhul Ma’ani, mengakui bahwa hanya Hasan, Husain, Fathimah dan Ali yang terlibat dalam prosesi Mubahalah. Selain itu dia menandaskan bahwa seorang mukmin tidak pantas meragukannya. Akan tetapi, setelah menjelaskan hal-hal tadi dia mulai menjelaskan dalil ulama Syi’ah dan mengklaim bahwa maksud dari أَنْفُسَنا adalah Rasul sendiri sedang Ali a.s. termasuk dalam misdaq أَبْناءَنا; karena dalam sastra bahasa Arab mantu juga disebut dengan Ibn.

Jawaban soal ini begitu jelas; karena sesuai ayat ini Rasul telah memanggil tiga kelompok. Jika maksud dari أَنْفُسَنا adalah beliau, apakah maksud dari menyeru diri sendiri? Mengingat Al-Quran kitab yang paling fasih, tentu tidak akan membawakan hal yang tidak fasih semacam ini dan tidak akan pernah menyuruh Rasul untuk mengajak dirinya sendiri. Dengan demikian maksud dari أَنْفُسَنا bukan Rasul. Di samping itu, dalam tata bahasa Arab tidak didapati seorang mantu juga tergolong dalam anak sendiri, kalaupun ada, hal itu metafora saja dan jarang dijumpai.

Kita tidak perlu terlalu heran akan ungkapan semacam ini; karena ini adalah hasil fanatisme yang tidak pada tempatnya, fanatisme semacam ini sanggup membawa seseorang memaksakan keyakinannya yang menyimpang untuk memahami Al-Quran karim.

Lebih tragis dari ungkapan Alusi ini dapat dijumpai dalam ungkapan Muhammad Abduh dalam Al-Manarnya. Saat sampai pada ayat Mubahalah ini, dia menulis: Riwayat-riwayat telah sepakat bahwa Rasulullah Saw telah memilih Ali, Fathimah dan kedua putranya untuk bermubahalah. Dan yang dimaksud dengan Nisa’ dalam ayat tersebut adalah Fathimah, sedang kata Anfusana adalah Ali saja. (hanya saja) riwayat-riwayat itu berasal dari sumber-sumber Syi’ah dan tujuan mereka sudah jelas.

Sungguh, ungkapan Muhammad Abduh ini begitu menggelikan. Awal dan akhir ungkapannya bertentangan. Karena di awal dia mengklaim riwayat ini disepakati dan menjadi ijmak ulama, tapi di akhirnya dia menisbatkannya kepada kalangan Syi’ah.

Selain itu sebagaimana telah lewat, ungkapan Muhammad Abduh tidak dapat dibenarkan karena mayoritas riwayat-riwayat ini dinukil dari Ahli sunah.

Tidak ada yang dapat diungkapkan lagi atas ungkapan semacam ini, selain rasa prihatin.

Al-hasil, dengan penjelasan tadi ayat Mubahalah termasuk ayat Muhkamat dan jelas yang menunjukkan wilayah Amirul mukminin Ali a.s. dan putra-putra beliau.

Soal: memang benar ayat Mubahalah termasuk ayat yang menjelaskan keutamaan Amirul mukminin Ali a.s., akan tetapi apa hubungan ayat ini dengan masalah wilayah dan kepemimpinan beliau dan memasukkan ayat ini dalam kategori ayat-ayat wilayah?

Jawab: sebagaimana telah lewat maksud dari Anfusana dalam ayat Mubahalah adalah Ali a.s. Rasul Saw yang memanggil Ali a.s. sebagai jiwanya sendiri apakah itu bermakna hakiki atau hanya metafora saja?

Tanpa ragu lagi, seruan itu tidak bermaksud hakiki; artinya Ali bukanlah seorang nabi! Akan tetapi maksudnya adalah Ali a.s. memiliki keutamaan seperti beliau dalam keberanian, kematangan, ketakwaan dan pengorbanan serta keutamaan yang lain. Konklusinya, Ali a.s. dalam kedudukan dan keutamaannya sepadan dengan Rasulullah Saw.

Dengan mengacu kepada poin ini jika memang harus ada pengganti setelah Rasulullah Saw dan ada seseorang yang dilantik dari sisi Allah Swt atau ummat Islam ingin memilih pemimpin untuk mereka, apakah mereka tidak mau memilih seorang sosok yang setingkat atau sedikit di bawah Rasulullah?

Tidakkah sosok pilihan masyarakat orang yang memiliki keutamaan, ketakwaan dan kemaksuman Rasulullah Saw? Dan jika ada sosok yang dimaksud ini, akan tetapi orang-orang selainnya yang dipilih, apakah akal sehat tidak menyebutnya sebagai tindakan yang tercela?

Oleh karena itu saat misdaq kata anfusana itu adalah Ali a.s. maka itu merupakan jembatan menuju wilayah beliau.

[1] Orang yang hadir dalam Mubahalah harus memiliki dua hal pokok. Pertama, sesuai pengakuan Pendeta harus memiliki keimanan, seorang pembohong tidak akan pernah maju untuk bermubahalah. Kedua, orang seperti ini memiliki hubungan yang erat dengan Allah Swt, di mana saat dia berdoa atau mengutuk akan dikabulkan. Ulama Najran yang berjumlah tiga atau sepuluh orang itu, saat melihat dua hal ini pada diri Rasulullah Saw dan para pendampingnya mengurungkan niatnya untuk bermubahalah.
[2] Ahkamul Quran, jilid2, halaman 16. (Sesuai penukilan Ihqaqul hak, jilid 3, halaman 48).
[3] Ma’rifatu ulumil Hadis, Cetakan Mesir, halaman 50. (Sesuai  penukilan Ihqaqul hak, jilid 3, halaman 48).
[4] Ungkapan ini merupakan cerminan puncak ketertindasan Imam Ali a.s. dan klimaks kebencian dan permusuhan bani Umayyah terhadap beliau. Mereka begitu keji dan kotor sehingga melegalkan laknat terhadap sosok Ali a.s. di mana seluruh kaum muslimin minimal menerima beliau sebagai khalifah keempat, bahkan mereka akan menyiksa orang  yang tidak melakukannya! Yang perlu disayangkan adalah sebagian Ulama Ahli sunah masih tetap membela kekejian yang dilancarkan oleh bani Umayyah dengan pentolannya Mu’awiyah ini, mereka menyebutnya sebagai pemimpin kita.
[5] Sahih Muslim, jilid 4, halaman 187, hadis ke-32.

[6] Ihqaqul hak, jilid 3, halaman 46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar