Oleh
Frank
Julian Gelli*
Dalam naskah ini, saya bermaksud menantang paradigma sekularis
Barat yang dominan melihat politik dan agama, atau kepercayaan, sebagai
sama-sama eksklusif (saya selanjutnya menamakannya “The Matrix”.
Saya
mengemukakan argumen bahwa itu tidak diinginkan oleh manusia dan secara teologi
tidaklah niscaya. Untuk menunjukkan itu, saya melakukan penelitian terhadap
beberapa halaman utama Injil. Locus classicus (kata yang berasal dari
bahasa Latin; locus berarti ‘tempat’) dari pandangan yang salah dan
bersifat separatis—firman Tuhan tentang hubungan antara Kaisar dan Tuhan
(Matius 12:vv.13-17)—pantas dikritisi. Suatu perspektif sejarah dikemukakan
dengan mempertimbangkan visi-visi tentang sebuah Negara yang adil dalam sejarah
Kristen, seperti Kerajaan Romawi Suci dan Persekutuan Suci. Pemikiran dari
penulis Rusia bernama Vladimir Solovyew dijadikan referensi.
Pemikiran-pemikiran filsafat diungkapkan. Dimensi-dimensi eschatology dan
messianis dalam tradisi Kristen dibahas dan relevansinya dengan persoalan vital
tersebut diperdebatkan—kebutuhan politik teologi global yang urgen—dianalisis.
Akhirnya, saya mengemukakan contoh-contoh mengenai wilayah-wilayah dimana
kepentingan-kepentingan umum Islam dan Kristen seharusnya mendorong kita untuk
saling memperlakukan satu sama lain sebagai sahabat dan bekerjasama dalam
perjuangan besar.
Wacana Pengantar
“The
Matrix”, bagi Anda yang bukan penggemar film, adalah judul sebuah film fiksi
ilmiah yang mendapat banyak pujian. Pahlawannya, seorang pemuda yang bernama
Neo, seorang programer komputer, mulai menerima pesan-pesan misterius dari cyberspace
(ruang kerja serba otomatis). Secara bertahap, ia mempelajari kebenaran
yang mengejutkan. Realitas bukanlah hal yang terlalu disukainya. Sesungguhnya,
realitas sama sekali tidaklah riil. Sebuah program komputer
yang berbahaya, universal, dan mudah menyebar telah menggantikan ras
manusia. Seluruh persepsi, pemikiran, dan kesan-kesan dari Neo tentang dunia
luar sesungguhnya merupakan ilusi-ilusi; rekayasa-rekayasa; dan
manipulasi-manipulasi digital. Ia, bersama dengan berjuta-juta dan
bermilyar-milyar manusia lain, sesungguhnya terkuburkan dan tersumbat seperti
dalam baterai-baterai yang menuju kerangka utama “Matrix” tersebut, yang
merakit dan mengendalikan semua kehidupan mentalnya. Di sana, di dalam “Matrix”
tersebut, ia bermimpi bahwa ia terbangun, aktif, dan bebas, padahal ia
tertidur, pasif, dan diperbudak. Cerita film tersebut pertama-tama tentang
terbangunnya Neo dari segala mimpi buruk yang begitu nyata, dan selanjutnya
tentang perjuangannya, bersama dengan beberapa teman revolusionernya, untuk
melawan “Matrix”tersebut dan pada akhirnya menyelamatkan umat manusia dari
cengkeraman sangat kuat program jahat tersebut. (Sebagian
orang mengemukakan bahwa Neo melambangkan seorang Penyelamat seperti Yesus.
Untuk sahabat-sahabatku kaum Muslimin, saya kira, saya dapat mengemukakan bahwa
Neo sama-sama tampak sebagai figur seperti Mahdi as)
Realitas dan Tuhan
Marilah kita bersikap dengan sangat tegas. Saya ingin
mengemukakan kepada Anda bahwa hari ini dunia Barat—apa yang senantiasa
disebut, secara terhormat, Christendom (Umat Kristiani)—juga menjalani
realitas palsu dan ilusif; sebuah kebohongan. Sebuah kebohongan yang dengan
tekun diberi gizi, dikemukakan terus, diperkuat, dan diyakinkan, berulang kali,
dengan cara yang keras, oleh media, bahasa wacana publik, para pembentuk opini,
dan pastinya oleh setiap orang. Sebuah kebohongan yang dikemukakan dengan
sangat sederhana namun sedikit kasar, bahwa Tuhan itu tidaklah relevan. Bahwa
Tuhan itu bukanlah apa-apa. Bahwa Tuhan dan kehidupan adalah sama-sama
eksklusif. “The Matrix”—bukanlah entitas fantastis yang ditampilkan melalui
film tapi sebuah konspirasi aktual, nyaris universal, dan sangat mudah
menyebar—telah mengkondisikan pemikiran Barat untuk percaya bahwa Tuhan itu
tidak relevan dengan lingkup publik, dengan persoalan-persoalan sosial, moral,
ekonomi, dan finansial—persoalan-persoalan yang benar-benar berhubungan dengan
jalan dimana manusia hidup.
Tapi bagaimana bisa demikian? Tuhan itu sendiri, sebagai
pencipta alam semesta dan realitas, merupakan puncak realitas, Ens
Realissimus, menggunakan bahasa teologi skolastik, Tuhan Yang Mahatinggi,
Mahatampak. Lantas bagaimana Tuhan dapat disingkirkan dan dikucilkan dari
struktur-struktur publik yang membentuk kehidupan normal kita? Apakah hal itu
tidak sama dengan menyatakan bahwa realitas itu tidaklah riil/tampak? Bahwa
dunia bukanlah apa yang kita jalani? Bahwa umat manusia melakukan sebuah
kebohongan?
(Catatan: adalah signifikan dimana Lenin berkata, “Sejauh yang
berkenaan dengan Negara, maka agama merupakan urusan pribadi.”)
Seandainya saya ingin mengubah metafora, maka saya ingin
mengatakan bahwa “The Matrix”telah merekayasa sebuah paradigma, sepasang
kacamata konseptual yang bersifat sangat universal yang telah ditusukkan ke
dalam hidung setiap lelaki, wanita, dan anak-anak di Barat. Paradigma itu,
lagi-lagi, adalah bahwa agama dan politik ibarat kapur dan keju. Keduanya tidak
cocok. Keduanya tidak selaras. Orang-orang yang adakalanya berani untuk
menantang paradigma tersebut, dengan memerangi “the Matrix”, seperti Neo,
secara ritual dicaci-maki, dilaknat, dan ditolak dengan berbagai julukan
seperti ‘fundamentalis’, ‘teokrat’, ‘fanatik agama’, ‘pelaku jihad’, ‘mullah’,
dan sebagainya. Kecil tapi memberi contoh. Konsep European Charter of
Fundamental Rights (Piagam Eropa tentang Hak-hak Asasi) yang baru-baru ini
dibuat sama sekali tidak menyebutkan ‘Tuhan.’ Bahkan sekali pun tidak. Walaupun
adanya permintaan dari Paus, John Paul II, namun nama ‘Tuhan’ dengan sengaja
dikeluarkan dari dokumen yang sangat buruk itu.
Tuhan: Yang Mahasempurna
Menentang arogansi, kedengkian, dan penipuan dari “the Matrix”,
saya ingin mengungkapkan kata-kata dari Injil. Yang pertama dari sepuluh
perintah Tuhan, yang diberikan-Nya kepada Musa as di atas lembaran-lembaran
batu di Bukit Sinai, berbunyi: “Aku adalah Tuhan kamu. Kamu tidak memiliki
tuhan-tuhan lain selain Aku.1 Pernyataan ini
merupakan sebuah pernyataan absolut. Sebuah pernyataan, perintah, yang tidak
mengakui adanya pengecualian-pengecualian. Tidak relatif dan tidak juga
komparatif. Tidak pula subjektif. Tidak membiarkan adanya kualifikasi, tidak
lebih dan tidak kurang, tidak minus dan tidak plus, tidak ‘kecuali’ atau tidak
‘bergantung.’ Tidak ada pengkondisian kultural atau permainan sulap dari jenis
itu. Ia adalah sebuah nilai tanpa syarat, sebuah standar absolut dan objektif
yang menyatakan apa yang berbunyi: ‘Aku adalah Tuhan kamu. Kamu tidak memiliki
tuhan-tuhan lain selain Aku.’
Hak-hak asasi manusia, demokrasi, persamaan hak, parlemen,
partai-partai politik, raja-raja, penguasa-penguasa, presiden-presiden, perdana
menteri—seluruh institusi, konsep, dan segala sesuatu yang mungkin baik atau
kurang baik atau tidak begitu baik—itu tidaklah mengapa. Bukanlah itu
persoalannya. Apa yang menjadi persoalannya adalah bahwa tidak ada satu pun
dari semua itu yang absolut. Semua itu merupakan nilai-nilai relatif dan
kondisional. Semua itu tergantung pada kondisi-kondisi sejarah, kultur, etnik,
dan sosiologi. Walaupun hari ini di dunia Barat semua itu diagungkan—atau saya
harus katakan disembah—sebagai kategori-kategori mirip Tuhan —atau sebagai
tuhan-tuhan di samping Tuhan Yang Mahaesa—namun semua itu tidaklah demikian.
Semua itu tidak memiliki validitas absolut. Tidak demikian halnya dengan Tuhan.
Sebab Tuhan adalah Zat yang absolut—Mahasempurna. Karena Zat Yang Mahasempurna
itulah, segala sesuatu, setiap orang, setiap nilai, dan setiap diri harus
dibuat tunduk dan harus tunduk. (Islam=ketundukan)
Sebuah konsekuensi. Jika Tuhan itu Mahasempurna, Mahatampak,
Mahatinggi, dan Puncak Realitas—Tuhan semesta alam—maka tidaklah dikehendaki
oleh manusia bahwa Dia tersembunyi dari lingkup publik—tanpa mempedulikan
bagaimana kehidupan yang menarik di dalam “the Matrix”, kehidupan di dalam
realitas yang salah dan palsu. Lagi pula, kehidupan itu diinginkan oleh Neo, pahlawan
yang memimpin perjuangan melawan “the Matrix”, dimana ia harus tetap
terbius-hidup dan terpenjara dalam kerangka utama “the Matrix”, yang secara
subjektif berbahagia namun secara objektif sangat menyedihkan dan benar-benar
diperbudak. Tuhan, Zat yang menggenggam kehidupan dan kematian, Pencipta Yang
Mahaperkasa dan Mahatampak, tidak dapat dikucilkan dari kehidupan, politik,
jual-beli, perbankan, kesehatan, pendidikan, keluarga, dan dunia nyata dari
manusia. Teologi—theo+logos: ilmu tentang Tuhan—merupakan ilmu
pengetahuan global. Ia mempengaruhi, mencakupi, dan meliputi seluruh realitas
sebab objeknya yang tertinggi, yaitu Tuhan, Sang Realitas Tertinggi, dan
Realitas itu sendiri.
Satu
Keberatan Teologi yang Utama
Saya kini harus menghadapi keberatan standar untuk jalan yang
saya sedang tempuh—bahwa Tuhan tidak dapat dan tidak harus disingkirkan dari
lingkup
publik.
Dalam Injil menurut Markus 12:13-17, kepada Yesus diajukan
sebuah pertanyaan. Sebuah pertanyaan yang maknanya telah mengumandang pada abad
tersebut dan masih berkumandang hingga hari ini. Pengabar Injil meriwayatkan
bahwa para Farisi (Pharisee=sekte Yahudi zaman dahulu yang sangat patuh
kepada ajaran Yahudi) dan beberapa pengikut Raja Herod menemui Yesus, dengan
berusaha untuk memasang perangkap baginya. Mereka bertanya kepadanya,
“Guru, kami tahu Anda benar namun Anda tidak mempedulikan orang; karena Anda
tidak memandang kedudukan orang per orang namun dengan sungguh-sungguh mengajarkan
jalan Tuhan. Apakah sah untuk membayar pajak kepada Kaisar ataukah tidak sah?
Apakah kami harus membayar mereka ataukah tidak harus?” Markus selanjutnya
mengatakan bahwa Yesus, karena mengetahui kemunafikan mereka, memberikan
jawaban, “Mengapa kalian menguji aku? Berikan aku satu uang logam dan biarlah
aku mengamatinya!” Mereka memberinya sebuah uang logam dan ia berkata, “Milik
siapa uang ini?” Mereka menjawab, “Milik Kaisar.” Yesus berkata kepada mereka,
“Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada
Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” Markus berkata, “Dan mereka merasa kagum
dengan peristiwa ini.”
Sesungguhnya musuh-musuh Yesus, yaitu orang-orang munafik, yang
sungguh-sungguh tidak peduli terhadap hukum Tuhan, telah berusaha untuk
menjebaknya. Itu bukanlah permintaan tulus untuk mendapatkan petunjuk
spiritual. Itu adalah sebuah tipu-daya. Seandainya Yesus menjawab, “Ya, sah
untuk membayar pajak kepada Kaisar, pemegang otoritas Romawi,” maka berarti
mereka akan menjadikannya seorang kolaborator, seorang kafir, seorang Yahudi
yang tidak benar, yang bersedia untuk berkhidmat kepada para penguasa asing
penyembah berhala yang terkutuk, yaitu para penguasa Romawi. Sebaliknya,
seandainya Yesus menjawab, “tidak, itu tidak sah,” maka mereka akan mengabarkan
tentang Yesus kepada bangsa Romawi dan menuduh Yesus sebagai seorang
pemberontak, seorang revolusioner, seorang penghasut yang mengobarkan kerusuhan
untuk menentang negara. Korelasinya, Yesus berarti telah melemahkan misi
tertentu dari Tuhannya. Namun, Yesus “menghantam” mereka melalui permainan
mereka sendiri. Yesus memberikan jawaban dialektis yang cemerlang, sebuah
jawaban cepat, tepat, dan keras yang menimbulkan buah simalakama. “Berikanlah
kepada Kaisar—Negara—apa yang menjadi milik Negara, dan berikanlah kepada Tuhan
apa yang menjadi milik Tuhan.”
Keberatan yang Disangkal
Namun perhatikanlah! Apakah jawaban ini tidak memiliki makna?
Jawaban ini tidak bermakna, bahkan untuk sesaat, bahwa Kaisar dan Tuhan berada
di atas pijakan yang sama, memiliki kedudukan yang sama. Pikirkanlah ini!
Dapatkah Yesus, yang ditahbiskan dengan upacara pemberian minyak oleh Tuhan,
Pembawa wahyu yang ditunggu-tunggu, Penyelamat bangsa Israel, Sang Penebus yang
dijanjikan, telah menyamakan negara dengan Tuhan? Tolong saya! Betapa
menggelikannya! Betapa ini sebuah kebohongan! Kebohongan psikologis, spiritual,
dan teologis! Tentu saja, Yesus, Sang Putra Manusia—bagi orang-orang Kristen
memang Putra Tuhan—mengetahui bahwa Tuhan itu Mahatinggi. Bahwa Tuhan itu Zat
yang tertinggi. Bahwa Tuhan itu merupakan Realitas Mutlak. Bahwa Kaisar,
negara, bagaimanapun Anda menafsirkannya, adalah lebih rendah dan tunduk kepada
Tuhan. Bahwa Yesus, Orang yang ditahbiskan dengan upacara pemberian minyak oleh
Tuhan, mustahil memaksudkan sesuatu yang berbeda.
Kekuasaan Kerajaan Tuhan
Tidak menjadi masalah bahwa Yesus berniat untuk membagi realitas
menjadi dua kekuasaan yang berbeda, terpisah, dan tidak berhubungan, yaitu
spiritual dan duniawi. Walaupun terdapat beberapa perbedaan seremonial dan
ritual—pada masa Israel dahulu, sebagai contoh, suatu suku khusus diasingkan
untuk tugas-tugas kependetaan, sebagaimana terhadap para pendeta Gereja Kristen
sendiri. Perbedaan klasik di antara spiritual dan duniawi tidaklah sama dengan
perbedaan modern antara relijius dan sekuler. Perbedaan klasik mengasumsi
konsepsi realitas dan konsepsi masyarakat manusia bergantung pada Tuhan,
ditentukan oleh Tuhan, diberikan informasi oleh Tuhan, dan diperintah oleh
Tuhan.
Dalam hubungan ini, penulis Rusia Vladimir Soloviev telah
mengemukakan argumen berupa gagasan tentang sebuah negara Kristen, sebuah
gagasan yang kembali pada Kaisar Konstantin, sebagai sebuah gagasan yang
merupakan deduksi dari kategori utama Injil Kristen—yaitu gagasan tentang Kerajaan
Tuhan. Kerajaan yang demikian, di bumi, akan terdiri dari tiga konsep terkait:
Gereja Kristen, Negara Kristen, dan Masyarakat Kristen. Tiga dimensi yang
memiliki esensi yang sama: Kerajaan dan kekuasaan kerajaan Tuhan di bumi.
Gereja yang mengabdi kepada Tuhan sebagai kebenaran mutlak. Demi
kepentingan-Nya, maka gereja melayani umat manusia. Negara dalam lingkup
relatifnya melayani dan meratakan keadilan suci Tuhan untuk umat manusia.
Masyarakat Kristen, dibantu oleh Gereja dan negara, berusaha untuk membangun
dan memenuhi Kerajaan Tuhan melalui lembaga-lembaga solidaritas sosial, yang
memfasilitasi realisasi kemerdekaan yang sesungguhnya.
Konklusi
Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa kami semua di Barat yang
peduli tentang Tuhan dan kerajaan-Nya di bumi menyampaikan terima kasih yang
sangat besar kepada Islam. Terima kasih untuk kehadiran Islam di antara kita
hari ini hingga kita mulai bangkit dari tidur kita yang terbius “the Matrix”.
Islam membantu kita untuk menemukan kembali fakta bahwa model politik Barat
yang kontemporer bukanlah model politik satu-satunya. Bahwa paradigma mutakhir,
tidak seperti Ten Commandments (Sepuluh Perintah Tuhan), tidaklah
tertulis di atas lembaran-lembaran batu. Demikianlah, sebab Islam
mempersembahkan kepada kita model pemahaman politik dan hubungan-hubungan yang
berbeda, alternatif, dan hidup, di antara sekuler dan agama, Gereja dan negara,
duniawi dan spiritual. Islam menganugerahi kita kebutuhan dan visi yang saya
telah perjuangkan: kebutuhan, yaitu kebutuhan mendesak dalam hal politik global
dan politik teologi universal. Suatu politik yang diinformasikan oleh teologi,
oleh ilmu pengetahuan tentang Zat Yang Absolut, pencipta seluruh
realitas—Tuhan. Gagasan tentang Imam Mahdi terutama adalah signifikan. Karena
begitu banyak orang Kristen, atau saya harus mengatakan “orang-orang Kristen
gadungan”, telah benar-benar berhenti untuk mempercayai “Kedatangan Kedua”
Kristus di bumi, maka kaum Muslimin mengingatkan kita tentang figur eschatology
yang utama ini, Imam Mahdi, yang akan merealisasikan kekuasaan kebenaran
dan keadilan di bumi. Betapa dahsyat ajaran yang memberikan inspirasi ini!
Betapa harapan yang besar dan luar biasa! Semoga Islam memberikan inspirasi
kepada kita semua untuk melakukan apa yang saya telah kemukakan dalam naskah
ini: memerangi “the matrix”.
*Frank Julian Gelli adalahpendeta Anglikan di
London sekaligus pendiri Arkadash Network fo Religious and Cultural Dialogue.
Tulisan ini dikutip dan disarikan dari buku Pemerintahan Akhir Zaman
(Al-Huda Islamic Cultural Center Jakarta, 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar