Minggu, 01 Februari 2015

SaHaBaT Kierkegaard Bagian Kedua



Makalah Kuliah Umum Salihara | Februari 2011 oleh R Matindas

Tindakan (baca pikiran) Kierkegaard

Sasaran utama Kierkegaard adalah mendapatkan pembenaran oleh diri sendiri bagi perbuatan/keputusan yang (menurut pandangan umum) salah. Untuk itu ia harus bisa membuktikan bahwa yang dianggap salah itu sebetulnya tidak salah. Kalau hanya untuk ini, sebetulnya ia tidak perlu menyakinkan pendiriannya pada orang lain karena yang ia butuhkan adalah pembenaran diri sendiri. Namun, karena ia juga ingin melindungi ayahnya dan ’menenangkan’ Regina, ia ingin orang-orang lain juga setuju dengan jalan pikirannya. Di sini ia menemui dua hambatan besar. Yang pertama adalah dogma Gereja dan yang kedua adalah kuatnya pengaruh Hegel dalam pemikiran masyarakat Eropa waktu itu.

Karena Hambatan utama yang dihadapi Kierkegaard adalah penerimaannya terhadap ajaran Gereja dan tradisi berpikir Hegelian, maka dalam usaha merumuskan kriteria untuk menilai buruk-baiknya sebuah perbuatan, ia lebih dahulu mengkritik kedua ajaran itu. Kalau ia berhasil membutktikan bahwa kedua ajaran itu tidak benar, maka dengan sendirinya ia dapat lebih mengatasi rasa bersalahnya. Selain itu, kalau kedua hal itu tidak benar, maka terbuka peluang untuk mengajukan sebuah pemikiran yang lebih benar.

Kritik terhadap dogma gereja muncul dalam kritik Kierkegaard mengenai kedangkalan (kemunafikan) hidup. Serangan Kierkegaard terhadap Kekristenan yang dangkal, sebetulnya adalah juga usaha untuk membenarkan tindakannya yang tidak sejalan dengan Kekristenan yang dangkal itu. Selama ia masih membenarkan ajaran Kristen-semu yang dianut kebanyakan orang, selama itu pula ia tidak dapat mengampuni dirinya dari kesalahan yang dibuatnya.

Untuk menunjukkan bahwa ajaran kristen yang dipeluk oleh kebanyakan warga Denmark saat itu belum tentu benar, Kierkegaard mulai dengan mengkritik tingkah laku massa (publik/kerumunan). Telah dikatakan di bagian depan bahwa masa kehidupan Kiekegaard adalah masa ketika hampir seluruh orang di Eropa beragama Kristen. Orang menjadi Kristen terutama karena mengikuti arus. Kebiasaan mengikuti arus inilah yang dicela oleh Kierkegaard.  

Orang yang larut dalam massa akan kehilangan identitas dirinya. Dengan larut dalam massa orang juga melarikan diri dari tanggung jawab pribadinya. Orang yang larut dalam massa tidak menjadi diri sendiri dan tidak menjadi diri sendiri akan menyebabkan kecemasan hidup dan keputusan-asaan.

Setelah meletakkan dasar perlawanan terhadap ajaran Gereja, Kierkegaard mulai menyerang ajaran Hegel. Meskipun mengkritik ajaran Hegel, kritik itu dilakukan tanpa mengatakan bahwa Hegel seratus persen salah. Ia menyatakan bahwa apa yang dikemukakan Hegel tidak cukup untuk membantu manusia memecahkan persoalan hidupnya. Persoalan utama manusia bukanlah menemukan kebenaran objektif, melainkan membuat keputusan.

Menurut Kiekegaard, dalam setiap situasi, manusia diharuskan memilih yang ini atau yang itu. Berkaitan dengan masalah kebenaran, berikut adalah beberapa pertanyaan kritis yang perlu mendapat tanggapan: Apa sebetulnya Kebenaran itu? Banyak orang beranggapan bahwa  kebenaran adalah kesesuaian antara kesimpulan dengan kenyataan. Tapi kita tahu bahwa kenyataan itu tidak abadi. Kenyataan hari ini bisa berbeda dengan kenyataan masa lalu maupun kenyataan masa datang. Lalu apakah yang sekarang benar masih akan benar di kemudian hari? Dapatkah kita mencapai kebenaran yang hakiki? Kalau kenyataan terus menerus berubah, maka yang bisa diyakini hanyalah ”pernyataan ini benar” dengan keterbatasan ruang, waktu dan beberapa situasi lain.

Apakah cukup berpegangan pada kebenaran? Membuat keputusan moral pada dasarnya adalah usaha memecahkan masalah moral bukan masalah indrawi. Dalam kegiatan pemecahan masalah, ada kalanya pengetahuan yang benar tidak bermanfaat. Montir yang akan memperbaiki sebuah mobil misalnya, tidak akan terbantu oleh pengetahuan yang (benar) bahwa nama pemilik mobil itu adalah Asmet (bukan Asmat) dan hari itu adalah hari Kamis (bukan hari Jumat) dan seterusnya. Mana yang lebih penting: definisi atau makna?

Ilmu sering bersibuk diri membuat konstruk dengan definisi yang mengusahakan kepastian pengertian. Di lain pihak definisi-definisi itu menjadi kurang relevan dalam interaksi sehari-hari. Ilmuwan mungkin mendefinisikan mobil sebagai ”salah satu alat transportasi yang ....”. Untuk tiap-tiap orang awam mobil bisa punya makna yang berbeda beda. Ada yang memaknai mobil sebagai ”syarat untuk mendekati Nenggenit” dan yang lain mungkin memaknainya  sebagai ”alat untuk mencari rejeki” dan sebagainya.

Diilhami oleh pandangan Kant, Kierkegaard menegaskan bahwa manusia tidak pernah dapat benar-benar mengetahui keberanan. Menurut Kierkegaard, penafsiran manusia terhadap kebenaran objektif tidak pernah bersifat final. Oleh karena itu, pada akhirnya yang paling penting adalah menyakini bahwa sesuatu itu benar. Peyakinan ini adalah iman, yang tidak memerlukan bukti empirik. Kierkegaard menggunakan kisah Abraham (Ibrahim) sebagai ilustrasi dari keyakinan ini. Dengan penuh keyakinan Abraham mentaati permintaan Tuhan agar ia mengorbankan anaknya.

Keberhasilan seseorang untuk benar-benar menyakini suatu kebenaran-subjektif akan dapat dicapai seseroang ketika ia mencapai jenjang eksistensi yang tertinggi yaitu jenjang eksistensi Religius. Jenjang yang sebelumnya adalah jenjang moral (etis) dan jenjang terrendah adalah jenjang indrawi (jenjang estetis; dari kata Yunani aisthesisyang berarti pengindaraan).

Pada tiap jenjang eksistensi manusia memiliki suatu cara memandang dunia (worldview atau weltanschaung) yang berbeda-beda. Cara memandang dunia ini dapat disebut sebagai sistem nilai dan asumsi (Sina) yaitu kesatuan dari hal-hal yang dianggap (diasumsikan, dipercaya, diyakini) sebagai hal yang benar, penting atau berguna. Sina ini bersifat dinamis dan berkembang dari waktu ke waktu sebagai sintesis antara pengalaman-sesaat (the temporal) dengan yang-abadi.

Pada jenjang eksistensi yang paling rendah, manusia hanya berorientasi pada pemuasan hasrat semata, tanpa membuat pertimbangan mengenai benar/salah, penting/tidak serta bermanfaat atau mencelakakan. Sistem nilai dan asumsinya dipenuhi dengan pengetahuan mengenai cara-cara untuk memuaskan hasrat. Pada jenjang moral/etis, Sina ini telah berkembang (bukan berganti) sehingga aksi (tindakan) tidak hanya didasarkan pada intensi (hasrat dan sensasi) melainkan juga pada pertimbangan moral. Di tahap ini manusia mencoba menghadapi TALI (tuntutan, anjuran, larangan dan informasi) yang ada di lingkungannya. Bila yang bersangkutan terlalu mengandalkan rasio dalam usaha membebaskan diri dari TALI lingkungan, ia pada akhirnya akan gagal. Kenyataan hidup sering berisi keharusan untuk memilih hanya satu dari (minimal) dua pilihan yang tersedia. Ada kalanya kita harus memilih satu dari dua perbuatan baik karena tidak mungkin melakukan dua-duanya. Padahal, tidak melakukan suatu perbuatan baik sebetulnya secara tidak langsung berarti melakukan sebuah kejahatan. Contohnya, bila di pantai saya melihat dua anak yang akan tenggelam dan mereka berada dalam jarak yang berjauhan. Jika menolong si A, saya tidak mungkin menolong si B. Demikian pula sebaliknya.

Untuk mengatasi kecemasan yang tidak mungkin dihindari karena kenyataan hidup memang berisi kepahitan, manusia harus mau berserah diri kepada Yang Ilahi. Manusia harus mau menerima bahwa yang penting adalah menjalankan misinya seperti yang ditetapkan oleh Yang Ilahi dan bukan menjalankan tujuan hidup seperti yang ia pribadi inginkan. Manusia mungkin tidak pernah benar-benar sadar apa sesungguhnya yang merupakan misinya tetapi hal itu tidak menjadi persoalan selama ia menyakininya (sebagai kebenaran yang subjektif). Adanya keyakinan inilah yang merupakan syarat untuk menjalankan eksistensi religius.

Rangkuman

Inti gagasan Kierkegaard adalah adanya tiga jenjang eksistensi yang bisa dijalani oleh seseorang. Ketiga jenjang itu adalah jenjang eksistensi indrawi, jenjang eksistensi moral/etis dan jenjang eksistensi religius. Manusia harus berusaha untuk mencapai jenjang tertinggi karena hanya di jenjang ini manusia bisa menjalani kehidupan sejati yang bebas dari kemunafikan, kecemasan dan keputusasaan. Untuk mampu mencapai jenjang eksistensi religius, manusia harus menyadari bahwa kodrat manusia adalah memilih, membuat keputusan.

Dalam membuat keputusan hidup pengetahuan tentang kebenaran yang ojektif semata tidaklah cukup. Yang dibutuhkan bertindak sesuai dengan yang diyakini sebagai benar meskipun selalu ada kemungkinan bahwa keyakinan itu keliru. Hanya dengan menyakini bahwa sesuatu itu benar, manusia akan tenang (tidak cemas). Hidup tanpa kemunafikan dalam jenjang eksistensi religius adalah pengakuan terhadap subjektivitas kebenaran yang hanya dapat dicapai melalui penyerahan diri.

Penutup

Terinspirasi oleh subjektivitas kebenaran, maka pada akhirnya (bagi saya) tidaklah terlalu penting apakah pemahaman saya mengenai SaHaBaT Kierkegaard memang benar-sesuai dengan kenyataan objektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar