Selasa, 03 Juni 2014

Imamah Sebagai Penerus Risalah


Sebagaimana al-hikmah al-Ilahiyah, kebijaksanaan Tuhan, menuntut perlunya pengutusan para rasul untuk membimbing umat manusia, demikian pula tentang perlunya seorang imam, yakni bahwa al-hikmah al-ilahiyyah juga menuntut perlunya kehadiran seorang imam sesudah meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Selain itu, untuk menerangkan kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan, al-takamul wa al-saadah, sulit dicapai, karena tidak ada yang membimbing, sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para nabi menjadi sia-sia. Oleh karena itu sesudah Nabi Muhammad saw pasti ada seorang imam untuk setiap masa.

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang yang benar, al-shadiqin." (Q. S. al-Taubah: 119). Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan agar orang-orang beriman bergabung dalam barisan aorang-orang benar, al-shadiqin, pertanda adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman, sebagaimana disebutkan oleh banyak mufassir Sunni dan Syi'ah terhadap makna ayat ini.

Hakikat Imamah

Imamah bukan sekedar jabatan politik atau kekuasaan formal, tetapi sekaligus sebagai jabatan spritual yang sangat tinggi. Selain menyelenggarakan pemerintahan Islam, Imam bertanggung jawab membimbing umat manusia dalam urusan agama dan dunia mereka. Imam juga membimbing pikiran dan rohani masyarakat. Memelihara syariat Nabi Muhammad saw agar tidak menyimpang atau berubah serta memperjuangkan tercapainya tujuan pengutusan Nabi Muhammad saw. Jabatan tinggi ini diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as setelah Ibrahim melewati fase kenabian dan risalah, dan setelah lulus dari sejumlah ujian berat. Ibrahim as. meminta kepada Allah agar jabatan ini diberikan juga kepada sebagian keturunannya, tetapi Allah menegaskan kepada Ibrahim bahwa orang-orang zalim dan para pendosa tidak akan mencapai posisi ini.

Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat lalu ia menyempurnakannya. Tuhan berkata kepadanya: "Aku angkat engkau sebagai imam bagi umat manusia." Ibrahim berkata: "Berikan pula kepada keturunanku.". Tuhan berkata: "Jabatan-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang zalim." (Q. S. al-Baqarah: 124). Jelas sekali bahwa kedudukan nan tinggi ini tidak dapat diterjemahkan sebagai jabatan pemerintahan formal. Dengan demikian, jika imamah tidak diterjemahkan sebagaimana yang telah digambarkan di atas, maka ayat di atas tidak mempunyai pengertian yang jelas.

Para nabi utama, ulul-azmi, terutama Nabi Muhammad saw, adalah sekaligus sebagai imam-imam yang memiliki otoritas kepemimpinan spritual ruhaniah dan kepemimpinan formal material. Dengan demikian, Nabi Muhammad saw tidak sekedar menyampaikan ajaran Tuhan, tapi sekaligus memimpin umat manusia, dan jabatan imamah ini diberikan kepada Nabi saw sejak awal kenabiannya. Dalam hal ini garis imamah sesudah Rasulullah saw dilanjutkan oleh orang-orang suci dari zuriyatnya, keturunannya. Dari batasan di atas mengenai imamah tampak bahwa untuk mencapai kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang sangat berat, baik dari sisi taqwa, yaitu telah mencapai tingkat ishmah, terpelihara dari perbuatan-perbuatan dosa, maupun dari sisi ilmu dan pengetahuan yang mencakup seluruh bidang pengetahuan dan aturan agama serta pengetahuan tentang manusia dan kebutuhannya untuk setiap zaman.

Keterpeliharaan Imam dari Dosa dan Kesalahan

Seorang imam wajib bersifat ma'shum, terpelihara dari perbuatan dosa dan kesalahan, karena, disamping makna ayat di atas, seorang yang tidak maksum tidak dapat dipercaya sepenuhnya untuk diambil darinya prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya. Oleh karena itu meyakini bahwa ucapan seorang imam maksum, perbuatan, dan persetujuannya, adalah hujjah syar'iyyah, kebenaran agama, yang mesti dipatuhi. Yang dimaksud dengan persetujuan imam maksum atau taqrir al-Ma'shum ialah sang imam tidak menegur suatu perbuatan yang berlangsung di hadapannya, bahkan membiarkannya saja.

Imam Pemelihara Agama

Dalam hal ini seorang imam tidak membawa syariat baru. Kewajibannya hanyalah menjaga agama Islam, memperkenalkannya, mengajarkannya, menyampaikannya, dan membimbing manusia kepada ajarannya yang luhur. Imam Orang Paling Tahu tentang Agama Seorang imam harus menguasai dan memiliki pengetahuan yang utuh terhadap semua pokok agama Islam, cabang-cabangnya, hukum, peraturan, dan tafsir Alquran. Pengetahuan ini bersifat rabbani, suci dan didapat dari Nabi saw, supaya sang imam mendapat kepercayaan penuh dari umat dan dapat diandalkan dalam memahami hakikat Islam.

Nash atas Imam

Seorang imam, penerus Rasulullah saw, harus ditetapkan melalui nash atau pengangkatan yang jelas oleh Rasulullah saw atau oleh imam sebelumnya. Dengan kata lain, seorang imam, seperti halnya Nabi saw, ditetapkan oleh Allah swt, tetapi melalui Nabi saw, sebagaimana tertera di Alquran dalam pengangkatan Ibrahim sebagai imam: Sesungguhnya Aku mengangkatmu sebagai imam bagi umat manusia. (Q. S. al-Baqarah: 124). Dalam pada itu, penentuan tingkat taqwa, bahwa seseorang telah mencapai tingkat ishmah dan telah mencapai tingkat pengetahuan seluruh hukum dan ajaran Allah swt tanpa ada kesalahan sedikitpun tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karena itu, penentuan bahwa seseorang telah memenuhi sifat ishmah datangnya dari Rasulullah saw. Dengan demikian, keimamam para imam maksum tidak diperoleh melalui pemilihan rakyat.

Penetapan para Imam oleh Nabi saw

Dalam hal ini Nabi Muhammmad saw lah yang telah menetapkan para imam sesudahnya, sebagaimana yang telah dilakukannya dalam hadits populer al-tsaqalain. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa suatu hari Nabi berpidato di sebuah oase yang bernama Khum, terletak antara Mekkah dan Madinah. Nabi saw bersabda:…Aku hanyalah seorang manusia, yang jika utusan tuhanku datang kepadaku akan kupenuhi. Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berat. Pertama, kitab Allah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. (Kedua) Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. (Shahih Muslim, 4: 1873).

Hadits yang sama juga diriwayatkan dalam Shahih Turmuzi. Bahkan pada Shahih Turmuzi terdapat pernyataan tegas Nabi saw yang mengangkat imam sesudahnya dari lingkungan keluarganya. Demikian pula hadits-hadits yang diriwayatkan dalam Sunan al-Darimi, Khasaish al-Nasai, Musnad Ahmad, dan sumber-sumber utama Islam terkenal lainnya. Hadits Tsaqalain atau hadits Dua Pusaka ini sedikitpun tidak dapat diragukan kebenarannya, oleh siapa saja, karena ia termasuk hadits mutawatir yang tidak dapat diingkari atau dipersoalkan kebenarannya oleh seorang Muslim. Dalam pada itu, dari sekian riwayat dapat dilihat betapa Nabi saw telah mengulangi hadits ini berkali-kali dan diberbagai tempat yang berbeda.

Tentu saja tidak semua kerabat Nabi memangku jabatan tinggi ini, sebagai pendamping Alquran. Dengan demikian, maka yang dimaksud hanyalah para imam maksum dari zuriyat Rasul saw. Dalam pada itu, perlu disebutkan di sini bahwa dalam beberapa riwayat terdapat redaksi "Sunnati" atau Sunnahku sebagai ganti dari redaksi "Ahlubaiti", Ahlubaitku. Akan tetapi riwayat ini dhaif, diragukan kebenarannya, dan tidak dapat diandalkan. Pada sisi lain, terdapat hadits lain yang populer dan sahih, yang diriwayatkan oleh banyak kitab hadits utama seperti Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn Hanbal, bahwa Nabi saw bersabda: "Agama ini akan terus tegak hingga datangnya hari kiamat atau datang kepada kamu dua belas orang khalifah, (imam) semuanya berasal dari suku Quraisy." Dengan demikian tidak ada tafsiran yang paling tepat berkaitan dengan dua belas Imam yang dimaksud nabi pada hadits di atas kecuali apa yang diyakini kaum Syi'ah Imamiyyah. Ya, apakah ada tafsiran lain yang lebih tepat? Tidak ada.

Pengangkatan Nabi terhadap Ali

Nabi Muhammad saw, atas perintah Allah, telah menunjuk dan mengangkat Ali as sebagai khalifah sesudahnya. Ia lakukan itu berkali-kali dan dalam berbagai kesempatan yang berbeda. Di Ghadir Khum, dekat dengan Juhfah, misalnya, Nabi membacakan khutbahnya yang sangat populer di depan para sahabatnya, sepulangnya dari menunaikan Haji Wada. Nabi berkata:
Wahai orang-orang! Bukankah aku lebih utama atas dirimu daripada kamu sendiri? Mereka berkata: "Betul". Nabi melanjutkan: "Barangsiapa yang aku adalah pemimpinnya, maulahu, maka Ali adalah pemimpinnya. Dengan demikian adalah mustahil melewati hadits di atas begitu saja atau menafsirkannya sebatas pada cinta kepada Ali, padahal Nabi saw begitu memperhatikan masalah ini.

Bukankah hadits di atas sesuai dengan apa yang diriwayatkan Ibn al-Atsir dalam kitabnya al-Kamil  bahwa di awal kenabiannya, atas perintah Allah: Dan berilah peringatan kepada keluarga dekatmu (Q. S. al-Syuara: 214). Nabi Muhammad saw mengumpulkan segenap keluarganya dan menawarkan kepada mereka agama Islam. Pada kesempatan itu Nabi berkata: Siapakah di antara kamu yang bersedia membantuku dalam urusan ini sehingga ia menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu. Tidak seorang pun yang menyambutnya kecuali Ali yang berkata kepada Nabi saw: Aku wahai Nabi Allah yang akan membantumu. Kemudian Nabi berkata: Inilah (Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu. Bukankah ini pula yang diinginkan Rasulullah saw pada saat-saat terakhir kehidupannya, sebagaimana yang diriwayatkan Bukhari bahwa Rasulullah saw berkata: "Bawakan aku kertas supaya aku tuliskan buat kamu wasiat yang dengannya kamu tidak akan sesat sesudahku nanti." Tapi sayang, sebagian menentang penulisan wasiat ini, mencegah Nabi melakukannya, bahkan mengucapkan kalimat-kalimat yang merendahkan Nabi saw.

Penegasan Tiap Imam atas Imam Sesudahnya

Dalam mazhab ahlul bait meyakini bahwa setiap imam dari dua belas imam telah diangkat dengan tegas, nash, oleh imam sebelumnya. Imam pertama adalah Ali Ibn Abi Thalib, kemudian secara berturut-turut, (2) Hasan Ibn Ali al-Mujtaba, (3) Husain Ibn Ali Sayyidus-syuhada, penghulu para syuhada, (4) Ali Ibn Husain, (5) Muhammad Ibn Ali al-Baqir, (6) Ja'far Ibn Muhammad al-Shadiq, (7) Musa Ibn Ja'far, (8) Ali Ibn Musa al-Ridha, (9) Muhammad Ibn Ali al-Taqi, (10) Ali Ibn Muhammad al-Naqi, (11) Hasan Ibn Ali al-Askari, dan terakhir, (12) Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi. Kami meyakini bahwa Imam Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi masih hidup.

Keyakinan kepada Imam Mahdi yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kekejaman tidak terbatas pada kaum Syiah saja, tetapi seluruh kaum Muslimin. Untuk itu banyak ulama Ahlu-sunnah yang menulis buku tentang kemutawatiran hadits-hadits tentang Imam Mahdi ini. Bahkan Rabitah Alam Islami pernah mengeluarkan risalah yang menyatakan bahwa kedatangan Imam Mahdi merupakan urusan musallammat dalam agama atau sesuatu yang tidak dapat ditolak kebenarannya. Rabitah mengutip banyak hadits Nabi tentang al-Mahdi dari kitab-kitab utama. Hanya saja, sebagian ulama Ahlu-sunnah percaya bahwa al-Mahdi yang dimaksud baru akan lahir di akhir zaman, sementara Syi'ah meyakini bahwa al-Mahdi yang dimaksud adalah imam kedua belas, masih hidup, dan akan muncul dengan izin Allah untuk menegakkan keadilan dan mengadili para tiran.

Ali Sahabat Utama

Ali adalah sahabat Nabi paling utama. Kedudukannya dalam Islam langsung di bawah Nabi saw. Pada saat yang sama menganggap bahwa sikap ghuluw, berlebih-lebihan kepada Ali haram hukumnya. Dalam pada itu meyakini bahwa menganggap Ali sebagai Tuhan atau dekat dengan anggapan itu kafir hukumnya dan keluar dari barisan Muslimin. Aqidah Islam mazhab ahlul bait berlepas diri dari orang dan aqidah semacam itu. Tapi sayang, sebagian pihak terjebak dalam kekeliruan, sehingga menyamaratakan Syi'ah dengan kelompok-kelompok menyimpang ini, padahal ulama-ulama Syi'ah justeru menganggap kelompok ini keluar dari Islam.

Sahabat di Hadapan Hukum Akal dan Sejarah

Di antara Sahabat Nabi terdapat pribadi-pribadi agung yang telah disebutkan keutamaannya oleh Alquran dan Sunnah. Akan tetapi tidak berarti bahwa semua Sahabat tidak ada yang salah atau perbuatan-perbuatan mereka benar semuanya tanpa kecuali. Pada banyak ayat Alquran, terutama pada surat al-Baraah, al-Nur, dan al-Munafiqin, Alquran bercerita tentang kaum munafik yang nota bene adalah sebagian Sahabat itu sendiri, dan mengecam mereka dengan keras, meskipun mereka adalah Sahabat Nabi saw. Selain itu, terdapat pula di antara Sahabat Nabi yang telah menyulut api sehingga terjadi peperangan sesama kaum Muslimin sesudah wafat Nabi saw, melanggar baiat yang telah diberikan kepada khalifah, dan menumpahkan darah ribuan kaum Muslimin. Apakah pantas orang-orang seperti itu dianggap bersih dan suci?

Dengan kata lain, bagaimana mungkin dapat memutuskan kedua belah pihak yang terlibat percekcokan, misalnya pihak-pihak yang terlibat dalam perang Jamal dan Siffin, bahwa semuanya benar? Sungguh keputusan yang kontradiktif dan tidak dapat diterima. Adapun alasan pihak yang dapat menerima sikap kontradiktif ini, yang merujuk kepada persoalan ijtihad, bahwa memang ada yang benar dan ada yang salah, akan tetapi karena kedua-duanya telah mengamalkan ijtihad, maka yang keliru sekalipun, tetapi mendapat pahala, karena ia telah melakukan ijtihad. Sedangkan kekeliruannya, dimaafkan. Cara berpikir seperti ini tidak dapat diterima.

Bagaimana mungkin kita dapat membenarkan seseorang yang melanggar baiatnya kepada khalifah Rasulullah dengan alasan ijtihad, tapi kemudian sengaja menyulut api peperangan dan menumpahkan darah orang-orang salih? Jika dosa penumpahan darah dapat dimaafkan karena alasan ijtihad, itu berarti semua perbuatan dosa dapat dimaafkan karena alasan ijtihad. Dengan terus terang bahwa seorang manusia, meskipun sahabat Nabi, tergantung pada amalnya, sesuai prinsip Alquran yang menyatakan: Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. (Q. S. al-Hujurat: 13). Berdasarkan hal ini, maka untuk menentukan kualitas sahabat, kita juga harus mengukurnya dari amal perbuatan mereka, supaya keputusan yang kita ambil logis dan dapat diterapkan pada semuanya.

Dengan demikian, maka siapa saja di antara sahabat Nabi yang selama bersama Nabi ikhlas dan terus dalam garis ini dalam menjaga Islam dan kesetiaan kepada Alquran sesudah wafatnya, maka sahabat tersebut adalah seorang yang salih. Tetapi Sahabat yang munafiq di zaman Rasul dan selalu mengganggu Rasul atau berubah sesudah Nabi meninggal dunia, dan yang telah merugikan Islam dan kaum Muslimin, tentu tidak akan kami cintai sedikitpun. Allah berfirman:
Engkau takkan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir mencintai orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, meskipun mereka adalah orang-orang tua mereka sendiri, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau keluarga dekat mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah ditetapkan iman oleh Allah dalam hati mereka. (Q. S. al-Mujadalah: 22)

Ya, orang-orang yang menentang atau mengganggu Rasul, baik pada masa hidupnya atau sesudah wafatnya, sedikitpun tidak pantas mendapat pujian atau penghormatan. Tetapi tidak boleh lupa bahwa sejumlah sahabat Nabi telah berjuang habis-habisan untuk menyebarkan agama Islam sehingga Allah memuji mereka dan memuji para penerus mereka, tabiin, yang mengikuti jalan para Sahabat yang salih; pujian yang juga diberikan kepada siapa saja berjalan di jalan yang lurus hingga hari akhir. Para pemeluk Islam awal-awal sekali, al-sabiqun al-awwalun, dari golongan Muhajirin dan Anshar dan para pengikut mereka dengan kebaikan, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. (Q. S. al-Taubah: 100)

Ilmu Imam-imam Ahlubait Berasal dari Nabi

Dalam hal ini ucapan para imam, perbuatan, dan taqrir, mereka, yang dapat dilihat dari tidak adanya teguran mereka terhadap suatu perbuatan yang berlangsung di hadapan mereka, adalah hujjah, kebenaran yang harus diikuti, dan merupakan sanad, pegangan bagi kami, karena Nabi saw, sebagaimana hadits mutawatir, telah memerintahkan agar kita berpegang teguh kepada kitab Allah dan keluarganya. Di samping itu, mereka adalah orang-orang suci, ma'shum, yang telah diselamatkan Allah dari perbuatan dosa dan kesalahan. Karena itu, maka salah satu sumber fiqh kami, setelah Alquran dan Sunnah Nabi, ialah ucapan para imam dari Ahlubait, perbuatan, dan taqrir mereka.

Jika diperhatikan bahwa para Imam as itu hanya menukil haditsnya dari nenek moyang mereka hingga ke Rasulullah saw, maka hadits-hadits mereka sesungguhnya adalah hadits-hadits Rasulullah saw juga. Dan kita tahu bahwa periwayatan oleh seorang tsiqah, yang dapat dipercaya, diterima oleh seluruh ulama Islam. Imam Muhammad Ibn Ali al-Baqir berkata kepada Jabir: Jabir, jika yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah pandangan kami sendiri dan dilandasi hawa nafsu, maka kami akan celaka. Tapi ketahuilah, yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah hadits-hadits Rasulullah saw. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq tentang suatu masalah dan Imam meberikan jawabannya, namun orang itu kemudian bertanya lagi: "Bagaimana jika masalah ini begini dan begitu, apa pendapatmu?" Imam berkata: "Ketahuilah! Tidak satu jawaban pun yang kuberikan kepadamu kecuali dari Rasulullah saw. Kami sama sekali bukan termasuk dalam kelompok orang yang dapat ditanya "Apa pendapatmu".

Dalam pada itu, kitab-kitab hadits utama yang terdapat dalam mazhab ahlul bait yang dipercayai validitasnya, seperti al-Kafi, al-Tahzib, al-Istibshar, dan Man La Yahdurhul-faqih. Akan tetapi tidak berarti bahwa menerima begitu saja seluruh riwayat yang disebutkan dalam kitab-kitab tersebut, karena, selain kitab-kitab hadits, juga mempunyai kitab-kitab rijal yang berfungsi mengungkap keadaan para perawi pada semua level sanad. Jika para perawinya, pada semua level sanad, dapat dipercaya, tsiqat, maka hadits tersebut dapat diterima. Tapi jika tidak, akan ditolak. Dengan demikian, hadits baru dapat diterima jika riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab utama tersebut, jika ia memenuhi kriteria di atas.

Selain itu, boleh jadi ada riwayat yang dari segi sanad dapat dikatagorikan sebagai riwayat mu'tabarah, dapat diterima, tetapi karena ada cacat-cacat lain pada riwayat tersebut, para ulama dan fuqaha mazhab ahlul bait, dari dahulu hingga sekarang, mengabaikannya. Riwayat semacam ini dinamakan riwayat mu'radh anha atau riwayat yang diabaikan, dan sudah barang tentu tidak mendapat tempat. Dari sini tampak bahwa jika seseorang ingin mendapat keterangan tentang aqidah mazhab ahlul bait, atau kaum Syi'ah, maka sangat keliru sekali jika hanya bersandarkan pada sebuah atau beberapa riwayat yang terdapat pada buku-buku tersebut tanpa melakukan penelitian sanadnya.

Dengan kata lain, pada sebagian mazhab Islam, terdapat kitab-kitab hadits yang disebut al-sihah. Para penyusunnya tidak ragu sedikitpun mengkatagorikan seluruh riwayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut sahih. Demikian pula anggapan lainnya. Namun tidak demikian sikap Syiah terhadap kitab-kitab muktabarahnya. Kitab-kitab itu memang betul disusun oleh orang-orang tsiqat, dapat dipercaya, akan tetapi untuk menentukan kesahihan hadits-haditsnya harus dikembalikan ke Ilm al-Rijal untuk dilakukan penelitian terhadap para perawinya. Jika poin ini diperhatikan, ia dapat mengkelirkan banyak permasalahan dan keraguan yang diarahkan ke aqidah mazhahb ahlul bait, kaum Syi'ah. Tetapi jika diabaikan, berakibat pada banyak kekeliruan dan kesalahpahaman terhadap aqidah kami. Singkat kata, hadits-hadits para Imam Dua Belas menempati posisi yang sangat tinggi di mata ajaran kami, yaitu setelah Alquran dan sunnah Nabi, tetapi dengan catatan, bahwa hadits-hadits tersebut pasti datangnya dari para imam dengan jalan yang juga diakui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar