فَمَنْ حَاجَّكَ فيهِ مِنْ بَعْدِ ما جاءَكَ مِنَ
الْعِلْمِ فَقُلْ تَعالَوْا نَدْعُ أَبْناءَنا وَ أَبْناءَكُمْ وَ نِساءَنا وَ
نِساءَكُمْ وَ أَنْفُسَنا وَ أَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ
اللَّهِ عَلَى الْكاذِبينَ.
Siapa yang membantahmu (tentang kisah Isa) sesudah
datang ilmu (yang sampai kepadamu), maka katakanlah (kepada mereka):"
Marilah kita memanggil anak- anak kami dan anak- anak kamu, istri- istri kami
dan istri- istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita
bermubahalah, kemudian kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-
orang yang dusta. (Ali Imran; 61 )
Poros Pembahasan
Ayat Mubahalah termasuk satu ayat lain yang berkaitan
dengan wilayah Amirul Mukminin Ali a.s. dan kedua putranya; Al-Hasan dan
Al-Husain. Tema utama yang dikandung oleh ayat mulia ini adalah berkaitan
dengan masalah Mubahalah kaum muslimin dengan kaum Nasrani Najran. Pada satu
sisi membuktikan kebenaran kenabian Rasulullah Saw, sisi kedua juga
memberitahukan kepada semuanya bahwa para imam Ahlul bait a.s. memiliki posisi
dan kedudukan yang begitu tinggi dan pada sisi ketiga ayat ini juga dapat
digunakan untuk menetapkan wilayah Amirul mukminin Ali a.s.
Pendahuluan
Sebelum memasuki penafsiran ayat mulia ini terlebih dahulu
perlu dipahami dua poin penting berikut ini:
Ayat ke-35 hingga ayat ke-60 surah Ali Imran berkaitan
dengan Nabi Isa a.s. Dalam 26 ayat ini telah dibahas hal-hal yang berkaitan
dengan kelahiran, posisi, kepribadian ibunda beliau; Sayyidah Maryam s.a,
keutamaannya, dialog beliau dengan para Malaikat, hidangan dari langit dan yang
lain. Allah Swt setelah panjang lebar memaparkan permasalahan tentang Nabi Isa
a.s., berfirman kepada Rasulullah Saw: jika orang-orang Kristen tetap tidak mau
menerima hal-hal yang berdalil dan logis di atas maka tempuhlah jalan lain
untuk menghadapi mereka; bermubahalah dengan mereka dan tampakkanlah kebenaran.
Apakah Mubahalah itu?
Mubahalah berasal dari kata Bahl. Dalam bahasa Arab
kata ini bermakna melepas. Unta-unta saat beranak, terkadang pemiliknya
mengikat puting susunya agar supaya air susu unta tersebut tidak dihabiskan
oleh anak-anaknya. Terkadang pula sebagian pemilik unta membiarkan susu-susu
itu dan tidak mengikatnya sehingga anak-anak unta dapat meminum air susu sesuka
mereka. Orang-orang Arab menyebut unta yang demikian dengan Ibil Bahil, artinya
unta yang susunya terbuka dan dilepas untuk anak-anaknya.
Sedang dalam Istilah, kata ini berkaitan dengan sebuah
kasus ketika dua orang tidak mampu memuaskan satu sama lain dengan berbagai
argumentasi yang disampaikan, maka satu sama lain saling menghujat seraya
berkata: jika aku dalam posisi yang benar dan engkau dalam posisi yang salah
maka engkau akan terkena siksaan tuhan. Peristiwa semacam ini dengan berbagai
syarat yang ada disebut dengan Mubahalah.
Kaitan arti linguistik dan terminologis kata Mubahalah
sangat gamblang; karena dalam Mubahalah seseorang yang mengklaim bahwa dirinya
benar telah melepaskan lawannya dan menyerahkan kelanjutannya kepada Allah Swt.
فَمَنْ
حَاجَّكَ فيهِ مِنْ بَعْدِ ما جاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ Wahai Nabi! Barang siapa dari kaum
Nasrani, setelah pembahasan panjang lebar tentang Nabi
Isa a.s. yang disertai pelbagai argumen yang kuat masih tetap keras kepala dan
tidak mau mengakui kebenaran maka tempuhlah jalan lain; bermubahalahlah dengan
mereka.
فَقُلْ
تَعالَوْا نَدْعُ أَبْناءَنا وَ أَبْناءَكُمْ وَ نِساءَنا وَ نِساءَكُمْ وَ
أَنْفُسَنا وَ أَنْفُسَكُمْ
Pada bagian ini, telah ditentukan mereka yang pantas hadir
dalam Mubahalah tersebut. Wahai Nabi! Katakan kepada mereka bahwa dari
setiap pihak harus mengikut sertakan empat kelompok ini;
Pemimpin kaum muslimin, yaitu Rasulullah Saw dan
pemuka orang-orang Nasrani Najran.
Anak-anak kami dan anak-anak kalian.
Wanita-wanita kami dan wanita-wanita kalian.
Jiwa-jiwa kami dan jiwa-jiwa kalian.
Pada pembahasan mendatang akan dibahas secara
terperinci maksud dari anak-anak, wanita dan jiwa-jiwa tesebut.
ثُمَّ
نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكاذِبينَ
Setelah empat kelompok dari kedua belah pihak telah
hadir untuk bermubahalah, maka prosesi ini demikian, bahwa barang siapa yang
berdusta dan apa yang didakwakannya itu gombal semata, maka siksa tuhan akan
menimpa kepadanya sehingga akan tampak jelas di hadapan manusia hakikat dan
kebenaran yang sebenarnya.
Apakah Mubahalah yang disebut di atas telah terjadi?
Soal: apakah prosesi Mubahalah yang digambarkan oleh
Al-Quran itu telah terjadi? Jika demikian apa hasil yang didapat darinya?
Jawab: Al-Quran dalam hal ini tidak mengungkapkan
apa-apa dan dari ayat-ayatnya tidak dapat disimpulkan apapun tentangnya. Akan
tetapi kisah ini sangat terkenal di dalam sejarah Islam.
Sesuai penukilan sejarah, Rasulullah Saw telah
memaparkan kisah yang dialami beliau bersama kaum Nasrani Najran tersebut, dan
beliau telah menentukan hari H-nya. Kepala pendeta Nasrani yang memiliki posisi
tertinggi berkata kepada para jamaahnya:
“Bersiap-siaplah untuk bermubahalah dan hadirlah
tepat pada waktu yang ditentukan. Jika Nabi Islam pada hari itu membawa para
sahabat terkenalnya maka lakukanlah mubahalah itu! Akan tetapi jika dia
(Muhammad Saw) datang dengan membawa anak dan istrinya, maka janganlah kalian
melanjutkannya! Karena pada kemungkinan pertama telah terbukti kebohongan
risalah yang dibawanya dan pertanda kekalahannya. Namun dalam bentuk kedua
telah jelas kalau dia memiliki hubungan dengan Allah Swt dan dengan penuh
pasrah maju ke medan laga.
Alhasil, hari H tersebut tiba, para Nasrani menyaksikan
Rasulullah Saw telah menuntun tangan dua anak kecil; Hasan a.s. dan Husain a.s.
dan didampingi oleh Ali a.s. dan Fathimah Zahra s.a.
Ketua para pendeta saat menyaksikan hal tersebut
berkata: Aku melihat raut-raut muka yang jika mereka berdoa akan dikabulkan
segala permohonannya dan kalian semua akan binasa.[1] Urungkan niat kalian untuk
bermubahalah, dan beri tahukan kepada kaum muslimin bahwa kita sebagai pengikut
agama minoritas siap untuk hidup berdampingan dan membayar pajak/upeti.
Rasulullah Saw mengabulkan permintaan mereka dan tidak
jadi bermubahalah.
Kisah mubahalah –yang singkat tadi- telah dicatat dalam
kitab-kitab sejarah. Abu Bakar Jashash; salah seorang ulama abad ke-empat
Hijriah dalam dua kitabnya telah mengungkapkan dua ungkapkan yang begitu indah:
Dalam kitab Ahkamul Quran, dia berkata:”Sesungguhnya
para ahli sejarah tidak berbeda pendapat bahwa Nabi Saw telah menuntun Hasan
dan Husain dan membawa Ali. serta Fathimah untuk menantang kaum Nasrani Najran
bermubahalah.”[2]
Dalam kitabnya yang lain di juga mengatakan:sesungguhnya
riwayat-riwayat yang dinukil dari Abdillah bin Abbas dan perawi lain yang
disebut di dalam kitab-kitab tafsir bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw telah
membawa Hasan, Husain dan Ali serta Fathimah di belakang mereka, di mana beliau
berkata: merekalah anak-anak, jiwa dan wanita-wanita kami, adalah
riwayat-riwayat yang mutawatir.[3]
Oleh karena itu, telah terdapat riwayat-riwayat yang
begitu banyak yang menjelaskan turunnya ayat tersebut. Berikut ini dua riwayat
darinya:
Di dalam bagian “Fadhail Sahabah” kitab Sahih Muslim,
tercatat sebuah riwayat yang begitu menarik dan mencengangkan. Sebuah riwayat
yang dinukil dari Sa’ad bin Abi Waqash. Sa’ad berkata: Aku datang menemui
Mu’awiyah, Dia berkata kepadaku, aku mendengar engkau tidak mencaci Ali? Kenapa
engkau tidak melaknat putra Abi Thalib itu? Apa yang mencegahmu?[4]
Sa’ad menjawab: aku mendengar tiga hal dari Rasulullah
Saw tentang Ali yang mencegahku untuk melaksanakan perintahmu itu;
Saat Rasulullah Saw hendak menuju peperangan Tabuk,
beliau menunjuk Ali sebagai penggantinya di kota Madinah. Ali bertanya kepada
beliau: kenapa Anda meninggalkanku di Madinah dan tidak mengikut sertakan
diriku berperang? Nabi Saw menjawab: Apakah kamu tidak rela hubunganmu denganku
sama dengan hubungan Harun a.s. terhadap Musa a.s.; sebagaimana Harun saudara
dan pengganti Musa maka engkau adalah saudara dan penggantiku.
Pada peperangan Khaibar, telah banyak orang yang pergi
untuk membuka gerbang benteng namun mereka kembali dengan kegagalan. Sampai
pada satu malam, Rasulullah Saw bersabda: besok hari, aku akan memberikan
bendera kepada seseorang yang tidak mengenal lelah dalam berjuang dan tidak
pernah lari dari peperangan. Semua sahabat menanti siapa gerangan orang yang
dimaksud oleh beliau. Keesokan harinya, Nabi Saw melihat semua sahabat, akan
tetapi beliau tidak melihat Ali a.s. Beliau bertanya, di mana Ali? Sahabat
menjawab, dia sedang sakit mata dan sekarang sedang beristirahat. Beliau
bersabda: datangkan Ali ke mari! Ali a.s. datang kemudian Rasulullah Saw
memoleskan ludahnya ke mata beliau. Akhirnya berkat ludah Nabi dan izin Allah
Swt mata beliau sembuh. Lalu bendera diberikan kepada Ali a.s. dan setelah itu
beliau menjebol gerbang benteng Khaibar.
Pada kisah Mubahlah, Rasulullah Saw membawa Ali,
Fathimah, Hasan dan Husain untuk bermubahalah dengan Nasrani Najran.
Sa’ad setelah memaparkan hal tersebut kepada Mu’awiyah,
berkata: wahai Mu’awiyah apakah dengan keutamaan-keutamaan yang aku dengar dari
Rasulullah Saw tentang Ali itu, aku mau melaknatnya?
Mu’awiyah terdiam tidak mau melanjutkan permintaannya.[5]
Siapakah أَبْناءَنا نِساءَناوَ أَنْفُسَنا ?
Berkenaan dengan yang dimaksud kata نِساءَنا adalah
putri Rasulullah Saw, Fathimah s.a kurang lebih tidak ada perbedaan di antara
Syi’ah dan Ahli sunah. Sebagaimana para ulama juga tidak berselisih bahwa yang
dimaksud dengan أَبْناءَنا adalah Hasan dan Husain a.s.
Oleh karena itu poros pembahasan ayat ini hanya
berkaitan dengan maksud أَنْفُسَنا sehingga untuk memahami maksudnya tersebut butuh kepada
pembahasan lebih lanjut.
Marhum Qadhi Nurullah Syusytari dalam kitabnya yang
sangat berharga Ihqaqul hak berkata:” Para mufasir telah bersepakat bahwa
أَبْناءَنا adalah
Hasan a.s. dan Husain a.s. dan نِساءَنا yang dimaksud adalah
Sayyidah Fathimah s.a. dan maksud dari أَنْفُسَنا adalah Ali a.s. Ayatullah ‘Udzma
Mar’asyi r.a. dalam catatan kaki kitab ini menukil poin di atas dari sekitar 60
kitab (dari Ahli sunah).[6] Dengan demikian, masalah ini
begitu gamblang sehingga tidak hanya terdapat di kitab-kitab Syi’ah tapi juga
disebut dalam kitab-kitab Ahli sunah.
Akan tetapi sayang sekali, kendati riwayat yang begitu
banyak ini ada segelintir mufasir Ahli sunah yang terjebak dalam kefanatikan
dan tafsir bi Ra’y sehingga mereka terpaksa menyodorkan hal-hal yang
membingungkan. Berikut ini dua contoh darinya:
Alusi dalam kitab Ruhul Ma’ani, mengakui bahwa hanya
Hasan, Husain, Fathimah dan Ali yang terlibat dalam prosesi Mubahalah. Selain
itu dia menandaskan bahwa seorang mukmin tidak pantas meragukannya. Akan
tetapi, setelah menjelaskan hal-hal tadi dia mulai menjelaskan dalil ulama
Syi’ah dan mengklaim bahwa maksud dari أَنْفُسَنا adalah Rasul sendiri sedang Ali a.s.
termasuk dalam misdaq أَبْناءَنا; karena
dalam sastra bahasa Arab mantu juga disebut dengan Ibn.
Jawaban soal ini begitu jelas; karena sesuai ayat ini
Rasul telah memanggil tiga kelompok. Jika maksud dari أَنْفُسَنا adalah
beliau, apakah maksud dari menyeru diri sendiri? Mengingat Al-Quran kitab yang
paling fasih, tentu tidak akan membawakan hal yang tidak fasih semacam ini dan
tidak akan pernah menyuruh Rasul untuk mengajak dirinya sendiri. Dengan
demikian maksud dari أَنْفُسَنا bukan Rasul. Di samping itu, dalam tata bahasa Arab tidak didapati
seorang mantu juga tergolong dalam anak sendiri, kalaupun ada, hal itu metafora
saja dan jarang dijumpai.
Kita tidak perlu terlalu heran akan ungkapan semacam
ini; karena ini adalah hasil fanatisme yang tidak pada tempatnya, fanatisme
semacam ini sanggup membawa seseorang memaksakan keyakinannya yang menyimpang
untuk memahami Al-Quran karim.
Lebih tragis dari ungkapan Alusi ini dapat dijumpai
dalam ungkapan Muhammad Abduh dalam Al-Manarnya. Saat sampai pada ayat
Mubahalah ini, dia menulis: Riwayat-riwayat telah sepakat bahwa Rasulullah Saw
telah memilih Ali, Fathimah dan kedua putranya untuk bermubahalah. Dan yang
dimaksud dengan Nisa’ dalam ayat tersebut adalah Fathimah, sedang kata Anfusana
adalah Ali saja. (hanya saja) riwayat-riwayat itu berasal dari sumber-sumber
Syi’ah dan tujuan mereka sudah jelas.
Sungguh, ungkapan Muhammad Abduh ini begitu
menggelikan. Awal dan akhir ungkapannya bertentangan. Karena di awal dia
mengklaim riwayat ini disepakati dan menjadi ijmak ulama, tapi di akhirnya dia
menisbatkannya kepada kalangan Syi’ah.
Selain itu sebagaimana telah lewat, ungkapan Muhammad
Abduh tidak dapat dibenarkan karena mayoritas riwayat-riwayat ini dinukil dari
Ahli sunah.
Tidak ada yang dapat diungkapkan lagi atas ungkapan
semacam ini, selain rasa prihatin.
Al-hasil, dengan penjelasan tadi ayat Mubahalah
termasuk ayat Muhkamat dan jelas yang menunjukkan wilayah Amirul mukminin Ali
a.s. dan putra-putra beliau.
Soal: memang benar ayat Mubahalah termasuk ayat yang
menjelaskan keutamaan Amirul mukminin Ali a.s., akan tetapi apa hubungan ayat
ini dengan masalah wilayah dan kepemimpinan beliau dan memasukkan ayat ini
dalam kategori ayat-ayat wilayah?
Jawab: sebagaimana telah lewat maksud dari Anfusana
dalam ayat Mubahalah adalah Ali a.s. Rasul Saw yang memanggil Ali a.s. sebagai
jiwanya sendiri apakah itu bermakna hakiki atau hanya metafora saja?
Tanpa ragu lagi, seruan itu tidak bermaksud hakiki;
artinya Ali bukanlah seorang nabi! Akan tetapi maksudnya adalah Ali a.s.
memiliki keutamaan seperti beliau dalam keberanian, kematangan, ketakwaan dan
pengorbanan serta keutamaan yang lain. Konklusinya, Ali a.s. dalam kedudukan
dan keutamaannya sepadan dengan Rasulullah Saw.
Dengan mengacu kepada poin ini jika memang harus ada
pengganti setelah Rasulullah Saw dan ada seseorang yang dilantik dari sisi
Allah Swt atau ummat Islam ingin memilih pemimpin untuk mereka, apakah mereka
tidak mau memilih seorang sosok yang setingkat atau sedikit di bawah
Rasulullah?
Tidakkah sosok pilihan masyarakat orang yang memiliki
keutamaan, ketakwaan dan kemaksuman Rasulullah Saw? Dan jika ada sosok yang dimaksud ini, akan tetapi
orang-orang selainnya yang dipilih, apakah akal sehat tidak menyebutnya sebagai
tindakan yang tercela?
Oleh karena itu saat misdaq kata anfusana itu adalah
Ali a.s. maka itu merupakan jembatan menuju wilayah beliau.
[1] Orang yang hadir dalam Mubahalah harus memiliki dua hal
pokok. Pertama, sesuai pengakuan Pendeta harus memiliki keimanan, seorang
pembohong tidak akan pernah maju untuk bermubahalah. Kedua, orang seperti ini
memiliki hubungan yang erat dengan Allah Swt, di mana saat dia berdoa atau
mengutuk akan dikabulkan. Ulama Najran yang berjumlah tiga atau sepuluh orang
itu, saat melihat dua hal ini pada diri Rasulullah Saw dan para pendampingnya
mengurungkan niatnya untuk bermubahalah.
[3] Ma’rifatu ulumil Hadis, Cetakan Mesir, halaman 50.
(Sesuai penukilan Ihqaqul hak, jilid 3, halaman 48).
[4] Ungkapan ini merupakan cerminan puncak ketertindasan Imam
Ali a.s. dan klimaks kebencian dan permusuhan bani Umayyah terhadap beliau.
Mereka begitu keji dan kotor sehingga melegalkan laknat terhadap sosok Ali a.s.
di mana seluruh kaum muslimin minimal menerima beliau sebagai khalifah keempat,
bahkan mereka akan menyiksa orang yang tidak melakukannya! Yang perlu
disayangkan adalah sebagian Ulama Ahli sunah masih tetap membela kekejian yang
dilancarkan oleh bani Umayyah dengan pentolannya Mu’awiyah ini, mereka
menyebutnya sebagai pemimpin kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar