Sebagaimana
al-hikmah al-Ilahiyah, kebijaksanaan Tuhan, menuntut perlunya pengutusan para
rasul untuk membimbing umat manusia, demikian pula tentang perlunya seorang
imam, yakni bahwa al-hikmah al-ilahiyyah juga menuntut perlunya kehadiran
seorang imam sesudah meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing
umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari
penyimpangan dan perubahan. Selain itu, untuk menerangkan
kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta pelaksanaan
ajaran para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan
kebahagiaan, al-takamul wa al-saadah, sulit dicapai, karena tidak ada
yang membimbing, sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para nabi
menjadi sia-sia. Oleh karena itu sesudah Nabi Muhammad saw pasti ada seorang imam
untuk setiap masa.
Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama
orang-orang yang benar, al-shadiqin." (Q. S. al-Taubah: 119). Ayat ini
tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan agar
orang-orang beriman bergabung dalam barisan aorang-orang benar, al-shadiqin,
pertanda adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman, sebagaimana
disebutkan oleh banyak mufassir Sunni dan Syi'ah terhadap makna ayat ini.
Hakikat Imamah
Imamah
bukan sekedar jabatan politik atau kekuasaan formal, tetapi sekaligus sebagai
jabatan spritual yang sangat tinggi. Selain menyelenggarakan pemerintahan
Islam, Imam bertanggung jawab membimbing umat manusia dalam urusan agama dan
dunia mereka. Imam juga membimbing pikiran dan rohani masyarakat. Memelihara
syariat Nabi Muhammad saw agar tidak menyimpang atau berubah serta
memperjuangkan tercapainya tujuan pengutusan Nabi Muhammad saw. Jabatan tinggi
ini diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as setelah Ibrahim melewati fase
kenabian dan risalah, dan setelah lulus dari sejumlah ujian berat. Ibrahim as.
meminta kepada Allah agar jabatan ini diberikan juga kepada sebagian
keturunannya, tetapi Allah menegaskan kepada Ibrahim bahwa orang-orang zalim
dan para pendosa tidak akan mencapai posisi ini.
Dan
ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat lalu ia
menyempurnakannya. Tuhan berkata kepadanya: "Aku angkat engkau sebagai
imam bagi umat manusia." Ibrahim berkata: "Berikan pula kepada
keturunanku.". Tuhan berkata: "Jabatan-Ku ini tidak akan mengenai
orang-orang zalim." (Q. S. al-Baqarah: 124). Jelas sekali bahwa kedudukan
nan tinggi ini tidak dapat diterjemahkan sebagai jabatan pemerintahan formal.
Dengan demikian, jika imamah tidak diterjemahkan sebagaimana yang telah
digambarkan di atas, maka ayat di atas tidak mempunyai pengertian yang jelas.
Para
nabi utama, ulul-azmi, terutama Nabi Muhammad saw, adalah sekaligus sebagai
imam-imam yang memiliki otoritas kepemimpinan spritual ruhaniah dan
kepemimpinan formal material. Dengan demikian, Nabi Muhammad saw tidak sekedar
menyampaikan ajaran Tuhan, tapi sekaligus memimpin umat manusia, dan jabatan
imamah ini diberikan kepada Nabi saw sejak awal kenabiannya. Dalam hal ini
garis imamah sesudah Rasulullah saw dilanjutkan oleh orang-orang suci dari
zuriyatnya, keturunannya. Dari batasan di atas mengenai imamah tampak bahwa
untuk mencapai kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang sangat berat, baik
dari sisi taqwa, yaitu telah mencapai tingkat ishmah, terpelihara dari
perbuatan-perbuatan dosa, maupun dari sisi ilmu dan pengetahuan yang mencakup
seluruh bidang pengetahuan dan aturan agama serta pengetahuan tentang manusia
dan kebutuhannya untuk setiap zaman.
Keterpeliharaan Imam dari Dosa dan Kesalahan
Seorang
imam wajib bersifat ma'shum, terpelihara dari perbuatan dosa dan kesalahan,
karena, disamping makna ayat di atas, seorang yang tidak maksum tidak dapat
dipercaya sepenuhnya untuk diambil darinya prinsip-prinsip agama maupun
cabang-cabangnya. Oleh karena itu meyakini bahwa ucapan seorang imam maksum,
perbuatan, dan persetujuannya, adalah hujjah syar'iyyah, kebenaran agama, yang
mesti dipatuhi. Yang dimaksud dengan persetujuan imam maksum atau taqrir
al-Ma'shum ialah sang imam tidak menegur suatu perbuatan yang berlangsung di
hadapannya, bahkan membiarkannya saja.
Imam Pemelihara Agama
Dalam
hal ini seorang imam tidak membawa syariat baru. Kewajibannya hanyalah menjaga
agama Islam, memperkenalkannya, mengajarkannya, menyampaikannya, dan membimbing
manusia kepada ajarannya yang luhur. Imam Orang Paling Tahu tentang Agama
Seorang imam harus menguasai dan memiliki pengetahuan yang utuh terhadap semua
pokok agama Islam, cabang-cabangnya, hukum, peraturan, dan tafsir Alquran.
Pengetahuan ini bersifat rabbani, suci dan didapat dari Nabi saw, supaya sang
imam mendapat kepercayaan penuh dari umat dan dapat diandalkan dalam memahami
hakikat Islam.
Nash atas Imam
Seorang
imam, penerus Rasulullah saw, harus ditetapkan melalui nash atau pengangkatan
yang jelas oleh Rasulullah saw atau oleh imam sebelumnya. Dengan kata lain,
seorang imam, seperti halnya Nabi saw, ditetapkan oleh Allah swt, tetapi
melalui Nabi saw, sebagaimana tertera di Alquran dalam pengangkatan Ibrahim
sebagai imam: Sesungguhnya Aku mengangkatmu sebagai imam bagi umat manusia. (Q.
S. al-Baqarah: 124). Dalam pada itu, penentuan tingkat taqwa, bahwa seseorang
telah mencapai tingkat ishmah dan telah mencapai tingkat pengetahuan seluruh
hukum dan ajaran Allah swt tanpa ada kesalahan sedikitpun tidak dapat dilakukan
kecuali oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karena itu, penentuan bahwa seseorang
telah memenuhi sifat ishmah datangnya dari Rasulullah saw. Dengan demikian,
keimamam para imam maksum tidak diperoleh melalui pemilihan rakyat.
Penetapan para Imam oleh Nabi saw
Dalam
hal ini Nabi Muhammmad saw lah yang telah menetapkan para imam sesudahnya,
sebagaimana yang telah dilakukannya dalam hadits populer al-tsaqalain.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa suatu hari Nabi berpidato di sebuah oase
yang bernama Khum, terletak antara Mekkah dan Madinah. Nabi saw bersabda:…Aku
hanyalah seorang manusia, yang jika utusan tuhanku datang kepadaku akan
kupenuhi. Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berat. Pertama, kitab
Allah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. (Kedua) Ahlubaitku. Aku
ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah
tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. (Shahih
Muslim, 4: 1873).
Hadits
yang sama juga diriwayatkan dalam Shahih Turmuzi. Bahkan pada Shahih Turmuzi
terdapat pernyataan tegas Nabi saw yang mengangkat imam sesudahnya dari
lingkungan keluarganya. Demikian pula hadits-hadits yang diriwayatkan dalam
Sunan al-Darimi, Khasaish al-Nasai, Musnad Ahmad, dan sumber-sumber utama Islam
terkenal lainnya. Hadits Tsaqalain atau hadits Dua Pusaka ini sedikitpun tidak
dapat diragukan kebenarannya, oleh siapa saja, karena ia termasuk hadits
mutawatir yang tidak dapat diingkari atau dipersoalkan kebenarannya oleh
seorang Muslim. Dalam pada itu, dari sekian riwayat dapat dilihat betapa Nabi
saw telah mengulangi hadits ini berkali-kali dan diberbagai tempat yang
berbeda.
Tentu
saja tidak semua kerabat Nabi memangku jabatan tinggi ini, sebagai pendamping
Alquran. Dengan demikian, maka yang dimaksud hanyalah para imam maksum dari
zuriyat Rasul saw. Dalam pada itu, perlu disebutkan di sini bahwa dalam
beberapa riwayat terdapat redaksi "Sunnati" atau Sunnahku sebagai
ganti dari redaksi "Ahlubaiti", Ahlubaitku. Akan tetapi riwayat ini
dhaif, diragukan kebenarannya, dan tidak dapat diandalkan. Pada sisi lain,
terdapat hadits lain yang populer dan sahih, yang diriwayatkan oleh banyak
kitab hadits utama seperti Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn
Hanbal, bahwa Nabi saw bersabda: "Agama ini akan terus tegak hingga
datangnya hari kiamat atau datang kepada kamu dua belas orang khalifah, (imam)
semuanya berasal dari suku Quraisy." Dengan demikian tidak ada tafsiran
yang paling tepat berkaitan dengan dua belas Imam yang dimaksud nabi pada
hadits di atas kecuali apa yang diyakini kaum Syi'ah Imamiyyah. Ya, apakah ada
tafsiran lain yang lebih tepat? Tidak ada.
Pengangkatan Nabi terhadap Ali
Nabi
Muhammad saw, atas perintah Allah, telah menunjuk dan mengangkat Ali as sebagai
khalifah sesudahnya. Ia lakukan itu berkali-kali dan dalam berbagai kesempatan
yang berbeda. Di Ghadir Khum, dekat dengan Juhfah, misalnya, Nabi membacakan
khutbahnya yang sangat populer di depan para sahabatnya, sepulangnya dari
menunaikan Haji Wada. Nabi berkata:
Wahai
orang-orang! Bukankah aku lebih utama atas dirimu daripada kamu sendiri? Mereka
berkata: "Betul". Nabi melanjutkan: "Barangsiapa yang aku adalah
pemimpinnya, maulahu, maka Ali adalah pemimpinnya. Dengan demikian adalah
mustahil melewati hadits di atas begitu saja atau menafsirkannya sebatas pada
cinta kepada Ali, padahal Nabi saw begitu memperhatikan masalah ini.
Bukankah
hadits di atas sesuai dengan apa yang diriwayatkan Ibn al-Atsir dalam kitabnya al-Kamil bahwa di awal kenabiannya, atas perintah
Allah: Dan berilah peringatan kepada keluarga dekatmu (Q. S. al-Syuara: 214). Nabi
Muhammad saw mengumpulkan segenap keluarganya dan menawarkan kepada mereka
agama Islam. Pada kesempatan itu Nabi berkata: Siapakah di antara kamu yang
bersedia membantuku dalam urusan ini sehingga ia menjadi saudaraku, washiku,
dan khalifahku pada kamu. Tidak seorang pun yang menyambutnya kecuali Ali yang
berkata kepada Nabi saw: Aku wahai Nabi Allah yang akan membantumu. Kemudian
Nabi berkata: Inilah (Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu. Bukankah
ini pula yang diinginkan Rasulullah saw pada saat-saat terakhir kehidupannya,
sebagaimana yang diriwayatkan Bukhari bahwa Rasulullah saw berkata:
"Bawakan aku kertas supaya aku tuliskan buat kamu wasiat yang dengannya
kamu tidak akan sesat sesudahku nanti." Tapi sayang, sebagian menentang
penulisan wasiat ini, mencegah Nabi melakukannya, bahkan mengucapkan
kalimat-kalimat yang merendahkan Nabi saw.
Penegasan Tiap Imam atas Imam Sesudahnya
Dalam
mazhab ahlul bait meyakini bahwa setiap imam dari dua belas imam telah diangkat
dengan tegas, nash, oleh imam sebelumnya. Imam pertama adalah Ali Ibn Abi
Thalib, kemudian secara berturut-turut, (2) Hasan Ibn Ali al-Mujtaba, (3)
Husain Ibn Ali Sayyidus-syuhada, penghulu para syuhada, (4) Ali Ibn Husain, (5)
Muhammad Ibn Ali al-Baqir, (6) Ja'far Ibn Muhammad al-Shadiq, (7) Musa Ibn
Ja'far, (8) Ali Ibn Musa al-Ridha, (9) Muhammad Ibn Ali al-Taqi, (10) Ali Ibn
Muhammad al-Naqi, (11) Hasan Ibn Ali al-Askari, dan terakhir, (12) Muhammad Ibn
Hasan al-Mahdi. Kami meyakini bahwa Imam Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi masih
hidup.
Keyakinan
kepada Imam Mahdi yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi
dengan kezaliman dan kekejaman tidak terbatas pada kaum Syiah saja, tetapi
seluruh kaum Muslimin. Untuk itu banyak ulama Ahlu-sunnah yang menulis buku
tentang kemutawatiran hadits-hadits tentang Imam Mahdi ini. Bahkan Rabitah Alam
Islami pernah mengeluarkan risalah yang menyatakan bahwa kedatangan Imam Mahdi
merupakan urusan musallammat dalam agama atau sesuatu yang tidak dapat ditolak
kebenarannya. Rabitah mengutip banyak hadits Nabi tentang al-Mahdi dari
kitab-kitab utama. Hanya saja, sebagian ulama Ahlu-sunnah percaya bahwa
al-Mahdi yang dimaksud baru akan lahir di akhir zaman, sementara Syi'ah
meyakini bahwa al-Mahdi yang dimaksud adalah imam kedua belas, masih hidup, dan
akan muncul dengan izin Allah untuk menegakkan keadilan dan mengadili para
tiran.
Ali Sahabat Utama
Ali
adalah sahabat Nabi paling utama. Kedudukannya dalam Islam langsung di bawah
Nabi saw. Pada saat yang sama menganggap bahwa sikap ghuluw, berlebih-lebihan
kepada Ali haram hukumnya. Dalam pada itu meyakini bahwa menganggap Ali sebagai
Tuhan atau dekat dengan anggapan itu kafir hukumnya dan keluar dari barisan
Muslimin. Aqidah Islam mazhab ahlul bait berlepas diri dari orang dan aqidah
semacam itu. Tapi sayang, sebagian pihak terjebak dalam kekeliruan, sehingga
menyamaratakan Syi'ah dengan kelompok-kelompok menyimpang ini, padahal
ulama-ulama Syi'ah justeru menganggap kelompok ini keluar dari Islam.
Sahabat di Hadapan Hukum Akal dan Sejarah
Di
antara Sahabat Nabi terdapat pribadi-pribadi agung yang telah disebutkan
keutamaannya oleh Alquran dan Sunnah. Akan tetapi tidak berarti bahwa semua
Sahabat tidak ada yang salah atau perbuatan-perbuatan mereka benar semuanya
tanpa kecuali. Pada banyak ayat Alquran, terutama pada surat al-Baraah, al-Nur,
dan al-Munafiqin, Alquran bercerita tentang kaum munafik yang nota bene adalah
sebagian Sahabat itu sendiri, dan mengecam mereka dengan keras, meskipun mereka
adalah Sahabat Nabi saw. Selain itu, terdapat pula di antara Sahabat Nabi yang
telah menyulut api sehingga terjadi peperangan sesama kaum Muslimin sesudah
wafat Nabi saw, melanggar baiat yang telah diberikan kepada khalifah, dan
menumpahkan darah ribuan kaum Muslimin. Apakah pantas orang-orang seperti itu
dianggap bersih dan suci?
Dengan
kata lain, bagaimana mungkin dapat memutuskan kedua belah pihak yang terlibat
percekcokan, misalnya pihak-pihak yang terlibat dalam perang Jamal dan Siffin,
bahwa semuanya benar? Sungguh keputusan yang kontradiktif dan tidak dapat diterima.
Adapun alasan pihak yang dapat menerima sikap kontradiktif ini, yang merujuk
kepada persoalan ijtihad, bahwa memang ada yang benar dan ada yang salah, akan
tetapi karena kedua-duanya telah mengamalkan ijtihad, maka yang keliru
sekalipun, tetapi mendapat pahala, karena ia telah melakukan ijtihad. Sedangkan
kekeliruannya, dimaafkan. Cara berpikir seperti ini tidak dapat diterima.
Bagaimana
mungkin kita dapat membenarkan seseorang yang melanggar baiatnya kepada
khalifah Rasulullah dengan alasan ijtihad, tapi kemudian sengaja menyulut api
peperangan dan menumpahkan darah orang-orang salih? Jika dosa penumpahan darah
dapat dimaafkan karena alasan ijtihad, itu berarti semua perbuatan dosa dapat
dimaafkan karena alasan ijtihad. Dengan terus terang bahwa seorang manusia,
meskipun sahabat Nabi, tergantung pada amalnya, sesuai prinsip Alquran yang
menyatakan: Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang
paling bertaqwa. (Q. S. al-Hujurat: 13). Berdasarkan hal ini, maka untuk
menentukan kualitas sahabat, kita juga harus mengukurnya dari amal perbuatan
mereka, supaya keputusan yang kita ambil logis dan dapat diterapkan pada
semuanya.
Dengan
demikian, maka siapa saja di antara sahabat Nabi yang selama bersama Nabi
ikhlas dan terus dalam garis ini dalam menjaga Islam dan kesetiaan kepada
Alquran sesudah wafatnya, maka sahabat tersebut adalah seorang yang salih.
Tetapi Sahabat yang munafiq di zaman Rasul dan selalu mengganggu Rasul atau
berubah sesudah Nabi meninggal dunia, dan yang telah merugikan Islam dan kaum
Muslimin, tentu tidak akan kami cintai sedikitpun. Allah berfirman:
Engkau
takkan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir
mencintai orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, meskipun mereka
adalah orang-orang tua mereka sendiri, anak-anak mereka, saudara-saudara
mereka, atau keluarga dekat mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah
ditetapkan iman oleh Allah dalam hati mereka. (Q. S. al-Mujadalah: 22)
Ya,
orang-orang yang menentang atau mengganggu Rasul, baik pada masa hidupnya atau
sesudah wafatnya, sedikitpun tidak pantas mendapat pujian atau penghormatan. Tetapi
tidak boleh lupa bahwa sejumlah sahabat Nabi telah berjuang habis-habisan untuk
menyebarkan agama Islam sehingga Allah memuji mereka dan memuji para penerus
mereka, tabiin, yang mengikuti jalan para Sahabat yang salih; pujian yang juga
diberikan kepada siapa saja berjalan di jalan yang lurus hingga hari akhir. Para
pemeluk Islam awal-awal sekali, al-sabiqun al-awwalun, dari golongan Muhajirin
dan Anshar dan para pengikut mereka dengan kebaikan, Allah ridha kepada mereka
dan mereka ridha kepada Allah. (Q. S. al-Taubah: 100)
Ilmu Imam-imam Ahlubait Berasal dari Nabi
Dalam
hal ini ucapan para imam, perbuatan, dan taqrir, mereka, yang dapat dilihat
dari tidak adanya teguran mereka terhadap suatu perbuatan yang berlangsung di
hadapan mereka, adalah hujjah, kebenaran yang harus diikuti, dan merupakan
sanad, pegangan bagi kami, karena Nabi saw, sebagaimana hadits mutawatir, telah
memerintahkan agar kita berpegang teguh kepada kitab Allah dan keluarganya. Di
samping itu, mereka adalah orang-orang suci, ma'shum, yang telah diselamatkan
Allah dari perbuatan dosa dan kesalahan. Karena itu, maka salah satu sumber
fiqh kami, setelah Alquran dan Sunnah Nabi, ialah ucapan para imam dari
Ahlubait, perbuatan, dan taqrir mereka.
Jika
diperhatikan bahwa para Imam as itu hanya menukil haditsnya dari nenek moyang
mereka hingga ke Rasulullah saw, maka hadits-hadits mereka sesungguhnya adalah
hadits-hadits Rasulullah saw juga. Dan kita tahu bahwa periwayatan oleh seorang
tsiqah, yang dapat dipercaya, diterima oleh seluruh ulama Islam. Imam Muhammad
Ibn Ali al-Baqir berkata kepada Jabir: Jabir, jika yang kami ucapkan kepada
kalian itu adalah pandangan kami sendiri dan dilandasi hawa nafsu, maka kami
akan celaka. Tapi ketahuilah, yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah
hadits-hadits Rasulullah saw. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa seseorang
bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq tentang suatu masalah dan Imam meberikan
jawabannya, namun orang itu kemudian bertanya lagi: "Bagaimana jika
masalah ini begini dan begitu, apa pendapatmu?" Imam berkata:
"Ketahuilah! Tidak satu jawaban pun yang kuberikan kepadamu kecuali dari
Rasulullah saw. Kami sama sekali bukan termasuk dalam kelompok orang yang dapat
ditanya "Apa pendapatmu".
Dalam
pada itu, kitab-kitab hadits utama yang terdapat dalam mazhab ahlul bait yang
dipercayai validitasnya, seperti al-Kafi, al-Tahzib, al-Istibshar, dan Man La
Yahdurhul-faqih. Akan tetapi tidak berarti bahwa menerima begitu saja seluruh
riwayat yang disebutkan dalam kitab-kitab tersebut, karena, selain kitab-kitab
hadits, juga mempunyai kitab-kitab rijal yang berfungsi mengungkap keadaan para
perawi pada semua level sanad. Jika para perawinya, pada semua level sanad,
dapat dipercaya, tsiqat, maka hadits tersebut dapat diterima. Tapi jika tidak,
akan ditolak. Dengan demikian, hadits baru dapat diterima jika riwayat-riwayat
yang terdapat dalam kitab-kitab utama tersebut, jika ia memenuhi kriteria di
atas.
Selain
itu, boleh jadi ada riwayat yang dari segi sanad dapat dikatagorikan sebagai
riwayat mu'tabarah, dapat diterima, tetapi karena ada cacat-cacat lain pada
riwayat tersebut, para ulama dan fuqaha mazhab ahlul bait, dari dahulu hingga
sekarang, mengabaikannya. Riwayat semacam ini dinamakan riwayat mu'radh anha
atau riwayat yang diabaikan, dan sudah barang tentu tidak mendapat tempat. Dari
sini tampak bahwa jika seseorang ingin mendapat keterangan tentang aqidah
mazhab ahlul bait, atau kaum Syi'ah, maka sangat keliru sekali jika hanya
bersandarkan pada sebuah atau beberapa riwayat yang terdapat pada buku-buku
tersebut tanpa melakukan penelitian sanadnya.
Dengan
kata lain, pada sebagian mazhab Islam, terdapat kitab-kitab hadits yang disebut
al-sihah. Para penyusunnya tidak ragu sedikitpun mengkatagorikan seluruh
riwayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut sahih. Demikian pula anggapan
lainnya. Namun tidak demikian sikap Syiah terhadap kitab-kitab muktabarahnya.
Kitab-kitab itu memang betul disusun oleh orang-orang tsiqat, dapat dipercaya,
akan tetapi untuk menentukan kesahihan hadits-haditsnya harus dikembalikan ke
Ilm al-Rijal untuk dilakukan penelitian terhadap para perawinya. Jika poin ini
diperhatikan, ia dapat mengkelirkan banyak permasalahan dan keraguan yang
diarahkan ke aqidah mazhahb ahlul bait, kaum Syi'ah. Tetapi jika diabaikan,
berakibat pada banyak kekeliruan dan kesalahpahaman terhadap aqidah kami. Singkat
kata, hadits-hadits para Imam Dua Belas menempati posisi yang sangat tinggi di
mata ajaran kami, yaitu setelah Alquran dan sunnah Nabi, tetapi dengan catatan,
bahwa hadits-hadits tersebut pasti datangnya dari para imam dengan jalan yang
juga diakui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar