Teori sosial postmodern
merupakan hasil dari serangkaian proses sosial dan intelektual yang sungguh
sangat kompleks. Dibutuhkan banyak sekali usaha untuk bisa menempatkan ‘sejarah
yang kaya’ ini dalam posisi yang layak dalam dunia ilmu sosial. Tulisan ini boleh
dikata hanya merupakan pengantar bagi pembaca untuk masuk ke dalam diskusi yang
lebih detail dan mendalam seputar teori sosial postmodern –sekaligus juga
merupakan sketsa yang sangat selektif tentang teori sosial postmodern yang
dimaksudkan untuk memperkenalkan pembaca pada gagasan-gagasan atau
pemikir-pemikir yang mungkin kurang begitu dikenal seperti Sontag, Venturi,
Jencks, Nietzsche, Rorty, Freud, Saussure, Levi-Strauss. Di sini diandaikan
bahwa pembaca sudah cukup mengenal pemikiran para teoritikus sosial yang
memainkan peranan penting –entah positif atau negatif– dalam pembentukan teori
sosial postmodern seperti Marx, Durkheim, dan Weber.
Seni dan Kritisisme Kesusastraan
Seperti yang sudah kita
lihat, akar pemikiran postmodern terletak dalam kesusastraan, arsitektur,
teater, lukis, tari dan bidang-bidang yang terkait dengannya.
Pemikiran-pemikiran tersebut lalu berinteraksi dengan post-strukturalisme yang
pada proses berikutnya membentuk apa yang sekarang kita sebut sebagai teori
sosial postmodern. Dalam bagian ini kita akan melakukan tinjauan sekilas atas
sejarah postmodernisme dalam wilayah seni, dengan bersandar pada karya Hans
Bertens [1995], The Idea of the Postmodern.
Istilah postmodern pertama
digunakan sekitar tahun 1870-an. Konsep tersebut digunakan dalam sebuah judul
buku terbitan tahun 1926 yang diperbaharui lagi pada tahun 1930-an dan 1940-an.
Akan tetapi karya awal yang boleh dikata terisolasi tersebut hanya memiliki
sedikit kesamaan dengan literatur postmodernisme yang muncul di tahun 1960-an.
Sebuah dokumen kunci mengenai postmodernisme tak lain adalah eseinya Susan
Sontag (1964/1967) yang berjudul “Against Interpretation”. Dalam esai tersebut
Sontag memandang interpretasi sebagai sesuatu yang bersifat opresif dan
melumpuhkan. Untuk menggantikan “makna-makna” yang diambil dari interpretasi,
Sontag mencatat tentang pentingnya sensasi-sensasi yang serentak. Selain itu
esai tersebut juga menekankan pentingnya tidak memperlebar perbedaan antara apa
yang sering disebut sebagai budaya rendahan dan budaya adiluhung (low and high
culture).
Figur kunci lain dalam
periode ini adalah Leslie Fiedler [1969/1975], yang mengajukan kritik atas
modernisme dan saudara kandungnya: rasionalisme dan humanisme liberal. Fiedler
merasa bahwa kita sedang mengalami proses kematian modernitas serta kelahiran
postmodernitas yang ditandai oleh merebaknya anti-rasionalitas, romantisisme
serta senti-mentalitas. Fiedler juga menekankan pentingnya “yang lokal dan
tribal” sebagai lawan terhadap kecenderungan modern yang bercorak esensial dan
universal.
Selain dalam karya-karya kritik
sastra, Bertens juga melihat adanya manifestasi awal postmodernisme dalam
musiknya John Cage, susunan benda-benda karya Robert Rauschenberg serta
novel-novel karya Alain Robbe-Grillet, John Barth dan Thomas Pynchon yang tidak
percaya pada etika kaum modernis. Bertens [1995: 34] menyimpulkan: “dapat
dikatakan bahwa apa yang sekarang dikenal sebagai agenda postmodern sebenarnya
sudah ada sejak akhir tahun 1960-an.”
Di sini juga akan meninjau
post-strukturalisme dan reaksinya terhadap teori modern sebagai penyebab utama
dan terpenting bagi kemunculan teori sosial postmodern. Namun Bertens [1955:
35] berkomentar “bahwa kemunculan teori postmodern pertama-tama adalah sebagai
respon atas pembaruan seni kontemporer dan bukan karena pembacaan ulang kaum
post-strukturalis atas teks-teks besar modernisme.”
Postmodernisme tumbuh luas
dan tampil secara eksplisit tahun 1970-an. Figur utama dalam periode ini adalah
Ihab Hassan [1971], meski karyanya sekarang lebih dipandang sebagai sesuatu
yang punya arti penting secara historis ketimbang sebagai suatu karya yang
berpengaruh dalam pemikiran postmodern kontemporer. Sebagai contoh adalah
eseinya yang berjudul POSTmodernISME: A Paracritical Bibliography yang
mengkritik tajam watak postmodernisme yang anarkis. Setelah memfokuskan diri
dalam bidang kesusastraan, Hassan pun mulai menganalisis sektor kebudayaan yang
lebih luas yang kemudian menjadi perhatian teori sosial postmodern. Figur
sentral lain selama periode ini adalah William Spanos, dengan jurnalnya
Boundary 2: A Journal of Postmodern Literature and Culture. Akan tetapi Spanos
sangat dipengaruhi oleh eksistensialisme, yang mana hal itu menghalangi dia
untuk menjadi yang utama dalam jajaran pemikir postmodern –dalam bidang bahasa.
Sebagaimana diketahui, eksistensialisme sangat menaruh perhatian pada manusia
sebagai subyek, sementara linguistik justru memproklamasikan akhir segala macam
subyek (the end of subject). Orientasi politik paling radikal dari
postmodernisme eksistensial Spanos juga tidak sesuai dengan nihilisme, suatu
sikap yang dianut oleh postmodernisme dewasa ini. Akhir tahun 1970-an, Spanos
beserta corak postmodernisme eksistensialnya pun tersingkirkan.
Beralih dari kritisisme
sastra ke bidang arsitektur, Robert Venturi memainkan peran penting selama
tahun 1960-an dan 1970-an, terutama dalam tulisannya “Complexity and
Contradiction in Architecture” [1966] serta “Learning from Las Vegas” [1972]
yang ditulis bersama Denise Scott Brown dan Steven Izenour. Venturi, peraih
Pritzker Architecture Prize 1991, adalah “sosok yang diketahui secara umum
telah membelokkan mainstream arsitektur dari kungkungan corak modernisme”
[Bertens: 1995:53]. Venturi menekankan arsitektur yang ‘nampak’ berantakan,
kompleks dan kontradiktoris, sebentuk arsitektur yang banyak mengambil inspirasi
dari kebudayaan dan seni populer. Venturi ingin menunjukkan bahwa bukan cuma
ada satu bahasa dalam dunia arsitektur. Ada banyak bahasa dalam arsitektur, dan
oleh karenanya arsitektur tidak boleh diisolasi dari “bahasa-bahasa” yang
dianggap lain.
Sementara itu pada
pertengahan tahun 1970-an, Charles Jencks menerbitkan karyanya yang berjudul
“The Rise of Post-Modern Architecture” [Jencks, 1975] serta “The Language of
Post-Modern Architecture” [Jencks, 1977] yang membuatnya menjadi “guru”
Post-Modernisme [Bertens: 1995:57]. Jencks terkenal dengan idenya tentang “kode
ganda”, yang salah sutu cirinya adalah tetap mengadopsi elitisme arsitektur
tetapi sekaligus melengkapinya dengan kekhasan setempat. Dengan hal tersebut
Jencks tidak bermaksud menggugurkan unsur-unsur yang modern, tetapi ia ingin
memasukkan unsur-unsur yang dianggap “tidak lazim” dalam bidang arsitektur.
Jencks juga mengemukakan pentingnya penandaan atas representasionalisme dalam
arsitektur –suatu pandangan yang dengan segera ditolak oleh kaum postmodernis.
Jenks berpandangan bahwa arsitektur mesti menjadi semacam bahasa (kind of
language) yang merepresentasikan situasi kehidupan sehari-hari. Jencks juga
mengantisipasi orientasi post-strukturalis dengan cara mengadopsi
gagasan-gagasan semiotik: melihat arsitektur sebagai suatu jenis bahasa.
Menurut Bertens [1995: 62], pandangan Jencks mengenai “kode ganda” ingin
menekankan makna-makna plural, keterlibatan dan partisipasi para pengamat serta
paduan kompleks representasi, ornamen, referensi historis, simbolisme dan
humor.
Pada akhir tahun 1970-an,
Bertens berpendapat bahwa pusat perkembangan postmodern telah beralih dari
bidang kesusastraan dan arsitektur ke berbagai bidang seni lain termasuk
fotografi, seni pahat dan lain-lain. Perkembangan ini menunjukkan adanya
sejumlah perkembangan teoretis yang sangat penting, misalnya soal
poststrukturalisme dan karya pemikir-pemikir seperti Jacques Derrida, Roland
Barthes dan Michel Foucault. Ini dapat juga berarti bahwa fokus perhatian
postmodernisme telah beralih ke persoalan tanda (sign) serta hubungan antara
tanda-tanda tersebut dan bukan pada kenyataan material yang mereka inginkan
untuk direpresentasikan. Termasuk di sini adalah pemikiran tentang seni atau
budaya secara umum karena ia merepresentasikan realitas, di mana realitas
dilihat sebagai sesuatu yang tidak dapat direpresentasikan dan tanda-tanda
dilihat sebagai ekspresi bebas dari dunia nyata. Di dalam fotografi, Douglas
Crimp berpendapat bahwa: “representasi
selalu merupakan ilusi karena pengalaman tak dapat dielakkan selalu disampaikan
oleh bahasa; pengalaman selalu tertandai… segala persepsi visual ditandai dalam
suatu cara tertentu. Tidak ada suatu representasi di luar sana yang tertandai
sejak semula, dan oleh karenanya seni selalu merupakan ‘salinan’ dari sebuah
‘salinan’ dan tidak ada subyek dalam pengertian tradisional tentang reprentasi”
[Bertens, 1995:86-87].
Penolakan atas gagasan
representasi realitas juga diajukan oleh fotografer Sherrie Levine lewat
karya-karya fotografi kanoniknya. Penolakan serupa juga dilakukan Richard
Prince lewat karya-karya advertisingnya seperti yang terlihat dalam
majalah-majalah. Selain penolakannya atas representasionalisme, karya-karya
tersebut juga menunjukkan sejumlah prinsip dasar postmodernisme. Karya-karya
tersebut meruntuhkan gagasan-gagasan modern seperti originalitas dan
otentisitas –karya-karya tersebut menempatkan gagasan-gagasan postmodern
sebagai apropriasi dan hibridisasi. Dan yang paling penting, karya fotografi
seperti itu merepresentasikan penolakan postmodern atas kepengarangan. Di sini
bisa diajukan pertanyaan: siapakah yang layak disebut fotografer dalam kasus
fotografi Sherrie Levine? Jelas sangat sulit untuk mengidentifikasi siapa
pengarang atau fotografer dalam kasus tersebut.
Serangan terhadap ide
kepengarangan, asal-usul dan representasi ini juga mengakibatkan serangan
terhadap praktek-praktek tradisional dalam sejarah seni, juga mengenai cara
bagaimana museum-museum dijalankan secara tradisional. Hal ini berkaitan dengan
postmodernisme yang semakin berkembang secara politik di akhir 1960-an dan awal
1970-an. Berkembangnya kesadaran ini menawarkan jalan keluar dari apa yang
selama ini menjadi semacam kebuntuan – relativisme radikal, skeptisisme– yang
diciptakan oleh post-strukturalisme. Sebagai contoh, kaum feminis melihat bahwa
ide tentang pengarang terkait erat dengan prinsip patriarkhi –sebagian besar
pengarang kanonik adalah laki-laki. Contoh lain adalah yang tampil dalam diri
postmodernis-postmodernis Marxis yang melakukan serangan terhadap kontrol
kapitalistik lewat seni dan kebudayaan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah
karya-karya Hans Hacke yang didesain untuk menunjukkan hubungan antara seni dan
kekuasaan, khususnya kekuasaan museum-museum kolektor-koletor seni entah
pribadi atau korporat [Jameson, 1991].
Karya di bidang
kesusastraan dan seni berlanjut sampai sekarang. Seperti disimpulkan oleh
Bertens [1995:107], “postmodernitas tidak pernah menetap lama pada satu tempat
tertentu.” Akan tetapi kita perlu, seperti yang dilakukan Bertens dalam
karya-karyanya, mengalihkan diskusi ke sejumlah bidang bahasan lain seperti
perkembangan bidang-bidang teoritik serta perannya dalam kemunculan teori
sosial postmodern.
Filsafat, Psikologi, dan Psikiatri: Nietzsche, Rorty,
dan Teori Freudian
Memperbincangkan kelahiran
teori sosial postmodern tidak bisa dilepaskan dari bidang-bidang seperti
filsafat, psikologi dan psikiatri. Akan tetapi membahas seluruh keanekaragaman
dari bidang-bidang tersebut dalam tulisan ini jelas tidak mungkin. Maka di sini
perbincangan akan difokuskan pada sejumlah pemikir tertentu seperti Nietzsche,
Rorty dan Freud.
Friedrich Nietzsche
Mulanya Nietzsche adalah
seorang filsuf yang tidak begitu mendapat perhatian dalam disiplin teori
sosiologi maupun teori sosial. Namun hal tersebut segera berubah begitu
pemikiran-pemikiran Nietzsche menempati posisi sentral dalam
post-strukturalisme serta postmodernisme. Tentu merupakan suatu kesulitan untuk
menampilkan secara ringkas sumbangan pemikiran Nietzsche dalam hal tersebut
karena watak teks-teks Nietzsche yang fragmented, kontradiktoris, dan
“terbuka”. Hal tersebut tak dapat dipungkiri mendatangkan pelbagai penafsiran
yang berbeda [Antonio, 1995:5]. Baru-baru ini Robert J. Antonio [1995] telah
membuat ringkasan atas gagasan-gagasan Nietzsche yang relevan secara sosial
serta gagasan-gagasannya yang punya dampak terhadap post-strukturalisme dan
postmodernisme.
Perhatian utama Antonio adalah bahwa Nietzsche, berlawanan dengan sebagian besar teori sosiologi klasik, menawarkan suatu bentuk “anti-sosiologi”. Nietzsche menilai apa yang oleh para teoritikus sosiologi klasik dianggap sebagai kemajuan –yakni pencerahan dan kebebasan sebagai sebentuk dekadensi, keletihan dan cara hidup yang terlalu teratur. Anti-sosiologi Nietzsche juga tampil dalam bentuk chaotic dan aforistik, berbeda dengan model narasi besar yang sistematik yang diproduksi oleh para pemikir modernis.
Nietzsche mengambil dua asumsi dasar dari teori sosial modern dalam penolakannya terhadap gagasan akan “subyek rasional”. Hal tersebut menandakan: Pertama, Nietzsche menolak memberikan perhatian serta evaluasi positif atas akal budi, rasionalitas serta proses rasionalisasi. Sebaliknya, Nietzsche memuji kekuatan-kekuatan non-rasional dan irasionalitas serta menyalahkan proses rasionalisai yang dianggapnya melemahkan semangat. Kedua, Nietzsche menolak memfokuskan diri pada pembahasan soal-soal subyektivitas, jiwa dan pikran yang selama ini menjadi fokus utama teori-teori modern. Sebaliknya, Nietzsche memfokuskan perhatiannya pada soal tubuh, fisiologi dan semacamnya. Impuls-impuls non-rasional yang dikontrol dan ditekan oleh masyarakat rasional berasal dari tubuh. Maka kekuatan-kekuatan tersebut mesti diekspressikan, meskipun dalam sebuah cara yang bersifat rohaniah.
Konsep kunci dalam karya Nietzsche, yakni ressentiment, oleh Antonio [1995: 7] didefinisikan sebagai suatu “keinginan kaum lemah untuk membuat penderitaannya menjadi lebih bermakna lewat cara menyalahkan pihak lain serta menempuh ‘balas-dendam imajiner’.” Obyek utama yang dipersalahkan oleh kaum lemah ini –yang juga menjadi obyek kontrol sebagian besar masyarakat tak lain adalah mereka yang kuat, mereka yang emosinya tidak pernah bisa dihalangi dan didomestifikasi. Karena orang-orang kuat disub-ordinasi, maka sebagai akibatnya dunia dikuasai oleh para budak dan moralitas kerdil mereka. Dalam pandangan Nietzsche, Socrates, Katolikisme, Protestantisme serta Pencerahan bertanggung-jawab atas moralitas budak ini dan penyebarannya ke wilayah-wilayah yang lebih luas. Mereka yang dikarunia mentalitas budak cenderung terombang-ambing dan oleh karenanya sering berperilaku menyedihkan dan mengidap prasangka-prasangka.
Kekuatan ini tidak hanya memperlemah orang kuat tetapi juga kebudayaan secara luas. Negara menguasai kebudayaan dan mejadi locus ressentimen. Nietzsche tidak melihat revolusi sosialis sebagai solusi atas masalah ini. Dia merasa bahwa hal itu justru semakin memperkuatnya. Selain menentang sosialisme, Nietzsche juga tidak mendukung kapitalisme, karena baginya kapitalisme dianggap sebagai sebentuk perlawanan terhadap kemajuan kebudayaan serta individu-individu yang tangguh. Mereka yang ambil bagian dalam perekonomian kapitalis direduksi menjadi “semut-semut industri” sementara negara kapitalis dilengkapi dengan “meluasnya pangsa pasar” [Antonio, 1995:5]. Kemudian, “egalitarianisme” yang menyertai kapitalisme mereduksi segala sesuatu ke common denominator yang paling rendah, yang mana hal itu mempengaruhi terjadinya keletihan budaya. Akhirnya, semua kekhasan individual dan juga kekhasan kebudayaan tersingkir.
Jelaslah bahwa Nietzsche memuji mereka yang mampu menghindar dari kekuatan-kekuatan opresif tersebut –yang disebutnya sebagai “individu-individu yang berdaulat”. Menurut Nietzsche, orang-orang macam ini adalah individu-individu yang unik, yang mengandalkan inteligensi tubuh dan insting-insting vital mereka ketimbang larut dalam aturan-aturan dan harapan. Melalui penipuan dan penguasaan diri, mereka dapat terhindar dari kekuatan-kekuatan penyeragam (homogenizing forces) yang ada di masyarakat.
Nietzsche sangat menghargai kebudayaan dengan segala “kehendak untuk menipu” (will to deception) yang ada di dalamnya ketimbang pengetahuan dan “kehendak akan kebenaran”-nya (will to truth). Pengetahuan dikaitkan dengan rasionalitas dan askesitisme, sedangkan kebudayaan dikaitkan dengan irasionalitas dan permainan yang tidak menghambat. Kebudayaan dan estetika berkaitan dengan kebebasan yang lebih besar, lebih dari sekedar individualitas, kegembiraan yang lebih besar dan kelucuan kanak-kanak. Nietzsche mendambakan dunia dimana kebudayaan menjadi sesuatu yang dominan dan pemimpin dari kebudayaan itu adalah individu-individu berdaulat yang memiliki “kekuatan yang diperlukan, kreativitas dan tiada hambatan, dapat menghadapi segala macam provokasi dan hasutan, chauvinisme, penjilatan dan kekerasan” [Antonio, 1995:20]. Namun, para pemimpin harus hati-hati untuk menghindari moralisme berlebihan dan mengembangkan sebuah obsesi dengan kontrol.
Antonio menunjukan bahwa kompleks Nietzsche dan gagasan-gagasannya yang sering kontradiktoris memiliki signifikansi terhadap perkembangan teori sosial postmodern –khususnya Weber, terhadap para pemikir sayap kiri, teoritikus sayap kanan dan terhadap kaum postmodernis. Secara singkat Antonio menjelaskan pengaruh Nietzsche terhadap pemikiran beberapa pemikir yang akan di-dalami, seperti Foucault, Derrida dan Baudrillard. Secara lebih umum, “tema-tema Nietzschean punya kekuatan menembus –kaum postmodernis biasanya mencintai gaya ekspresi yang estetis, saling bertentangan, terpecah-pecah dan selalu berubah ketimbang representasi konvensional. Mereka juga mencintai pengetahuan yang penuh perspektif ketimbang pengetahuan yang obyektif, mencintai visi kebudayaan yang non-rasional ketimbang visi kebudayaan yang rasional. Motif-motif kaum Nietzschean sangat jelas tampak dalam sejumlah argumentasi mereka mengenai peran bahasa dalam dominasi kebudayaan, dalam kritik mereka atas negara yang selalu mengawasi, dalam afirmasi mereka atas perbedaan multi-kultural serta dalam klaim mengenai perkiraan probematis, bidang-bidang yang tidak tereksplorasi dan suara-suara yang di marginalisir dalam teori sosial. Juga, serangan mereka yang elegan terhadap ideologi-ideologi moralistik, positivisme, bias-bias kebudayaan yang sempit dan dalil-dalil intelektual sanagt jelas menunjukkan dorongan-dorongan Nietzschean” [Antoni, 1995:28].
Namun hal tersebut sama
sekali tidak berarti bahwa tidak ada perbedaan penting antara Nietzsche dengan
teori sosial post-modern. Di satu pihak, banyak kaum postmodernis yang
mendukung pandangan yang condong ke kiri, egalitarian, dan pluralistik. Kedua,
relativisme ekstrem kaum postmodern terkadang mencerminkan modernisme liberal
yang justru selama ini dikritik oleh Nietzsche. Ketiga, kaum postmodernis
cenderung mengabaikan argumennya atas bentuk-bentuk baru otoritas dan dominasi
kebudayaan. Akhirnya, sebutan Nietzsche untuk individu-individu yang
“berdaulat” sering hilang sebagaimana lenyapnya subyek dalam dunia tanda-tanda
postmodern.
Meskipun Nietzsche
mensubordinasikan pengetahuan dalam kebudayaan, ia menyetujui pentingnya
“kehendak akan kebenaran”, terutama kesediaan untuk melihat kenyataan
sebagaimana adanya, “dalam segenap multisiplitas, ketidak-pastian khaotik dan
kekerasannya, apapun biayanya [Antonio, 1995:19]. Maka bagi para individu yang
berdaulat, “visi yang mengundang gairah serta kebenaran ilmiah merupakan dua
hal yang dibutuhkan untuk menghadapi ‘lautan bebas dan tugas-tugas besar” [Antonio,
1995: 19].
Richard Rorty
Rorty memulai Philosophy
and the Mirror of Nature dengan tinjauan singkat mengenai filsafat Barat dari
abad 17 hingga abad 19. Ada sejumlah pemikiran dominan yang muncul selama
periode ini seperti pemikiran yang memfokuskan diri pada persoalan manusia
sebagai “yang mengetahui” (the knower) yang terlibat dalam proses
merepresentasikan dunia, suatu pandangan yang melihat filsafat “sebagai
pengadilan atas rasio murni, yang mendukung dan menyangkal klaim-klaim
kebudayaan”, dan “sebagai sebuah disiplin dasar yang diklaim oleh pengetahuan”
[Rorty, 1979:4]. Selama beberapan tahun filsafat tumbuh semakin ketat dan
ilmiah. Dalam proses ini, filsafat semakin tidak dapat berbuat banyak
berhadapan dengan segenap gejala kebudayaan lain.
Pada abad 20, sejumlah filsuf terutama Ludwig Wittgenstein, Martin Heidegger, dan John Dewey mempertanyakan orientasi filsafat dan mencari cara baru dalam membuat filsafat menjadi fondasional. Bagi Rorty [1979:6] yang terpenting adalah fakta bahwa para pemikir tersebut “menyetujui gagasan pengetahuan sebagai representasi akurat yang hanya dimungkinkan oleh proses-proses mental dan dimengerti lewat sebuah teori umum tentang representasi yang sudah saatnya ditinggalkan.” Rorty menganut pandangan bahwa apa yang diperlukan adalah dekonstruksi atas teori representasi, atau dalam istilah yang ia pakai, “dekonstruksi gambaran Cermin Alam Semesta (The Mirror of Nature). Rorty mengajukan kritik dan mengembangkan sebuah alternatif, dengan orientasi filosofis sebagai berikut: gambaran yang mendukung pesona filsafat tradisional adalah apa yang dalam pikiran disebut sebagai cermin besar yang memantulkan gambaran bermacam-macam –yang beberapa ada yang tepat dan beberapa lagi ada yang tidak, dan dapat dipelajari lewat metode-metode murni dan non-empiris. Tanpa memahami pikiran sebagai cermin, ide pengetahuan sebagai representasi akurat tidak akan punya manfaat bagi dirinya sendiri. Cerita tentang dominasi pemikiran Barat melalui metafor perbandingan-perbandingan [Rorty, 1979: 12-13].
Rorty bukan hanya
menentang filsafat yang memberi tempat istimewa terhadap representasi, tetapi
dia juga menyerang gagasan yang berusaha menjadikan filsafat sebagai suatu
pengadilan tertinggi dan disiplin fondasional. Rorty mengaitkan pemikiran-pemikiran
yang dia tolak dengan apa yang ia sebut sebagai filsafat-filsafat sistematik.
Filsafat sistematik melibatkan kepercayaan akan manusia sebagai subyek yang
mengetahui dan mengenal esensi-esensi serta melibatkan pencarian atas
dasar-dasar sistematik yang membangun sebuah pemikiran. Berbeda dengan filsafat
sistematik, Rorty memperkenalkan filsafat kemajuan (edifying philosophy) yang
mencurigai semua pretensi filsafat sistematik. Rorty menawarkan serangkaian
pertentangan antara kedua filsafat itu yang memberi kita gambaran atas apa yang
ia maksud sebagai “filsafat kemajuan”: filsafat kemajuan bersifat reaktif dan
menawarkan yang satiris, parodis, dan aforistis. Filsafat ini tahu bahwa
pekerjaannya kehilangan arah manakala masa bagi sesuatu yang ia tanggapi sudah
lewat. Filsafat ini secara intensional bersifat pinggiran. Filsafat-filsafat
sistematik, seperti halnya para ilmuwan besar, membangun proyeknya demi
keabadian. Filsafat kemajuan menghancurkan pemikiran-pemikiran demi kepentingan
generasinya sendiri. Para filosof sistematik ingin menempatkan tujuan mereka
pada jalan pengetahuan yang aman. Para filsuf kemajuan ingin tetap membuka
ruang bagi semacam keajaiban dimana puisi bisa mendapat tempat –sesuatu yang
tidak dapat dijelaskan dan hanya dapat dideskripsikan seadanya [Rorty, 1979:
369-370].
Jelaslah bahwa filsafat
kemajuan jauh lebih rendah hati dari filsafat sistematik. Filsafat ini tidak
hanya mengutuk gagasan tentang kepemilikan pemikiran tetapi juga menghindari
posisi dalam memberikan pandangan-pandangan. Ia adalah “sejenis filsafat
non-epistemologis” [Rorty, 1979:381]. Filsafat ini tidakmenempuh jalan yang
diambil oleh ilmu pengetahuan dan program-program penelitiannya karena dalam
pandangannya tidak ada satu jalan yang tepat untuk menggambarkan kenyataan.
Sains diserang oleh Rorty [1979: 384–385], ”segera setelah program menempatkan
filsafat pada jalan pengetahuan yang aman berhasil, dia akan mengalihkan
filsafat ke dalam sebuah kekhususan akademik yang membosankan. Tujuannya tidak
untuk menemukan kebenaran sebagaimana dalam filsafat sistematik dan sains,
tetapi hanya untuk melanjutkan percakapan. Sebaliknya, sains menutup
berlangsungnya percakapan dengan tindakannya menemukan jawaban. Mengurangi
jawaban final atau kebenaran, filsafat kemajuan terus memberikan
deskripsi-deskripsi baru dan selalu berjuang melawan kebenaran kebenaran,
sebuah kebenaran yang elusif dan tidak pernah dicapai. Seperti ditegaskan Rorty
[1979: 373], “filsafat kemajuan lebih bertujuan meneruskan percakapan daripada
menemukan kebenaran.” Berlangsungnya percakapan dimaksudkan untuk menghadirkan
diskursus yang tidak memaksa untuk kemudian mengambil langkah yang tidak
terburu-buru. Jadi tujuan filsafat kemajuan adalah sebentuk diskursus yang
bertujuan membangkitkan diskursus-diskursus abnormal, yaitu gagasan-gagasan
baru. Tujuan filsafat kemajuan bukan untuk menemukan kenyataan atau kebenaran,
tetapi untuk mempertahankan percakapan, karena lewat percakapan
berkesinambungan seperti ini perspektif-perspektif dan wawasan baru akan
ditemukan. Jadi, filsafat kemajuan berjarak dengan ilmu pengetahuan yang
menutup percakapan-percakapan. Filsafat kemajuan lebih dekat dengan puisi,
novel dan lebih penting, untuk tujuan kita, teori sosial postmodern. Kemajuan,
bagi Rorty merupakan sebuah “proyek menemukan sebuah cara berbicara yang baru,
yang lebih baik, lebih menarik dan lebih bermanfaat” [1979:360].
Sigmund Freud
Banyak kaum
post-strukturalis dan postmodernis berupaya melampaui pemikiran sang pencipta
psikoanalisis, Sigmund Freud. Oleh karena itu ada baiknya diberikan pengantar
singkat atas beberapa pemikiran Freud sehingga kita melihat relevansinya –baik
dalam pengertian positif atau negatif terhadap perkembangan posts-trukturalisme
dan postmodernisme.
Dalam pengertian tertentu,
Freud adalah seorang strukturalis yang melacak problem-problem psikologis yang
nampak di permukaan dengan membongkar proses-proses bawah sadar. Sebagai contoh
adalah Konflik Oedipus, sebuah konflik primodial yang harus diatasi oleh
seorang atau yang lain demi menghindari lahirnya problem-problem psikologis di
kemudian hari. Berbeda dengan perempuan yang memiliki dinamika yang saling
berbeda, Freud percaya bahwa anak lelaki yang berumur 4-5 tahun menginginkan
ibunya, dan karena itu ia cemburu dan cenderung agresif terhadap ayahnya yang
memiliki ibu tersebut. Namun sang anak takut pada ayahnya, terutama ketakutan
akan dikebiri. Penyelesaian atas konflik ini terletak pada kemampuan sang anak
dalam menginternalisasi figur sang ayah sehingga bisa mengurangi kecemasannya.
Namun kalau konflik itu tidak di selesaikan secara memadai akan melahirkan
problem yang mendalam yang melahirkan problem psikologis di masa dewasa.
Sebagai contoh,
strukturalisme Freud juga terefleksikan dalam pandangannya mengenai hal-hal
seperti silap lidah (slips of the tongue) dan mimpi. Makna dari
fenomena-fenomena seperti ini tidak terletak dalam apa yang nampak (manifest)
tetapi lebih dalam fakta sesuatu yang ditekan dan direpresi oleh masyarakat.
Maka seorang psikoanalis harus mampu melihat apa yang ada di bawah “permukaan”
dan realitas-realitas yang ada di dalamnya. Logika seorang psikoanalis adalah
bahwa orang yang sedang berbicara mengambil kesenangan dari silap lidah. Hal
ini pada gilirannya akan mengacaukan makna verbal dari apa yang dikatakan.
Jadi, kata-kata yang terucap dari silap lidah harus ditafsirkan sebagai simptom
realitas bawah sadar yang tidak disadari.
Beberapa kaum
post-strukturalis dan kaum postmodernis mengambil jarak dari jenis pemikiran
semacam ini. Salah satu yang dihindari oleh kaum postmodernis dan kaum
post-strukturalis adalah pembedaan Freud atas kebutuhan manusia yang murni
(pure human needs) dengan keinginan-keinginan nyata (actual desires).
Baudrillard mempertanyakan perbedaan ini dengan menganggapnya sebagai ide yang
keliru yang memisahkan kebutuhan murni dari keinginan. Lebih umum, Foucault
melihat psikoanalis dan banyak ilmu-ilmu kemanusiaan yang lain sebagai sebuah
upaya untuk terlibat dalam proses memperluas pengetahuan masyarakat untuk
mengukuhkan kekuasaan mereka atas yang lainnya.
Freud menciptakan sebuah
teori yang dalam banyak hal bercorak sangat modern. Dia percaya bahwa ada
karakteristik manusia yang esensial. Dia mengacu pada sebuah pandangan
deterministik, ilmiah dan positivistik, dan dalam banyak cara dia mengadopsi
pandangan totalistik tentang perkembangan masa kanak-kanak, tentang represi
sosial atas kebutuhan dan keinginan manusia (needs and desires), serta tentang
kebutuhan pasien untuk memecahkan masalah mereka dengan cara membicarakan
masalah-masalahnya kepada psikiater dan membiarkan kebutuhan-kebutuhan mereka
yang terpendam dinyatakan, juga keinginan dan pengalaman mereka. Kaum
postmodernis sangat menentang totalisasi seperti itu sebagai sesuatu yang
represif dan berwatak teror.
Namun demikian teori-teori
Freud memainkan peran cukup penting dalam perkembangan post-strukturalisme dan
postmodernisme. Diantara gagasan freud yang cukup relevan bagi kaum
postmodernis adalah pandangannya bahwa masyarakat modern gagal memenuhi
janji-janjinya, gagal dalam menawarkan representasi kenyataan yang tidak
distorsif. Sesuatu yang marginal seperti mimpi dan silap lidah adalah fenomena
yang amat penting dan bahwa proses untuk sampai pada sebuah interpretasi “yang
benar” hanya membawa pada penafsiran-penafsiran lain.
Strukturalisme dan Poststruktualisme
Mengikuti Scott Lash
[1991: IX], kita angkat “strukturalisme yang membentang dalam pemikiran sosial
Prancis pada tahun 1960-an” sebagai titik awal yang tepat untuk munculnya
post-srukturalisme dan postmodernisme. Strukturalisme itu sendiri merupakan
reaksi terhadap humanisme –terutama eksistensialisme filosof dan novelis
Jean-Paul Sartre serta fenomenologi.
Eksistensialisme Sartre
Dalam karya-karya awalnya,
Sartre memfokuskan perhatian pada level individu, terutama kebebasan
individual. Dia mengikuti pandangan bahwa masyarakat bukanlah subyek untuk atau
ditentukan oleh, hukum-hukum sosial. Dengan kata lain, manusia “tidak dapat
membenarkan tindakannya dengan referensi di luar dirinya sendiri” [Craib, 1976
:4).
Dalam Being and
Nothingness, Sartre [1943] menekankan kebebasan individual dan menganut
pandangan bahwa “eksistensi ditentukan oleh dan melalui tindakan seseorang. Manusia
adalah apa yang ia lakukan” [Hayim, 1980:3]. Pada saat yang bersamaan, Sartre
menyerang pandangan sosiologis tentang “struktur obyektif sebagai penentu
keseluruhan tindakan.” Bagi Sartre, manusia adalah makhluk bebas, mereka
bertanggung-jawab terhadap apa yang dilakukan, mereka tidak perlu mencari-cari
alasan jika melakukan kesalahan. Dalam beberapa pengertian, “tanggung-jawab
kebebasan yang membingungkan” merupakan sumber penderitaan yang hebat bagi
manusia [Hayim, 1980:17]. Dalam pengertian lain, ini dapat menjadi sumber optimisme.
Manusia memegang nasibnya di tangan mereka sendiri. Dalam karya-karyanya yang
belakangan, misalnya Critique of Dialectical Reason, Sartre [1963] mencurahkan
perhatiannya pada pembahasan atas struktur sosial, namun terkadang dia masih
menekankan “hak prerogatif manusia atas transendensi–jauh melebihi yang
diberikan” [Hayim, 1980:16]. Dalam hal ini Sartre memang kritis terhadap kaum
marxis yang terlalu menekankan peran dan kekuatan struktur sosial. “Dalam
pandangan Sartre, kaum marxis yang dogmatik telah menyingkirkan unsur
humanistik dalam pemikiran asli Marx” [Hayim, 1980:72]. Sartre adalah seorang
eksistensialis tulen dan karena itu dia selalu memelihara humanisme yang dia
rasa telah hilang dalam diri sebagian kaum marxis.
Penentangan terhadap
humanisme model Sartre dilakukan kaum post-strukturalis dan postmodernis. Kaum
postmodernis dan post-strukturalis berusaha mengembangkan pemikiran sosial yang
tidak memusat (decenter), untuk mengalihkan perhatian dari “manusia” ke gejala
lain, terutama bahasa.
Fenomenelogi
Bapak fenomologi, Edmud
Husserl, tertarik pada studi ilmiah mengenai struktur dasar kesadaran manusia.
Dia berupaya menembus dasar-dasar yang dibangun oleh para pelaku (aktor) di
dunia nyata untuk mendapat struktur paling dasar kesadaran. Namun ini tidak
mudah dilaksanakan karena begitu para pelaku terlibat dalam proses yang aktif
dan kompleks untuk menata dunia, mereka sering tidak menyadari bahwa mereka
sedang menata dunia. Oleh karenanya mereka tidak pernah mempertanyakan dunia.
Bagi Husserl, ini adalah tesis umum dari “titik acuan alamiah”. Bagi para
pelaku, dunia sosial diatur secara alamiah dan bukan ditata oleh mereka. Sikap
alamiah ini merupakan hambatan terhadap penemuan proses-proses intensional.
Ketika sikap-sikap alamiah ini terputus atau terpenjara, kaum fenomenologis dapat memulai untuk menguji “kekayaan” kesadaran [Schutz, 1973:103). Kaum fenomenologis juga mesti mengesampingkan dulu pengalaman-pengalaman kehidupan insidental yang cenderung mendominasi kesadaran. Tujuan utama Husserl adalah untuk melihat seluruh kandungan “ego transendental” dalam keasliannya. Husserl juga tertarik dengan bentuk murni kesadaran yang menyangkut seluruh isi biografis dan kultural.
Ketika sikap-sikap alamiah ini terputus atau terpenjara, kaum fenomenologis dapat memulai untuk menguji “kekayaan” kesadaran [Schutz, 1973:103). Kaum fenomenologis juga mesti mengesampingkan dulu pengalaman-pengalaman kehidupan insidental yang cenderung mendominasi kesadaran. Tujuan utama Husserl adalah untuk melihat seluruh kandungan “ego transendental” dalam keasliannya. Husserl juga tertarik dengan bentuk murni kesadaran yang menyangkut seluruh isi biografis dan kultural.
Pemikiran mengenai “ego transendental” menunjukkan kepentingan Husserl dalam kaitannya dengan “kandungan paling dasar dari kesadaran manusia. Walaupun terkadang salah tafsir atas hal ini, Husserl tidak memiliki konsepsi kesadaran yang mentalistik dan metafisis. Bagi Husserl ini bukan soal sesuatu hal atau tempat, melainkan soal proses. Kesadaran tidak ditemukan di dalam “kepala” pelaku tetapi dalam hubungan antara pelaku dan obyek dalam dunia. Husserl menyebut halsemacam ini sebagai “intensionalitas”. Baginya, kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu, kesadaran akan obyek. Kesadaran ditemukan dalam relasi ini: kesadaran tidak berada di dalam pelaku, kesadaran selalu bersifat relasional. Makna tidak ada dalam kesadaran atau obyek, tetapi dalam hubungan pelaku dengan obyek. Konsepsi kesadaran sebagai proses yang memberikan makna terhadap obyek inilah yang menjadi inti fenomenologi.
Banyak karakteristik
fenomologi Husserlian –yakni humanisme, subyek sebagai fokus bahasan,
esensialisme dan ego transendental—kelak mendapat serangan gencar dari kaum
strukturalis maupun post-strukturalis.
Strukturalisme
Dalam tingkat yang paling
umum, strukturalisme dapat didefinisikan sebagai upaya membongkar
struktur-struktur publik yang membawahi kegiatan manusia. Dari pandangan ini,
sebuah struktur didefinisikan sebagai: “Sebuah unit yang terdiri dari beberapa
bagian yang dijumpai dalam relasi yang sama dalam “kegiatan” yang dijalankan.
Unit ini tidak dapat dileburkan dalam satu unsur tunggal, karena kesatuan
struktur dibatasi tidak begitu banyak oleh hakikat utama unsur-unsur itu sebagaimana
dalam relasi mereka [Spivak, 1974:iv].
Disamping sistem dan
relasi, strukturalisme juga ditandai oleh penelitiannya mengenai hukum-hukum
umum yang membatasi struktur-struktur tersebut. Struktur perhatian
strukturalisme bukan dalam struktur dasar yang sama seperti yang telah menjadi
keprihatinan tradisional kaum sosiolog. Kaum sosiolog lebih menaruh perhatian
terhadap struktur-struktur sosial seperti kelas sosial dan birokrasi, sementara
kaum strukturalis lebih menaruh perhatian pada struktur linguistik. Pergeseran
dari struktur sosial ke lingustik inilah yang kemudian dikenal dengan istilah
”putaran linguistik” yang secara dramatis membahas hakikat ilmu-ilmu sosial
[Lash, 1991:ix]. Banyak pemikir sosial beralih dari struktur sosial ke struktur
bahasa, atau lebih umum, beralih ke tanda-tanda yang makin beragam [Gottdiener,
1995].
Stukturalisme muncul dari
perkembangan yang berbeda di dalam bidang yang berbeda, namun sumber
strukturalisme modern dan basisnya yang paling kuat dewasa ini adalah:
“bahasa”. Karya Ferdinand de Saussure (1857-1913) mewakili perkembangan bahasa
struktural dan juga dalam bidang lain (Saussure, 1966, Culler, 1976). Hal
khusus yang menarik adalah pembedaan Saussure antara “langue” dan”parole”,
sebuah distingsi yang amat berarti bagi perkembangan, tidak hanya
strukturalisme, tetapi juga poststrukturalisme dan postmodernisme. “Langue”
merupakan sistem tata-bahasa formal. Ini merupakan sistem unsur “fonem” yang
kaitannya diatur oleh hukum yang khusus menentukan hal itu. Saussure dan
pengikutnya percaya itu. Banyak ahli bahasa sejak zaman Saussure telah
membaktikan diri untuk menemukan hukum-hukum tersebut. Adanya “Langue” membuat
“Parole” mungkin. “Parole” dalam percakapan setiap hari, cara yang oleh para
pembicara menggunakan bahasa harian untuk mengekspresikan diri mereka. Biarpun
Saussure mengenal makna penggunaan bahasa dalam cara subyektif dan sering
“idiosinkretik”, namun dia percaya bahwa pemakaian (bahasa) harian seperti ini
tidak dapat menjadi keprihatinan para ahli bahasa. Seorang linguis seperti ini,
harus berfokus pada “langue”, sistem bahasa formal, bukan pada cara subyektif
seperti yang digunakan para pelaku (“aktor”).
“Langue” dapat dipandang
sebagai sebuah sistem tanda. Sebuah tanda dapat dilihat sebagai keseluruhan,
sebuah struktur yang terdiri dari “penanda” gambaran bunyi yang didengar ketika
sebuah kata diucapkan, dan “yang ditandakan” gambaran bunyi yang dipakai untuk
menunjukan: makna kata yang ditangkap oleh pemikiran penerima. Saussure tidak
hanya tertarik pada “Signifier” (penanda) dan “Signified” (yang ditandakan)
tetapi juga di dalam hubungan mereka satu sama lain. Dari sudut pandang
sosiologis, Saussure tidak terlalu tertarik dengan “rujukan” (reference), hal
yang direfleksikan, karena ini merupakan bahasa (linguistik) ekstra (Genosko,
1994).
Menurut Saussure, bahasa
merupakan “sebuah sistem yang padat dimana semua bagian saling berhubungan”
(Marks dan de Courtivron, 1981:3). Terutama yang penting adalah relasi
perbedaan, termasuk “pertentangan” (lawan/coposisi) kembar. Misalnnya, makna
kata: “panas” tidak dari kekayaan intrinsik dunia “nyata” tetapi dari hubungan
kata depannya. Dia mempunyai oposisi kembar yakni: kata “dingin”. Struktur
bahasa membentuk makna, pikiran dan terakhir, dunia sosial. Bukan dunia
eksistensial orang yang membentuk lingkungan mereka, namun kata memiliki di
sini sebuah dunia dimana orang-orang, juga aspek-aspek lain dari dunia sosial,
dibentuk oleh struktur bahasa dan kodenyya, atau aturan menggabungkan
kata-kata.
Bahasa berperan sebagai sebuah bentuk dalam keseluruhan aspek hidup manusia. Perhatian pada struktur, pertama-tama diperkenalkan oleh Saussure dan lebih penting oleh pemikir-pemikir lain, yang mempelajari semua sistem tanda. Perhatian pada struktur sistem tanda telah diberi label: “semiotik” dan menarik banyak pengikut (Eco, 1976; Hawkes, 1977; Gottdiener, 1995). Semiotik lebih luas dari bahasa struktural karena dia menekankan tidak hanya bahasa tetapi juga tanda lain dan sistem simbol, seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, semua bentuk komunikasi, dan tentu semua unsur kebudayaan.
Bahasa berperan sebagai sebuah bentuk dalam keseluruhan aspek hidup manusia. Perhatian pada struktur, pertama-tama diperkenalkan oleh Saussure dan lebih penting oleh pemikir-pemikir lain, yang mempelajari semua sistem tanda. Perhatian pada struktur sistem tanda telah diberi label: “semiotik” dan menarik banyak pengikut (Eco, 1976; Hawkes, 1977; Gottdiener, 1995). Semiotik lebih luas dari bahasa struktural karena dia menekankan tidak hanya bahasa tetapi juga tanda lain dan sistem simbol, seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, semua bentuk komunikasi, dan tentu semua unsur kebudayaan.
Roland Barthes (1964/1967;
1970/1982) sering dilihat sebagai pendiri semiotik. Peranan terpenting dari
Barthes, dari sudut pandang pembahasan ini yakni: memperluas pemikiran Saussure
ke seluruh bidang kehidupan sosial. Barthes menegaskan: “Semiologi bertujuan
mengambil sistem petanda, apapun substansi dan keterbatasannya, gambaran,
isyarat, bunyi musik, obyek dan gabungan dari kesemuanya ini, yang membentuk
ritual, konvensi atau hiburan publik/umum, ini merupakan, jika bukan bahasa,
sekurang-kurangnya sistem signifikasi (Barthes, 1964/1967 : 9). Atau dalam
istilah yang lebih bebas: “tidak hanya bahasa, tetapi bersiul juga menandakan
praktis seperti pertunjukan TV, mode, memasak dan semua hal menyangkut
kehidupan setiap hari.
Figur utama lain dalam
strukturalisme Prancis, tentu Kurzweil (1980 : 13) menyebutnya “Bapak
Strukturalisme”, adalah antropolog Prancis Claude Levi Strauss. Strauss
mengembangkan karya Saussure mengenai bahasa dalam konteks masalah antropologis
– misalnya, mitos dalam masyarakat primitif. Ini membantu membuka pintu untuk
aplikasi strukturalisme secara lebih luas ke semua bentuk komunikasi. Terobosan
besarnya yakni: merekonseptualisasi sebuah aturan gejala sosial yang lebih luas
(misalnya, sistem kekeluargaan sebagai sistem komunikasi dan karena itu
membuatnya dapat diterima pada analisa struktural (Burris, 1979, Levin, 1981:25).
Pertukaran pasangan, misalnya dapat dianalisis sebagai pertukaran kata.
Keduanya merupakan pertukaran sosial yang dapat dipelajari melalui penggunaan
antropologi struktural.
Kita dapat menggambarkan pemikiran Strauss (1967) dengan contoh kemiripan antara sistem bahhasa dan sistem kekeluargaan. Pertama, antropolog struktural menyukai fonem dalam bahasa, sebagai unit utama untuk analisa. Kedua, baik istilah kekeluargaan maupun fonem, memiliki arti di dalam dirinya sendiri. Tidak seperti “Langue”-nya Saussure, keduanya hanya bermakna kalau digabung dan menyatu dengan bagian yang lebih besar. Strauss bahkan memakai oposisi kembar di dalam antropologinya. Ketiga, Strauss mengenal bahwa ada variasi empiris dari “setting” ke “setting” baik dalam sistem fonemik maupun sistem kekeluargaan. Namun dia pun menegaskan bahwa variasi ini dapat ditelusuri ke tindakan umum yakni adanya aturan/hukum yang mengaturnya.
Kita dapat menggambarkan pemikiran Strauss (1967) dengan contoh kemiripan antara sistem bahhasa dan sistem kekeluargaan. Pertama, antropolog struktural menyukai fonem dalam bahasa, sebagai unit utama untuk analisa. Kedua, baik istilah kekeluargaan maupun fonem, memiliki arti di dalam dirinya sendiri. Tidak seperti “Langue”-nya Saussure, keduanya hanya bermakna kalau digabung dan menyatu dengan bagian yang lebih besar. Strauss bahkan memakai oposisi kembar di dalam antropologinya. Ketiga, Strauss mengenal bahwa ada variasi empiris dari “setting” ke “setting” baik dalam sistem fonemik maupun sistem kekeluargaan. Namun dia pun menegaskan bahwa variasi ini dapat ditelusuri ke tindakan umum yakni adanya aturan/hukum yang mengaturnya.
Strauss keluar dari
sebagian petunjuk di atas. Dia menegaskan bahwa: baik sistem fonemik maupun
sistem kekeluargaan adalah hasil dari struktur pikiran. Mereka bukan hasil
proses kesadaran, melainkan hasil proses ketidaksadaran, hasil struktur pikiran
logis. Sistem ini berlaku juga pada hukum umum. Mereka yang berpendapat lain,
tidak membiarkan strauss menekankan struktur pemikiran sebagai struktur yang
paling mendasar.
Varian strukturalisme lain
yang sukses di Prancis adalah: Marxisme Struktural, terutama karya Louis
Althusser, Nicos Poulantzas, dan Maurice Godelie. Telah ditegaskan bahwa
strukturalisme modern dimulai dengan karya Saussure dalam tata bahasa, namun
demikian, ada yang berpendapat bahwa itu dimulai dengan karya: Karl Marx
“ketika Marx beranggapan bahwa struktur tidak boleh dicampuradukan dengan
relasi-relasi yang’visible’ dan menjelaskan logika tersembunyi, dia tidak
memberi harapan pada tradisi strukturalis modern” (Godelier, 1972 b:336).
Walaupun Marxisme struktural dan strukturalisme secara umum tertarik dengan
“struktur”, namun konsep mereka tentang struktur berbeda.
Banyak kaum Marxis yang
hanya mempelajari struktur sebagai awal studi mereka tentang sejarah. Maurice
Godelier mengatakan: “studi mengenai fungsi internal sebuah struktur, harus
mengawali dan menerangi studi tentang kejadian dan evolusinya” (1972 b : 343).
Dengan kata lain, Godelier mengatakan: “Logika sistem ini adalah bahwa sistem
ini harus dianalisa sebelum keasliannya dianalisa”. Pandangan lain dari kaum
strukturalis dan Marxis struktural yakni: strukturalisme harus berkaitan dengan
struktur atau sistem, yang terbentuk akibat relasi sosial. Struktur dilihat
sebagai sesuatu yang “real” meskipun hakikat strukturnya dilihat secara
berbeda. Bagi Strauss, struktur real adalah bentuk, mungkin pikiran, sedangkan
bagi kaum Marxis struktural, stuktural real menjadi dasar struktur masyarakat.
Mungkin lebih penting,
baik strukturalisme maupun Marxisme struktural menolak empirisme dan menerima
struktur-struktur yang tidak dapat dilihat. Godelier berpendapat: “apa yang
ditolak kaum strukturalis dan Marxis adalah definisi empiris mengenai apa yang
membentuk struktur sosial”. Godelier juga membuat pernyataan ini: “Bagi Marx,
seperti Levi Strauss, sebuah struktur bukanlah kenyataan, yang langsung dilihat
dan karena itu, dapat diselidiki, tetapi sebuah tingkat realitas yang berada di
luar relasi yang dapat dilihat di antara manusia, dan fungsi yang membawahi
logika sistem tersebut, yakni tatanan dimana tatanan-tatanan yang kelihatan
dapat dijelaskan” (Godelier, 1972 a : XIX).
Godelier melanjutkan
definisi segenap pengetahuan seperti ini: “apa yang dapat dilihat adalah
kenyataan yang berkaitan dengan yang lain, kenyataan yang lebih dalam, yang
tersembunyi dan penemuan apa yang menjadi tujuan pengetahuan ilmiah”. Disamping
kesamaan, Marxisme struktural tidak mengambil bagian dalam bahasa, melainkan
dalam pengetahuan sosial. Misalnya, perhatian khusus pada struktur-struktur
sosial dan ekonomi. Lebih dari itu, Marxisme struktural tetap berkaitan dengan
teori Marx, dan banyak pemikir sosial Prancis menjadi tidak sabar dengan teori
Mark karena mereka lebih banyak terlibat dalam eksistensialisme.
Poststrukturalisme
Strukturalisme
mempengaruhi pemikiran sosial, terutama di Prancis. Namun, segera muncul reaksi
luas menentang strukturalisme yang berlabel: poststrukturalisme.
Poststrukturalisme dapat dijelaskan sebagai sekolah pemikiran yang bersandar
pada strukturalisme (Kroker dan Levin, 1991), namun mengambil jarak dengan para
pemikir seperti Ferdinand Saussure, Roland Barthes, Claude Levi Strauss, Louis
Althusser, dan lain-lain. Tentu saja kaum poststrukturalis juga dibentuk dalam
pengertian yang positif, tetapi terutama negatif oleh banyak teori yang dibahas
diatas terutama eksistensialisme, fenomenologi, dan teori Freudian (juga
Marxisme).
Poststrukturalisme adalah
sekolah pemikiran yang tegas dan tak berbentuk. Misalnya, dia menekankan karya
seorang teorikus sosiologi, Pierre Bordeau (1977, 1984) juga pemikir Michel
Foucault yang tidak berada didalam struktur itu. Karya Bourdieu digolongkan
dalam: Teori sosiologi Modern (Ritzer,1966 c). Pertannyaannya adalah apa
perbedaan antara poststrukturalisme dengan postmodernisme? Secara umum,
poststrukturalisme dianggap sebagai sebuah perintis intelektual bagi
postmodernisme (Bertens, 1995). Ini merupakan sebuah sumbangan pemikiran bagi
Teori Sosial Postmodern. Nyatanya, itu merupakan sumber informasi yang paling
penting bagi Teori Sosial Postmodern. Kaum poststrukturalis yang dibahas di
buku ini, Foucault memainkan peran penting. Namun,Foicault juga dianggap
sebagai seorang postmodernis (Best, 1994). Jadi, ada garis fleksibel, yang
memisahkan antara poststrukturalisme dan postmodernisme. Di dalam semangat
postmodernisme, kita akan menolak garis, terutama dalam karya yang kaya dan
khas dari seorang seperti Foucault.
Satu perbedaan umum
(dengan banyak kecualian) adalah bahwa: poststrukturalisme cenderung menjadi
lebih abstrak, lebih filosofis, dan kurang politis seperti postmodernisme,
semisal karya-karya Jacques Derrida, yang merupakan contoh bagus mengenai
pemikiran poststruktural, bahkan terkadang dia pun berpikir sebagai seorang
postmodernis. Di dalam renungan teoretisnya Derrida melihat sebuah transisi
yang sedang berjalan dari cara berpikir modern kepada sebuah bentuk pemikiran
yang melampaui modern (Derrida, 1967/1974 : 87). Namun, di sini kita dapat
memakai Derrida untuk menjelaskan apa yang kita maksudkan dengan
poststrukturalisme. Sebuah titik awal yang baik yakni: Spivak yang membahas
kritisisme Derrida mengenai strukturalisme.
Kaum poststrukturalis
biasanya menyatu dengan strukturalisme pada saat bersamaan sehingga mereka coba
mengambil jarak darinya. Mengambil contoh khusus, Derrida mendasarkan
pikirannya pada karya Saussure sehingga pada saat bersamaan, dia mengkritik
Saussure karena mensubordinasikan dan mengeluarkan apa yang oleh Derrida
menjadi tulisan utama. Ini yang mengantarkan Derrida ke penciptaan bidang
“gramatologi” atau pengetahuan teoretis tentang tulisan. Derrida mengkritik dan
bergerak melampaui Saussure, karena dia tahu kenyataan bahwa Saussure yang
membuat bidang “gramatologi” menjadi mungkin. Ini merupakan “kekentalan” dalam
strukturalisme dan juga kritik simultan dan gerakan yang melampauinya, yakni
poststrukturalisme.
Kerangka karya
poststruktural penting lainnya termasuk psikoanalis Prancis, Jacques Lacan
(1901), juga sumbangan pengikutnyadan muridnya, dan terkadang kritik kemudian
muncul, terutama Julia Kristeva, Luce Irigaray, dan Helena Cixous. Lacan tentu
saja membangun di atas teori Freud dan menggabungkannya dengan pikiran-pikiran
lain, terutama segi bahasa Saussure. Lacan terkenal denga pernyataan seperti:
“apa yang tidak sadar disusun seperti bahasa” (dalam Kurzweil 1995 : 98).
Ketika psikoanalis beruntung dengan adanya biologi, Lacan berpendapat bahwa
bahasa dan kebudayaan merupakan bagian sentral dari apa yang tidak
sadar/disadari, (ketidaksadaran). Lebih umum, setiap individu dilihat sebagai
orang yang terformat di dalam bahasa. Bahasa menjadi hal yang utama dalam
bidang psikoanalisis.
Menurut Lacan, bahasa
selalu berjalan pada 2 bidang. Tugas psikoanalisa adalah mencari penyebab
komunikasi detektif. Adalah bahasa yang menjadi penyebab tidak beresnya
komunikasi antar-pribadi. Ada aturan struktural bagi gangguan ini sehingga
membuat aturan itu dapat dipelajari baik terapi maupun bidang yang terkait
dengannya. Ini merupakan sejenis aturan struktural yang mempengaruhi Lacan
mematematisir psikoanalisa.
Pemiikiran Lacan
berpengaruh dalam sejumlah bidang, terutama Kristeva, Irigaray, dan Cixous
mempunyai pengaruh besar di zamannya. Kita akan mudah melihat kaitan pemikiran
mereka dengan teori postmodern Feminis Amerika. Mereka pun punya sumbangan
terhadap analisis struktural. Misalnya, menciptakan: “Semanalisis” yang tidak
hanya berkaitan dengan faktor komunikatif dalam bahasa melainkan juga dengan faktor-faktor
material seperti bunyinya, iramanya, dan kemampuan grafik. Dia juga menekankan
pentingnya bahasa puitis yang menentang formalisasi. Di dalam mengaitkan bahasa
dengan psikoanasisa, Kristeva melihat sebagai paradigmatik, terutama menerima
relasi cinta antara analis dan pasien. Menurutnya, Irigaray berpendapat penyakit jiwa (suka mengasingkan diri)
memiliki bahasanya sendiri dan “mengigau” juga mempunyai aturan bahasa sendiri,
bahkan kenyataannya sering tidak digubris (dianggap sepele). Poststrukturalisme
menyediakan latar belakang dan cara yang tidak dapat dipisahkan dari teori
sosial postmodern.
Konteks Sosial
Sampai sejauh ini, kita
fokuskan diri pada pikiran-pikiran struktural, poststruktural dan postmodern.
Namun, pemikiran ini tidak muncul di dalam kekosongan sosial dan intelektual.
Kita akan menyelidiki beberapa faktor kontekstual yang ada dalam perkembangan
teoritis yang menjadi keprihatinan kita. Agar pembahasan ini terarah, kita
lebih fokus pada Prancis, karena di sanalah pusat alias inti perkembangan
teoritis dari keprihatinan alias perhatian kita. Selama dan setelah Perang
Dunia II, kehidupan intelektual di Prancis di dominasi oleh teori Marx. Namun banyak kaum intelektual yang
menganggap utopis komunisme gaya Rusia tersebut. Mereka lebih tertarik pada
eksistensialisme Sartre, terutama janji untuk memenuhi kebutuhan individu di
dunia modern. Hanya saja, pikiran Sartre mulai tidak dicintai lagi karena dia
terus mendukung komunis. Di dalam penelitian mereka untuk sebuah perspektif
teoretis-alternatif, beberapa ahli terpesona dengan strukturalisme, yang
mengizinkan mereka tetap menjadi sosialis sambil menyerahkan karyanya yang tidak
berlandaskan teori Marx. Strukturalisme juga mendorong mereka yang ingin
mengembangkan pengetahuan yang memberi aksentuasi pada manusia sebagai subyek.
Revolusi Mahasiswa radikal
tahun 1968 merupakan percikan dalam perkembangan intelektual di Prancis. Gagalnya
revolusi itu dan malasnya kelompok-kelompok mahasiswa semakin memberi kesan
bahwa Marxisme itu ilusif, dan secara umum, harapan akan adanya solusi revolusi
bagi masalah-masalah kemasyarakatan mulai ditinggalkan. Perasaan itu muncul
dalam beberapa dekade terakhir karena komunisme di Soviet runtuh dan di
tempat-tempat lain. Di Prancis, pemilihan presiden sosialis, Francois Mitterand
gagal membawa perubahan yang dijanjikan.
Demokrasi Sosial di
seluruh Eropa yang telah menciptakan program kesejahteraan mulai yakin bahwa
mereka tidak perlu lagi mendukung program seperti itu. Kegagalan ini meyakinkan
mereka bahwa harapan lama akan adanya solusi agung adalah ilusi semata-mata. Perubahan
sosial dalam skala besar membuat jelas bahwa sarana-sarana teoretis lama tidak
cukup, pikiran-pikiran teoretis dan prospektif baru diperlukan. Peta dunia
dengan kolonialisme dibongkar, dan dekolonisasi dimulai. Banyak negara baru dan
merdeka mulai menemukan eksistensinya. Dipimpin oleh kaum Feminis, berbagai
gerakan sosial muncul, suara-suara baru muali didengar di Prancis dan di
seluruh dunia. Kelompok-kelompok ini menyerukan “kekuasaan” yang lebih besar
atas hidup mereka, juga di dalam masyarakat yang mereka tinggal.
Ekonomi negara-negara
maju, termasuk Prancis, berkembang namun kemiskinan dan penyakit sosial lain
tetap ada. Ekonomi terus berubah dengan banyak industri baik lewat penghematan
maupun restrukturisasi. Akibatnya, banyak orang menganggur dan lebih banyak
lagi yang karirnya putus atau tidak menentu. Ekonomi beralih dari dominasi
pekerjaan-pekerjaan produksi Fordist ke pekerjaan model pelayanan (service
type) post-Fordist. Penekanannya lebih pada konsumsi dan bukan produksi, “kita
akan dan sedang menyaksikan munculnya masyarakat konsumeristis”.
Kunci utama menuju masyarakat
konsumeristis, yakni perkembangan mass media terutama televisi. Televisi tidak
hanya memberi pelayanan iklan kepada masyarakat konsumeristis, tetapi juga
membombardir masyarakat dengan berbagai ‘image’ yang secara dramatis
mempengaruhi dan merubah hidup mereka. Televisi membawa ledakan informasi.
Teknologi informasi berkembang dan meledak dalam skala besar dengan muunculnya
komputer di rumah-rumah. “Image” yang ditawarkan televisi, komputer rumah
membawa pengaruh besar kepada manusia, juga kekuasaannya. Kita tidak dapat
mendekati semua jangkauan perubahan sosial yang mempengaruhi kita dan meminta
keprihatinan kita. Cukuplah untuk mengatakan bahwa ada banyak faktor yang
mempengaruhi muncul dan berkembangnya pemikiran poststruktural dan terutama
pemikiran postmodern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar