Senin, 22 Desember 2014

Teori dan Diskursus Postmodern (–Isme)




Teori sosial postmodern merupakan hasil dari serangkaian proses sosial dan intelektual yang sungguh sangat kompleks. Dibutuhkan banyak sekali usaha untuk bisa menempatkan ‘sejarah yang kaya’ ini dalam posisi yang layak dalam dunia ilmu sosial.  Tulisan ini boleh dikata hanya merupakan pengantar bagi pembaca untuk masuk ke dalam diskusi yang lebih detail dan mendalam seputar teori sosial postmodern –sekaligus juga merupakan sketsa yang sangat selektif tentang teori sosial postmodern yang dimaksudkan untuk memperkenalkan pembaca pada gagasan-gagasan atau pemikir-pemikir yang mungkin kurang begitu dikenal seperti Sontag, Venturi, Jencks, Nietzsche, Rorty, Freud, Saussure, Levi-Strauss. Di sini diandaikan bahwa pembaca sudah cukup mengenal pemikiran para teoritikus sosial yang memainkan peranan penting –entah positif atau negatif– dalam pembentukan teori sosial postmodern seperti Marx, Durkheim, dan Weber.

Seni dan Kritisisme Kesusastraan

Seperti yang sudah kita lihat, akar pemikiran postmodern terletak dalam kesusastraan, arsitektur, teater, lukis, tari dan bidang-bidang yang terkait dengannya. Pemikiran-pemikiran tersebut lalu berinteraksi dengan post-strukturalisme yang pada proses berikutnya membentuk apa yang sekarang kita sebut sebagai teori sosial postmodern. Dalam bagian ini kita akan melakukan tinjauan sekilas atas sejarah postmodernisme dalam wilayah seni, dengan bersandar pada karya Hans Bertens [1995], The Idea of the Postmodern.

Istilah postmodern pertama digunakan sekitar tahun 1870-an. Konsep tersebut digunakan dalam sebuah judul buku terbitan tahun 1926 yang diperbaharui lagi pada tahun 1930-an dan 1940-an. Akan tetapi karya awal yang boleh dikata terisolasi tersebut hanya memiliki sedikit kesamaan dengan literatur postmodernisme yang muncul di tahun 1960-an. Sebuah dokumen kunci mengenai postmodernisme tak lain adalah eseinya Susan Sontag (1964/1967) yang berjudul “Against Interpretation”. Dalam esai tersebut Sontag memandang interpretasi sebagai sesuatu yang bersifat opresif dan melumpuhkan. Untuk menggantikan “makna-makna” yang diambil dari interpretasi, Sontag mencatat tentang pentingnya sensasi-sensasi yang serentak. Selain itu esai tersebut juga menekankan pentingnya tidak memperlebar perbedaan antara apa yang sering disebut sebagai budaya rendahan dan budaya adiluhung (low and high culture).

Figur kunci lain dalam periode ini adalah Leslie Fiedler [1969/1975], yang mengajukan kritik atas modernisme dan saudara kandungnya: rasionalisme dan humanisme liberal. Fiedler merasa bahwa kita sedang mengalami proses kematian modernitas serta kelahiran postmodernitas yang ditandai oleh merebaknya anti-rasionalitas, romantisisme serta senti-mentalitas. Fiedler juga menekankan pentingnya “yang lokal dan tribal” sebagai lawan terhadap kecenderungan modern yang bercorak esensial dan universal.

Selain dalam karya-karya kritik sastra, Bertens juga melihat adanya manifestasi awal postmodernisme dalam musiknya John Cage, susunan benda-benda karya Robert Rauschenberg serta novel-novel karya Alain Robbe-Grillet, John Barth dan Thomas Pynchon yang tidak percaya pada etika kaum modernis. Bertens [1995: 34] menyimpulkan: “dapat dikatakan bahwa apa yang sekarang dikenal sebagai agenda postmodern sebenarnya sudah ada sejak akhir tahun 1960-an.”

Di sini juga akan meninjau post-strukturalisme dan reaksinya terhadap teori modern sebagai penyebab utama dan terpenting bagi kemunculan teori sosial postmodern. Namun Bertens [1955: 35] berkomentar “bahwa kemunculan teori postmodern pertama-tama adalah sebagai respon atas pembaruan seni kontemporer dan bukan karena pembacaan ulang kaum post-strukturalis atas teks-teks besar modernisme.”

Postmodernisme tumbuh luas dan tampil secara eksplisit tahun 1970-an. Figur utama dalam periode ini adalah Ihab Hassan [1971], meski karyanya sekarang lebih dipandang sebagai sesuatu yang punya arti penting secara historis ketimbang sebagai suatu karya yang berpengaruh dalam pemikiran postmodern kontemporer. Sebagai contoh adalah eseinya yang berjudul POSTmodernISME: A Paracritical Bibliography yang mengkritik tajam watak postmodernisme yang anarkis. Setelah memfokuskan diri dalam bidang kesusastraan, Hassan pun mulai menganalisis sektor kebudayaan yang lebih luas yang kemudian menjadi perhatian teori sosial postmodern. Figur sentral lain selama periode ini adalah William Spanos, dengan jurnalnya Boundary 2: A Journal of Postmodern Literature and Culture. Akan tetapi Spanos sangat dipengaruhi oleh eksistensialisme, yang mana hal itu menghalangi dia untuk menjadi yang utama dalam jajaran pemikir postmodern –dalam bidang bahasa. Sebagaimana diketahui, eksistensialisme sangat menaruh perhatian pada manusia sebagai subyek, sementara linguistik justru memproklamasikan akhir segala macam subyek (the end of subject). Orientasi politik paling radikal dari postmodernisme eksistensial Spanos juga tidak sesuai dengan nihilisme, suatu sikap yang dianut oleh postmodernisme dewasa ini. Akhir tahun 1970-an, Spanos beserta corak postmodernisme eksistensialnya pun tersingkirkan.

Beralih dari kritisisme sastra ke bidang arsitektur, Robert Venturi memainkan peran penting selama tahun 1960-an dan 1970-an, terutama dalam tulisannya “Complexity and Contradiction in Architecture” [1966] serta “Learning from Las Vegas” [1972] yang ditulis bersama Denise Scott Brown dan Steven Izenour. Venturi, peraih Pritzker Architecture Prize 1991, adalah “sosok yang diketahui secara umum telah membelokkan mainstream arsitektur dari kungkungan corak modernisme” [Bertens: 1995:53]. Venturi menekankan arsitektur yang ‘nampak’ berantakan, kompleks dan kontradiktoris, sebentuk arsitektur yang banyak mengambil inspirasi dari kebudayaan dan seni populer. Venturi ingin menunjukkan bahwa bukan cuma ada satu bahasa dalam dunia arsitektur. Ada banyak bahasa dalam arsitektur, dan oleh karenanya arsitektur tidak boleh diisolasi dari “bahasa-bahasa” yang dianggap lain.

Sementara itu pada pertengahan tahun 1970-an, Charles Jencks menerbitkan karyanya yang berjudul “The Rise of Post-Modern Architecture” [Jencks, 1975] serta “The Language of Post-Modern Architecture” [Jencks, 1977] yang membuatnya menjadi “guru” Post-Modernisme [Bertens: 1995:57]. Jencks terkenal dengan idenya tentang “kode ganda”, yang salah sutu cirinya adalah tetap mengadopsi elitisme arsitektur tetapi sekaligus melengkapinya dengan kekhasan setempat. Dengan hal tersebut Jencks tidak bermaksud menggugurkan unsur-unsur yang modern, tetapi ia ingin memasukkan unsur-unsur yang dianggap “tidak lazim” dalam bidang arsitektur. Jencks juga mengemukakan pentingnya penandaan atas representasionalisme dalam arsitektur –suatu pandangan yang dengan segera ditolak oleh kaum postmodernis. Jenks berpandangan bahwa arsitektur mesti menjadi semacam bahasa (kind of language) yang merepresentasikan situasi kehidupan sehari-hari. Jencks juga mengantisipasi orientasi post-strukturalis dengan cara mengadopsi gagasan-gagasan semiotik: melihat arsitektur sebagai suatu jenis bahasa. Menurut Bertens [1995: 62], pandangan Jencks mengenai “kode ganda” ingin menekankan makna-makna plural, keterlibatan dan partisipasi para pengamat serta paduan kompleks representasi, ornamen, referensi historis, simbolisme dan humor.

Pada akhir tahun 1970-an, Bertens berpendapat bahwa pusat perkembangan postmodern telah beralih dari bidang kesusastraan dan arsitektur ke berbagai bidang seni lain termasuk fotografi, seni pahat dan lain-lain. Perkembangan ini menunjukkan adanya sejumlah perkembangan teoretis yang sangat penting, misalnya soal poststrukturalisme dan karya pemikir-pemikir seperti Jacques Derrida, Roland Barthes dan Michel Foucault. Ini dapat juga berarti bahwa fokus perhatian postmodernisme telah beralih ke persoalan tanda (sign) serta hubungan antara tanda-tanda tersebut dan bukan pada kenyataan material yang mereka inginkan untuk direpresentasikan. Termasuk di sini adalah pemikiran tentang seni atau budaya secara umum karena ia merepresentasikan realitas, di mana realitas dilihat sebagai sesuatu yang tidak dapat direpresentasikan dan tanda-tanda dilihat sebagai ekspresi bebas dari dunia nyata. Di dalam fotografi, Douglas Crimp berpendapat bahwa: “representasi selalu merupakan ilusi karena pengalaman tak dapat dielakkan selalu disampaikan oleh bahasa; pengalaman selalu tertandai… segala persepsi visual ditandai dalam suatu cara tertentu. Tidak ada suatu representasi di luar sana yang tertandai sejak semula, dan oleh karenanya seni selalu merupakan ‘salinan’ dari sebuah ‘salinan’ dan tidak ada subyek dalam pengertian tradisional tentang reprentasi” [Bertens, 1995:86-87].

Penolakan atas gagasan representasi realitas juga diajukan oleh fotografer Sherrie Levine lewat karya-karya fotografi kanoniknya. Penolakan serupa juga dilakukan Richard Prince lewat karya-karya advertisingnya seperti yang terlihat dalam majalah-majalah. Selain penolakannya atas representasionalisme, karya-karya tersebut juga menunjukkan sejumlah prinsip dasar postmodernisme. Karya-karya tersebut meruntuhkan gagasan-gagasan modern seperti originalitas dan otentisitas –karya-karya tersebut menempatkan gagasan-gagasan postmodern sebagai apropriasi dan hibridisasi. Dan yang paling penting, karya fotografi seperti itu merepresentasikan penolakan postmodern atas kepengarangan. Di sini bisa diajukan pertanyaan: siapakah yang layak disebut fotografer dalam kasus fotografi Sherrie Levine? Jelas sangat sulit untuk mengidentifikasi siapa pengarang atau fotografer dalam kasus tersebut.

Serangan terhadap ide kepengarangan, asal-usul dan representasi ini juga mengakibatkan serangan terhadap praktek-praktek tradisional dalam sejarah seni, juga mengenai cara bagaimana museum-museum dijalankan secara tradisional. Hal ini berkaitan dengan postmodernisme yang semakin berkembang secara politik di akhir 1960-an dan awal 1970-an. Berkembangnya kesadaran ini menawarkan jalan keluar dari apa yang selama ini menjadi semacam kebuntuan – relativisme radikal, skeptisisme– yang diciptakan oleh post-strukturalisme. Sebagai contoh, kaum feminis melihat bahwa ide tentang pengarang terkait erat dengan prinsip patriarkhi –sebagian besar pengarang kanonik adalah laki-laki. Contoh lain adalah yang tampil dalam diri postmodernis-postmodernis Marxis yang melakukan serangan terhadap kontrol kapitalistik lewat seni dan kebudayaan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah karya-karya Hans Hacke yang didesain untuk menunjukkan hubungan antara seni dan kekuasaan, khususnya kekuasaan museum-museum kolektor-koletor seni entah pribadi atau korporat [Jameson, 1991].

Karya di bidang kesusastraan dan seni berlanjut sampai sekarang. Seperti disimpulkan oleh Bertens [1995:107], “postmodernitas tidak pernah menetap lama pada satu tempat tertentu.” Akan tetapi kita perlu, seperti yang dilakukan Bertens dalam karya-karyanya, mengalihkan diskusi ke sejumlah bidang bahasan lain seperti perkembangan bidang-bidang teoritik serta perannya dalam kemunculan teori sosial postmodern.

Filsafat, Psikologi, dan Psikiatri: Nietzsche, Rorty, dan Teori Freudian

Memperbincangkan kelahiran teori sosial postmodern tidak bisa dilepaskan dari bidang-bidang seperti filsafat, psikologi dan psikiatri. Akan tetapi membahas seluruh keanekaragaman dari bidang-bidang tersebut dalam tulisan ini jelas tidak mungkin. Maka di sini perbincangan akan difokuskan pada sejumlah pemikir tertentu seperti Nietzsche, Rorty dan Freud.

Friedrich Nietzsche

Mulanya Nietzsche adalah seorang filsuf yang tidak begitu mendapat perhatian dalam disiplin teori sosiologi maupun teori sosial. Namun hal tersebut segera berubah begitu pemikiran-pemikiran Nietzsche menempati posisi sentral dalam post-strukturalisme serta postmodernisme. Tentu merupakan suatu kesulitan untuk menampilkan secara ringkas sumbangan pemikiran Nietzsche dalam hal tersebut karena watak teks-teks Nietzsche yang fragmented, kontradiktoris, dan “terbuka”. Hal tersebut tak dapat dipungkiri mendatangkan pelbagai penafsiran yang berbeda [Antonio, 1995:5]. Baru-baru ini Robert J. Antonio [1995] telah membuat ringkasan atas gagasan-gagasan Nietzsche yang relevan secara sosial serta gagasan-gagasannya yang punya dampak terhadap post-strukturalisme dan postmodernisme.

Perhatian utama Antonio adalah bahwa Nietzsche, berlawanan dengan sebagian besar teori sosiologi klasik, menawarkan suatu bentuk “anti-sosiologi”. Nietzsche menilai apa yang oleh para teoritikus sosiologi klasik dianggap sebagai kemajuan –yakni pencerahan dan kebebasan sebagai sebentuk dekadensi, keletihan dan cara hidup yang terlalu teratur. Anti-sosiologi Nietzsche juga tampil dalam bentuk chaotic dan aforistik, berbeda dengan model narasi besar yang sistematik yang diproduksi oleh para pemikir modernis.

Nietzsche mengambil dua asumsi dasar dari teori sosial modern dalam penolakannya terhadap gagasan akan “subyek rasional”. Hal tersebut menandakan: Pertama, Nietzsche menolak memberikan perhatian serta evaluasi positif atas akal budi, rasionalitas serta proses rasionalisasi. Sebaliknya, Nietzsche memuji kekuatan-kekuatan non-rasional dan irasionalitas serta menyalahkan proses rasionalisai yang dianggapnya melemahkan semangat. Kedua, Nietzsche menolak memfokuskan diri pada pembahasan soal-soal subyektivitas, jiwa dan pikran yang selama ini menjadi fokus utama teori-teori modern. Sebaliknya, Nietzsche memfokuskan perhatiannya pada soal tubuh, fisiologi dan semacamnya. Impuls-impuls non-rasional yang dikontrol dan ditekan oleh masyarakat rasional berasal dari tubuh. Maka kekuatan-kekuatan tersebut mesti diekspressikan, meskipun dalam sebuah cara yang bersifat rohaniah.

Konsep kunci dalam karya Nietzsche, yakni ressentiment, oleh Antonio [1995: 7] didefinisikan sebagai suatu “keinginan kaum lemah untuk membuat penderitaannya menjadi lebih bermakna lewat cara menyalahkan pihak lain serta menempuh ‘balas-dendam imajiner’.” Obyek utama yang dipersalahkan oleh kaum lemah ini –yang juga menjadi obyek kontrol sebagian besar masyarakat tak lain adalah mereka yang kuat, mereka yang emosinya tidak pernah bisa dihalangi dan didomestifikasi. Karena orang-orang kuat disub-ordinasi, maka sebagai akibatnya dunia dikuasai oleh para budak dan moralitas kerdil mereka. Dalam pandangan Nietzsche, Socrates, Katolikisme, Protestantisme serta Pencerahan bertanggung-jawab atas moralitas budak ini dan penyebarannya ke wilayah-wilayah yang lebih luas. Mereka yang dikarunia mentalitas budak cenderung terombang-ambing dan oleh karenanya sering berperilaku menyedihkan dan mengidap prasangka-prasangka.

Kekuatan ini tidak hanya memperlemah orang kuat tetapi juga kebudayaan secara luas. Negara menguasai kebudayaan dan mejadi locus ressentimen. Nietzsche tidak melihat revolusi sosialis sebagai solusi atas masalah ini. Dia merasa bahwa hal itu justru semakin memperkuatnya. Selain menentang sosialisme, Nietzsche juga tidak mendukung kapitalisme, karena baginya kapitalisme dianggap sebagai sebentuk perlawanan terhadap kemajuan kebudayaan serta individu-individu yang tangguh. Mereka yang ambil bagian dalam perekonomian kapitalis direduksi menjadi “semut-semut industri” sementara negara kapitalis dilengkapi dengan “meluasnya pangsa pasar” [Antonio, 1995:5]. Kemudian, “egalitarianisme” yang menyertai kapitalisme mereduksi segala sesuatu ke common denominator yang paling rendah, yang mana hal itu mempengaruhi terjadinya keletihan budaya. Akhirnya, semua kekhasan individual dan juga kekhasan kebudayaan tersingkir.

Jelaslah bahwa Nietzsche memuji mereka yang mampu menghindar dari kekuatan-kekuatan opresif tersebut –yang disebutnya sebagai “individu-individu yang berdaulat”. Menurut Nietzsche, orang-orang macam ini adalah individu-individu yang unik, yang mengandalkan inteligensi tubuh dan insting-insting vital mereka ketimbang larut dalam aturan-aturan dan harapan. Melalui penipuan dan penguasaan diri, mereka dapat terhindar dari kekuatan-kekuatan penyeragam (homogenizing forces) yang ada di masyarakat.

Nietzsche sangat menghargai kebudayaan dengan segala “kehendak untuk menipu” (will to deception) yang ada di dalamnya ketimbang pengetahuan dan “kehendak akan kebenaran”-nya (will to truth). Pengetahuan dikaitkan dengan rasionalitas dan askesitisme, sedangkan kebudayaan dikaitkan dengan irasionalitas dan permainan yang tidak menghambat. Kebudayaan dan estetika berkaitan dengan kebebasan yang lebih besar, lebih dari sekedar individualitas, kegembiraan yang lebih besar dan kelucuan kanak-kanak. Nietzsche mendambakan dunia dimana kebudayaan menjadi sesuatu yang dominan dan pemimpin dari kebudayaan itu adalah individu-individu berdaulat yang memiliki “kekuatan yang diperlukan, kreativitas dan tiada hambatan, dapat menghadapi segala macam provokasi dan hasutan, chauvinisme, penjilatan dan kekerasan” [Antonio, 1995:20]. Namun, para pemimpin harus hati-hati untuk menghindari moralisme berlebihan dan mengembangkan sebuah obsesi dengan kontrol.

Antonio menunjukan bahwa kompleks Nietzsche dan gagasan-gagasannya yang sering kontradiktoris memiliki signifikansi terhadap perkembangan teori sosial postmodern –khususnya Weber, terhadap para pemikir sayap kiri, teoritikus sayap kanan dan terhadap kaum postmodernis. Secara singkat Antonio menjelaskan pengaruh Nietzsche terhadap pemikiran beberapa pemikir yang akan di-dalami, seperti Foucault, Derrida dan Baudrillard. Secara lebih umum, “tema-tema Nietzschean punya kekuatan menembus –kaum postmodernis biasanya mencintai gaya ekspresi yang estetis, saling bertentangan, terpecah-pecah dan selalu berubah ketimbang representasi konvensional. Mereka juga mencintai pengetahuan yang penuh perspektif ketimbang pengetahuan yang obyektif, mencintai visi kebudayaan yang non-rasional ketimbang visi kebudayaan yang rasional. Motif-motif kaum Nietzschean sangat jelas tampak dalam sejumlah argumentasi mereka mengenai peran bahasa dalam dominasi kebudayaan, dalam kritik mereka atas negara yang selalu mengawasi, dalam afirmasi mereka atas perbedaan multi-kultural serta dalam klaim mengenai perkiraan probematis, bidang-bidang yang tidak tereksplorasi dan suara-suara yang di marginalisir dalam teori sosial. Juga, serangan mereka yang elegan terhadap ideologi-ideologi moralistik, positivisme, bias-bias kebudayaan yang sempit dan dalil-dalil intelektual sanagt jelas menunjukkan dorongan-dorongan Nietzschean” [Antoni, 1995:28].

Namun hal tersebut sama sekali tidak berarti bahwa tidak ada perbedaan penting antara Nietzsche dengan teori sosial post-modern. Di satu pihak, banyak kaum postmodernis yang mendukung pandangan yang condong ke kiri, egalitarian, dan pluralistik. Kedua, relativisme ekstrem kaum postmodern terkadang mencerminkan modernisme liberal yang justru selama ini dikritik oleh Nietzsche. Ketiga, kaum postmodernis cenderung mengabaikan argumennya atas bentuk-bentuk baru otoritas dan dominasi kebudayaan. Akhirnya, sebutan Nietzsche untuk individu-individu yang “berdaulat” sering hilang sebagaimana lenyapnya subyek dalam dunia tanda-tanda postmodern.

Meskipun Nietzsche mensubordinasikan pengetahuan dalam kebudayaan, ia menyetujui pentingnya “kehendak akan kebenaran”, terutama kesediaan untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya, “dalam segenap multisiplitas, ketidak-pastian khaotik dan kekerasannya, apapun biayanya [Antonio, 1995:19]. Maka bagi para individu yang berdaulat, “visi yang mengundang gairah serta kebenaran ilmiah merupakan dua hal yang dibutuhkan untuk menghadapi ‘lautan bebas dan tugas-tugas besar” [Antonio, 1995: 19].

Richard Rorty

Rorty memulai Philosophy and the Mirror of Nature dengan tinjauan singkat mengenai filsafat Barat dari abad 17 hingga abad 19. Ada sejumlah pemikiran dominan yang muncul selama periode ini seperti pemikiran yang memfokuskan diri pada persoalan manusia sebagai “yang mengetahui” (the knower) yang terlibat dalam proses merepresentasikan dunia, suatu pandangan yang melihat filsafat “sebagai pengadilan atas rasio murni, yang mendukung dan menyangkal klaim-klaim kebudayaan”, dan “sebagai sebuah disiplin dasar yang diklaim oleh pengetahuan” [Rorty, 1979:4]. Selama beberapan tahun filsafat tumbuh semakin ketat dan ilmiah. Dalam proses ini, filsafat semakin tidak dapat berbuat banyak berhadapan dengan segenap gejala kebudayaan lain.

Pada abad 20, sejumlah filsuf terutama Ludwig Wittgenstein, Martin Heidegger, dan John Dewey mempertanyakan orientasi filsafat dan mencari cara baru dalam membuat filsafat menjadi fondasional. Bagi Rorty [1979:6] yang terpenting adalah fakta bahwa para pemikir tersebut “menyetujui gagasan pengetahuan sebagai representasi akurat yang hanya dimungkinkan oleh proses-proses mental dan dimengerti lewat sebuah teori umum tentang representasi yang sudah saatnya ditinggalkan.” Rorty menganut pandangan bahwa apa yang diperlukan adalah dekonstruksi atas teori representasi, atau dalam istilah yang ia pakai, “dekonstruksi gambaran Cermin Alam Semesta (The Mirror of Nature). Rorty mengajukan kritik dan mengembangkan sebuah alternatif, dengan orientasi filosofis sebagai berikut: gambaran yang mendukung pesona filsafat tradisional adalah apa yang dalam pikiran disebut sebagai cermin besar yang memantulkan gambaran bermacam-macam –yang beberapa ada yang tepat dan beberapa lagi ada yang tidak, dan dapat dipelajari lewat metode-metode murni dan non-empiris. Tanpa memahami pikiran sebagai cermin, ide pengetahuan sebagai representasi akurat tidak akan punya manfaat bagi dirinya sendiri. Cerita tentang dominasi pemikiran Barat melalui metafor perbandingan-perbandingan [Rorty, 1979: 12-13].

Rorty bukan hanya menentang filsafat yang memberi tempat istimewa terhadap representasi, tetapi dia juga menyerang gagasan yang berusaha menjadikan filsafat sebagai suatu pengadilan tertinggi dan disiplin fondasional. Rorty mengaitkan pemikiran-pemikiran yang dia tolak dengan apa yang ia sebut sebagai filsafat-filsafat sistematik. Filsafat sistematik melibatkan kepercayaan akan manusia sebagai subyek yang mengetahui dan mengenal esensi-esensi serta melibatkan pencarian atas dasar-dasar sistematik yang membangun sebuah pemikiran. Berbeda dengan filsafat sistematik, Rorty memperkenalkan filsafat kemajuan (edifying philosophy) yang mencurigai semua pretensi filsafat sistematik. Rorty menawarkan serangkaian pertentangan antara kedua filsafat itu yang memberi kita gambaran atas apa yang ia maksud sebagai “filsafat kemajuan”: filsafat kemajuan bersifat reaktif dan menawarkan yang satiris, parodis, dan aforistis. Filsafat ini tahu bahwa pekerjaannya kehilangan arah manakala masa bagi sesuatu yang ia tanggapi sudah lewat. Filsafat ini secara intensional bersifat pinggiran. Filsafat-filsafat sistematik, seperti halnya para ilmuwan besar, membangun proyeknya demi keabadian. Filsafat kemajuan menghancurkan pemikiran-pemikiran demi kepentingan generasinya sendiri. Para filosof sistematik ingin menempatkan tujuan mereka pada jalan pengetahuan yang aman. Para filsuf kemajuan ingin tetap membuka ruang bagi semacam keajaiban dimana puisi bisa mendapat tempat –sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan hanya dapat dideskripsikan seadanya [Rorty, 1979: 369-370].

Jelaslah bahwa filsafat kemajuan jauh lebih rendah hati dari filsafat sistematik. Filsafat ini tidak hanya mengutuk gagasan tentang kepemilikan pemikiran tetapi juga menghindari posisi dalam memberikan pandangan-pandangan. Ia adalah “sejenis filsafat non-epistemologis” [Rorty, 1979:381]. Filsafat ini tidakmenempuh jalan yang diambil oleh ilmu pengetahuan dan program-program penelitiannya karena dalam pandangannya tidak ada satu jalan yang tepat untuk menggambarkan kenyataan. Sains diserang oleh Rorty [1979: 384–385], ”segera setelah program menempatkan filsafat pada jalan pengetahuan yang aman berhasil, dia akan mengalihkan filsafat ke dalam sebuah kekhususan akademik yang membosankan. Tujuannya tidak untuk menemukan kebenaran sebagaimana dalam filsafat sistematik dan sains, tetapi hanya untuk melanjutkan percakapan. Sebaliknya, sains menutup berlangsungnya percakapan dengan tindakannya menemukan jawaban. Mengurangi jawaban final atau kebenaran, filsafat kemajuan terus memberikan deskripsi-deskripsi baru dan selalu berjuang melawan kebenaran kebenaran, sebuah kebenaran yang elusif dan tidak pernah dicapai. Seperti ditegaskan Rorty [1979: 373], “filsafat kemajuan lebih bertujuan meneruskan percakapan daripada menemukan kebenaran.” Berlangsungnya percakapan dimaksudkan untuk menghadirkan diskursus yang tidak memaksa untuk kemudian mengambil langkah yang tidak terburu-buru. Jadi tujuan filsafat kemajuan adalah sebentuk diskursus yang bertujuan membangkitkan diskursus-diskursus abnormal, yaitu gagasan-gagasan baru. Tujuan filsafat kemajuan bukan untuk menemukan kenyataan atau kebenaran, tetapi untuk mempertahankan percakapan, karena lewat percakapan berkesinambungan seperti ini perspektif-perspektif dan wawasan baru akan ditemukan. Jadi, filsafat kemajuan berjarak dengan ilmu pengetahuan yang menutup percakapan-percakapan. Filsafat kemajuan lebih dekat dengan puisi, novel dan lebih penting, untuk tujuan kita, teori sosial postmodern. Kemajuan, bagi Rorty merupakan sebuah “proyek menemukan sebuah cara berbicara yang baru, yang lebih baik, lebih menarik dan lebih bermanfaat” [1979:360].

Sigmund Freud

Banyak kaum post-strukturalis dan postmodernis berupaya melampaui pemikiran sang pencipta psikoanalisis, Sigmund Freud. Oleh karena itu ada baiknya diberikan pengantar singkat atas beberapa pemikiran Freud sehingga kita melihat relevansinya –baik dalam pengertian positif atau negatif terhadap perkembangan posts-trukturalisme dan postmodernisme.

Dalam pengertian tertentu, Freud adalah seorang strukturalis yang melacak problem-problem psikologis yang nampak di permukaan dengan membongkar proses-proses bawah sadar. Sebagai contoh adalah Konflik Oedipus, sebuah konflik primodial yang harus diatasi oleh seorang atau yang lain demi menghindari lahirnya problem-problem psikologis di kemudian hari. Berbeda dengan perempuan yang memiliki dinamika yang saling berbeda, Freud percaya bahwa anak lelaki yang berumur 4-5 tahun menginginkan ibunya, dan karena itu ia cemburu dan cenderung agresif terhadap ayahnya yang memiliki ibu tersebut. Namun sang anak takut pada ayahnya, terutama ketakutan akan dikebiri. Penyelesaian atas konflik ini terletak pada kemampuan sang anak dalam menginternalisasi figur sang ayah sehingga bisa mengurangi kecemasannya. Namun kalau konflik itu tidak di selesaikan secara memadai akan melahirkan problem yang mendalam yang melahirkan problem psikologis di masa dewasa.

Sebagai contoh, strukturalisme Freud juga terefleksikan dalam pandangannya mengenai hal-hal seperti silap lidah (slips of the tongue) dan mimpi. Makna dari fenomena-fenomena seperti ini tidak terletak dalam apa yang nampak (manifest) tetapi lebih dalam fakta sesuatu yang ditekan dan direpresi oleh masyarakat. Maka seorang psikoanalis harus mampu melihat apa yang ada di bawah “permukaan” dan realitas-realitas yang ada di dalamnya. Logika seorang psikoanalis adalah bahwa orang yang sedang berbicara mengambil kesenangan dari silap lidah. Hal ini pada gilirannya akan mengacaukan makna verbal dari apa yang dikatakan. Jadi, kata-kata yang terucap dari silap lidah harus ditafsirkan sebagai simptom realitas bawah sadar yang tidak disadari.

Beberapa kaum post-strukturalis dan kaum postmodernis mengambil jarak dari jenis pemikiran semacam ini. Salah satu yang dihindari oleh kaum postmodernis dan kaum post-strukturalis adalah pembedaan Freud atas kebutuhan manusia yang murni (pure human needs) dengan keinginan-keinginan nyata (actual desires). Baudrillard mempertanyakan perbedaan ini dengan menganggapnya sebagai ide yang keliru yang memisahkan kebutuhan murni dari keinginan. Lebih umum, Foucault melihat psikoanalis dan banyak ilmu-ilmu kemanusiaan yang lain sebagai sebuah upaya untuk terlibat dalam proses memperluas pengetahuan masyarakat untuk mengukuhkan kekuasaan mereka atas yang lainnya.

Freud menciptakan sebuah teori yang dalam banyak hal bercorak sangat modern. Dia percaya bahwa ada karakteristik manusia yang esensial. Dia mengacu pada sebuah pandangan deterministik, ilmiah dan positivistik, dan dalam banyak cara dia mengadopsi pandangan totalistik tentang perkembangan masa kanak-kanak, tentang represi sosial atas kebutuhan dan keinginan manusia (needs and desires), serta tentang kebutuhan pasien untuk memecahkan masalah mereka dengan cara membicarakan masalah-masalahnya kepada psikiater dan membiarkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang terpendam dinyatakan, juga keinginan dan pengalaman mereka. Kaum postmodernis sangat menentang totalisasi seperti itu sebagai sesuatu yang represif dan berwatak teror.

Namun demikian teori-teori Freud memainkan peran cukup penting dalam perkembangan post-strukturalisme dan postmodernisme. Diantara gagasan freud yang cukup relevan bagi kaum postmodernis adalah pandangannya bahwa masyarakat modern gagal memenuhi janji-janjinya, gagal dalam menawarkan representasi kenyataan yang tidak distorsif. Sesuatu yang marginal seperti mimpi dan silap lidah adalah fenomena yang amat penting dan bahwa proses untuk sampai pada sebuah interpretasi “yang benar” hanya membawa pada penafsiran-penafsiran lain.

Strukturalisme dan Poststruktualisme

Mengikuti Scott Lash [1991: IX], kita angkat “strukturalisme yang membentang dalam pemikiran sosial Prancis pada tahun 1960-an” sebagai titik awal yang tepat untuk munculnya post-srukturalisme dan postmodernisme. Strukturalisme itu sendiri merupakan reaksi terhadap humanisme –terutama eksistensialisme filosof dan novelis Jean-Paul Sartre serta fenomenologi.

Eksistensialisme Sartre

Dalam karya-karya awalnya, Sartre memfokuskan perhatian pada level individu, terutama kebebasan individual. Dia mengikuti pandangan bahwa masyarakat bukanlah subyek untuk atau ditentukan oleh, hukum-hukum sosial. Dengan kata lain, manusia “tidak dapat membenarkan tindakannya dengan referensi di luar dirinya sendiri” [Craib, 1976 :4).

Dalam Being and Nothingness, Sartre [1943] menekankan kebebasan individual dan menganut pandangan bahwa “eksistensi ditentukan oleh dan melalui tindakan seseorang. Manusia adalah apa yang ia lakukan” [Hayim, 1980:3]. Pada saat yang bersamaan, Sartre menyerang pandangan sosiologis tentang “struktur obyektif sebagai penentu keseluruhan tindakan.” Bagi Sartre, manusia adalah makhluk bebas, mereka bertanggung-jawab terhadap apa yang dilakukan, mereka tidak perlu mencari-cari alasan jika melakukan kesalahan. Dalam beberapa pengertian, “tanggung-jawab kebebasan yang membingungkan” merupakan sumber penderitaan yang hebat bagi manusia [Hayim, 1980:17]. Dalam pengertian lain, ini dapat menjadi sumber optimisme. Manusia memegang nasibnya di tangan mereka sendiri. Dalam karya-karyanya yang belakangan, misalnya Critique of Dialectical Reason, Sartre [1963] mencurahkan perhatiannya pada pembahasan atas struktur sosial, namun terkadang dia masih menekankan “hak prerogatif manusia atas transendensi–jauh melebihi yang diberikan” [Hayim, 1980:16]. Dalam hal ini Sartre memang kritis terhadap kaum marxis yang terlalu menekankan peran dan kekuatan struktur sosial. “Dalam pandangan Sartre, kaum marxis yang dogmatik telah menyingkirkan unsur humanistik dalam pemikiran asli Marx” [Hayim, 1980:72]. Sartre adalah seorang eksistensialis tulen dan karena itu dia selalu memelihara humanisme yang dia rasa telah hilang dalam diri sebagian kaum marxis.

Penentangan terhadap humanisme model Sartre dilakukan kaum post-strukturalis dan postmodernis. Kaum postmodernis dan post-strukturalis berusaha mengembangkan pemikiran sosial yang tidak memusat (decenter), untuk mengalihkan perhatian dari “manusia” ke gejala lain, terutama bahasa.

Fenomenelogi

Bapak fenomologi, Edmud Husserl, tertarik pada studi ilmiah mengenai struktur dasar kesadaran manusia. Dia berupaya menembus dasar-dasar yang dibangun oleh para pelaku (aktor) di dunia nyata untuk mendapat struktur paling dasar kesadaran. Namun ini tidak mudah dilaksanakan karena begitu para pelaku terlibat dalam proses yang aktif dan kompleks untuk menata dunia, mereka sering tidak menyadari bahwa mereka sedang menata dunia. Oleh karenanya mereka tidak pernah mempertanyakan dunia. Bagi Husserl, ini adalah tesis umum dari “titik acuan alamiah”. Bagi para pelaku, dunia sosial diatur secara alamiah dan bukan ditata oleh mereka. Sikap alamiah ini merupakan hambatan terhadap penemuan proses-proses intensional.
 

Ketika sikap-sikap alamiah ini terputus atau terpenjara, kaum fenomenologis dapat memulai untuk menguji “kekayaan” kesadaran [Schutz, 1973:103). Kaum fenomenologis juga mesti mengesampingkan dulu pengalaman-pengalaman kehidupan insidental yang cenderung mendominasi kesadaran. Tujuan utama Husserl adalah untuk melihat seluruh kandungan “ego transendental” dalam keasliannya. Husserl juga tertarik dengan bentuk murni kesadaran yang menyangkut seluruh isi biografis dan kultural.

Pemikiran mengenai “ego transendental” menunjukkan kepentingan Husserl dalam kaitannya dengan “kandungan paling dasar dari kesadaran manusia. Walaupun terkadang salah tafsir atas hal ini, Husserl tidak memiliki konsepsi kesadaran yang mentalistik dan metafisis. Bagi Husserl ini bukan soal sesuatu hal atau tempat, melainkan soal proses. Kesadaran tidak ditemukan di dalam “kepala” pelaku tetapi dalam hubungan antara pelaku dan obyek dalam dunia. Husserl menyebut halsemacam ini sebagai “intensionalitas”. Baginya, kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu, kesadaran akan obyek. Kesadaran ditemukan dalam relasi ini: kesadaran tidak berada di dalam pelaku, kesadaran selalu bersifat relasional. Makna tidak ada dalam kesadaran atau obyek, tetapi dalam hubungan pelaku dengan obyek. Konsepsi kesadaran sebagai proses yang memberikan makna terhadap obyek inilah yang menjadi inti fenomenologi.

Banyak karakteristik fenomologi Husserlian –yakni humanisme, subyek sebagai fokus bahasan, esensialisme dan ego transendental—kelak mendapat serangan gencar dari kaum strukturalis maupun post-strukturalis.

Strukturalisme

Dalam tingkat yang paling umum, strukturalisme dapat didefinisikan sebagai upaya membongkar struktur-struktur publik yang membawahi kegiatan manusia. Dari pandangan ini, sebuah struktur didefinisikan sebagai: “Sebuah unit yang terdiri dari beberapa bagian yang dijumpai dalam relasi yang sama dalam “kegiatan” yang dijalankan. Unit ini tidak dapat dileburkan dalam satu unsur tunggal, karena kesatuan struktur dibatasi tidak begitu banyak oleh hakikat utama unsur-unsur itu sebagaimana dalam relasi mereka [Spivak, 1974:iv].

Disamping sistem dan relasi, strukturalisme juga ditandai oleh penelitiannya mengenai hukum-hukum umum yang membatasi struktur-struktur tersebut. Struktur perhatian strukturalisme bukan dalam struktur dasar yang sama seperti yang telah menjadi keprihatinan tradisional kaum sosiolog. Kaum sosiolog lebih menaruh perhatian terhadap struktur-struktur sosial seperti kelas sosial dan birokrasi, sementara kaum strukturalis lebih menaruh perhatian pada struktur linguistik. Pergeseran dari struktur sosial ke lingustik inilah yang kemudian dikenal dengan istilah ”putaran linguistik” yang secara dramatis membahas hakikat ilmu-ilmu sosial [Lash, 1991:ix]. Banyak pemikir sosial beralih dari struktur sosial ke struktur bahasa, atau lebih umum, beralih ke tanda-tanda yang makin beragam [Gottdiener, 1995].

Stukturalisme muncul dari perkembangan yang berbeda di dalam bidang yang berbeda, namun sumber strukturalisme modern dan basisnya yang paling kuat dewasa ini adalah: “bahasa”. Karya Ferdinand de Saussure (1857-1913) mewakili perkembangan bahasa struktural dan juga dalam bidang lain (Saussure, 1966, Culler, 1976). Hal khusus yang menarik adalah pembedaan Saussure antara “langue” dan”parole”, sebuah distingsi yang amat berarti bagi perkembangan, tidak hanya strukturalisme, tetapi juga poststrukturalisme dan postmodernisme. “Langue” merupakan sistem tata-bahasa formal. Ini merupakan sistem unsur “fonem” yang kaitannya diatur oleh hukum yang khusus menentukan hal itu. Saussure dan pengikutnya percaya itu. Banyak ahli bahasa sejak zaman Saussure telah membaktikan diri untuk menemukan hukum-hukum tersebut. Adanya “Langue” membuat “Parole” mungkin. “Parole” dalam percakapan setiap hari, cara yang oleh para pembicara menggunakan bahasa harian untuk mengekspresikan diri mereka. Biarpun Saussure mengenal makna penggunaan bahasa dalam cara subyektif dan sering “idiosinkretik”, namun dia percaya bahwa pemakaian (bahasa) harian seperti ini tidak dapat menjadi keprihatinan para ahli bahasa. Seorang linguis seperti ini, harus berfokus pada “langue”, sistem bahasa formal, bukan pada cara subyektif seperti yang digunakan para pelaku (“aktor”).

“Langue” dapat dipandang sebagai sebuah sistem tanda. Sebuah tanda dapat dilihat sebagai keseluruhan, sebuah struktur yang terdiri dari “penanda” gambaran bunyi yang didengar ketika sebuah kata diucapkan, dan “yang ditandakan” gambaran bunyi yang dipakai untuk menunjukan: makna kata yang ditangkap oleh pemikiran penerima. Saussure tidak hanya tertarik pada “Signifier” (penanda) dan “Signified” (yang ditandakan) tetapi juga di dalam hubungan mereka satu sama lain. Dari sudut pandang sosiologis, Saussure tidak terlalu tertarik dengan “rujukan” (reference), hal yang direfleksikan, karena ini merupakan bahasa (linguistik) ekstra (Genosko, 1994).

Menurut Saussure, bahasa merupakan “sebuah sistem yang padat dimana semua bagian saling berhubungan” (Marks dan de Courtivron, 1981:3). Terutama yang penting adalah relasi perbedaan, termasuk “pertentangan” (lawan/coposisi) kembar. Misalnnya, makna kata: “panas” tidak dari kekayaan intrinsik dunia “nyata” tetapi dari hubungan kata depannya. Dia mempunyai oposisi kembar yakni: kata “dingin”. Struktur bahasa membentuk makna, pikiran dan terakhir, dunia sosial. Bukan dunia eksistensial orang yang membentuk lingkungan mereka, namun kata memiliki di sini sebuah dunia dimana orang-orang, juga aspek-aspek lain dari dunia sosial, dibentuk oleh struktur bahasa dan kodenyya, atau aturan menggabungkan kata-kata.
 

Bahasa berperan sebagai sebuah bentuk dalam keseluruhan aspek hidup manusia. Perhatian pada struktur, pertama-tama diperkenalkan oleh Saussure dan lebih penting oleh pemikir-pemikir lain, yang mempelajari semua sistem tanda. Perhatian pada struktur sistem tanda telah diberi label: “semiotik” dan menarik banyak pengikut (Eco, 1976; Hawkes, 1977; Gottdiener, 1995). Semiotik lebih luas dari bahasa struktural karena dia menekankan tidak hanya bahasa tetapi juga tanda lain dan sistem simbol, seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, semua bentuk komunikasi, dan tentu semua unsur kebudayaan.

Roland Barthes (1964/1967; 1970/1982) sering dilihat sebagai pendiri semiotik. Peranan terpenting dari Barthes, dari sudut pandang pembahasan ini yakni: memperluas pemikiran Saussure ke seluruh bidang kehidupan sosial. Barthes menegaskan: “Semiologi bertujuan mengambil sistem petanda, apapun substansi dan keterbatasannya, gambaran, isyarat, bunyi musik, obyek dan gabungan dari kesemuanya ini, yang membentuk ritual, konvensi atau hiburan publik/umum, ini merupakan, jika bukan bahasa, sekurang-kurangnya sistem signifikasi (Barthes, 1964/1967 : 9). Atau dalam istilah yang lebih bebas: “tidak hanya bahasa, tetapi bersiul juga menandakan praktis seperti pertunjukan TV, mode, memasak dan semua hal menyangkut kehidupan setiap hari.

Figur utama lain dalam strukturalisme Prancis, tentu Kurzweil (1980 : 13) menyebutnya “Bapak Strukturalisme”, adalah antropolog Prancis Claude Levi Strauss. Strauss mengembangkan karya Saussure mengenai bahasa dalam konteks masalah antropologis – misalnya, mitos dalam masyarakat primitif. Ini membantu membuka pintu untuk aplikasi strukturalisme secara lebih luas ke semua bentuk komunikasi. Terobosan besarnya yakni: merekonseptualisasi sebuah aturan gejala sosial yang lebih luas (misalnya, sistem kekeluargaan sebagai sistem komunikasi dan karena itu membuatnya dapat diterima pada analisa struktural (Burris, 1979, Levin, 1981:25). Pertukaran pasangan, misalnya dapat dianalisis sebagai pertukaran kata. Keduanya merupakan pertukaran sosial yang dapat dipelajari melalui penggunaan antropologi struktural.
 

Kita dapat menggambarkan pemikiran Strauss (1967) dengan contoh kemiripan antara sistem bahhasa dan sistem kekeluargaan. Pertama, antropolog struktural menyukai fonem dalam bahasa, sebagai unit utama untuk analisa. Kedua, baik istilah kekeluargaan maupun fonem, memiliki arti di dalam dirinya sendiri. Tidak seperti “Langue”-nya Saussure, keduanya hanya bermakna kalau digabung dan menyatu dengan bagian yang lebih besar. Strauss bahkan memakai oposisi kembar di dalam antropologinya. Ketiga, Strauss mengenal bahwa ada variasi empiris dari “setting” ke “setting” baik dalam sistem fonemik maupun sistem kekeluargaan. Namun dia pun menegaskan bahwa variasi ini dapat ditelusuri ke tindakan umum yakni adanya aturan/hukum yang mengaturnya.

Strauss keluar dari sebagian petunjuk di atas. Dia menegaskan bahwa: baik sistem fonemik maupun sistem kekeluargaan adalah hasil dari struktur pikiran. Mereka bukan hasil proses kesadaran, melainkan hasil proses ketidaksadaran, hasil struktur pikiran logis. Sistem ini berlaku juga pada hukum umum. Mereka yang berpendapat lain, tidak membiarkan strauss menekankan struktur pemikiran sebagai struktur yang paling mendasar.

Varian strukturalisme lain yang sukses di Prancis adalah: Marxisme Struktural, terutama karya Louis Althusser, Nicos Poulantzas, dan Maurice Godelie. Telah ditegaskan bahwa strukturalisme modern dimulai dengan karya Saussure dalam tata bahasa, namun demikian, ada yang berpendapat bahwa itu dimulai dengan karya: Karl Marx “ketika Marx beranggapan bahwa struktur tidak boleh dicampuradukan dengan relasi-relasi yang’visible’ dan menjelaskan logika tersembunyi, dia tidak memberi harapan pada tradisi strukturalis modern” (Godelier, 1972 b:336). Walaupun Marxisme struktural dan strukturalisme secara umum tertarik dengan “struktur”, namun konsep mereka tentang struktur berbeda.

Banyak kaum Marxis yang hanya mempelajari struktur sebagai awal studi mereka tentang sejarah. Maurice Godelier mengatakan: “studi mengenai fungsi internal sebuah struktur, harus mengawali dan menerangi studi tentang kejadian dan evolusinya” (1972 b : 343). Dengan kata lain, Godelier mengatakan: “Logika sistem ini adalah bahwa sistem ini harus dianalisa sebelum keasliannya dianalisa”. Pandangan lain dari kaum strukturalis dan Marxis struktural yakni: strukturalisme harus berkaitan dengan struktur atau sistem, yang terbentuk akibat relasi sosial. Struktur dilihat sebagai sesuatu yang “real” meskipun hakikat strukturnya dilihat secara berbeda. Bagi Strauss, struktur real adalah bentuk, mungkin pikiran, sedangkan bagi kaum Marxis struktural, stuktural real menjadi dasar struktur masyarakat.

Mungkin lebih penting, baik strukturalisme maupun Marxisme struktural menolak empirisme dan menerima struktur-struktur yang tidak dapat dilihat. Godelier berpendapat: “apa yang ditolak kaum strukturalis dan Marxis adalah definisi empiris mengenai apa yang membentuk struktur sosial”. Godelier juga membuat pernyataan ini: “Bagi Marx, seperti Levi Strauss, sebuah struktur bukanlah kenyataan, yang langsung dilihat dan karena itu, dapat diselidiki, tetapi sebuah tingkat realitas yang berada di luar relasi yang dapat dilihat di antara manusia, dan fungsi yang membawahi logika sistem tersebut, yakni tatanan dimana tatanan-tatanan yang kelihatan dapat dijelaskan” (Godelier, 1972 a : XIX).

Godelier melanjutkan definisi segenap pengetahuan seperti ini: “apa yang dapat dilihat adalah kenyataan yang berkaitan dengan yang lain, kenyataan yang lebih dalam, yang tersembunyi dan penemuan apa yang menjadi tujuan pengetahuan ilmiah”. Disamping kesamaan, Marxisme struktural tidak mengambil bagian dalam bahasa, melainkan dalam pengetahuan sosial. Misalnya, perhatian khusus pada struktur-struktur sosial dan ekonomi. Lebih dari itu, Marxisme struktural tetap berkaitan dengan teori Marx, dan banyak pemikir sosial Prancis menjadi tidak sabar dengan teori Mark karena mereka lebih banyak terlibat dalam eksistensialisme.

Poststrukturalisme

Strukturalisme mempengaruhi pemikiran sosial, terutama di Prancis. Namun, segera muncul reaksi luas menentang strukturalisme yang berlabel: poststrukturalisme. Poststrukturalisme dapat dijelaskan sebagai sekolah pemikiran yang bersandar pada strukturalisme (Kroker dan Levin, 1991), namun mengambil jarak dengan para pemikir seperti Ferdinand Saussure, Roland Barthes, Claude Levi Strauss, Louis Althusser, dan lain-lain. Tentu saja kaum poststrukturalis juga dibentuk dalam pengertian yang positif, tetapi terutama negatif oleh banyak teori yang dibahas diatas terutama eksistensialisme, fenomenologi, dan teori Freudian (juga Marxisme).

Poststrukturalisme adalah sekolah pemikiran yang tegas dan tak berbentuk. Misalnya, dia menekankan karya seorang teorikus sosiologi, Pierre Bordeau (1977, 1984) juga pemikir Michel Foucault yang tidak berada didalam struktur itu. Karya Bourdieu digolongkan dalam: Teori sosiologi Modern (Ritzer,1966 c). Pertannyaannya adalah apa perbedaan antara poststrukturalisme dengan postmodernisme? Secara umum, poststrukturalisme dianggap sebagai sebuah perintis intelektual bagi postmodernisme (Bertens, 1995). Ini merupakan sebuah sumbangan pemikiran bagi Teori Sosial Postmodern. Nyatanya, itu merupakan sumber informasi yang paling penting bagi Teori Sosial Postmodern. Kaum poststrukturalis yang dibahas di buku ini, Foucault memainkan peran penting. Namun,Foicault juga dianggap sebagai seorang postmodernis (Best, 1994). Jadi, ada garis fleksibel, yang memisahkan antara poststrukturalisme dan postmodernisme. Di dalam semangat postmodernisme, kita akan menolak garis, terutama dalam karya yang kaya dan khas dari seorang seperti Foucault.

Satu perbedaan umum (dengan banyak kecualian) adalah bahwa: poststrukturalisme cenderung menjadi lebih abstrak, lebih filosofis, dan kurang politis seperti postmodernisme, semisal karya-karya Jacques Derrida, yang merupakan contoh bagus mengenai pemikiran poststruktural, bahkan terkadang dia pun berpikir sebagai seorang postmodernis. Di dalam renungan teoretisnya Derrida melihat sebuah transisi yang sedang berjalan dari cara berpikir modern kepada sebuah bentuk pemikiran yang melampaui modern (Derrida, 1967/1974 : 87). Namun, di sini kita dapat memakai Derrida untuk menjelaskan apa yang kita maksudkan dengan poststrukturalisme. Sebuah titik awal yang baik yakni: Spivak yang membahas kritisisme Derrida mengenai strukturalisme.

Kaum poststrukturalis biasanya menyatu dengan strukturalisme pada saat bersamaan sehingga mereka coba mengambil jarak darinya. Mengambil contoh khusus, Derrida mendasarkan pikirannya pada karya Saussure sehingga pada saat bersamaan, dia mengkritik Saussure karena mensubordinasikan dan mengeluarkan apa yang oleh Derrida menjadi tulisan utama. Ini yang mengantarkan Derrida ke penciptaan bidang “gramatologi” atau pengetahuan teoretis tentang tulisan. Derrida mengkritik dan bergerak melampaui Saussure, karena dia tahu kenyataan bahwa Saussure yang membuat bidang “gramatologi” menjadi mungkin. Ini merupakan “kekentalan” dalam strukturalisme dan juga kritik simultan dan gerakan yang melampauinya, yakni poststrukturalisme.

Kerangka karya poststruktural penting lainnya termasuk psikoanalis Prancis, Jacques Lacan (1901), juga sumbangan pengikutnyadan muridnya, dan terkadang kritik kemudian muncul, terutama Julia Kristeva, Luce Irigaray, dan Helena Cixous. Lacan tentu saja membangun di atas teori Freud dan menggabungkannya dengan pikiran-pikiran lain, terutama segi bahasa Saussure. Lacan terkenal denga pernyataan seperti: “apa yang tidak sadar disusun seperti bahasa” (dalam Kurzweil 1995 : 98). Ketika psikoanalis beruntung dengan adanya biologi, Lacan berpendapat bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan bagian sentral dari apa yang tidak sadar/disadari, (ketidaksadaran). Lebih umum, setiap individu dilihat sebagai orang yang terformat di dalam bahasa. Bahasa menjadi hal yang utama dalam bidang psikoanalisis.

Menurut Lacan, bahasa selalu berjalan pada 2 bidang. Tugas psikoanalisa adalah mencari penyebab komunikasi detektif. Adalah bahasa yang menjadi penyebab tidak beresnya komunikasi antar-pribadi. Ada aturan struktural bagi gangguan ini sehingga membuat aturan itu dapat dipelajari baik terapi maupun bidang yang terkait dengannya. Ini merupakan sejenis aturan struktural yang mempengaruhi Lacan mematematisir psikoanalisa.

Pemiikiran Lacan berpengaruh dalam sejumlah bidang, terutama Kristeva, Irigaray, dan Cixous mempunyai pengaruh besar di zamannya. Kita akan mudah melihat kaitan pemikiran mereka dengan teori postmodern Feminis Amerika. Mereka pun punya sumbangan terhadap analisis struktural. Misalnya, menciptakan: “Semanalisis” yang tidak hanya berkaitan dengan faktor komunikatif dalam bahasa melainkan juga dengan faktor-faktor material seperti bunyinya, iramanya, dan kemampuan grafik. Dia juga menekankan pentingnya bahasa puitis yang menentang formalisasi. Di dalam mengaitkan bahasa dengan psikoanasisa, Kristeva melihat sebagai paradigmatik, terutama menerima relasi cinta antara analis dan pasien. Menurutnya, Irigaray berpendapat  penyakit jiwa (suka mengasingkan diri) memiliki bahasanya sendiri dan “mengigau” juga mempunyai aturan bahasa sendiri, bahkan kenyataannya sering tidak digubris (dianggap sepele). Poststrukturalisme menyediakan latar belakang dan cara yang tidak dapat dipisahkan dari teori sosial postmodern.

Konteks Sosial

Sampai sejauh ini, kita fokuskan diri pada pikiran-pikiran struktural, poststruktural dan postmodern. Namun, pemikiran ini tidak muncul di dalam kekosongan sosial dan intelektual. Kita akan menyelidiki beberapa faktor kontekstual yang ada dalam perkembangan teoritis yang menjadi keprihatinan kita. Agar pembahasan ini terarah, kita lebih fokus pada Prancis, karena di sanalah pusat alias inti perkembangan teoritis dari keprihatinan alias perhatian kita. Selama dan setelah Perang Dunia II, kehidupan intelektual di Prancis di dominasi oleh teori Marx. Namun banyak kaum intelektual yang menganggap utopis komunisme gaya Rusia tersebut. Mereka lebih tertarik pada eksistensialisme Sartre, terutama janji untuk memenuhi kebutuhan individu di dunia modern. Hanya saja, pikiran Sartre mulai tidak dicintai lagi karena dia terus mendukung komunis. Di dalam penelitian mereka untuk sebuah perspektif teoretis-alternatif, beberapa ahli terpesona dengan strukturalisme, yang mengizinkan mereka tetap menjadi sosialis sambil menyerahkan karyanya yang tidak berlandaskan teori Marx. Strukturalisme juga mendorong mereka yang ingin mengembangkan pengetahuan yang memberi aksentuasi pada manusia sebagai subyek.

Revolusi Mahasiswa radikal tahun 1968 merupakan percikan dalam perkembangan intelektual di Prancis. Gagalnya revolusi itu dan malasnya kelompok-kelompok mahasiswa semakin memberi kesan bahwa Marxisme itu ilusif, dan secara umum, harapan akan adanya solusi revolusi bagi masalah-masalah kemasyarakatan mulai ditinggalkan. Perasaan itu muncul dalam beberapa dekade terakhir karena komunisme di Soviet runtuh dan di tempat-tempat lain. Di Prancis, pemilihan presiden sosialis, Francois Mitterand gagal membawa perubahan yang dijanjikan.

Demokrasi Sosial di seluruh Eropa yang telah menciptakan program kesejahteraan mulai yakin bahwa mereka tidak perlu lagi mendukung program seperti itu. Kegagalan ini meyakinkan mereka bahwa harapan lama akan adanya solusi agung adalah ilusi semata-mata. Perubahan sosial dalam skala besar membuat jelas bahwa sarana-sarana teoretis lama tidak cukup, pikiran-pikiran teoretis dan prospektif baru diperlukan. Peta dunia dengan kolonialisme dibongkar, dan dekolonisasi dimulai. Banyak negara baru dan merdeka mulai menemukan eksistensinya. Dipimpin oleh kaum Feminis, berbagai gerakan sosial muncul, suara-suara baru muali didengar di Prancis dan di seluruh dunia. Kelompok-kelompok ini menyerukan “kekuasaan” yang lebih besar atas hidup mereka, juga di dalam masyarakat yang mereka tinggal.

Ekonomi negara-negara maju, termasuk Prancis, berkembang namun kemiskinan dan penyakit sosial lain tetap ada. Ekonomi terus berubah dengan banyak industri baik lewat penghematan maupun restrukturisasi. Akibatnya, banyak orang menganggur dan lebih banyak lagi yang karirnya putus atau tidak menentu. Ekonomi beralih dari dominasi pekerjaan-pekerjaan produksi Fordist ke pekerjaan model pelayanan (service type) post-Fordist. Penekanannya lebih pada konsumsi dan bukan produksi, “kita akan dan sedang menyaksikan munculnya masyarakat konsumeristis”.

Kunci utama menuju masyarakat konsumeristis, yakni perkembangan mass media terutama televisi. Televisi tidak hanya memberi pelayanan iklan kepada masyarakat konsumeristis, tetapi juga membombardir masyarakat dengan berbagai ‘image’ yang secara dramatis mempengaruhi dan merubah hidup mereka. Televisi membawa ledakan informasi. Teknologi informasi berkembang dan meledak dalam skala besar dengan muunculnya komputer di rumah-rumah. “Image” yang ditawarkan televisi, komputer rumah membawa pengaruh besar kepada manusia, juga kekuasaannya. Kita tidak dapat mendekati semua jangkauan perubahan sosial yang mempengaruhi kita dan meminta keprihatinan kita. Cukuplah untuk mengatakan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi muncul dan berkembangnya pemikiran poststruktural dan terutama pemikiran postmodern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar