oleh Dian
Basuki
Suatu malam yang gelap. Tubuh yang lebam itu
akhirnya dijemput ajal saat dua butir peluru menembus punggungnya. Tiga tubuh
lainnya, tengah meregang nyawa, lebih dulu menantinya di liang tanah.
Orang-orang Falangis, pendukung Jenderal Franco yang fasis, mengumpat: ”Dua
butir peluru itu untukmu, karena kamu homo dan kamu merah!”
Orang mencatat, 19 Agustus 1936 waktu itu.
Lelaki yang ditembus peluru itu bukanlah pemberontak. Ia seorang penyair,
dramawan —menulis naskah dan memainkannya di panggung-panggung teater, juga
bermain musik. Di usianya yang 38 tahun, energi kreatifnya yang tengah memuncak
terputus tiba-tiba oleh maut, ketakutan, horor, kegilaan akan kuasa, yang
ditebarkan oleh kaum kanan dan pasukan-pembunuh Franco, la escuadra negra
(skuadron hitam).
Jadilah ia martir: pada
pukul lima sore hari selebihnya adalah kematian, dan kematian semata
Simbol ketertindasan itu bernama Federico
Garcia Lorca, lelaki yang meramalkan kematiannya sendiri. Di belantara New
York, 1929, yang ia sebut ”Senegal yang dilengkapi mesin”, Lorca menulis sebuah
puisi [bahwa ia akan dibunuh dan jasadnya tak akan pernah ditemukan]. Puisi itu
ia selesaikan 19 Agustus 1931, dan lima tahun kemudian kekuatan fasis
membenarkan ramalannya.
Di sebuah bangsa yang hidup dalam tradisi yang
sadar akan kematian —maut yang siap menjemput matador di gelanggang pertarungan
dengan banteng, ramalan Lorca itu tetap saja tak ubahnya obsesi. Kematian
adalah tontonan akbar, kata Lorca. Ia menulis banyak puisi perihal kematian.
Banyak orang akrab dengan Lament for the Death of a Bullfighter (1935),
yang ia tulis untuk mengenang sahabatnya, Ignacio Sanchez Mejias.
Setelah tujuh tahun pensiun, Mejias kembali ke
gelanggang. Lorca tahu, secara naluriah, matador itu sedang menjemput maut.
Ketika itu terbukti benar, Lorca memberitahu kawannya: ”Kematian Ignacio itu
seperti kematianku. Godaan itu datang menghampiriku.” Ia, kata Lorca, ”sudah
melakukan setiap hal yang ia sanggup agar lolos dari kematiannya, tapi setiap
hal itu hanya menolongnya mengencangkan tali jaring.”
Begitu pula Lorca. Di awal perang saudara, ia
semestinya berada di Mexico bersama aktris favoritnya, Margarita Xirgu, yang
akan mementaskan dramanya. Tapi Lorca enggan meninggalkan Spanyol. Ketika
kekerasan oleh militer mulai marak di Madrid, Lorca memutuskan kembali ke rumah
asalnya, Granada. Berulang kali ia diingatkan, jangan tinggalkan Madrid.
”Tetaplah di sini. Kamu jauh lebih aman berada di Madrid,” pinta Luis Bunuel,
sutradara film, sahabat Lorca.
Namun, seperti figur dalam puisinya, Primer
romancero gitano (Gypsy Ballads, 1928), yang terpanggil
untuk berkencan dengan kematian, Lorca tetap pulang ke Granada. Ke kaki gunung
Sierra Nevada ia menjemput takdirnya. ”Hidup adalah gelak tawa di tengah-tengah
tasbih kematian,” ujarnya suatu ketika.
Begitu sederhana, begitu semeleh:
sebagaimana aku tidak cemas dilahirkan aku pun tak cemas menghadapi mati
Kebangkitan kaum fasis di Spanyol adalah
kematian suri karya Lorca. Buku-bukunya dibakar di Plaza del Carmen, sebuah
pentas kekuasaan Jenderal Franco. Menyebut nama Lorca pun dilarang. Sebagian
kecil karyanya baru boleh muncul, dengan sensor amat ketat, pada 1953. Lorca
mengusung nilai-nilai yang dianggap kaum kanan sebagai mengotori masyarakat
Spanyol. Juga, karena ia pendukung Republik kendati tak aktif dalam
politik.
Tanpa kuasa menolak, Franco menemui ajalnya
1975. Karya- karya Lorca perlahan kembali menembus ruang-ruang percakapan,
tanpa sensor. Para politikus sibuk mengusung isu transisi ke arah demokrasi,
tapi rakyat tahu sebagian besar mereka tergabung dalam ”pakta diam” ketika
Franco menebar teror. Loyalis Franco setuju transisi damai, dengan syarat:
lupakan masa lalu. Tak ubahnya di banyak tempat di bumi ini, amnesia yang
dipaksakan meninggalkan korban Franco tertidur selamanya di pekuburan masal tak
bertanda.
Mereka, yang membayar hidupnya demi mendukung
demokrasi di Spanyol, hanya tinggal angka. Mereka adalah orang-orang yang
mewarnai karya-karya Lorca—puisi dan dramanya. Juga Cordova dan Granada, di
mana cahaya malam memantul dari rumah-rumah putih, udara bersih masih memenuhi
angkasa Sierra, lanskap pohon zaitun dan ara selepas pandang, dan perempuan tua
yang menikmati sore di depan pintu rumah.
Di tengah rasa damai itulah Lorca dilahirkan,
di sebuah hari, 5 Juni 1898. Desa Fuente Vaqueros menjadi saksi bagaimana Lorca
menempuh masa kecilnya dalam keluarga tani yang makmur: bermain piano,
bernyanyi. Seperti kebanyakan orang muda ketika itu, Lorca belajar filsafat dan
hukum di Universitas Granada. Tapi darah seni terlalu kuat untuk ia tolak. Ia
pun pindah ke Madrid, beralih belajar sastra, seni, dan teater. Di usia 20
tahun terbit kumpulan prosa pertamanya, Impresiones y paisajes (Impressions
and Landscapes).
Di kampus Universitas Madrid, 1919, ia
membentuk kelompok teater, membaca puisi di hadapan publik. Di sini ia berteman
dengan anak muda yang di kemudian hari menjadi seniman berpengaruh di Spanyol:
Salvador Dali dan Luis Bunuel—mereka kemudian dikenal sebagai penggiat Generasi
27. Bersama Dali sebagai penata panggung, Lorca mementaskan drama pertamanya,
Mariana Pineda.
Lorca adalah manusia teater. Bersama
kelompoknya, La Barraca, memainkan kisah-kisah tragedi di pedesaan Andalusia.
Di saat yang sama ia mulai terperangkap dalam homoseksualitas yang tak mampu ia
rahasiakan dari keluarga dan teman- temannya. Sambutan yang luar biasa
atas Romancero Gitano (1928, diterjemahkan
sebagai Gypsy Ballads, 1953) membuat Lorca kian kesakitan:
ia terjebak di dalam dikotomi antara seniman sukses, yang memaksanya tampil di
hadapan publik dengan penuh senyum, dan diri yang tersiksa karena kehidupan
privatnya.
Sebuah gagasan keluarga membawa Lorca ke New
York. Di Columbia University ia belajar, tak lama. Itulah pengalaman
pertamanya, sebagai orang dewasa, tinggal di negeri yang didominasi hidup
serba-materi. Keterasingannya melahirkan kumpulan puisi, Poeta
en Neuva York (Poet in New York)—yang terbit sesudah
kematiannya. Kumpulan syair ini memadukan ”kecaman terhadap peradaban urban
modern—kekosongan spiritual yang dipancarkan New York—dan tangisan gelap
kesunyian metafisik.” Seperti disebut kritikus Christopher Muerer, ada tiga
tema dalam kumpulan ini: ketidakadilan sosial, cinta yang gelap, dan keyakinan
yang hilang.
Sesudah New York, Kuba dan Argentina adalah
tujuan berikutnya. Di negeri ini ia disambut meriah. Sukses pertunjukan
teaternya di Argentina pada 1933-34 begitu rupa sehingga penyair Chili Pablo
Neruda menyebutnya ”kejayaan terbesar yang pernah dicapai oleh penulis dari ras
kita.” Bertahun kemudian Neruda mengenang dengan nostalgia yang intens bulan-
bulan yang mendahului perang saudara di Madrid sebagai ”hari-hari besar dalam
kehidupan saya. Hari-hari itu adalah kelahiran kembali yang luar biasa
kehidupan kreatif bangsa Spanyol yang belum pernah saya lihat lagi.”
Lorca kembali ke Spanyol, 1931, ketika Eropa
mulai menggeliat oleh kekuatan fasis. Tanggal 19 Agustus 1931, Federico Garcia
Lorca menyelesaikan naskah drama baru, Asi qu pasen cinco anos (When
Five Years Pass). Ia mengabarkan kegembiraannya kepada kawannya,
seorang pemetik gitar, Regino Sainz de la Maza: ”kepuasan yang luar biasa”. Ia
juga bercerita sudah menyelesaikan karya yang lain untuk Margarita Xirgu,
hampir pasti itu adalah Bodas de sangre (Blood
Wedding, naskah ini pernah dipentaskan oleh Teater Populer dengan
sutradara Teguh Karya).
Seakan mencium aroma kematian dirinya kian
dekat, Lorca mendaki ke puncak kreatifnya. Sepanjang 1931 hingga tahun
kematiannya, ia amat produktif. Sejumlah kumpulan puisinya terbit: Poema
del cante jondo (Poem of Deep Song, 1931), Sonetos
del amor oscuro (Sonnets of Dark Love, 1935), Primeras
canciones (First Songs, 1936). Naskah dramanya
meluncur dari tangannya. Yang paling masyhur lahir di masa ini: trilogi Bodas
de sangre (Blood Wedding, 1932), Yerma (1934),
dan La casa de Bernarda Alba (The
House of Bernarda Alba, 1936).
Namun capaian-capaian puncak itulah yang kian
menempatkan Lorca dalam daftar penting rezim Franco di antara orang-orang yang
mesti dilenyapkan. Ada banyak bintang di langit Spanyol, kata Neruda, namun
Lorca yang paling terang. Dan bintang paling terang itu mesti dipadamkan.
Namun, terbukti sudah, berpuluh tahun setelah kematiannya, suara Lorca masih
terdengar nyaring seperti pada 19 Agustus malam ketika peluru kaum fasis
mencoba membungkamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar