Minggu, 05 Oktober 2014

Ariel Sharon Sang Jagal Modern –Tragedi Sabra dan Shatila




Sebagian besar orang di dunia tahu, dan tidak ada seorang pun yang tahu lebih baik daripada orang-orang Palestina dan Lebanon, bahwa ribuan dari mereka adalah korban dari penjahat perang berantai dan berdarah dingin ini: Ariel Sharon. Karir Sharon dibangun di atas pembantaian demi pembantaian—dari Qibya (Tepi Barat, Palestina) pada 1953, Sabra dan Shatila (Lebanon) pada 1982 , hingga Jenin (Tepi Barat, Palestina) pada 2002.

Sebagai seorang rasis anti-Arab yang ekstrim, Sharon memiliki sejarah panjang dan berdarah-darah. Dialah dalang banyak pembunuhan dan penindasan terhadap rakyat Palestina. Pada awal 1950, ia memerintahkan Unit 101, sebuah unit pasukan khusus, untuk melakukan pembantaian terhadap pengungsi Palestina di Gaza dan Yordania.

Meski telah mencaplok 78 persen wilayah Palestina dalam perang 1948, para pemimpin Israel tak pernah puas. Sebagaimana telah banyak didokumentasikan oleh sejarawan Israel dan Palestina, Israel berusaha memprovokasi “Ronde Kedua” pada awal 1950-an, demi mengambil alih Tepi Barat, Gaza, dan banyak lagi.

Salah satu taktik utama Israel disebut “pembalasan”. Taktik ini respon terhadap pengungsi Palestina yang datang di sepanjang perbatasan untuk kembali ke tanah air mereka dari Gaza dan Tepi Barat. Tentara Israel (IDF) melakukan serangan besar-besaran dan pembantaian.

Demi tujuan diplomatik dan pencitraan, adalah sangat penting bagi Israel untuk dipandang sebagai korban, dan bukan agresor. Hal ini tetap berlaku sampai sekarang. Maka, taktik “pembalasan” pada hakikatnya adalah provokasi. Tujuannya untuk memicu reaksi militer Yordania dan Mesir terhadap pembantaian. Reaksi itu kemudian dapat digunakan oleh Israel sebagai alasan untuk memulai perang penaklukan.

Pada 14 Oktober 1953 , Unit 101 yang dipimpin Sharon menyerang Qibya, sebuah desa kecil di Tepi Barat. Unit 101 membantai 69 orang. Sebagian besar dari mereka dibakar hidup-hidup di dalam rumah. Itulah kekejaman yang diperintahkan pejabat teras Israel dan dilakukan demi memenuhi tujuan-tujuan politik tertentu.

Pembantaian Qibya memicu kecaman dari seluruh dunia, dan Yordania yang jauh lebih lemah daripada Israel secara militer, tidak merespon sebagaimana yang diharapkan pemimpin Israel. Penaklukan Tepi Barat dan Gaza pun harus menunggu sampai tahun 1967.

Sabra dan Shatila

Setelah Perang pendudukan 1967, Sharon menjadi gubernur militer di Gaza. Saat itu, dia terkenal sangat brutal dalam menjalankan kebijakan penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga Palestina yang melawan rezim pendudukan.

“Mahakarya” pembantaian Sharon adalah invasi 1982 terhadap Lebanon dan pembantaian terhadap warga Palestina di kamp pengungsi Sabra dan Shatila di Beirut. Sebagai Menteri Pertahanan Israel kala itu, Sharon merancang dan memimpin—tentu saja dengan dukungan penuh Amerika Serikat—serangan besar-besaran atas Lebanon. Selama tiga bulan di Musim Panas 1982, jet-jet pembom Israel tanpa henti membombardir Beirut dan kota-kota lainnya. Serangan ini menewaskan tak kurang 20.000 warga sipil Lebanon dan Palestina.

Tujuan yang dinyatakan secara terbuka dari invasi tersebut adalah mengusir Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari Lebanon. Di Lebanon, hidup lebih dari 400 ribu pengungsi—orang Palestina yang diusir dari tanah air mereka untuk melapangkan jalan bagi pendirian negara Israel pada 1948. Secara keseluruhan, lebih dari tujuh juta warga Palestina saat ini hidup dalam pengungsian.

Setelah tiga bulan invasi, pemimpin pusat PLO akhirnya mengalah. PLO mengevakuasi para pejuang mereka dari Lebanon. Sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata yang mengharuskan mereka pergi itu, penduduk sipil Palestina yang tersisa harus ditempatkan di bawah perlindungan internasional.

Tapi Sharon belum puas. Dia menuding ada 2.000 “teroris” Palestina di kamp pengungsi Sabra dan Shatila di Beirut Barat. Padahal orang-orang Palestina yang tersisa di kamp hampir semuanya anak-anak, perempuan, dan laki-laki lanjut usia. Nyaris semua pemuda telah dievakuasi.

Dengan melanggar perjanjian gencatan senjata, tank-tank Israel mengepung kamp. Kemudian, pada 16 September 1982, dengan persetujuan penuh Sharon, pasukan penjajah Israel menguasai kamp. Milisi pro-Israel, Lebanon Phalangis, diizinkan untuk memasuki Sabra dan Shatila.
Milisi fasis Phalangis—kelompok pengagum Adolf Hitler—adalah sekutu dekat Israel di Lebanon saat itu. Milisi Phalangis disuplai seragam militer oleh Israel dan disediakan senjata. Selama tiga hari, mereka mengamuk di kamp Palestina: menyiksa, memperkosa, dan membunuh. Sebagian besar korban dimutilasi atau dipenggal kepalanya. Tak seorang pun tersisa. Di akhir episode pembantaian, lebih dari 1.900 Palestina, perempuan maupun laki-laki, ditemukan tewas.

Meskipun bukti menunjukkan bahwa Sharon dan para komandan Israel lainnya telah memasukkan milisi Phalangis ke dalam kamp, pada 1983 pengadilan Israel hanya memutuskan Sharon “bertanggung jawab secara tidak langsung” atas pembantaian tersebut. Orang mungkin berpikir bahwa terlibat secara “tidak langsung” sekalipun dalam pembantaian hampir dua ribu orang setidaknya akan mengakhiri karir politik Sharon.

Tapi hal seperti itu tidak akan terjadi di negara apartheid Israel. Sharon kemudian memang dipaksa mengundurkan diri dari kabinet. Tapi, dia terus menjadi aktor politik utama dan kembali sebagai menteri pada era 1990-an.

Intifada Al-Aqsa

Pada 28 September 2000, Sharon mementaskan sebuah provokasi terkenal lainnya. Dia mengunjungi komplek Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, situs suci utama umat Islam. Sharon hendak medemonstrasikan “haknya” melakukan perjalanan di mana pun di Yerusalem. Namun ironisnya, Sharon, “si jagal dari Lebanon” itu, tidak berani keluar sendirian. Dia malah membawa serta 1.500 polisi Israel bersenjata. Tentu saja ratusan warga Palestina bereaksi. Mereka melawan. Inilah yang menandai dimulainya intifada Al-Aqsa yang akan berlanjut selama bertahun-tahun.

Lima bulan kemudian, pada Februari 2001, Sharon terpilih sebagai Perdana Menteri. Pada Maret 2002, militer Israel melakukan operasi besar-besaran di Tepi Barat dan Jalur Gaza, berusaha melemahkan intifada. Di antara serangan paling brutal adalah terhadap sebuah kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat bagian utara. Selama beberapa hari, dengan menggunakan buldoser militer dan senjata berat lainnya, militer Israel menghancurkan banyak kamp dan mengubur banyak orang Palestina hidup-hidup. Pada tahun yang sama, Sharon mulai membangun tembok apartheid di sepanjang Tepi Barat dan merampas sisa tanah milik rakyat Palestina.

Khayalan “pembawa damai”

Satu klaim palsu yang dibuat Sharon adalah bahwa dia sudah berubah menjadi “pembawa damai” ketika memutuskan untuk menarik pangkalan militer dan permukiman ilegal Israel di Gaza. Sementara warga Palestina di Gaza menyambut penarikan itu, Israel terus mengepung dan memblokade Gaza. Keputusan Sharon untuk menarik diri dari Gaza sebenarnya juga didasarkan pada strategi untuk mengamankan kendali lebih di Tepi Barat.

Dalam wawancara dengan Jerusalem Post pada Juli 2000, beberapa bulan sebelum menjadi perdana menteri, Sharon menyerukan Israel untuk “mempertahankan Yerusalem raya yang bersatu dan tak terbagi di bawah kedaulatan penuh Israel.” Ini mengacu kepada Kota Tua Palestina dan semua daerah di sekitarnya yang Israel kuasai secara ilegal setelah Perang pendudukan 1967.

Sharon juga menyerukan pendudukan ilegal sejumlah besar daerah di Tepi Barat. “Kota-kota Yahudi, desa dan masyarakat di Yudea, Samaria, dan Gaza, serta akses jalan menuju ke sana akan tetap berada di bawah pendudukan penuh Israel,” kata Sharon ketika itu. “Yudea dan Samaria” adalah sebutan pemukim ilegal Israel untuk Tepi Barat. “Israel tidak menerima syarat apa pun untuk hak kembali Palestina. Israel tidak bertanggung jawab secara moral atas keadaan para pengungsi.”

“Negara” Palestina yang diusulkan Sharon adalah salah satu negara yang sangat berbeda dengan negara lain di dunia. Palestina versi Sahron tidak boleh mengontrol sumber dayanya sendiri, termasuk akses kepada sumber air, atau wilayah udara, atau bahkan perbatasannya sendiri. Palestina versi Sharon adalah negara pincang yang tak berdaya menghadapi salah satu negara paling militeristik di dunia: Israel.

Sharon meninggal pada 11 Januari 2014, setelah mengalami koma selama 8 tahun. Sejarah akan mengingat dia bukan sebagai “pembawa damai” seperti yang dipropagandakan, melainkan sebagai pembunuh massal berantai. [Voice of Palestine


1 komentar: