Oleh Sulaiman Djaya*
“Setiap orang bebas untuk
mempercayai apa yang ditulisnya, dan untuk menuliskan apa yang dipercayainya.”
Demikian ujar Czeslaw Milosz dalam bukunya yang berjudul The Captive Mind itu. [1]
Apa yang dikatakan Czeslaw
Milosz itu seakan hendak menyiratkan apa yang juga diperjuangkan dan dihidupi
Ahmad Wahib, ketika hasrat untuk mengomentari sama kuatnya dengan gairah
apresiasi dan kehendak untuk menuliskan segala hal, di mana kegelisahan menjadi
ladang subur bagi rasa tak puas seseorang yang begitu bersemangat untuk
bertarung dalam kancah pemikiran dan teologi, yang membuat Wahib selalu
bergairah untuk menuliskan apa yang memang ingin ia tulis atau apa saja yang
ingin ia kritik, terutama sejauh menyangkut soal-soal keagamaan, dan ia percaya
dengan apa yang ia tuliskan dan yang ia pikirkan.
Seperti halnya Soren
Kierkegaard, Ahmad Wahib mempercayai bahwa segala sesuatu tak lepas dari ruang
dan waktu, ketika kedua orang itu memiliki pemahaman serupa saat memandang
bahwa manusia bukan berada di atas dunia, tetapi di dalamnya. Demikianlah,
pengalaman dan pergulatan intelektual Ahmad Wahib adalah ladang subur
kegelisahan di tengah tiga isu utama yang menarik minat dan perhatiannya:
pemikiran, politik, dan isu-isu keagamaan. Dan memang, setidak-tidaknya dalam
kasus Indonesia, ketiga isu tersebut paling mewarnai situasi sosial Indonesia.
Begitulah, Ahmad Wahib,
sebagaimana Soren Kierkegaard ratusan tahun silam sebagai perbandingannya,
dapat dikatakan sebagai seorang yang selalu gelisah dalam kamar kontrakan yang
adalah juga laboratorium pribadinya itu. Konon, Wahib yang pemalu itu, selalu
diliputi keragu-raguan dalam persoalan cinta dan perempuan, yang tak ayal lagi
telah membuat dirinya akrab dengan buku-buku dan mesin tik miliknya.
Selain itu, riwayat
hidupnya yang bergaul dengan orang-orang non-muslim, juga aktivitasnya dalam
Limited Group-nya Mukti Ali Dkk itu, tak diragukan lagi telah turut
mempengaruhi gagasannya. Wahib memang dapat dikatakan sebagai pribadi yang
terbuka untuk mengapresiasi segala bentuk pemikiran, dan ia menolak segala
bentuk ketertutupan, sebagaimana yang ia saksikan sendiri ketika ia menjadi
anggota HMI. Tentu saja, meski tak seluruhnya, pandangannya tentang agama,
terutama tentang Islam, tak lepas dari pengaruh Limited Group.
Setidak-tidaknya, hal itu dapat dilihat dari sub-sub tema yang dikomentarinya
dalam catatan hariannya yang kebetulan populer itu: pluralisme, toleransi,
eksclusivisme, dialog agama, dan masalah-masalah apologisme.
Ahmad Wahib, sang calon
jurnalis itu, justru menjadi seorang jurnalis yang bekerja untuk dirinya
sendiri melalui catatan-catatan hariannya, yang saat ini telah dibukukan itu,
dan kita dapat membaca tulisan-tulisannya di saat ia telah meninggal, di mana
seorang penyair Sapardi Djoko Damono mengabadikan insiden saat dirinya
mengalami kecelakaan itu dalam sebuah sajak yang berjudul Peristiwa Pagi Tadi,
Kepada GM: Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor
tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyebrang. Siang tadi seorang
pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar
motor waktu menyebrang membentur aspal, lalu beramai-ramai diangkat ke tepi
jalan. Sore tadi tukang warung bercerita tentang aku yang terlanggar motor
waktu menyebrang membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan
menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulan dan meninggal sesampai di rumah
sakit. Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.[2]
Apa yang ditulis Ahmad
Wahib dalam catatan hariannya itu merupakan sekian aspirasi karena rasa tak
puas yang muncul dari ruang kegelisahannya untuk menyikapi apa saja yang ia
pikirkan, ia rasakan dan ia saksikan, yang tentu saja membentangkan
keberpihakan dan perbedaan yang sifatnya personal dan individual, di mana
tulisan-tulisannya merupakan sejumlah fragment dan pecahan, bukan sebuah
ikhtiar pemikiran yang sistematis atau menghendaki menjelma sistem yang
konstruktif ala para filsuf metafisika. Sejumlah tulisan, fragment dan
ekspressi seseorang yang mempercayai dan menghidupi kebebasan berpikir.
Begitu pula, subjek yang
ditulis dan dibahas Ahmad Wahib bisa apa saja, tanpa merasa dibatasi oleh
kategori-kategori akademik yang sistematis. Catatan hariannya itu, yang bak
otobiografi-nya Giaccomo Cassanova di abad ke-18, memang acapkali ditaburi
dengan detil tentang diri sendiri, yang karena keterusterangan dan kejujurannya
itulah banyak pihak yang tidak suka dan merasa disudutkan.
Demikian, sebagai sejumlah
fragment dan pecahan, cara terbaik membaca tulisan-tulisan Ahmad Wahib, adalah
dengan menghindari klaim sistematik itu sendiri. Dengan kata lain, membaca
tulisan-tulisan Ahmad Wahib, adalah memahami seseorang yang ingin berkomentar
tentang apa saja yang ingin dikomentari dan dikritiknya, seseorang yang begitu
bergairah dan bersemangat untuk bersentuhan dengan arena pemikiran itu sendiri.
Pada kasus Ahmad Wahib,
seperti telah dikumandangkan Czeslaw Milosz itu, setiap orang pada dasarnya
berhak mengekspressikan apa yang dipikirkannya sebagai sebuah aspirasi, tanpa
mesti dibebani embel-embel kesarjanaan. Ahmad Wahib, jika demikian, memang
seorang amatiran yang bersemangat dan bergairah, ketika pandangannya tentang
agama begitu berani menentang dan menantang kanonisasi dan otorisasi yang buta
yang menurutnya rentan jatuh pada dogmatisme dan kejumudan. Dan karena itu,
posisinya secara sengaja atau tak sengaja, melawan mereka yang eksclusif dalam
memaknai agama, dan menolak secara terang-terangan siapa pun yang
anti-intelektual.
Dalam catatan hariannya
itu, Ahmad Wahib menulis: “Walaupun kita mengatakan diri kita sebagai penganut
Islam, belum tentu pikiran kita berjalan sesuai dengan Islam. Terus terang saya
kurang setuju dengan orang-orang yang berkata bahwa sumber dari Islam itu tiga:
Qur’an, Sunnah dan akal. Saya pikir hanya dua, yaitu al Qur’an dan Sunnah. Bila
akan dimasukkan dalam deretan itu, menjadi tidak proporsional. Akal di sini
bukan sebagai sumber, tetapi sebagai alat untuk mengenali sumber tadi.”[3]
Apa yang dikatakan Wahib
itu telah menunjukkan dengan jelas tentang kepercayaan dan pandangan Wahib
sendiri tentang agama, yang dalam hal ini Islam, sebagai agama yang sejalan
dengan pemikiran dan akrab dengan rasionalitas, atau akal manusia. Tetapi akal
baginya lebih merupakan sebuah instrument, bukan resource, ketika ia memandang
bahwa jika segala sesuatu yang merupakan produk akal asal tidak bertentangan
dengan al Qur’an dan Sunnah diklaim sebagai Islam, hanya akan mengaburkan dan
menyulitkan diferensiasi mana yang berasal dari Tuhan dan mana yang berasal
dari produk manusia, saat ia meneruskan pendapatnya itu dan berkata: “Dan bila
akal dipakai sebagai sumber, maka segala sesuatu yang merupakan produk akal
yang tidak bertentangan dengan al Qur’an dan Hadits, lalu bernama Islam,
akibatnya membuat rumah=Islam, sembahyang=Islam, naik sepeda=Islam, ini
menunjukkan kurang diferensiasi.”[4]
Dalam catatan-catatan
hariannya itu, teranglah bahwa Ahmad Wahib bukanlah seorang yang overdosis
dengan rasionalisme, juga sebaliknya, bukan seorang anti-rasionalis yang mengutuk
kepercayaan berlebihan kepada rasionalisme. Ia mengakui secara jujur
batas-batas rasio, namun karena batas-batas rasio yang tak pernah jelas itulah,
pemikiran justru menjadi bebas. Kebebasan berpikir yang dipahami Wahib itu juga
termasuk dalam masalah akidah, yang menurutnya sama terbukanya untuk dikritisi
sebagaimana persoalan-persoalan lainnya, semisal masalah syari’ah atau pun
mu’amalah.
Dengan sikap yang demikian
itulah, menurutnya, kita akan mengetahui beda antara psudo-akidah dan akidah
yang sebenarnya: “Saya sungguh-sungguh tidak mendewa-dewakan kekuatan berpikir
manusia sehingga seolah-olah absolut. Kekuatan berpikir manusia itu memang ada
batasnya, sekali lagi ada batasnya! Tapi siapa yang tahu batasnya itu? Otak
atau pikiran sendiri tidak bisa menentukan sebelumnya. Batas kekuatan itu akan
diketahui manakala otak kita sudah sampai disana dan percobaan-percobaan untuk
menembusnya selalu gagal. Karena itu manakala keterbatasan kekuatan berpikir,
maka jelas statement ini tidak berarti dan mungkin salah besar. Otak itu akan
melampaui batas kekuatannya. Kalau sudah terang begitu, apa gunanya
mempersoalkan batas, kalau diluar batas itu sudah diluar kemampuannya? Hal ini
sudah dengan sendirinya, tak perlu dipersoalkan. Berikanlah otak itu kebebasan
untuk bekerja atau berpikir, itulah tanda bahwa ia masih dalam batas
kemampuannya. Dalam batas-batas kemampuannya dia bebas. Jadi dalam, tiap-tiap
bekerja dan berpikir, otak itu bebas.”[5]
Dengan wawasan dan
pandangan yang dipercayainya itulah Ahmad Wahib menolak sikap-sikap apologetik
sebagian kaum muslim, yang menurutnya membuat beberapa kaum muslim bersikap
eksclusif dan hipokrit, di mana cirinya adalah defensif, normatif, dan
cenderung romantisis, dan prototope-nya adalah Amir Ali dan Mohammad Abduh, yang
dalam pandangan Wahib, merupakan orang-orang yang mewariskan dan menularkan
sikap-sikap apologetik, sembari mengatakan bahwa cara pandang mereka yang
seperti itu acapkali apriori dan anti-kritik, yang tak jarang emoh kebebasan
berpikir, dan karena itu, obat untuk melawannya adalah kebebasan berpikir itu
sendiri. Sebabnya adalah karena Wahib merasa khawatir, dan memang seringkali
terbukti, semangat ideologis yang berlebihan dan anti-kritik itu merupakan
cikal-bakal sejumlah praktek kekerasan atasnama agama. Dan celakanya, yang juga
sangat ia sesalkan, hal itu justru terjadi di HMI, almamater yang dicintainya
dan menjadi tumpuan harapannya.
“Kalau suatu golongan atau
umumnya ummat Islam lemah, dalam suatu peristiwa atau hal tertentu, maka dengan
cepat orang-orang terpelajar muslim dan saya pun dulu begitu juga, berkata
bahwa yang salah adalah orang Islam-nya, bukan Islam-nya. Orang takut untuk
mempertimbangkan kemungkinan adanya kritik terhadap Islam. Kemungkinan adanya
kritik sudah ditutup karena Islam sudah apriori dianggap betul dan kebal
terhadap kemungkinan kelemahan. Apakah tidak mungkin Islam itu sendiri
mengandung kelemahan? Saya sendiri sampai sekarang masih bertanya-tanya. Saya
tidak bisa mengelak dari pikiran. Di mana saya berada, ke mana saya menuju, di
situ dan ke sana pikiran itu ada dan bertanya. Bekerjanya pikiran itu telah
melekat pada adanya manusia. Tak ada kerja pikir berarti tak ada manusia.
Karena itu tak ada jalan lain kecuali menggunakan daya pikir itu semaksimal
mungkin. Dan titik akhir dari usaha dan menilai usaha adalah kematian.”[6]
Untuk melawan
eksclusivisme yang ia resahkan itu, Wahib menganjurkan keterbukaan, semangat
inklusivisme dan toleransi. Begitu pula, Wahib menolak konsep kebajikan dan
kejahatan sebagai sifat yang secara eksclusif melekat pada kelompok tertentu,
yang pada saat bersamaan, ia pun menentang pembelaan ideologis yang dilakukan
sebagian kaum muslim untuk menutup-nutupi kesalahan kelompoknya. Sebab,
ketidakjujuran atau pun kemunafikan dan sikap apologetik sebagian kaum muslim
itu justru adalah ciri yang paling kuat apa yang disebut kaum munafiqun, yang
justru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Ahmad Wahib, seperti
halnya Soren Kierkegaard, menjadikan agama sebagai pergulatan, aspirasi dan
penghayatan individual, meskipun kedua orang tersebut dipisahkan konteks jaman
dan tempat. Sekurang-kurangnya, Wahib dan Kierkegaard juga masih berkutat dalam
isu yang sama ketika membincang agama atau pun teologi: persoalan modernitas
dan sekularisasi. Hanya saja, mereka memang dikontraskan oleh perbedaan sikap
masing-masing, ketika Kierkegaard melakukan negasi, Wahib dengan berani
bersikap afirmatif kepada modernitas dan sekularisasi. Demikian pula, entah
Wahib atau Kierkegaard, sama-sama menempatakan dirinya antara yang sosial dan
yang individual ketika membincang persoalan-persoalan iman dan diskursus
keagamaan.
Meskipun demikian, dalam
satu sisi, dapatlah dipahami bahwa pandangannya tentang agama dalam
keterkaitannya dengan isu-isu sosial memang tak dapat dilepaskan dari
keinginannya untuk juga berbicara tentang kemajuan dan peradaban, yang
sedikit-banyaknya, terkait dengan masalah keagamaan, terutama Islam. Akan
tetapi, porsi terbesar Wahib ketika membincang agama atau pun persoalan iman,
masihlah tetap dalam sikapnya yang menjadikan agama sebagai arena pergulatan
dan penghayatan individual.
Dan karena itu wajar,
ketika ia memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dipahami dan dipikirkan
secara individual, dengan serta-merta Wahib menolak pandangan sebagian kaum
muslim yang mempercayai bahwa doktrin dan ajaran agama sebagai sesuatu yang
tertutup untuk dikoreksi dan diperdebatkan: “Dalam ijtihad tentang
masalah-masalah individual, seperti akidah, syariah, dan beberapa masalah
akhlak, sebenarnya masing-masing pribadi punya hak untuk ikut serta dan setiap
pribadi harus menggunakan haknya. Ijtihad dalam masalah ini tidak bisa
sepenuhnya diserahkan pada suatu lembaga tarjih walau sangat kompeten sekalipun
untuk kemudian menghasilkan keputusan yang berlaku umum. Hati nurani manusia,
tegasnya setiap manusia, harus ikut berbicara tentang apa yang baik bagi
dirinya dan pada akhirnya hati nuraninya yang berhak menentukan.”[7]
Ahmad Wahib dan Soren
Kierkegaard
Rasionalisme ala Wahib itu
seakan-akan hendak menyiratkan bahwa agama semestinya tidak menjadi penghalang
bagi setiap orang untuk mengaktualisasikan potensi nalar yang dimilikinya.
Namun sebaliknya, akan membuat orang menjadi akrab dan terbiasa dengan dunia
dan keseharian, tidak menutup diri bagi perubahan dan gelanggang pemikiran.
Dengan kepercayaannya itulah, Wahib bahkan melihat sekularisasi bukan sebagai
ancaman, tetapi sebagai material yang mestinya membuat ummat Islam melakukan
rethinking sejauh menyangkut pemahaman ummat Islam selama ini tentang agama
mereka. Demikianlah, meski Ahmad Wahib dan Soren Kierkegaard berbeda dari sisi
waktu dan konteks jaman, namun mereka sama-sama figur dan prototipe yang
mengakrabi isu-isu keagamaan sebagai penghayatan dan pergulatan yang sifatnya
individual dan personal.
Baik Kierkegaard atau pun
Wahib, telah mencandra dan mengakrabi isu-isu keagamaan dalam penolakan mereka
terhadap otorisasi, ketika mereka menjadikan diskursus keagamaan sebagai
penghayatan dan pergulatan yang sifatnya sangat pribadi dalam rangka memenuhi
kebebasan subjektif dan individual itu sendiri. [Ciputat, 2003]
Catatan:
[1] Czeslaw Milosz, The Captive Mind. Terj. YOI 1987,
hal. 87
[2] Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas. PN Balai Pustaka 1983, hal. 34
[3] Ahmad Wahib, PPI, LP3ES dan Freedom Institute, Jakarta 2003, hal. 19-20
[4] PPI, ibid, hal. 20
[5] PPI, ibid, hal. 24-25
[6] PPI, ibid, hal. 25-26
[7] PPI,ibid, hal. 90
[2] Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas. PN Balai Pustaka 1983, hal. 34
[3] Ahmad Wahib, PPI, LP3ES dan Freedom Institute, Jakarta 2003, hal. 19-20
[4] PPI, ibid, hal. 20
[5] PPI, ibid, hal. 24-25
[6] PPI, ibid, hal. 25-26
[7] PPI,ibid, hal. 90
*Penyair, bergiat di Café Ilmu Banten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar