Senin, 06 Oktober 2014

Mengenal Sains Ekonomi




Pada kodratnya, setiap manusia memiliki naluri untuk memproteksi kelangsungan kehidupannya. Dalam rangka naluri untuk kelangsungan hidupnya itu, setiap manusia memiliki kebutuhan, secara bertingkat (primer-sekunder-tersier) maupun bervariasi. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya itu, manusia menempuh berbagai cara. Seiring waktu, cara manusia memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut berkembang menjadi sebuah ilmu tersendiri, yang dapat dipelajari, dikembangkan dan diajarkan. Kelak ilmu itu dinamakan ekonomi. Dengan demikian pada dasarnya, ekonomi terkait langsung dengan naluri untuk bertahan dan mengembangkan kehidupan manusia.

Ilmu Ekonomi dan Ekonomi Politik

Sebagaimana yang sudah sangat populer diketahui, istilah ‘ekonomi’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu  ‘oikosnomos’ atau oikonomia’ yang artinya manajemen urusan rumah-tangga’, khususnya penyediaan dan administrasi pendapatan. Terdiri dari dua term kata, yaitu ‘oikos’ dan ‘nomos’. Oikos berarti keluarga, rumah tangga, nomos artinya peraturan, aturan dan hukum.[[1]] Secara sederhana maksudnya adalah tata cara menyelenggarakan rumah tangga. Ilmu Ekonomi, secara umum, didefinisikan sebagai hal yang mempelajari perilaku manusia dalam menggunakan sumber daya yang langka untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan manusia. Ruang lingkup ekonomi meliputi satu bidang perilaku manusia terkait dengan konsumsi, produksi, dan distribusi.[[2]]

Paul A. Samuelson, seorang ahli ekonomi terkenal mendefinisikan Ilmu Ekonomi sebagai suatu studi mengenai bagaimana orang-orang dan masyarakat membuat pilihan, dengan cara atau tanpa penggunaan uang, dengan menggunakan sumber daya yang terbatas tetapi dapat digunakan dalam berbagai cara untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa dan mendistribusikannya untuk keperluan konsumsi sekarang dan di masa mendatang, kepada berbagai orang dan golongan masyarakat.[[3]] Mengingat luasnya pengertian ekonomi, tidak ada salahnya memperhatikan pernyataan Tim Harford berikut ini.

“...saya ekonom. Anda mungkin mengira pikiran saya ada di tempat lain, merenungkan pasar saham atau angka inflasi. Kalau begitu Anda salah. Saya memperhatikan para penjudi dan pekerja seks komersial, pemabuk dan anggota-anggota geng. Saya melihat dari sudut yang berbeda. Para ekonom selalu mencari logika tersembunyi di balik kehidupan, bagaimana hal itu dibentuk oleh keputusan-keputusan rasional yang tak terhitung dan tak terlihat.”[[4]]

Sebelum ilmu ekonomi berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri seperti sekarang, dulunya dikenal dengan ilmu ekonomi politik (political economy). Tulisan-tulisan para sarjana di abad ke-18 hingga ke-19, belum memisahkan antara ekonomi dan politik. Seiring perkembangan ilmu yang terus-menerus mengalami spesialisasi dan diferensiasi, maka di kemudian hari ekonomi politik dipilah menjadi ilmu ekonomi murni di satu sisi, dan ilmu politik di sisi lain. Hal itu dapat dipahami sebagai akibat dari pengaruh modernisasi yang menuntut adanya spesialisasi dan diferensiasi di segala bidang.  

Adalah Alfred Marshal, pemuka mazhab neo-klasik, yang mengubah disiplin ekonomi politik menjadi ilmu ekonomi murni dengan bukunya The Principles of Economics. Alasan dia bahwa ilmu “baru” yang dimaksudkanya itu sudah berhenti sebagai suatu system of inquiry yang mempunyai kaitan langsung dengan permasalahan kebijaksanaan ekonomi pada abad ke-18 dan 19. Tetapi Gunnar Myrdal, seorang sarjana yang menolak teori ekonomi konvensional dan menganggapnya terlalu teknis, mengembalikan system of inquiry itu dalam penggunaan dan sejalan dengan itu istilah ekonomi-politik pun digunakan. Tapi sejak dulu hingga sekarang, istilah (ekonomi politik) secara konsisten dipakai di kalangan Marxist dan kaum sosialis, juga berbagai kelompok ilmuwan ekonomi di Eropa Barat dan Eropa Timur.[[5]]

Sekarang setelah gerak sejarah berbalik menuntut cara pandang yang holistik dan interdisipliner, ekonomi politik pun kembali populer dan mendapatkan tempatnya. Perbedaan utama dari pendekatan ekonomi politik dan ilmu ekonomi murni adalah dalam pandangannya tentang struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Ekonomi politik percaya bahwa struktur kekuasaan akan memengaruhi pencapaian ekonomi, sebaliknya pendekatan ekonomi murni menganggap struktur kekuasaan di dalam masyarakat adalah given.[6]

Menurut Ahmad Erani Yustika, ada tiga varian penting dalam pendekatan ekonomi politik. Ketiga varian itu adalah: ekonomi politik klasik/neoklasik (classical/neoclassical political economy), ekonomi politik Keynesian (Keynesian political economy), dan ekonomi politik Marxian (Marxian political economy). Secara singkat dijelaskan, ekonomi politik klasik atau neo klasik adalah ekonomi politik berbasis pasar atau berdasarkan kapitalisme. Sementara ekonomi politik Keynesian berinduk pada teori ekonomi John Maynard Keynes yang memperkenankan intervensi negara jika perekonomian mengalami krisis. Adapun ekonomi politik Marxian yaitu perekonomian yang didorong sepenuhnya oleh negara.[7]

Ketika gejala ekonomi dijelaskan melalui pendekatan ilmu ekonomi murni (tradisional), rupanya telah menimbulkan ketidakpuasan karena bagi sebagian kalangan dianggap tidak menjelaskan masalah secara lengkap. Sebagaimana yang disebutkan oleh Dawam Rahardjo dalam bukunya Esei-Esei Ekonomi Politik sebagai berikut:

“Profesor Assar Lindbeck dari Norwegia, ketika berada di Amerika Serikat, sambil memberi kuliah, telah mengumpulkan pendapat perihal serangan kaum Kiri baru terhadap ilmu ekonomi tradisional. Ia mengambil kesimpulan tentang kritik itu sebagai berikut: (a) ilmu ekonomi tradisional dinilai terlalu mengabaikan masalah distribusi pendapatan, kekayaan dan kekuasaan yang tidak merata, (b) dalam menganalisa masalah alokasi sumber-sumber, ekonomi tradisional menganggap selera konsumen sebagai sesuatu yang sudah ditentukan, padahal, masalah sesungguhnya adalah terdapatnya dominasi atas selera konsumen oleh penjual besar, (c) ekonomi ortodoks dianggap mengabaikan secara total masalah mutu hidup yang seharusnya dibedakan dari kuantitas output (d) sistem sosial-ekonomi dianggap sebagaimana adanya oleh ekonomi ortodoks dan mereka dinilai hanya berkepentingan dengan perubahan-perubahan marginal, padahal yang seharusnya menjadi kepentingan adalah perubahan-perubahan besar dari seluruh sistem itu sendiri, dan (e) kaum ortodoks dianggap mengabaikan pertimbangan-pertimbangan politik,--padahal seharusnya hal yang dipersoalkan tidak semata-mata bersifat ekonomi, melainkan bersifat ekonomi politik.[8]

Salah seorang kritikus terhadap ekonomi konvensional, Gunnar Myrdal, menolak teori-teori ekonomi konvensional karena mengabaikan hal-hal yang fundamental dan cenderung ke arah teknis sehingga seolah-olah menjadi bebas nilai untuk tujuan mencapai apa yang disebut objektivitas. Bagi Myrdal, teori ekonomi mustahil netral, yaitu secara positif objektif. Ilmu ekonomi, sebagaimana halnya karya John Stuart Mills, pada dasarnya juga merupakan ilmu pengetahuan dengan nilai dan moral tertentu. Bahkan kaum neoklasik sendiri mempunyai dasar filsafat, yaitu filsafat moral utilitarian. Namun, para ekonom modern menyembunyikan dan melupakan dasar-dasarnya yang sekarang sudah menjadi filsafat moral yang beku. Dan karena itu mereka menyajikan sesuatu yang nampaknya seperti teori ekonomi yang bebas-nilai.[9]

Perbedaan “mazhab” dalam menempatkan ilmu ekonomi, bersifat netral atau tidak, memiliki argumen dan signifikansinya masing-masing. Karena itu, menurut Lindbeck masalahnya yang paling esensial adalah mencari jawaban alternatifnya. Dalam hal ini, ekonomi politik berjasa menyajikan pembahasan mengenai: (a) apakah sistem ekonomi harus diorganisasikan melalui pasar, melalui birokrasi politik atau bagaimana, (b) apakah sistem itu harus disentralisasikan atau didesentralisasikan dalam proses pengambilan keputusan, (c) siapa yang seharusnya memiliki modal (d) apakah cara kompetisi ataukah cara koperasi yang dipilih dalam melaksanakan aktivitas ekonomi, dan (e) apakah hakekat makna pembangunan, sampai seberapa itu dikehandaki? Kelima hal di atas merupakan isu utama dalam ekonomi politik sebagai ilmu untuk memenuhi kebutuhan manusia di tengah sumber daya yang terbatas.[10]

Ekonomi Politik Sebagai Analisis Sosial

Dalam perkembangannya, ekonomi politik ternyata tidak saja digunakan dalam konteks ilmu (ekonomi) sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tetapi juga dipergunakan sebagai alat analisis terhadap gejala sosial. Ekonomi politik sebagai suatu pendekatan analisis terhadap masyarakat dan bangsa muncul pada tahun 1970-an. Hal ini dilatari oleh reaksi atas ketidakpuasan terhadap teori modernisasi yang dipandang tidak memadai menjelaskan perubahan di dalam masyarakat negara-negara baru.

Sebagaimana diketahui, para ilmuwan sosial dan politik Barat, kerap mempergunakan dan menyodorkan analisis modernisasi untuk mendekati masyarakat-masyarakat di negara-negara yang baru merdeka (dunia ketiga). Tentu saja banyak hal dari teori modernisasi tidak dapat menjelaskan secara utuh masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara baru tersebut yang baru saja mengalami kolonialisasi dan pada akhirnya mengakibatkan teori modernisasi kehilangan relevansi dengan kebutuhan perubahan secara mendasar yang diharapkan oleh negara-negara baru tersebut. Kenyataannya teori modernisasi menggiring negara-negara baru tersebut ke dalam ketergantungan orientasi kepada model masyarakat Barat yang sebelumnya merupakan penjajah mereka. Di sinilah munculnya kritik terhadap model modernisasi yang datang dari sarjana-sarjana ekonomi politik.

Salah seorang dari mereka, Peter Gran, sebagaimana dalam tulisannya, Ekonomi Politik Sebagai Paradigma dalam Kajian Sejarah Islam, yang menyatakan:

“...secara sederhana, teori modernisasi menyatakan bahwa kebanyakan masyarakat di dunia atau di beberapa wilayah (tertentu), yang disebut negara-negara baru, tidak memiliki dinamika internal yang mampu menghasilkan perubahan berarti. Perubahan penting menuju modern memerlukan “kedatangan Barat”. Modernisasi terjadi melalui antraksi yang menguntungkan antara para anggota kelompok elit setempat yang sedang berkuasa dan berpikiran baru dan Barat.”[11]

Teori modernisasi membuat premis yang menyatakan bahwa perubahan historis yang berarti hanya terjadi di negara yang sudah mapan sebagai akibat dari serangkaian kegiatan kelompok kecil yang disebut kelompok elit. Adapun rujukan dari negara-negara mapan tersebut, yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Prancis. Seandainya kelompok elit yang kecil tersebut dianggap sebagai kelompok yang menyebabkan timbulnya (modernisasi itu), bagaimanakah kita menjelaskan Revolusi Prancis, Perang Saudara di AS, atau kelahiran Partai Buruh di Inggris? Inilah yang menyebabkan para sarjana ekonomi politik tidak menerima teori modernisasi dan mendudukkannya sebagai teori elit. Karena itu, mereka berpaling kepada kelas sosial sebagai alat analisis historik. Analisis kelas dipandang lebih komplit dalam membedah suatu gejala dan realitas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Peter Gran berikut:

“Kelas dirumuskan sebagai sesuatu yang sejalan dengan pembentukan sosial. Dengan cara ini, melalaui model konflik realitas, teori ekonomi politik mampu melukiskan berbagai kegiatan seluruh masyarakat sebagai sesuatu yang bermakna, dan tidak perlu membatasi dirinya sendiri dengan peristiwa-peristiwa politik yang tampil ke permukaan maupun biografi kelompok elit, (serta) melepaskan diri dan anggota-anggota masyarakat lainnya.”[12]

Para sarjana ekonomi politik menganggap teori modernisasi membatasi dan menyempitkan sejarah. Sejarah dipandang sebagai kisah elit-elit tertentu saja, dan sudah pasti hal itu tidak tepat. Teori modernisasi tidak berhasil mengungkap berbagai dinamika penting atau menjelaskan perubahan. Peter Gran lebih lanjut menyatakan:

“Teori modernisasi tidak memiliki teori perubahan yang dapat diperbandingkan dengan perjuangan kelas dalam ekonomi politik. Sebagai pengganti teori perubahan ia memiliki teori pemindahan (theory of displacement) di mana sesuatu yang asli atau “tradisional” memberi jalan bagi masuknya yang “modern”. Teori pemindahan ini didasarkan atas gagasan perubahan sebagai pengambilalihan teknologi, yang superioritasnya secara menyeluruh menjelaskan mengapa para pendukung teori modernisasi merasa bahwa mereka tidak perlu berbicara tentang perjuangan, atau bahkan proses.”[13]

Oleh karena itu, kalangan sarjana ekonomi politik menyatakan dengan tegas bahwa teori modernisasi bias kepentingan kolonialisme Barat, secara implisit mengandung tekanan politik: bila untuk menjadi modern, Anda harus mengikuti langkah Barat dan hanya menirunya, berarti Barat akan jadi dokter Anda dan Anda menjadi pasiennya. Faktanya, menurut para intelektual ekonomi politik, satu-satunya pertumbuhan dan kemajuan yang dicapai dunia Barat terjadi melalui upaya pemiskinan dan penghancuran dunia yang belum maju (dunia ketiga).

Pada dasarnya, lapangan kajian ekonomi politik modern dipusatkan untuk memenuhi amanat sejarah tradisional untuk mengkaji perubahan sepanjang zaman melalui penggambaran masa lampau sebagai sesuatu yang terbentuk oleh sejumlah formasi sosial. Setiap formasi sosial dikaji dalam pengertian konflik-konflik sosial fundamentalnya masing-masing, yaitu konflik-konflik yang begitu terasa sehingga akhirnya memecah-belah masyarakat itu. Dalam tradisi ekonomi politik proses sejarah dikaji dengan meruntut perkembangan konflik-konflik atau kontradiksi-kontradiksi ini karena konflik-konflik ini sendiri berfungsi menuju ketertiban sosial itu kembali.

Ekonomi politik sebagai suatu pendekatan memiliki lebih banyak perhatian terhadap materialisme dibandingkan dengan marxisme klasik, namun ia dalam banyak hal berubah menjadi kritikus yang sangat tajam terhadap apa yang dikenal sebagai partai-partai atau gerakan-gerakan komunis dan sosialis, baik di masa lampau maupun di masa kini. Analisis ekonomi politik terhadap kapitalisme menggunakan beberapa konsep seperti pasar dunia, perdagangan, kapitalisme inti dan kapitalisme pinggiran. Konsep-konsep ini cenderung keluar dari model analisis marxis yang dominan, yakni bangsa, dan cara produksi bangsa itu.
Dalam kerangka ekonomi politik terdapat, sekurang-kurangnya dua bentuk teori pasar dunia. (1) Yang lebih kuno dan lebih terkenal, yang disebut aliran dependensi (dependency school) ada kaitannya dengan tulisan-tulisan Andre Gundar Frank dan sejumlah penulis lain di Amerika Latin; ia menekankan pada perkembangan dunia modern, dengan mempostulasikan hubungan antara pertumbuhan kekayaan di negara-negara industri di Barat dan perkembangan kemiskinan dari wilayah-wilayah pinggiran yang menghasilkan bahan-bahan mentah di pasar dunia itu. (2) Tulisan-tulisan Samir Amin yang berpengaruh di seluruh dunia pada sekitar tahun 1970-an. Sumbangan utama Amin adalah upayanya untuk mematahkan pandangan sejarah yang terpusat pada Barat dan dalam waktu lama mendominasi semua disiplin ilmu. Dengan mempergunakan istilah-istilah wilayah inti (wilayah industri) dan wilayah pinggiran (wilayah-wilayah penghasil bahan-bahan baku) Samir Amin bermaksud menjelaskan bahwa gagasan dominasi dan subordinasi tersebut tidak direproduksi sebab interdependensi unsur-unsur tersebut secara simultan tertangkap dalam berbagai dinamika lokalnya sendiri.

Gagasan-gagasan ini diungkapkannya dalam tulisan-tulisannya, Accumulation on a World Scale dan Unequal Development. Misalnya, meskipun Frank memiliki pandangan untuk melihat Amerika Latin sebagai bagian dari pasar dunia sejak abad ke-16 dan karena itu tidak dapat dianggap sebagai bagian dari ekonomi feodal melainkan sebagai bagian dari ekonomi kapitalis dunia modern, Amin lebih jauh menunjukkan, berdasarkan penyeleksian bukti yang jauh lebih luas, bahwa wilayah-wilayah seperti Amerika Latin itu tidak sekedar merupakan bagian yang tergantung pada dasar dunia yang lebih luas, mengingat kawasan ini memiliki ciri umumnya sendiri, yakni fase-fasenya yang dapat diramalkan, (atau) dengan perkataan lain, sejarah, yang sebelum itu tidak terdeteksi. Demikianlah ekonomi politik dapat pula membedah secara tajam gejala-gejala yang tidak saja bersifat ekonomi, tapi juga sosial pada berbagai kawasan, terutama akibat imperialisme.

Ekonomi Politik Sebagai Suatu Sistem

Selain bermakna suatu pendekatan seperti hal di atas, pengertian ekonomi politik dapat juga dalam konteks sistem. Sebelum kita uraikan apakah yang dimaksud ekonomi politik sebagai suatu sistem, kiranya lebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan sistem itu sendiri. Secara ringkas yang dimaksud dengan sistem adalah serangkaian unit dari suatu lembaga yang bersifat saling terkait dan terpadu dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan suatu asas tertentu.  Dengan demikian, ekonomi politik sebagai suatu sistem mengandung arti adanya tatanan ekonomi politik yang dibangun di atas asas yang khas dengan unit-unit yang saling terhubung dan terpadu sebagai suatu cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena itu, identifikasi perbedaan terhadap suatu ekonomi politik dapat dikenali dari sistem yang dibangun, mulai dari cara dan mekanismenya, asas dan tujuannya. 

Berdasarkan hal itu, maka secara mudah dapat dikenali jenis-jenis ekonomi politik melalui identifikasi tujuan, cara dan asasnya: apakah ekonomi politik tersebut bersifat kapitalis atau sosialis. Demikian pun dapat pula diidentifikasi apa yang dimaksud dengan ekonomi politik Islam.


[1] Komaruddin Sastradipoera, Uang: Di Negara Berkembang,  Jakarta: Penerbit Bumi Asara, 1991, h, 4
[2] Lihat buku yang ditulis oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta-BI, berjudul,  Ekonomi Islam, jakarta, Rajagrafindo Persada, 2008, h, 14
[3] Paul A. Samuelson, dan Nordhaus, William, D. Ekonomi, Jilid 1, Jakarta, Erlangga1990, h, 5
[4] Tim Harford, Logika Hidup, Logika Ekonomi di Balik Seks, Kejahatan, Rasisme, dan Politik Kantor, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011, cet. 1, hlm x.
[5] M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi Politik, Jakarta: LP3ES, 1988, Cet.3, hlm 36.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar