Sabtu, 24 Mei 2014

Zionisme Kristen, Roadmap Menuju Armageddon?


Oleh Stephen Sizer*

Sebagai kelompok yang sangat tidak mampu menghidupi dirinya sendiri, Zionisme menemukan kekuatan dari perbedaan monoteistis dalam jaringan organisasi Kristen yang subur dan berkuasa, terutama di Amerika Serikat. Zionis Kristen termasuk pendukung Zionisme yang paling bersemangat, karena mereka memandang Israel sebagai bagian ketentuan suci yang ditakdirkan Tuhan, yang berpuncak pada kedatangan Kristus untuk kedua kalinya. Jumlah mereka mencapai puluhan juta dan telah berusaha mempengaruhi berbagai generasi politis Amerika. Namun demikian, cara pandang mereka bersandar pada kesalahan interpretasi fundamental terhadap kitab suci, yang justru bertentangan dengan pesan sejati ajaran Kristen.

Mengapa hari ini tercipta hubungan yang sedemikian dekat antara Amerika dan Israel? Mengapa sangat sulit menemukan anggota kongres AS yang bersedia mengkritik Israel di muka umum? Walaupun sebenarnya Israel harus lebih tunduk pada sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB dibandingkan dengan negara lain di dunia ini, mengapa Amerika Serikat selalu memveto nyaris setiap pasalnya? Mengapa setelah hampir 40 tahun, Israel masih saja menduduki Teritori Palestina dan Dataran Tinggi Golan, sedangkan Suriah telah dipaksa mundur dari Libanon? Mengapa Israel diijinkan untuk mempertahankan senjata biologis, kimia, dan nuklir, sedangkan Iran diancam dengan serangan pendahuluan karena berupaya mengembangkan teknologi nuklir? Mengapa Kesepakatan Damai Oslo dan Wye gagal mewujudkan perdamaian? Alih-alih memperoleh kesepakatan dari Rusia, Masyarakat Eropa, Amerika Serikat, dan PBB, mengapa belum ada itikad politik untuk menerapkan Peta Jalan Damai (Road Map) dan menciptakan negara Palestina yang merdeka di dekatnya? Alih-alih ketentuan Mahkamah Internasional, mengapa Israel masih bisa melanjutkan pembangunan Tembok Pemisah tanpa memperoleh sanksi, dan membangun ghetto untuk warga Palestina? Mengapa Amerika dan Inggris begitu dibenci mayoritas dunia Arab dan menjadi sasaran aksi kekerasan umat Islam? Jawaban untuk semua pertanyaan itu kebanyakan tetap misterius tanpa mempertimbangkan peran gerakan yang mungkin saat ini paling berpangaruh dan paling kontroversial dalam kekristenan, yakni Zionisme Kristen .

Pengertian Zionisme Kristen

Dalam definisi yang paling sederhana, Zionisme Kristen adalah kelompok Kristen yang mendukung Zionisme. Artinya, kelompok ini merupakan sebuah sistem politik yang membenarkan sebentuk kolonialisme apartheid berdasarkan Injil, dengan mengutamakan hak kaum Yahudi di atas hak bangsa Palestina, juga mengklaim hak eksklusif atas sebuah wilayah yang sampai kini belum jelas di Timur Tengah. Dalam hal ini, pada dasarnya Zionis Kristen mendukung Negara Israel.

Grace Halsell, misalnya, bertanya: ‘Apa makna Zionis Kristen? Katakan saja begini: setiap tindakan Israel adalah sesuai dengan kehendak Tuhan, dan karenanya harus dimaafkan, didukung, dan bahkan dipuji oleh kita semua.’[1] Dale Crowley, seorang penyiar Washington yang berlatar belakang religius, menggambarkan kelompok ini sebagai ‘sekte yang paling cepat berkembang di Amerika’:

‘Anggota utama kelompok ini bukanlah “orang-orang gila,” melainkan warga Amerika kelas menengah hingga menengah ke atas. Mereka memberikan jutaan dollar setiap minggunya kepada pengabar-pengabar di TV yang memaparkan prinsip-prinsip dasar sekte ini. Mereka membaca karya Hal Lindsey dan Tim LaHaye. Mereka punya satu tujuan: menjadi tangan Tuhan untuk mengangkat mereka ke surga, terbebas dari semua masalah, dan dari sana mereka akan menyaksikan Armageddon—perang akhir jaman, dan kehancuran planet bumi.’[2]  

Makna Gerakan Zionisme Kristen

Sebagai gerakan, Zionisme Kristen sangat berbeda. Setidaknya, ada tiga elemen pembeda yang bisa diamati: evangelistis, apokaliptis, dan politis.[3]

Zionisme Kristen menyebar terutama melalui denominasi evangelistis, karismatik, dan independen, termasuk Sidang Jemaat Allah, Pantekosta, dan Baptis Selatan, maupun kebanyakan jemaat mega (mega church) yang independen. Crowley mengklaim bahwa kelompok ini dibimbing oleh 80.000 pastor fundamentalis. Pandangan para pastor itu disebarkan oleh 1.000 radio Kristen maupun 100 stasiun TV Kristen.[4]

Diperkirakan, secara keseluruhan gerakan ini memiliki pendukung sebanyak 25 juta hingga 100 juta.[5] Di bulan Maret 2002, dalam sebuah survey besar terhadap pendapat umat Kristen, Pusat Riset Pew menemukan bahwa 44% umat Protestan Amerika dan 72% Evangelis Kulit Putih bisa dikaitkan dengan gerakan Zionis Kristen.[6]

Mungkin Unity Coalition for Israel adalah jaringan Zionis Kristen yang paling berperan dalam menyatukan 200 organisasi Yahudi dan Zionis Kristen yang berbeda-beda, termasuk International Christian Embassy, Christian Friends of Israel dan Bridges for Peace. Mereka mengklaim memiliki dukungan dari 40 juta anggota aktif.[7] Organisasi-organisasi ini, dengan cakupan yang berbeda-beda, dan dengan alasan yang bermacam-macam, dengan kontradiksi yang ada, membentuk sebuah koalisi besar yang mewarnai agenda Zionis Kristen hari ini.

Walaupun akar Zionisme Kristen sebagai sebuah gerakan bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, dan yang kemudian dikenal sebagai Dispensasionalisme—pemikiran bahwa Tuhan telah memilih dua kaum: Gereja dan Israel—gerakan ini baru mengemuka sejak tahun 1967, ketika perang antara bangsa Arab-Israel dianggap sebagai wujud nyata dari ramalan Injil.

Tanpa dukungan finansial dan politis Zionis Kristen di Amerika, yang telah memastikan tersedianya anggaran dana pemerintah dalam jumlah besar, sangat diragukan bahwa Negara Israel masih bisa bertahan sejak 1948, apalagi terus menerus menduduki dan menjajah Teritori Palestina sejak 1967.

Agenda Politis Zionisme Kristen

Zionis Kristen memperlihatkan tingkat antusiasme yang berbeda-beda untuk menerapkan enam keyakinan dasar yang berasal dari pemahaman literal mereka terhadap Injil.

1. Orang-orang Terpilih: Mendukung Kolonialisme Israeli

Keyakinan bahwa Tuhan menjadikan Yahudi sebagai ‘kaum terpilih’ yang dalam beberapa hal terpisah dari Gereja sepenuhnya berakar kuat dalam Zionisme Kristen. Hal itu diungkapkan dengan bermacam cara. Di bulan Oktober 2000, misalnya, hanya beberapa hari setelah kunjungan provokatif Sharon ke Haram Al-Sharif, sebuah iklan muncul di New York Times berjudul ‘Surat Terbuka kepada umat Kristen Evangelis dari umat Yahudi demi Yesus.’ Di dalamnya mereka menghimbau kalangan evangelis untuk menunjukkan solidaritas dengan Negara Israel di saat yang kritis ini:


‘Kini saatnya berpihak pada Israel. Saudara Saudari dalam Kristus, berat hati kita menyaksikan terjadinya kekerasan dan pertumpahan darah di Timur Tengah….Sahabat-sahabat Kristen “Tuhan tak menyesali karunia dan panggilan-Nya” (Roma 11:29). Karena itu, dukungan kita bagi bertahannya Israel di saat-saat gelap ini tak perlu dibantah lagi. Kini saatnya umat Kristen berpihak kepada Israel.’[8]

Hingga 1980an, kebijakan AS terhadap Timur Tengah secara umum tak sebanding dengan kebijakan tentang ancaman global yang lebih luas, yang berasal dari pengaruh Soviet. Perlindungan terhadap Eropa Barat melalui NATO adalah prioritas. Namun demikian, tumbangnya Komunisme menciptakan kekosongan kekuasaan di Timur Tengah, yang kemudian diisi oleh AS. Setelah Perang Teluk untuk menyingkirkan pasukan Irak dari Kuwait, selanjutnya Taliban dari Afghanistan , dan Saddam Hussein dari Irak, jelas bahwa AS telah memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah. Di saat yang sama, terjadi peningkatan dalam gelombang lobi pro-Israel. Konsekuensinya, Timur Tengah, khususnya Israel, telah menjadi pusat kebijakan luar negeri AS. Sama sekali bukan karena serangan al-Qaeda ke New York dan Washington .

Di 1980, Kedutaan Kristen Internasional didirikan di Yerusalem dengan tujuan mengkoordinir secara langsung berbagai aktivitas lobi politik yang bekerja sama dengan pemerintah Israel. Salah satu tujuan utamanya adalah menyaksikan keluarnya delegasi Palestina dari negara-negara Barat dan pemindahan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem .

Di acara Doa Buka Puasa Nasional bulan Februari 1991, Ed McAteer, Presiden Religious Roundtable,meluncurkan Christian Israel Public Affairs Committee (CIPAC), mencontoh American Israel Political Affairs Committee (AIPAC) yang berkuasa, yang telah melakukan lobi-lobi atas nama hak bangsa Israel.[9] Tujuan-tujuan CIPAC sama persis dengan AIPAC. Salah satu tujuan pertama CIPAC adalah melobi Kongres agar memastikan tersedianya jaminan hutang AS sebanyak 10 miliar dollar untuk mendanai penataan ulang pemukiman bangsa Yahudi dari bekas Uni Soviet di Israel dan di Tepi Barat.

Pemerintahan Bush menghubungkan jaminan utang tersebut dengan berhentinya pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Jan Willem van der Hoeven dari ICEJ berkata pada Jerusalem Post, bahwa ‘Komunitas Kristen menganggap kebijakan pemerintah tentang jaminan utang itu sama sekali tak bisa diterima.’ Dia mengklaim bahwa 80% umat Kristen Evangelis Amerika mendukung jaminan utang tersebut.[10] Mungkin inilah sebabnya di kemudian hari, George Bush Senior mengeluh bahwa ‘ada 1.000 pelobi di Hill saat ini yang tengah melobi Kongres agar memberikan jaminan utang kepada Israel, dan aku hanyalah lelaki kecil yang sendirian meminta Kongres untuk menunda pertimbangan pinjaman itu selama 120 hari.’[11]

Zionis Kristen juga begitu dermawan menyediakan dukungan finansial kepada Israel. Zeev Chafets, dalam tulisannya di New York Times tahun 2005, memaparkan dengan sedikit sinis, betapa kelompok Kristen evangelis telah membiayai pekerjaan Rabbi Yechiel Eckstein di Israel :

‘Dalam delapan tahun terakhir saja, diperkirakan 400.000 donatur baru telah mengirimi Eckstein sekitar seperempat miliar dollar untuk kepentingan Yahudi—terserah dia mau digunakan dengan cara apa. Tak ada orang Yahudi sejak jaman Yesus yang pernah memerintahkan kemuliaan semacam ini.’[12]

Zionis Kristen juga sudah begitu berpengaruh dalam meneguhkan hubungan yang lebih dekat dengan Israel dengan memfasilitasi berbagai ziarah solidaritas dan kunjungan pendidikan ke Tanah Suci.

2. Restorasionisme: Memfasilitasi Aliyah dari Bekas Uni Soviet

Dengan runtuhnya Komunisme di Bekas Uni soviet (Former Soviet Union—FSU) dan Eropa Timur, sejak 1980, sebuah koalisi agen-agen Zionis Kristen telah mengambil inisiatif mendorong orang-orang Yahudi berimigrasi ke Israel, dan menganggapnya sebagai bukti kebenaran ramalan.

Mungkin Exobus adalah agen Zionis Kristen pertama yang merubah doktrin Restorasionisme menjadi kenyataan dan membantu kaum Yahudi di FSU membentuk aliyah. Exobus didirikan tahun 1984 oleh Phil Hunter, direktur Good News Travels Bus Company, bermarkas di Hull, Inggris. Tujuan agensi ini adalah memfasilitasi perpindahan kaum Yahudi di FSU ke Israel. Tim Exobus pertama dikirim ke Ukraina tahun 1991, dan mengklaim bahwa sejak saat itu organisasi ini telah membantu 80.000 orang Yahudi berimigrasi ke Israel dengan kerja sama yang kuat dengan agen Yahudi. Mungkin saat ini Exobus adalah agen Kristen terbesar yang memfasilitasi aliyah, terdiri dari 80 anggota tim dari 13 negara dan mengoperasikan 40 kendaraan. Exobus mengangkut sekira 1.200 Yahudi dari 16 lokasi di FSU setiap bulannya.[13] Dukungan keuangan utama Exobus berasal dari sebuah agen mitra bernama Christians for Israel International, yang mengembangkan Exobus di AS.

Sejak 1991, ICEJ juga telah membiayai pengangkutan 40.000 imigran, 15.000 di antaranya dibawa ke Israel dengan 51 penerbangan yang disponsori ICEJ. Anggota tim ICEJ Rusia secara khusus aktif di wilayah yang lebih terpencil di FSU. Seperti Exobus, ICEJ dan Bridges for Peace menggambarkan tugas mereka dengan istilah ‘mengail ikan’ untuk umat Yahudi, berdasarkan Jeremiah 16:16. Mereka menemukan kaum Yahudi, membujuk mereka untuk pindah, membantu mereka memperoleh dokumen yang membuktikan asal-usul keyahudian mereka, membagikan paket kemanusiaan dan membayar ijin keluar, paspor, pelunasan utang, transportasi dan akomodasi selama pengajuan mereka diproses oleh Agen Yahudi di kota-kota Rusia yang lebih besar. Begitu tiba di Israel , ICEJ maupun BFP membantu imigran dengan biaya pemukiman, menyediakan makanan, pakaian, selimut, persediaan dapur dan sekolah, maupun perlengkapan kesehatan.

3. Eretz Israel: Mendukung Pemukiman Tepi Barat

Bagi Zionisme, Yahudi, dan Kristen religius, batas absah bagi Israel jauh lebih luas daripada dengan yang kini diperdebatkan dengan Suriah, Yordania, dan Otoritas Palestina. Keyakinan bahwa seluruh Tepi Barat merupakan bagian integral dengan Israel telah membuat banyak Zionis Kristen ‘mengadopsi’ pemukiman khusus Yahudi untuk memperkuat klaim mereka atas wilayah tersebut.

Christian Friends of Israeli Communities (CFOIC), yang didirikan oleh Ted Beckett tahun 1995, menjalin kerja kemitraan dengan Christian Friends of Israel (CFI) dan mendefinisikan pemukiman sebagai:

‘Sebidang tanah untuk tempat tinggal pionir kaum Yahudi yang pemberani. Sebagian besar didirikan di puncak bukit berbatu kosong, dibangun untuk membentuk komunitas Yahudi yang belum pernah ada selama ribuan tahun. Sebagian lagi, seperti Shiloh, pemukiman dibangun di sebuah situs asli kota Yahudi kuno.’[14]

Sejauh ini, ‘progress meter’ CFOIC menunjukkan bahwa 39 pemukiman ilegal penduduk Israel telah ‘diadopsi’ oleh 50 denominasi maupun gereja independen di AS, Afrika Selatan, Jerman, Belanda, dan Pilipina.

Selain memfasilitasi imigrasi Yahudi ke Israel, sejumlah agen Zionis Kristen juga aktif mendanai pemukiman Yahudi ilegal di Tepi Barat. Program ‘Bis Anti Peluru untuk Efrat,’ misalnya, juga mengeluarkan 150.000 dollar untuk membeli sebuah bis lapis baja anti peluru untuk mengangkut warga pemukiman keluar dan masuk Tepi Barat dari pemukiman Efrat.[15] Bridges for Peace (BFP) punya skema serupa bernama ‘Operation Ezra‘ yang mendanai lebih dari 50 proyek yang sedianya terancam gagal seperti ladang pemukiman, Sde Bar, dekat Beit Jala dan Herodian.[16]

Anglicans for Israel mewakili wajah baru Kristen Zionis di Inggris.[17] Website mereka memuat banyak artikel yang menyangkal pendudukan di Palestina, menjustifikasi Tembok Pemisah dan pembangunan pemukiman,

‘Selama bangsa Palestina masih berpegang pada pemahaman keliru bahwa mereka “diduduki,” dan Israel berperan sebagai “penindas,” mereka tak akan bisa bertanggung jawab pada diri sendiri.”[18]

‘Saat mengunjungi Israel belum lama ini, aku melihat pagar pengaman dalam banyak peristiwa, dan pagar itu sangat panjang. Kecuali di sejumlah kecil lokasi—dan hanya untuk melindungi pengendara motor dari penembak jitu—bukan tembok.’[19]

Efek lobi pro-Israel terhadap kebijakan luar negeri Amerika tentang pemukiman nampaknya memang membuahkan hasil. Selama pemerintahan Carter, pemukiman dianggap ‘ilegal’; di bawah pemerintahan Reagan dipandang sebagai ‘penghalang’ perdamaian’; saat pemerintahan Clinton menjadi ‘faktor yang rumit’; sedangkan di masa George W. Bush, pemukiman adalah bagian dari Israel.

4. Jerusalem: Melobi untuk Pengakuan Internasional

Inti dari dukungan Zionis Kristen terhadap klaim Israel atas Wilayah Pendudukan adalah keyakinan bahwa Jerusalem adalah, dan harus tetap menjadi, pusat Yahudi yang eksklusif dan tidak terbagi-bagi. Sejauh ini, berbagai upaya untuk mencapai kesepakatan dalam konflik Arab-Israel yang kian luas ini tertahan atau terbentur pada status akhir Jerusalem. Zionis Kristen dengan tegas menolak setiap pengajuan apapun tentang kedaulatan bersama atau pembentukan pusat pemerintahan Palestina di Jerusalem Timur.

Senator Bob Dole kemudian mengumumkan sebuah perundangan di Senat Amerika yang memerintahkan kedutaan besar AS membangun kembali Yerusalem sebelum 31 Mei 1999, dan mengesahkan 100 juta dollar untuk membiayai pengeluaran ‘awal.’[20] Di bulan Oktober 1995 dia menyatakan, ‘Pusat Israel bukan ditentukan di meja proses perundingan damai, dan memindahkan kedutaan besar AS ke Yerusalem tidak berpengaruh sedikitpun untuk memprediksi hasil negosiasi apapun di masa mendatang.’[21] Sambil menyesalkan kegagalan Presiden AS untuk meratifikasi keputusan Senat tersebut, Dole berkomentar:

‘Yerusalem hari ini, dan sudah sejak tiga ribu tahun yang lalu, menjadi jantung dan jiwa kaum Yahudi. Kota ini juga harus tetap, selamanya, menjadi pusat Negara Israel yang abadi dan tak terbagi-bagi…Saatnya telah tiba…untuk melangkah lebih dari sekedar kata-kata, ungkapan dukungan, dan bermacam resolusi Kongres. Saatnya telah tiba untuk menjalankan perundangan yang bisa menuntaskan pekerjaan.’[22]

Di tahun 1992, ICEJ mensponsori berbagai perayaan untuk menandai ulang tahun ke-25 peristiwa yang mereka sebut sebagai ‘Reunifikasi Yerusalem.’[23] Di tahun 1996, dalam Kongres Zionis Kristen Internasional, pemikiran ini dikemukakan kembali di hadapan 1.500 peserta yang menandatangani sebuah pernyataan sikap:

‘Karena tujuan mutlak Tuhan bagi Kota ini, maka Yerusalem harus tetap tidak terbagi-bagi, di bawah kedaulatan Israel, terbuka bagi semua orang, pusat negara Israel saja, dan karenanya semua bangsa harus sepakat dan menempatkan kedutaan mereka di sini…kebenaran Tuhan adalah mutlak dan tertulis bahwa Tanah yang dijanjikanNya untuk kaumNya itu bukan untuk disekat-sekat.’[24]

ICEJ juga telah memberikan dukungan berupa satu halaman penuh di New York Times untuk iklan yang berjudul ‘Umat Kristen menyeru untuk Yerusalem yang Utuh.’

‘Kami, yang bertanda tangan di bawah ini adalah para pimpinan spiritual Kristen yang setiap minggu melayani lebih dari 100 juta umat Kristen Amerika, begitu bangga bisa bergabung bersama-sama mendukung keberlangsungan kedaulatan Negara Israel atas kota suci Yerusalem. Kami mendukung upaya-upaya Israel untuk mencapai rekonsiliasi dengan tetangga Arab, namun kami percaya bahwa Yerusalem, atau bagian manapun darinya, seharusnya tidak lagi ditawar-tawar dalam proses perdamaian. Yerusalem harus tetap utuh sebagai pusat abadi kaum Yahudi.’[25]

Para pembaca juga diseru:

‘Bergabunglah bersama kami dalam misi suci untuk memastikan bahwa Yerusalem akan tetap menjadi pusat Israel yang utuh dan abadi.’ Mereka mengklaim, ‘perang demi Yerusalem telah dimulai, dan kinilah saatnya umat yang beriman kepada Kristus untuk mendukung saudara mereka bangsa Yahudi dan Negara Israel. Saat persatuan dengan kaum Yahudi kini telah tiba.’[26]

Namun demikian, yang dirasa lebih penting bagi Zionis Kristen berkaitan dengang ramalan yang mereka yakini adalah membangun kembali Kuil Yahudi.

5. Kuil: Memihak pada Zionisme Religius

Zionis Kristen masa kini begitu aktif membantu banyak organisasi Yahudi yang bertujuan membangun kembali Kuil Yahudi dengan memproklamirkan berbagai organisasi Temple Mount; mencari lokasi situs Kuil; memfasilitasi program pembangunan ulang; mengembangbiakkan lembu merah dan mendanai Lembaga Keuangannya. Randall Price adalah ahli aliran dispensational terkemuka dalam rencana pembangunan ulang Kuil Yahudi dalam waktu dekat. Di halaman 735 bukunya, The Coming Last Days Temple, dia menyajikan rincian lengkap dan alamat semua organisasi Yahudi yang turut memfasilitasi pembangunan ulang Kuil Yahudi.[27] Gershon Salomon adalah tokoh kontroversial dalam gerakan ini dan pendiri The Temple Faithful. Ketika berbicara sebagai tamu ICEJ, dalam Kongres Zionis Kristen tahun 1998, Salomon bersikukuh bahwa:

‘Misi generasi masa kini adalah membebaskan Temple Mount dan menyingkirkan—saya ulangi, menyingkirkan—kebencian yang menodai tempat itu…kaum Yahudi tak akan diberhentikan di gerbang-gerbang menuju Temple Mount… Akan kita kibarkan bendera Israel kita di Temple Mount, yang bakal berdiri tanpa Kubah Batu dan masjidnya, dan yang akan ada di sana hanyalah bendera kita dan Kuil kita. Itulah yang harus dilaksanakan oleh generasi kita.’[28]

Namun demikian, Sam Kiley menulis di The Times untuk memberikan perspektif lain. Dia mengklaim Salomon sebagai ‘wajah paling tepat untuk berbagai sekte di milenium ini.’ Dalam sebuah wawancara dengan Salomon bersikeras bahwa tempat ibadah umat Islam harus dihancurkan:

‘Pemerintah Israel harus melakukannya. Kita harus berperang. Akan banyak bangsa yang menentang kita, Tapi Tuhan akan memimpin kita. Aku yakin ini adalah ujian, dan Tuhan mengharapkan kita menyingkirkan Kubah itu tanpa rasa takut kepada bangsa-bangsa lain. Al Masih tak akan datang dengan sendirinya; kita harus menghadirkanya dengan berjuang.’[29]

Sejak 1967 sudah terjadi lebih dari 100 serangan bersenjata terhadap al-Haram al-Sharif oleh kaum Yahudi militan, seringkali dipimpin para rabbi. Tak sekalipun Perdana Menteri Israel atau kepala rabbi Sephardic pernah mengecam serangan-serangan itu.[30] Seperti yang pernah dikemukakan Lawrence Wright, ‘kerinduan Yahudi akan Kuil, harapan Kristen akan Kegembiraan, dan paranoia Muslim terhadap perusakan masjid mereka tengah diaduk dalam sebuah mangkuk apokaliptik.’[31]

6. Masa Depan: Menentang Perdamaian dan Menyegerakan Armageddon

Permusuhan yang diperlihatkan Zionis Kristen terhadap kompromi apapun tentang pembagian Tanah, atau Yerusalem, atau situs-situs suci, sama sekali bukan karena pesimisme yang inheren dalam eskatologi mereka.

Aliansi AS-Israel

Saat Zionis Kristen secara umum sepakat untuk berpihak pada Israel, secara khusus ada hubungan dekat antara Israel dan Amerika. Jerry Falwell menjelaskannya secara sederhana. Tuhan begitu baik kepada Amerika karena ‘Amerika baik kepada Yahudi.’[32] Mike Evans adalah salah seorang yang menemukan dasar-dasar Injili tentang hubungan antara Israel dan Amerika:

‘Tuhan hendak memberkati Amerika maupun Israel…Jika Israel runtuh, maka Amerika Serikat tak akan mampu lagi menjaga demokrasinya…Uang Arab digunakan untuk mengendalikan dan mempengaruhi banyak Perusahaan besar di AS, sehingga membuat Amerika Serikat kian dan kian sulit menentang terorisme dunia.’[33]

Bagi Zionis Kristen seperti Jerry Falwell dan Mike Evans, ‘Sabuk Injil’ Amerika dipandang sebagai ‘Sabuk Pengaman’ Israel.[34] Amerika dianggap sebagai penyelamat besar mereka, perannya sebagai negara adidaya di dunia sudah diramalkan dalam kitab suci[35] dan memang sudah ditakdirkan Tuhan.[36] Para kritikus memperingatkan bahaya logika semacam ini karena cara pandangnya yang dualistik dan Manichaean terhadap politik global. Amerika dan Israel bersama-sama melawan dunia yang keji.’[37]  

Antipati terhadap Bangsa Arab

Zionis Kristen adalah pecinta Israel, dan mereka jarang memperlihatkan perasaan yang sama terhadap bangsa Arab. Bahkan, antipati mereka seringkali sangat berlawanan dengan empati mereka terhadap Israel. Stereotipe prasangka anti-Arab dan Orientalis lazim dijumpai dalam tulisan-tulisan mereka.[38] Menurut Orientalis, Barat dipandang sebagai kalangan yang liberal, damai, rasional, dan mampu menerima nilai-nilai yang ‘hakiki’ sedangkan Timur Tengah tidak.

Ramon Bennett menjelaskan betapa prasangka semacam itu tetap lazim hingga hari ini dengan menggambarkan bangsa Arab modern sebagai bangsa ‘barbar’[39] Dia mengklaim bahwa ‘kebiasaan mereka dalam hal keramahtamahan dan kedermawanan hanya sedikit berubah dalam 4.000 tahun ini, begitupun kebiasaan menyerang orang lain (mencuri, bersikap kasar), mengagungkan harga diri, dan kebuasan mereka.[40] Mengutip John Laffin, Bennett berpendapat bahwa bangsa Arab bukan kejam atau pembohong yang penuh perhitungan; mereka adalah orang-orang yang natural.[41] Ketika anti-Semitisme dianggap tabu di Amerika, nampaknya saat ini sedang ‘musim berburu’ untuk prasangka anti-Arab.

Ethnic Cleansing di Palestina
Dick Armey, mantan pimpinan Senat Republik, melansir kabar mengejutkan dengan membenarkan ethnic cleansing terhadap bangsa Palestina dari Wilayah Pendudukan. Dalam sebuah wawancara dengan Chris Matthews di CNBC 1Mei 2002, Armey menyatakan bahwa:

‘Kebanyakan penduduk yang kini menghuni Israel sebelumnya diangkut dari seluruh penjuru dunia ke tanah yang kini menjadi kampung halaman mereka. Bangsa Palestina juga bisa melakukan hal yang sama, dan kami sepenuhnya akan senang membantu Palestina untuk melakukannya. Kami tak hendak mengorbankan Israel demi pendapat tentang tanah air bangsa Palestina…Aku yakin bahwa Israel harus menguasai seluruh Tepi Barat…Begitu banyak bangsa Arab yang punya tanah ratusan ribu hektar tanah, lahan, dan harta benda, juga peluang untuk mendirikan sebuah negara bagi bangsa Palestina.’[42]

Matthews memberi Armey beberapa kali kesempatan untuk mengklarifikasi pernyataannya bahwa dia tak sedang menganjurkan ethnic cleansing terhadap seluruh bangsa Palestina dari Tepi Barat, namun Armey tak bergeming. Ketika ditanya

‘Pernahkan anda memberitahu George Bush, Presiden dari negara bagian anda, Texas, tentang pendapat anda bahwa seluruh bangsa Palestina harus bangkit dan pergi meninggalkan Palestina; dan itulah solusinya?’,

Armey menyahut,

‘Mungkin sekarang ini sedang kuberitahukan padanya …Aku yakin bahwa Israel harus memperoleh tanah yang kini dikuasainya dan orang-orang yang menyerang melawan Israel harus pindah ke wilayah lain.’ [43]

Pendapat Armey bahwa bangsa Palestina harus ‘pergi’ hanyalah bagian terakhir dari serangkaian seruan yang jadi isu utama media AS dan Inggris tentang ethnic cleansing terhadap bangsa Palestina dari Wilayah Pendudukan.[44]  

Menentang Proses Damai

Zionis Kristen selalu membenarkan klaim sepihak Israel atas Wilayah Pendudukan, sedangkan di saat yang sama mereka menentang aspirasi bangsa Palestina untuk menentukan nasib mereka sendiri, karena secara hakiki keduanya memang berlawanan. Banyak yang memandang perjanjian damai sebagai pengkhianatan pada kehendak Tuhan bagi kaum Yahudi. ‘Perdamaian…adalah kesalahan dan ada orang-orang yang percaya bahwa akarnya adalah dari kejahatan.’[45] Clarence Wagner dari BFP juga sepakat dengan pendapat tersebut. Dia juga tidak sepakat dengan dengan perjanjian damai:

‘Kita perlu mendorong bangsa-bangsa lain untuk memahami rencana Tuhan, bukan rencana-rencana PBB, AS, MEE, Oslo , Wye, dsb. yang berasal dari pemikiran manusia. Tuhan sama sekali tak menetapkan rencana untuk merebut Kota Tua Yerusalem, termasuk wilayah Mount Temple dan Gunung Zaitun (Mount of Olives), kemudian memberikannya ke dunia Islam. Al Masih tak akan kembali ke kota umat Islam bernama Al-Quds, tapi untuk mengumpulkan kembali, membangkitkan kembali kota Yahudi, Yerusalem.[46]

Karena itu, bahasan tentang perdamaian bukan hanya dianggap buang-buang waktu, tetapi juga sangat memperlihatkan kurangnya keimanan, dan yang paling buruk, merupakan pemberontakan terhadap kehendak Tuhan. Pernyataan semacam itu berasal dari pimpinan tingkat tinggi umat Kristen, yang jadi tak jauh beda dengan pandangan ekstrimis Muslim yang menyeru ‘perang suci’ melawan Barat. Bahaya teologi semacam itu nampaknya tak separah hingga menyebabkan kematian, namun seperti kisah ‘chicken little,’ begitu menular.[47] Karen Armstrong tak sendirian dalam menelusuri bukti keabsahan Perang Salib dalam Zionisme Kristen Barat. Berdasarkan pengamatannya, kelompok fundamentalis seperti itu kini ‘kembali ke konsep perang suci jaman kuno dan ekstrim.’[48]

Penilaian Kritis terhadap Zionisme Kristen

Sebagaimana telah dibahas, Zionisme Kristen sebagai sebuah gerakan telah menyebabkan banyak konsekuensi politis yang dalam dan jangka panjang. Zionis Kristen telah menunjukkan berbagai tingkat antusiasme untuk menerapkan enam keyakinan teologis fundamental yang muncul dari hasil pemahaman mereka yang literal dan futuris terhadap Injil:

[1] Keyakinan bahwa Yahudi tetaplah kaum yang dipilih Tuhan membuat Zionis Kristen menjustifikasi pendudukan militer Israel atas Palestina.

[2] Sebagai kaum pilihan Tuhan, kembalinya seluruh bangsa Yahudi ke Israel secara aktif dianjurkan dan difasilitasi melalui kemitraan antara organisasi-organisasi Kristen dan agen Yahudi.

[3] Eretz Israel, dari Mesir hingga Irak, adalah milik bangsa Yahudi sepenuhnya; karenanya, tanah tersebut harus diambil alih dan pemukimannya dijaga sekaligus diperkuat.

[4] Yerusalem dianggap sebagai pusat abadi dan eksklusif bagi kaum Yahudi, dan tak bisa dibagi-bagi dengan bangsa Palestina. Karena itu, secara strategis pemerintah negara-negara Barat di bawah tekanan Zionis Kristen harus memindahkan kedutaan mereka ke Yerusalem, yang berarti mengakui kebenarannya.

[5] Kuil Ketiga tetap harus dibangun, kerahibannya disucikan, pengorbanan dihidupkan kembali. Sebagaimana yang diyakini oleh Zionis Kristen, khususnya dispensational, bahwa hal ini telah diramalkan, mereka memberikan berbagai macam tingkat dukungan kepada sejumlah organisasi Jewish Temple Mount yang bertekad mewujudkannya.

[6] Karena Zionis Kristen yakin bahwa akan terjadi perang apokaliptis antara kebaikan dan keburukan dalam waktu dekat, maka perdamaian jangka panjang antara bangsa Arab dan Yahudi tak lagi bisa diharapkan. Sesungguhnya, menyarankan Israel untuk berkompromi dengan Islam atau hidup berdampingan dengan bangsa Palestina berarti menyamakan diri dengan orang-orang yang ditakdirkan untuk melawan Tuhan dan Israel dalam perang Armageddon yang sudah dekat.

Jelas bahwa tidak semua Zionis Kristen meyakini keenam butir doktrin di atas, atau berkeyakinan dan melibatkan diri dengan derajat yang sama. Namun demikian. Sebagaimana telah dibahas, secara umum, konsekuensi dukungan tanpa pertimbangan kritis terhadap Negara Israel, khususnya dari kalangan Evangelis Amerika, pada hakikatnya sangat merusak, bahkan bagi kaum Yahudi yang mereka klaim sebagai orang-orang terkasih.

Umumnya, Zionisme Kristen telah ditolak oleh sejumlah denominasi utama Kristen.

Misalnya, dalam Koferensi Sabil Internasional ke-5 di Yerusalem bulan April 2004, sekira 600 anggota dari 30 negara mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengecam Zionisme Kristen sebagai bid’ah:

Zionisme Kristen adalah gerakan teologis dan politis modern yang menganut pandangan ideologis yang paling ekstrim tentang Zionisme, karenanya jadi sangat merugikan bagi perdamaian yang adil antaraIsrael dan Palestina. Program-program Zionis Kristen menyajikan cara pandang bahwa Kitab Injil dinisbahkan pada ideologi kekaisaran, kolonialisme, dan militerisme. Dalam bentuk ekstrimnya, paham ini mengutamakan berbagai peristiwa apokaliptis yang mengarah pada berakhirnya sejarah, bukan menghidupkan cinta kasih Kristus dan kadilan di masa kini. Kami juga menolak bentuk Zionisme Kristen yang lebih berbahaya, yang mewarnai kebijakan banyak gereja besar sehingga mereka tetap diam saat menyaksikan pendudukan Israel atas Palestina. Oleh karena itu, dengan tegas kami menolak doktrin-doktrin Zionis Kristen, menyatakannya sebagai ajaran palsu yang merendahkan pesan kasih, pengampunan, dan keadilan yang ada dalam Injil…Kami menolak ajaran-ajaran bid’ah Zionisme Kristen yang memfasilitasi dan mendukung kebijakan ekstrimis ini, karena alih-alih mengabarkan cinta kasih universal, pertaubatan dan persatuan yang diajarkan oleh Yesus Kristus, mereka justru tengah mengkampanyekan eksklusivitas rasial dan perang tiada akhir.[49]

Zionisme Kristen hanya menghidupkan keyakinan terhadap masa depan apokaliptik yang didasarkan pada pemahaman hermenetik literal, dengan menisbahkan janji yang disebutkan dalam Perjanjian Lama bagi kaum Yahudi kuno itu pada Negara Israel saat ini. Asumsi literal mereka itu menafikan kemungkinan apapun untuk memaknai Injil dengan cara lain, untuk memaknai sejarah, atau hasil perundingan damai yang adil dan jangka panjang di Timur Tengah.

Akhirnya, Zionisme Kristen harus ditolak karena tanpa sikap kritis telah memberlakukan agenda rasis eksklusif untuk mewujudkan hak politis Israel. Selain itu, kurangnya rasa kasih mereka kepada tragedi bangsa Palestina sungguh tak bisa dimaafkan. Baik sengaja maupun tidak, kelompok ini telah melegitimasi penindasan terhadap bangsa Palestina atas nama Tuhan. Di saat yang sama, kepada kaum Yahudi, mereka memberikan masa depan apokaliptik yang jauh lebih mengerikan, bahkan lebih dari Shoah–Holocaust.[]

Copyright © 2005 Palestine Internationalist
source: Volume 1 Issue 4, http://www.palint.org/article.php?articleid=16
Pendapat-pendapat dalam situs ini—kecuali ada keterangan lain—adalah pendapat para penulisnya.

Untuk bahasan lebih rinci tentang Zionisme Kristen—lihat buku penulis, Christian Zionism, Road-map to Armageddon? (Leicester, IVP, 2004). Untuk sumber analisa yang lebih luas tentang Zionisme Kristen kunjungi www.sizers.org

*Stephen Sizer telah menulis, atau turut menulis dalam sejumlah buku termasuk:

Panorama of the Holy Land , (Eagle, 1998)
Panorama of the Bible Lands, (Eagle, 2000)
Holy Land Hollow Jubilee, ed. N. Ateek & M. Prior (Melisende, 1999)
They Came and They Saw, ed. M. Prior (Melisende, 2000).
A 3rd Millennium Guide to Pilgrimage to the Holy Land, ed. Macpherson (Melisende, 2000)
The Land of Promise, ed. Philip Johnson & Peter Walker (IVP, 2000)
Toronto in Perspective, ed. David Hilborn (Paternoster, 2001)
In the Footsteps of Jesus and the Apostles, ( Eagle, 2004)
Heaven on Earth: The Temple in Biblical Theology, ed. S. Gathercole (Paternoster, 2004)
Speaking the Truth about Zionism and Israel , ed. Michael Prior (Melisende, 2004)
Christian Zionism: Road-map to Armageddon? (IVP, 2004)
Challenging Christian Zionism, ed. Naim Ateek (Melisende, 2005)

Artikel-artikelnya telah diterbitkan di Third Way , Cornerstone, Churchman, Living Stones, Holy Land Studies, Evangelicals Now dan Church Times; bisa diakses di www.sizers.org

Edisi cetak tulisan ini bisa dibaca di Jurnal al Huda Volume VI, Nomor 16, 2008, Hal. 19-35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar