Makalah Kuliah Umum
Salihara | Februari 2011 oleh R Matindas
Tindakan (baca
pikiran) Kierkegaard
Sasaran utama Kierkegaard adalah mendapatkan
pembenaran oleh diri sendiri bagi perbuatan/keputusan yang (menurut pandangan
umum) salah. Untuk itu ia harus bisa membuktikan bahwa yang dianggap salah itu
sebetulnya tidak salah. Kalau hanya untuk ini, sebetulnya ia tidak perlu
menyakinkan pendiriannya pada orang lain karena yang ia butuhkan adalah
pembenaran diri sendiri. Namun, karena ia juga ingin melindungi ayahnya dan
’menenangkan’ Regina, ia ingin orang-orang lain juga setuju dengan jalan
pikirannya. Di sini ia menemui dua hambatan besar. Yang pertama adalah dogma
Gereja dan yang kedua adalah kuatnya pengaruh Hegel dalam pemikiran masyarakat
Eropa waktu itu.
Karena Hambatan utama yang dihadapi Kierkegaard adalah
penerimaannya terhadap ajaran Gereja dan tradisi berpikir Hegelian, maka dalam
usaha merumuskan kriteria untuk menilai buruk-baiknya sebuah perbuatan, ia
lebih dahulu mengkritik kedua ajaran itu. Kalau ia berhasil membutktikan bahwa kedua
ajaran itu tidak benar, maka dengan sendirinya ia dapat lebih mengatasi rasa
bersalahnya. Selain itu, kalau kedua hal itu tidak benar, maka terbuka peluang
untuk mengajukan sebuah pemikiran yang lebih benar.
Kritik terhadap dogma gereja muncul dalam kritik
Kierkegaard mengenai kedangkalan (kemunafikan) hidup. Serangan Kierkegaard
terhadap Kekristenan yang dangkal, sebetulnya adalah juga usaha untuk
membenarkan tindakannya yang tidak sejalan dengan Kekristenan yang dangkal itu.
Selama ia masih membenarkan ajaran Kristen-semu yang dianut kebanyakan orang,
selama itu pula ia tidak dapat mengampuni dirinya dari kesalahan yang
dibuatnya.
Untuk menunjukkan bahwa ajaran kristen yang dipeluk
oleh kebanyakan warga Denmark saat itu belum tentu benar, Kierkegaard mulai
dengan mengkritik tingkah laku massa (publik/kerumunan). Telah dikatakan di
bagian depan bahwa masa kehidupan Kiekegaard adalah masa ketika hampir seluruh orang
di Eropa beragama Kristen. Orang menjadi Kristen terutama karena mengikuti
arus. Kebiasaan mengikuti arus inilah yang dicela oleh Kierkegaard.
Orang yang larut dalam massa akan kehilangan identitas
dirinya. Dengan larut dalam massa orang juga melarikan diri dari tanggung jawab
pribadinya. Orang yang larut dalam massa tidak menjadi diri sendiri dan tidak
menjadi diri sendiri akan menyebabkan kecemasan hidup dan keputusan-asaan.
Setelah meletakkan dasar perlawanan terhadap ajaran
Gereja, Kierkegaard mulai menyerang ajaran Hegel. Meskipun mengkritik ajaran
Hegel, kritik itu dilakukan tanpa mengatakan bahwa Hegel seratus persen salah.
Ia menyatakan bahwa apa yang dikemukakan Hegel tidak cukup untuk membantu manusia
memecahkan persoalan hidupnya. Persoalan utama manusia bukanlah menemukan
kebenaran objektif, melainkan membuat keputusan.
Menurut Kiekegaard, dalam setiap situasi, manusia
diharuskan memilih yang ini atau yang itu. Berkaitan dengan masalah kebenaran,
berikut adalah beberapa pertanyaan kritis yang perlu mendapat tanggapan: Apa sebetulnya Kebenaran itu? Banyak orang beranggapan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara kesimpulan
dengan kenyataan. Tapi kita tahu bahwa kenyataan itu tidak abadi. Kenyataan
hari ini bisa berbeda dengan kenyataan masa lalu maupun kenyataan masa datang.
Lalu apakah yang sekarang benar masih akan benar di kemudian hari? Dapatkah
kita mencapai kebenaran yang hakiki? Kalau kenyataan terus menerus berubah,
maka yang bisa diyakini hanyalah ”pernyataan ini benar” dengan keterbatasan
ruang, waktu dan beberapa situasi lain.
Apakah cukup berpegangan pada kebenaran? Membuat
keputusan moral pada dasarnya adalah usaha memecahkan masalah moral bukan
masalah indrawi. Dalam kegiatan pemecahan masalah, ada kalanya pengetahuan yang
benar tidak bermanfaat. Montir yang akan memperbaiki sebuah mobil misalnya,
tidak akan terbantu oleh pengetahuan yang (benar) bahwa nama pemilik mobil itu
adalah Asmet (bukan Asmat) dan hari itu adalah hari Kamis (bukan hari Jumat)
dan seterusnya. Mana yang lebih penting: definisi atau makna?
Ilmu sering bersibuk diri membuat konstruk dengan
definisi yang mengusahakan kepastian pengertian. Di lain pihak
definisi-definisi itu menjadi kurang relevan dalam interaksi sehari-hari.
Ilmuwan mungkin mendefinisikan mobil sebagai ”salah satu alat transportasi yang
....”. Untuk tiap-tiap orang awam mobil bisa punya makna yang berbeda beda. Ada
yang memaknai mobil sebagai ”syarat untuk mendekati Nenggenit” dan yang lain
mungkin memaknainya sebagai ”alat untuk
mencari rejeki” dan sebagainya.
Diilhami oleh pandangan Kant, Kierkegaard menegaskan
bahwa manusia tidak pernah dapat benar-benar mengetahui keberanan. Menurut
Kierkegaard, penafsiran manusia terhadap kebenaran objektif tidak pernah
bersifat final. Oleh karena itu, pada akhirnya yang paling penting adalah
menyakini bahwa sesuatu itu benar. Peyakinan ini adalah iman, yang tidak
memerlukan bukti empirik. Kierkegaard menggunakan kisah Abraham (Ibrahim)
sebagai ilustrasi dari keyakinan ini. Dengan penuh keyakinan Abraham mentaati
permintaan Tuhan agar ia mengorbankan anaknya.
Keberhasilan seseorang untuk benar-benar menyakini
suatu kebenaran-subjektif akan dapat dicapai seseroang ketika ia mencapai
jenjang eksistensi yang tertinggi yaitu jenjang eksistensi Religius. Jenjang
yang sebelumnya adalah jenjang moral (etis) dan jenjang terrendah adalah
jenjang indrawi (jenjang estetis; dari kata Yunani aisthesisyang berarti pengindaraan).
Pada tiap jenjang eksistensi manusia memiliki suatu
cara memandang dunia (worldview atau weltanschaung) yang berbeda-beda. Cara
memandang dunia ini dapat disebut sebagai sistem nilai dan asumsi (Sina) yaitu
kesatuan dari hal-hal yang dianggap (diasumsikan, dipercaya, diyakini) sebagai
hal yang benar, penting atau berguna. Sina ini bersifat dinamis dan berkembang
dari waktu ke waktu sebagai sintesis antara pengalaman-sesaat (the temporal)
dengan yang-abadi.
Pada jenjang eksistensi yang paling rendah, manusia
hanya berorientasi pada pemuasan hasrat semata, tanpa membuat pertimbangan
mengenai benar/salah, penting/tidak serta bermanfaat atau mencelakakan. Sistem
nilai dan asumsinya dipenuhi dengan pengetahuan mengenai cara-cara untuk memuaskan
hasrat. Pada jenjang moral/etis, Sina ini telah berkembang (bukan berganti)
sehingga aksi (tindakan) tidak hanya didasarkan pada intensi (hasrat dan
sensasi) melainkan juga pada pertimbangan moral. Di tahap ini manusia
mencoba menghadapi TALI (tuntutan, anjuran, larangan dan informasi) yang ada di
lingkungannya. Bila yang bersangkutan terlalu mengandalkan rasio dalam usaha
membebaskan diri dari TALI lingkungan, ia pada akhirnya akan gagal. Kenyataan
hidup sering berisi keharusan untuk memilih hanya satu dari (minimal) dua
pilihan yang tersedia. Ada kalanya kita harus memilih satu dari dua perbuatan
baik karena tidak mungkin melakukan dua-duanya. Padahal, tidak melakukan suatu
perbuatan baik sebetulnya secara tidak langsung berarti melakukan sebuah
kejahatan. Contohnya, bila di pantai saya melihat dua anak yang akan tenggelam
dan mereka berada dalam jarak yang berjauhan. Jika menolong si A, saya tidak
mungkin menolong si B. Demikian pula sebaliknya.
Untuk mengatasi kecemasan yang tidak mungkin dihindari
karena kenyataan hidup memang berisi kepahitan, manusia harus mau berserah diri
kepada Yang Ilahi. Manusia harus mau menerima bahwa yang penting adalah
menjalankan misinya seperti yang ditetapkan oleh Yang Ilahi dan bukan
menjalankan tujuan hidup seperti yang ia pribadi inginkan. Manusia mungkin
tidak pernah benar-benar sadar apa sesungguhnya yang merupakan misinya tetapi
hal itu tidak menjadi persoalan selama ia menyakininya (sebagai kebenaran yang
subjektif). Adanya keyakinan inilah yang merupakan syarat untuk menjalankan
eksistensi religius.
Rangkuman
Inti gagasan Kierkegaard adalah adanya tiga jenjang
eksistensi yang bisa dijalani oleh seseorang. Ketiga jenjang itu adalah jenjang
eksistensi indrawi, jenjang eksistensi moral/etis dan jenjang eksistensi
religius. Manusia harus berusaha untuk mencapai jenjang tertinggi karena hanya
di jenjang ini manusia bisa menjalani kehidupan sejati yang bebas dari
kemunafikan, kecemasan dan keputusasaan. Untuk mampu mencapai jenjang
eksistensi religius, manusia harus menyadari bahwa kodrat manusia adalah
memilih, membuat keputusan.
Dalam membuat keputusan hidup pengetahuan tentang
kebenaran yang ojektif semata tidaklah cukup. Yang dibutuhkan bertindak sesuai
dengan yang diyakini sebagai benar meskipun selalu ada kemungkinan bahwa
keyakinan itu keliru. Hanya dengan menyakini bahwa sesuatu itu benar, manusia
akan tenang (tidak cemas). Hidup tanpa kemunafikan dalam jenjang eksistensi
religius adalah pengakuan terhadap subjektivitas kebenaran yang hanya dapat
dicapai melalui penyerahan diri.
Penutup
Terinspirasi oleh
subjektivitas kebenaran, maka pada akhirnya (bagi saya) tidaklah terlalu penting
apakah pemahaman saya mengenai SaHaBaT Kierkegaard memang benar-sesuai dengan
kenyataan objektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar