Kamis, 12 Juni 2014

Banowati




Oleh Komandan Gubrak

Banowati. Itulah nama putri ketiga dari penguasa Mandaraka, Prabu Salyapati ini di namakan. Bano berarti matahari, cahaya atau ia yang bersinar, sementara nama wati menunjukkan bahwa ia berjenis kelamin perempuan. Perempuan yang bercahaya. Berwajah cantik, berhidung mancung, bermata bulat tajam dengan kerlingan khas yang sanggup meluluhkan hati siapa saja yang memandangnya. Bibirnya mungil tipis, sedikit basah dengan balutan warna dasar merah alamiah. Bila ia tersenyum, terlihat giginya yang seputih kapas berbaris rapi laksana biji mentimun. Berwajah oval dengan dagu lancip di hiasi lesung pipit nan elok di kedua sisi pipinya. Bentuk tubuhnya proporsianal. Tidak terlalu tinggi, tapi juga tidak terlalu rendah. Berdada montok, berbokong bulat. Jika ia berjalan, liukan tubuhnya bak seorang penari yang sedang beraksi di atas panggung. Berkulit kuning langsat, dengan tekstur lembut laksana sutra. Berambut lurus, hitam berkilau terjurai menutupi punggung dengan topangan mahkota emas melingkar indah di atas kepalanya.

Tabiatnya riang, murah senyum dan pandai mengambil hati lawan bicaranya. Pandai memainkan alat musik, merdu dalam bernyanyi dan mahir merangkai puisi. Sebuah kombinasi antara fisik dan kepribadian yang unik, menarik dan jarang di miliki perempuan manapun. Maka tak heran, di manapun Banowati menjejakkan kaki, selalu saja menarik perhatian banyak orang. Sanjungan dan pujian barangkali bukan sesuatu yang asing di telinga Banowati. Apalagi jika ada acara acara kenegaraan yang melibatkan khalayak umum dan tamu asing, dan di situ Banowati di daulat untuk mempertontonkan kebolehannya bermain musik dan bernyanyi. Tepuk riuh penonton yang mengapresiasi olah seni Banowati bahkan jauh lebih menggema di bandingkan dengan pidato politik Raja Mandaraka.

Berusia sekitar tujuh belas tahun. Sebuah masa di mana seseorang mulai mengenali dirinya, mengenali apa apa yang di rasakan dan apa apa yang di butuhkan. Belajar menjadi dewasa, belajar bertanggung jawab dan belajar makna hidup yang sebenar benarnya. Dalam tradisi Mandaraka, ketika seorang gadis mulai meninggalkan masa remajanya dan memasuki masa dewasa, para orang tua di tuntut untuk bekerja ekstra keras demi mendapatkan jodoh bagi anaknya. Mereka menjadi lebih sering berkunjung ke tetangga kenalan atau mungkin kerabatnya sembari berharap ada pemuda yang bersedia menikahi anaknya. Bahkan tak jarang para orang tua membuat sayembara guna mendapatkan jodoh terbaik bagi anaknya. Bisa sayembara adu panah, adu berkuda atau adu ilmu kanuragan. 

Banowati pantas bersyukur dengan karunia Tuhan yang ada dalam dirinya. Segala syarat yang di perlukan untuk menjadi sosok perempuan ideal ada pada dirinya. Bentuk fisik sempurna, berdarah bangsawan, usia yang matang, berbakat dan nyaris tanpa cacat sedikitpun. Tidak sulit bagi Banowati kalau hanya sekedar untuk mendapatkan pria yang bersedia menjadi pendamping hidupnya. Apalagi sejak awal Banowati memang figur terkenal dan menjadi pujaan banyak orang. Artinya, bukan Banowati yang mesti mencari, tapi para pria yang harus berlomba lomba merebut hatinya.

Akan tetapi, terkadang memang lain lubuk lain ilalang. Lain hati, lain yang di rasakan. Kendati kecantikan Banowati begitu di sanjung sanjung seantero jagat, itu tidak serta merta menjadikan Banowati berada di sebuah posisi yang memuaskan hatinya. Dia banyak mengenal pria. Dari yang tampan hingga yang buruk rupa. Dari bangsawan sampai rakyat jelata. Dari Mandaraka hingga mancanegara. Tapi untuk jatuh hati, atau mungkin sekedar tahap pendekatan, rasanya masih jauh dari pikiran Banowati. Gadis ayu anak ketiga dari lima bersaudara putri Prabu Salya ini seakan terlalu larut dalam kehidupannya sendiri. Sehingga hal hal yang sejatinya menjadi perilaku yang lumrah bagi perempuan yang sudah menginjak dewasa, tidak terjadi pada diri Banowati.

Jangan katakan aku tidak menginginkan
Hadirnya dewa asmara swargaloka
Yang sorot matanya menusuk jantung hatiku
Yang sentuhannya menggetarkan jiwaku
Jangan katakan aku mati rasa
Sehingga desah nafas para pecinta tak bisa ku raba
Dan rentangannya hanya menyapu hampa

Ingin menabur asa
Tapi aku takut berbalut derita
Ingin mengayuh sampan
Dan berlayar menuju lautan lepas
Tapi aku takut gelombang
Ingin aku  berlari
Mengitari sudut sudut bumi
Tapi aku takut akan jatuh dan terkilir

Aku ingin menjadi mutiara berkilau
Yang pesonanya bisa engkau ukir dalam jiwamu
Aku ingin menjadi bintang gemintang
Yang cahayanya mengarungi ragamu
Aku ingin menjadi telaga nan bening
Yang sejuknya sembuhkan rindumu

Syair syair itu terdengar mengalun dari bibir Banowati. Kadang melengking dan penuh semangat, kadang lirih, kadang juga meliuk liuk laksana burung camar yang terbang rendah di atas pantai Mandaraka. Pada bait pertama, nada suara Banowati terdengar nyaring, bertempo tinggi, penuh semangat dan mengisyaratkan sebuah protes akan ketertindasan yang terjadi. Di bait kedua, nada suaranya terdengar berbalik. Lirih, pelan dan menguras emosi. Berkali kali Banowati mengulang kalimat itu, seakan ia ingin dunia tahu, apa gerangan yag sedang bergejolak dalam jiwanya. Senandung terakhir intonasinya lebih tinggi, enak di dengar dan mirip lagu lagu melayu yang berkarakter mendayu dayu. 

Sementara di depan Banowati bertengger sebuah alat musik berbentuk perahu yang terbuat dari kayu kenanga sepanjang hampir satu meter dengan belasan senar berbaris rapi di atasnya. Di sebut kecapi. Alat musik tradisional Mandaraka yang di mainkan dengan cara di petik. Bagi Banowati, Kecapi perahu hadiah dari ibunya ini bukan saja berfungsi sebagai pengiring setiap syair yang ia nyanyikan, tapi sudah menjadi teman tak tergantikan sekaligus penghibur yang paling setia di saat hatinya sedang di rundung duka.

Begitulah rutinitas Banowati ketika mendapati waktu senggang. Pergi ke taman bunga yang berada tak jauh dari kediamannya, berteduh di bawah balai berukuran kecil terbuat dari kayu yang di kiri kanannya terdapat beberapa pohon palem yang rindang nan hijau. Sebuah tempat yang pas untuk melatih kemampuan seninya, menggali imajinasi atau kadang sekedar hanya merenung. Jika ia berkenan, ia mengajak beberapa pelayan keputren yang juga pandai bermain musik untuk berlatih bersama, tapi ketika suasana batinnya tidak menentu, Banowati lebih memilih sendiri saja.

Dan sore itu Banowati hanya terlihat sendirian. Memainkan musik dan bernyanyi, sembari matanya yang bening laksana bintang tak lekan memandang hamparan tanaman bunga yang hijau dengan kuncup mekarnya. Ada rasa gundah menyelinap di benak. Yang membutuhkan jawaban hakiki dari relung hati. Ibunya, Dewi Pujawati pagi tadi selepas sembahyang mengutarakan sebuah pesan yang tak bisa di tolak olehnya dan kedua kakaknya.

“Anakku, apakah kalian tidak melihat, ayah ibumu ini sudah menginjak usia senja. Sementara kalian baru saja menapaki masa dewasa” kata ibunya.

“Apakah kalian tidak pernah berpikir untuk mencari seorang pendamping setia yang kelak bisa menjaga kalian jika kami telah tiada ?. Katakan padaku, kapan kalian akan melepas masa lajang ?”.

Bukan sekedar pertanyaan. Tapi juga harapan dari seorang ibu yang menyayangi putra putrinya.

“Ah ibu…, kenapa ibu berkata demikian ?. Bukankah kalau kita semua menikah, suami kami akan membawa kami pergi dari Mandaraka ?. Dan ibu akan kehilangan kami ?” Banowati balik bertanya.

“Iya ibu…!. Kalau tidak ada kami, siapa yang akan menemani ibu sembahyang ?” Herawati, menimpali. Gadis cantik yang wajahnya begitu mirip dengan Banowati dan usianya kurang lebih dua puluhan tahun ini adalah anak tertua dari pasangan Salyapati dan Pujawati. Perangainya kalem, irit bicara dan lebih sering menyendiri. Dia jarang bergaul dengan orang orang di luar lingkup keluarga. Cenderung tertutup dan hanya kepada orang orang tertentu saja ia bersedia mengutarakan masalah masalah yang di hadapinya.

“Kalian ini ngomongnya kayak nggak ngerti keinginan ibu saja. Harusnya kita senang dong, bisa menikah, membangun rumah tangga dan memberi ibu cucu cucu yang lucu. Bukan begitu ibu ?” Surtikanthi setengah mencibir. 

Anak kedua Prabu Salyapati ini memang terkenal banyak bicara, judes, agak sombong dan mau menang sendiri. Tabiatnya begitu mirip dengan ayahnya. Kalau punya kemauan, dia akan memperjuangkannya dengan segala cara. Dalam hal cinta, Surtikanthi punya kebiasaan buruk yang susah sekali di hilangkan. Dia bukan tipe orang setia yang hanya menambatkan hatinya pada satu pria. Bagi Surtikanthi, jika ada yang lebih baik, buat apa mempertahankan yang lama ?.  Maka tak heran jika Surtikanthi di kenal suka gonta ganti pacar. Sudah tak terhitung berapa banyak pria yang datang lalu di tendang oleh Surtikanthi.

“Mmmm….serius nih, kak Kanthi siap di lamar Naro ?” ledek Banowati sembari mengedipkan mata kirinya. Naro adalah salah satu kepala prajurit keamanan istana Mandaraka, anak seorang pembesar di kerajaan.

“Ho…ho….ho…!. Narotama ?. Masak, secantik ini suaminya pria lokal ?. Lihat saja, nanti aku minta ke ayah untuk menggelar sayembara yang mendatangkan para pangeran dari mancanegara” kelit Surtikanthi sengit.

“Oh, mantab itu kak!. Nanti biar Bano yang menyanyi di pesta perkawinan kakak…” puji Banowati memberi semangat.

“Ee….ee…ee…” sela Ratu Pujawati menggoyang goyangkan telunjuk kanannya.

“Tidak ada yang menjadi penyanyi, tidak ada yang menjadi penari juga. Ayahmu akan menikahkan kalian semua. Bersama sama ?”.

“Ibu…???” pekik ketiganya hampir bersamaan. Heran, kaget dan belum sepenuhnya mengerti apa yang ibu mereka katakan.

Menikahkan bersama sama. Dengan cara apa ?. Dengan siapa ?. Dengan pria pilihan masing masing atau pilihan ayah ibunya ?. Atau malah dengan pria yang sama ?.

Bermacam macam pertanyaan berkecamuk dalam benak ketiga putri Mandaraka itu.

“Dengar kata ibu” Pujawati menenangkan.
 
“Ibu hanya menyampaikan apa yang menjadi keinginan ayahmu. Ibu juga tidak tahu dengan siapa kalian akan di nikahkan. Yang penting, persiapkan diri kalian masing masing dan nanti ayah kalian akan memanggilmu satu persatu untuk membicarakan masalah ini”.

“Tapi nggak harus bersama sama khan ibu ?” Banowati protes.

“Nanti bicarakan saja dengan ayahmu” tegas Pujawati tak mau kompromi.

Semuanya terdiam, entah setuju atau tidak. Tapi bagi Banowati, apa yang di kemukakan oleh ibunya benar benar membuatnya merasa tidak enak hati. Bagaimanapun, dari ketiga putri Salya, hanya dia yang belum memiliki pandangan sedikitpun mengenai pasangan hidup. Bukan tidak ingin, tapi hatinya belum terketuk. Belum satupun pria yang pernah ia kenal, berhasil menakhlukkan hatinya. Entah apa gerangan yang menjadi penyebab Banowati begitu sulit mencintai seorang laki laki.

Sekarang orang tuanya berencana menikahkan mereka. Bersama sama pula. Dan seperti yang sudah sudah, bisa di pastikan sang ayah tidak akan surut dengan keputusannya. Mungkin dia, atau kakaknya akan melakukan protes, mengemukakan keberatan dengan alasan masing masing. Tapi barangkali hanya sebatas itu, sebab bagaimanapun ayahnya punya otoritas penuh dalam mengatur kehidupan anak anaknya. Jika sudah begitu, yang bisa di lakukan Banowati dan kakak kakaknya tentu hanya berdoa. Berdoa agar ayah mereka membuat keputusan yang baik dan tidak merugikan perasaan anak anaknya.

Ingin menabur asa
Tapi aku takut berbalut derita
Ingin mengayuh sampan
Dan berlayar menuju lautan lepas
Tapi aku takut gelombang
Ingin aku  berlari
Mengitari sudut sudut bumi
Tapi aku takut akan jatuh dan terkilir

Banowati kembali melantunkan syair ini. Kali ini tanpa memetik dawai kecapinya. Seolah ingin menghayati dan menikmati kata demi kata yang mengalir dari bibirnya. Begitu larut, begitu terbuai. Hingga tak sadar ada sesosok wanita dengan tatapan sayu, tengah berdiri termangu memperhatikan setiap gerak gerik Banowati. Lama sekali wanita itu diam terpaku di belakang Banowati. Sesekali ia menarik nafas, mengatupkan mata sembari menggigit ujung bibirnya yang tampak bergetar seiring alunan syair syair syahdu yang di lantunkan Banowati. Tak ada kalimat yang terlontar, tak pula kakinya berani melangkah lebih dekat. Dia biarkan Banowati terus asyik bersenandung. Bahkan semakin lama ia mendengar nyanyian Banowati, semakin ia ikut larut di dalamnya. Dan tanpa sadar butiran butiran bening mulai meleleh dari telaga matanya. Nyanyian Banowati kini tak ubahnya pisau belati yang menyayat nyayat hatinya. Pedih, perih dan sakit bukan main. Darahnya bergolak, emosinya seolah di aduk aduk oleh sebuah kekuatan maha dahsyat yang di timbulkan oleh syair syair Banowati.

Beruntung Banowati segera menyelesaikan senandungnya. Sehingga tangisnya yang hampir saja meledak, mendadak tertahan. Buru buru perempuan itu meraih ujung selendang, mengusap air matanya dan melangkah menaiki tangga balai.

“Kakak ?” seru Banowati setengah terkejut dengan kehadiran sesosok wanita yang sangat kenalnya, Herawati.

“Teruskan saja…” kata Herawati sembari duduk menjajari Banowati.

“Hanya latihan biasa kok”.

Herawati menoleh sebentar.

“Lagumu bagus” pujinya.

“Ah, kakak ini ada ada saja. Cuma asal menulis aja kok” 

“Ehm….”Banowati memperhatikan raut wajah kakaknya,” kakak abis nangis ya ?”

“Oh….enggak…!” elak Herawati buru buru, “ tadi abis kena debu di jalan”.

“Bohong…”.

“Iya beneran”.

“Kok sampai sembab begitu ?. Jangan jangan….?” Banowati menerka nerka.

“Apa ?”.

“Kakak abis di panggil sama ayah ya ?” Banowati setengah meledek.

“Nggak…” tegas sang kakak.

“Bener ?”.

Herawati terdiam. Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan.

“Tuh khan ?.  Kakak gitu deh…” Banowati pasang muka cemberut.

Keduanya terdiam.

Angin bertiup sepoi sepoi. Menggoyangkan kuncup bunga warna warni di taman itu. Dari ujung mahkota bunga mawar nan merah merekah, seekor kupu kupu berwarna kuning keemasan tampak kepayahan menahan deru angin. Berkali kali ia berusaha hinggap di atas sang bunga dan mengincar sarinya, tapi tiupan angin bertubi tubi menggagalkan usahanya. Cukup lama kupu kupu itu berusaha hinggap. Baru ketika angin mereda, ia mendarat dengan manis dan menghirup wanginya sang mawar.

Herawati melompat dari balai balai kayu setinggi tiga jengkal itu, berjalan dengan penuh hati hati ke arah di mana kupu kupu keemasan itu hinggap. Dan…

Hupp…!.

Di tangkapnya sayap kupu kupu itu, lalu kembali berjalan menaiki balai balai. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, sementara kedua mata Herawati mengamati tingkah polah sang kupu kupu yang berusaha menggeliat melepaskan diri. Sementara adiknya, Banowati, hanya bisa tertegun dengan ulah kakaknya.

“Enak ya, jadi kupu kupu” kata Herawati sambil menimang nimang binatang bersayap di tangannya.

“Dia begitu bebas menentukan pilihan untuk hinggap di bunga mana saja yang hendak ia hinggapi”.

Hanya itu kalimat yang keluar, tapi bagi Banowati terdengar sangat mencurigakan. Apa yang terjadi dengan kakaknya ?.

“Kakak ada masalah ya ?” dara cantik pemilik sepasang lesung pipit itu mendekatkan mukanya pada Herawati.

Kali ini Herawati tertunduk. Raut mukanya terlihat muram. Sementara dari sudut matanya terlihat buliran buliran air bening yang siap untuk di tumpahkan.

“Ayah telah mendapatkan jodoh buatku…”.

“Apa ?. Siapa ?” Banowati melonjak.

“Tidak buruk. Bahkan mungkin dia pria terbaik yang ada di muka bumi”.

“Wow…!” seru Banowati.

“Dia orang terkuat di Hastinapura”.

“Suyudana ?”

Herawati mengangguk.

“Trus ?” penasaran.

“Entahlah…” Herawati gundah.

“Kok ?”.

Banowati makin tak mengerti dengan sikap kakaknya itu. Setahu Banowati, penguasa Hastinapura itu tidak buruk buruk amat. Bahkan secara fisik lumayan tampan dan berusia muda. Mungkin hanya lebih tua sedikit dengan kakaknya. Berkedudukan tinggi dan di hormati segenap raja raja di daratan Jambudwipa. Seharusnya, siapapun akan merasa bangga bisa bersanding dengan ksatria agung seperti Suyudana. Tapi kenapa kakaknya seolah masih gamang ?.

“Ingin menabur asa. Tapi aku takut berbalut derita. Ingin mengayuh sampan. Dan berlayar menuju lautan lepas. Tapi aku takut gelombang”.

Kali ini Herawati melantunkan beberapa syair yang tadi di nyanyikan Banowati. Walaupun suaranya tidak seindah suara Banowati, tapi tampaknya ia begitu menghayati.

“Adik…” Herawati mendadak serius.

“Kalau kamu di suruh memilih, mana yang kamu pilih ?. Pria yang kamu cintai, atau pria yang mencintaimu ?”.

Banowati tidak segera menjawab pertanyaan kakaknya. Pikirannya masih bekerja keras meraba raba apa yang sebenarnya terjadi pada diri kakaknya. Pasti ada sesuatu yang sengaja di sembunyikan. Pertanyaan itu sepertinya bukan sekedar pertanyaan biasa, tapi ada sesuatu yang lain. 

“Kakak tidak menyukai Suyudana ?” selidik Banowati.

“Jawab dulu pertanyaanku!” potong Herawati.

“Mmmm….dua duanya!”.

“Salah satu!??” paksa Herawati.

“Apa ya ?. Bano belum pernah mengalami sih, kak…”.

“Hemmm” cemberut.

“Iya…iya aku jawab” akhirnya.

“Apa ?”.

“Pria yang aku cinta..” jawab Banowati.

“Alasannya ?”.

“Yaaah…buat apa hidup dengan laki laki yang kita tidak pernah harapkan kehadirannya ?” lanjut Banowati dengan penuh semangat.

Herawati menarik nafas dalam dalam, lalu menghembuskannya. Senyum tipis tersungging dari sudut bibirnya. Jawaban Banowati, walaupun tidak akan merubah keadaan tapi cukuplah membuatnya merasa tidak sendirian.. Di tatapnya dalam dalam wajah adiknya, kedua tangannya terentang, dan sebentar kemudian tubuh Banowati telah ada di pelukannya.

“Di dunia ini mungkin hanya kamu yang mengerti perasaanku, Bano” bisik Herawati berkaca kaca. 

Banowati terdiam dalam dekapan hangat sang kakak. Rona kesedihan tampak jelas tergurat di wajah kakak sulungnya itu.

“Ceritakan apa yang terjadi. Kenapa kakak kelihatannya tidak setuju dengan keputusan ayah ?” pinta Banowati sembari menyeka air mata kakaknya. Keduanya lantas melepaskan pelukan, duduk berjajar sembari memandang taman bunga nan indah yang terhampar di depan mereka.

“Baiklah” Herawati buka suara, “tapi kamu janji tidak akan bercerita kepada siapapun ?”.

“Sumpah!” sambut Banowati sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya.

“Aku sudah punya pilihan sendiri. Bukan pria termasyhur dan berkedudukan tinggi seperti prabu Suyudana. Dia orang biasa. Tinggal di negeri seberang. Nun jauh di tengah lautan timur” tutur Herawati.

“Kartawiyaga ?” Banowati menebak.

Herawati mengangguk.

“Darimana kamu tahu ?” selidik Herawati.

“Nebak aja” jawab Banowati menyunggingkan senyum.

“Setahun lalu kami berkenalan. Di sebuah pesta larung sesaji. Kebetulan kakang Wiyaga menjadi salah satu tamu penting. Dia datang sendirian, mewakili paman Kurandageni”.

“Dan kemudian kakak jatuh cinta ?” potong Banowati sembari menaikkan alisnya.

“Entahlah. Aku juga tidak habis pikir kenapa dia begitu memikat hatiku. Padahal orangnya biasa saja. Mungkin secara fisik masih lebih tampan Suyudana”.

“Namanya juga cinta, kak…”timpal Banowati.

“Dia sering datang ke rumah. Biasanya malam hari. Dan tak seorangpun yang tahu”.

“Kakak ???” Banowati tertegun.

“Tenang saja Bano” Herawati meyakinkan. Adiknya tentu mencurigai dirinya telah berbuat tidak senonoh dengan Kartawiyaga.

“Kakakmu ini tidak senista yang kamu kira, Bano” Herawati meyakinkan.

“Kamu tahu, apa yang sering dia lakukan kalau datang ke rumahku ?”.

Banowati menggeleng.

“Dia hanya duduk di tepi ranjang, menyanyikan beberapa bait lagu untuk membuatku terlelap”.
“Hanya itu ?” Banowati heran.

“Bahkan sampai sekarang dia belum pernah menyentuhku”.

“Ah…gimana kalau pas kakak tidur, dia berbuat yang aneh aneh ?” khawatir.

“Aku percaya dengannya” jawab Herawati.

“Seringkali aku hanya pura pura tidur, untuk mengujinya. Dan dia tidak berbuat apapun, kecuali membetulkan selimutku. Setelah itu pergi”.

“Wah, lucu juga ya…?” komentar Banowati geli.

“Itu yang membuatku begitu kagum dengannya” sahut Herawati.

Banowati mengangguk anggukkan kepala. Cinta memang kadang aneh. Benar apa kata para pujangga. Cinta sejati tidak membutuhkan hasrat birahi ragawi. Dia hanya butuh sebuah tempat persemayaman abadi. Tahtanya di relung hati.

“Terus, apa yang akan kakak lakukan ?” tanya Banowati.

“Entahlah” Herawati mendongakkan kepalanya. Menatap langit senja nan memerah. Ada kegalauan yang melanda dalam jiwanya.

“Besok rombongan Hastinapura akan tiba di Mandaraka untuk memastikan rencana ini” lanjut Herawati lirih.

“Melamar kakak ?” tanya Banowati.

Herawati mengangguk.

“Kakak akan menerima lamaran itu ?”.

“Siapa yang bisa menolak keinginan ayahanda ?” potong Herawati meninggi.

Serba salah memang. Banowati paham betul bagaimana karakter ayahnya. Keras kepala, arogan, temperamen dan ambisius. Tidak ada yang bisa mencegah, bila ayahnya sudah memutuskan suatu hal. Tidak saja Banowati dan saudara saudaranya, juga ibunya. Semua harus tunduk dan patuh. Tidak boleh membantah, apalagi melawan. Apalagi posisi kakaknya yang hanya anak perempuan. Yang dalam tradisi Jambudwipa perannya hanyalah pelengkap penderita. Tidak ada hak untuk berbicara, mengemukakan pendapat, apalagi mewarisi tahta. Sehebat apapun perempuan, ia tidak lebih baik dari laki laki, dalam banyak hal. Memprihatinkan. Tapi mau apalagi ?.

“Kakak sabar aja” hibur Banowati, “pasti ayah memiliki pertimbangan yang matang dalam memutuskan itu”. Herawati memejamkan mata. Mengatur nafas. Mencoba membongkar beban yang selama ini begitu menyesaki dadanya. Suyudana mungkin bukan pilihan buruk. Raja besar, kuat dan memiliki pengaruh luas. Menjadi pendampingnya adalah idaman setiap wanita. Tidak saja kehormatannya akan terangkat, akan tetapi martabat keluarga dan tentu saja rakyat Mandaraka. 

Tapi, ini masalah hati. Seperti yang Banowati katakan, buat apa hidup bersama lelaki yang tidak pernah kita kehendaki kehadirannya ?. Sia sia segala kemewahan yang ia terima dari raja Hastinapura itu, jika hatinya sendiri tidak pernah bisa menikmati. Begitupun dengan Suyudana, tentu ia akan sangat menyesal telah menikahi seorang perempuan yang ternyata tak pernah mencintainya. Jika demikian adanya, buat apa rencana perkawinan itu di teruskan.

“Tidak!!!. Semua ini tak boleh terjadi!” tekad Herawati membuncah.

“Kakak serius ?” tanya Banowati heran.

“Ya!”.

“Kakak sudah memikirkan akibatnya ?”

“Hem..” mantab.

“Tapi ayah tak mungkin mau membatalkan rencananya, kak ?” Banowati memperingatkan.

“Kalau aku lari dari Mandaraka, apakah perkawinan itu bisa tetap di jalankan ?” kelit Herawati enteng.

Kali ini Banowati terkejut bukan main. Di tatapnya dalam dalam wajah yang kakak, seolah berharap bahwa ungkapan itu tidak pernah keluar dari mulut sang kakak. Bagaimanapun, konsekuensi yang bakal di tanggung keluarganya tidaklah kecil. Apalagi yang melamar kakaknya bukanlah orang sembarangan. Prabu Suyudana, raja besar yang sangat di segani angkatan perangnya oleh bangsa bangsa di Jambudwipa. Bukan saja perbuatan kakaknya akan membuat malu keluarga Mandaraka, akan tetapi tindakan itu oleh Hastina bisa jadi akan di anggap sebagai sebuah penghinaan. Resiko terkecil, Mandaraka akan di kucilkan. Dan resiko terbesar, Mandaraka akan di serang.

“Kamu pasti berpikir bahwa Mandaraka akan menanggung segala hal akibat perbuatanku” kata Herawati seolah tahu apa yang ada dalam pikiran adiknya.

“Putri prabu Salya bukan aku seorang. Ada kamu dan kakakmu, Kanthi. Kalian berdua juga sudah cukup dewasa untuk menjadi seorang ibu” berhenti sebentar, “Prabu Suyudana belum pernah melihatku. Ayah memilih aku untuknya karena akulah yang paling tua di antara kita semua. Tapi kalaupun ternyata aku memilih jalan lain, besar kemungkinan kalian berdua yang akan menggantikan posisiku”.

“Kakak sudah gila ya??!!!” Banowati meradang. Apa yang di ungkapkan oleh kakaknya kali ini benar benar membuat Banowati jengkel bukan main. Mengorbankan saudara saudaranya untuk kepentingan pribadi jelas jelas bukan tindakan bertanggung jawab. Seolah tidak ada cara lain untuk keluar dari masalah.

“Di mana pikiran waras kakak ?. Sudah jelas ayah menginginkan kakak bersanding dengan Suyudana. Kenapa mesti kami yang harus di korbankan ?” protes Banowati keras.

“Terima saja” Herawati tak mau kalah, “atau kalau kalian tidak setuju, sekalian saja kabur” lanjutnya ketus bukan main.

“Pikirkan baik baik. Selamat sore…”.

Seperti tak ingin berlama lama berdebat kusir dengan sang adik, Herawati lantas mengangkat tubuhnya, berjalan menuruni tangga balai lalu pergi dengan langkah cepat. Meninggalkan Banowati yang tampak masih menyimpan rasa kesal tak terkira. Bukan hanya kesal melihat tingkah Herawati yang sama sekali tidak patut di contoh, akan tetapi kesal karena dia harus bersiap siap menerima akibat dari perbuatan kakaknya. 

Besok, rombongan prabu Suyudana dari Hastinapura akan tiba di Mandaraka. Menemui ayahnya untuk membicarakan rencana pernikahan kakaknya dengan prabu Suyudana. Entah apa yang akan terjadi jika ayahnya mengetahui Herawati telah kabur dari Mandaraka. Marah ?. Itu sudah pasti. Tapi bagaimana jika ayahnya menanyakan perihal sang kakak ?. Jawaban apa yang harus ia kemukakan ?. Kedatangan Herawati sore ini mustahil tidak di ketahui para penjaga keputren. Mereka bisa jadi akan melapor bahwa sebelum kabur, kakaknya sempat menemui dirinya. Jika demikian, sudah pasti ayahnya akan berusaha sekuat tenaga mengorek keterangan darinya. 

Haruskah ia melindungi Herawati dengan tidak mengatakan kemana kaburnya sang kakak ?. Ataukah ia harus mengatakan apa adanya, bahwa kakaknya kabur ke Tirtakandasan demi menemui kekasih hatinya ?. Dua pilihan yang sama sama sulit. Jika ia mengatakan bahwa Herawati pergi ke Tirtakandasan, tentu akan ada tindakan keras akibat perbuatan ini. Bisa jadi ayahnya akan mengirim pasukan dan menyerbu Tirtakandasan untuk meminta paksa putrinya. Sebaliknya jika ia berbohong, kemungkinan besar ayahnya akan memilih satu di antara dirinya dan Surtikanthi untuk menutupi rasa malu di hadapan penguasa Hastina.

Tidak!!. Ini tidak adil…


Fajar menyingsing. Rona merah menyembul di ufuk timur. Terlihat tidak sempurna karena di selimuti awan tipis berwarna kelabu. Dari kejauhan, lamat lamat kokok ayam jantan  menyalak bersahut sahutan, pertanda hari sebentar lagi terang.  Angin bertiup menyibak kabut putih di jalanan kota Mandaraka. Bergerak pelan, menggoyangkan setiap dahan dan ranting yang ia lewati. Membawa hawa dingin yang menyengat pori pori. Di sudut jalan lima prajurit berlarian tergesa gesa. Menyandang pakaian seadanya dengan menenteng sebilah golok di pinggang. Di pimpin oleh seorang pria setengah baya, berkepala botak dengan kumis melintang di atas bibirnya. Raut muka mereka terlihat tegang, seperti ada masalah besar yang sedang terjadi. Melangkah terburu buru menyusuri jalanan. Tidak ada kata yang terucap, tapi jelas sekali mereka sudah paham hendak kemana mereka pergi. Sesampainya di sebuah bangunan besar dengan dua pohon melinjo menjulang setinggi sepuluh meter, langkah mereka terhenti. Seorang pelayan perempuan berumur sekitar lima puluh tahun keluar tergopoh gopoh dari balik pintu menemui kelimanya. Wajahnya terlihat pucat pasi, sementara kedua matanya tampak sembab seperti habis menangis.

“Tunjukkan di mana kamar gusti putri Herawati!” tanya pria botak dengan kumis melintang itu setengah menghardik.

“Mari ikut saya tuan…” kata si perempuan tua ketakutan.

Tiga orang termasuk si botak segera berjalan membuntuti wanita tua itu. Sementara dua lainnya berjaga jaga di depan pintu. Melintasi ruang tengah, menyusuri lorong dan tiba di sebuah ruangan tempat di mana kamar tidur Herawati berada. Tanpa menunggu waktu lama, ketiga pria itu segera menyerbu masuk. Memeriksa apa saja yang ada di ruangan itu. Lemari, tempat tidur, rak buku meja kursi dan semua perabotan yang ada di dalam kamar itu untuk mendapatkan sesuatu yang bisa di jadikan petunjuk. Tapi sayang, tak satupun petunjuk yang bisa ia temukan. Salah satu di antaranya berlari ke arah jendela kamar yang sepertinya sudah terbuka sejak awal. Menoleh ke kanan dan kiri lalu berteriak kepada kawan kawannya.

“Pasti lewat sini!!!” teriaknya kepada yang lain. 

Lelaki berkumis melintang yang sibuk memeriksa rak buku milik Herawati bergegas menuju ke tempat yang di maksud. Melongok keluar lalu memeriksa keadaan jendela.

“Tidak ada yang di rusak” guman si botak.

“Trus gimana, paman ?”.

Pria berkepala botak berumur setengah baya itu tidak menjawab. Di raihnya lampu penerang di dekat jendela, lalu dengan hati hati ia melompat keluar. Matanya yang tajam menyapu ke sekeliling. Suasana di luar terlihat sunyi, hanya kabut putih yang menari nari di sela sela pepohonan. Lelaki berkumis melintang itu kemudian  mengambil posisi jongkok, mendekatkan lampu penerang berbahan bakar minyak jarak ke atas tanah.

Ada jejak jejak sepatu berbeda ukuran yang masih tercetak jelas di atas tanah liat di depan jendela. Tidak hanya satu, tapi dua. Pertama berukuran kecil dengan ujung lancip. Kemungkinan besar jejak pertama ini jejak sepatu milik putri Herawati. Yang kedua berukuran besar dengan bentuk nyaris seperti persegi panjang. Tercetak samar samar bahkan hampir tak kelihatan. Menilik dari ukuran sepatu kedua yang lebar dan besar, kemungkinan pemiliknya memiliki ukuran tubuh yang besar pula. Dan logikanya dengan proporsi tubuh yang besar dan berat, tentu akan menghasilkan cekungan di permukaan tanah yang lebih dalam dan jelas. Tapi anehnya, bekas tapak sepatu itu hanya terlihat samar samar. Dan jikalau ada angin yang cukup kuat menyapu permukaan tanah, bisa di pastikan jejak itu akan hilang seketika.

Lelaki botak berkumis melintang itu mengerutkan dahi.

“Pasti ini perbuatan orang yang memiliki kemampuan ilmu meringankan tubuh di atas rata rata” pikirnya meraba raba. Tapi siapa ?. Di lingkungan Mandaraka, sedikit sekali orang yang memiliki kemampuan meringankan tubuh seperti itu. Dan jika di kaitkan dengan ukuran terompah sepatu yang lebih lebar dari kebanyakan, maka akan lebih sulit lagi mencari cari siapa gerangan orang Mandaraka dengan bentuk kaki seperti itu.

“Hanya satu orang!” si botak setengah memekik.

Ya, hanya satu orang yang paling mungkin memiliki jejak seperti ini. Yaitu putra ke empat prabu Salya. Raden Burisrawa. Siapa lagi orang Mandaraka yang memiliki tubuh raksasa dengan bentuk kaki lebar selain Raden Burisrawa ?.

“Tapi…?” kali ini pria berkumis tebal melintang itu terlihat ragu ragu. Rasanya tidak mungkin kalau sang penculik putri Herawati adalah Burisrawa. Selain ia adalah adik kandung dari Herawati yang tentu saja mustahil melakukan itu, kemampuan olah kanuragan sang Burisrawa tidaklah sehebat itu. Jangankan menguasai ilmu meringankan tubuh yang mumpuni, bahkan ilmu silatnyapun tidak seberapa. Dia hanya jago bergulat. Sebuah tehnik membanting lawan yang sama sekali tidak memerlukan keahlian meringankan tubuh.

“Pasti ada orang luar yang memasuki keputren Mandaraka!” pria itu mengambil kesimpulan.

“Kejar!!!” perintahnya serta merta.

Dua orang anak buahnya yang sejak tadi hanya mengamati gerak gerik atasannya dari mulut jendela lantas melompat keluar memenuhi perintah. Dengan senjata terhunus mereka berlarian menyusuri kebun kelapa, menyibak ilalang, meneliti jejak jejak kaki yang mungkin tertinggal dengan harapan bisa  menemukan apa yang mereka cari. Tapi hingga semua sisi kebun mereka jelajahi, tak juga mendapatkan buruannya. Akhirnya mereka kembali menghadap si botak dengan tangan hampa.

“Tidak ada siapa siapa !” lapornya dengan nafas tersengal sengal.

“Keparat!!!” maki si botak marah bukan main.

“Bunyikan tanda bahaya, dan lakukan pengejaran hingga ke luar keputren Mandaraka!!!” perintahnya kalap.

“Siap!”.

Dalam sekejap suasana kota Mandaraka yang sunyi di pagi itu mendadak menjadi riuh. Tabuhan kentungan tanda bahaya menyalak di sana sini. Para penghuni kota yang masih terlelap dalam mimpinya, mendadak di bangunkan oleh kabar mengejutkan tentang hilangnya putri Herawati dari istana keputren. Di setiap sudut kota, puluhan bahkan ratusan prajurit bergerak menyisir semua tempat yang di curigai. Tidak hanya itu, mereka juga menutup pintu gerbang masuk kota Mandaraka, menghentikan setiap orang yang lewat untuk di interogasi dan juga melakukan patroli mengelilingi tembok istana guna mencegah si penculik Herawati keluar dari istana. 

Prabu Salyapati yang mendapat laporan atas hilangnya Herawati dari keputren segera bergegas menuju kediaman putri sulungnya dengan di kawal oleh putra bungsunya, Raden Rukmarata, Kepala Keamanan Keputren Raden Narotama serta beberapa prajurit pilihan untuk memastikan sendiri kabar buruk yang baru saja ia terima. Marah hati sang raja Mandaraka ketika mendapati bahwa anak perempuan yang sebentar lagi hendak ia jodohkan dengan ksatria tersohor Hastinapura justru raib dari istana. Sebagai seorang raja yang di kenal sakti mandraguna dan di segani banyak orang, apa yang baru saja terjadi tak ubahnya sebuah penghinaan yang tak bisa di maafkan.

“Apa ini ??. Apa ini ???” Prabu Salya geram.

“Apa saja kerjaanmu, Narotama ?. Sehingga dengan mudah pencuri itu memasuki istanaku ?. Hehhh!!!” hardik sang Salya.

Kepala keamanan istana Mandaraka yang juga anak dari seorang patih Mandaraka itu dengan muka pucat dan tubuh gemetaran buru buru menjatuhkan lututnya dan bersimpuh di kaki Prabu Salya seraya meminta ampun atas segala keteledorannya.

“Ampun gusti prabu…ampun” ucapnya ketakutan, “semua ini kesalahan hamba…”.

“Kamu tahu, akibat keteledoranmu ini, Mandaraka berada dalam posisi sulit. Apa yang akan kita katakan kepada Prabu Suyudana ?. Apa ??”.

“Hamba akan berusaha menemukan kembali gusti Herawati, gusti prabu!!” janji Narotama sigap.

“Hemm….” Prabu Salya mendengus. Matanya yang bulat lagi tajam tak juga beranjak memelototi sang Narotama. Apa yang di ucapkan kepala keamanan keputren Mandaraka tadi sepertinya tak cukup untuk meredam kemarahannya. Sementara sang Narotama yang mulai menyadari nasibnya kini berada di ujung tanduk terlihat makin gemetaran melawan rasa takut.

“Ampuni hamba gusti…hamba mengaku salah” rengek Narotama seraya mencium kaki Prabu Salyapati dengan harapan raja Mandaraka itu berkenan mengampuni kesalahan yang telah di perbuatnya.

Namun usaha Narotama sepertinya tak mampu meluluhkan hati Prabu Salyapati. Raja Mandaraka yang di kenal sakti mandraguna ini benar benar sudah tak bisa menahan lagi kesabarannya.

“Pengawal!!!” teriaknya sang Raja Mandaraka keras.

“Hamba gusti!” empat orang prajurit dengan serempak memenuhi panggilan Salyapati.

“Tangkap Narotama dan jebloskan dia ke penjara!!!” titah sang prabu tanpa bisa di bantah lagi. Segera ke empat prajurit itu menarik pundak Narotama, lalu membawanya pergi dari hadapan prabu Salyapati. Tidak ada perlawanan sedikitpun dari sang Narotama. Kepala keamanan keputren Mandaraka yang di isukan memiliki hubungan intim dengan Dewi Surtikanthi putri Prabu Salya ini hanya terlihat pasrah menerima hukuman dari majikannya.

“Rukmarata” panggil Salyapati lirih. 

“Iya ayah” sahut Rukmarata mendekat pada ayahnya.

“Panggil kedua kakakmu, Surtikanthi dan Banowati. Suruh dia menghadap ayah siang ini juga!”.

“Siap ayah…!”.

“Kedua, sampaikan pada pamanmu patih Singalodra, perintahkan untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan tamu dari Hastina”.

“Ya ayah!”.

“Mengenai Narotama, katakana padanya, bahwa aku hanya memberi pelajaran pada putranya agar kelak tidak lagi mengulangi perbuatannya!”.

Rukmarata mengangguk.

Setelah mengatakan itu, Prabu Salyapati kemudian beranjak keluar dari keputren untuk kembali ke istananya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar