Salah satu perbedaan
mendasar antara irfan dengan tasawuf (di dunia Sunni) adalah dalam tasawuf
Sunni, posisi ma'rifat (pengenalan) tentang Allah sebagai realitas yang
disembah diletakkan pada posisi puncak perjalanan (–yang akan kita lihat bahwa
tasawuf Syi’ah lebih unggul dan yang paling mendekati dan paling pas dengan
ajaran dan hikmah sang guru sufi pertama, yaitu Imam Ali bin Abi Thalib as yang
gurunya adalah Muhammad Rasulullah)
Oleh Sabara
Nuruddin al-Raniri (Doktor Filsafat UIN Alauddin Makassar)
Dalam pandangan mazhab Syi’ah
Imamiah Itsna Asyariyah (Mazhab Ahlulbait as), istilah tasawuf diganti dengan
istilah ‘irfan yang berarti pengenalan atau pengetahuan. Dalam literatur Barat,
kata irfan sering diartikan dengan kata gnosis atau pengetahuan yang telah
melampaui knowledge dan science. Irfan dalam Syi’ah adalah kecenderungan
menguak rahasia mengenai pengetahuan-pengetahuan batiniah.[20] Berdasarkan pengertian tersebut, irfan merupakan dimensi
spiritualisme Islam yang tidak memisahkan pengetahuan dengan spiritualitas,
akal dengan hati, serta mensinergiskan antara pencapaian pencerahan mistikal
dengan pemahaman rasional-filosofis mengenai pengalaman-pengalaman
spiritualitas atau batiniah tersebut. Atau dengan kata lain irfan dalam Syi’ah
merupakan nama lain dari tasawuf falsafi.
Menurut Murtadha
Muthahhari, irfan sebagai sebuah disiplin ilmu terbagi ke dalam dua cabang –yaitu irfan ilmi atau irfan teoritis dan
irfan amali atau irfan praktis.[21]
Sebetulnya pembagian kedua jenis irfan di atas hanyalah untuk sekedar
memudahkan saja. Jika seseorang ingin menggeluti dunia irfan sebagai jalan
menuju pendekatan diri kepada Allah, mesti menggabungkan kedua jenis irfan
tadi. Antara irfan ilmi dan irfan amali
keduanya merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan.[22] Aspek praktis Irfan adalah bagian yang menjelaskan hubungan
dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Irfan amali
memiliki kemiripan dengan konsep akhlak dalam Islam –namun, dalam irfan amali
aturan-aturan akhlak yang mesti ditaati sangat ketat. Dengan kata lain, itfan
amali adalah akhlak yang secara khusus bersifat keagamaan (spiritual) dan
membuat serta mengelola hubungan dengan prinsip keberadaan (Modus Existence
atau Prime Causa) dalam urutan teratas.[23]
Dengan demikian tingkatan
akhlak yang ditempuh oleh seorang yang menempuh jalan irfan (salik) jauh
berbeda dengan kategori akhlak bagi kalangan awam. Bagi seorang salik –kategorisasi
akhlak yang mesti dilaksanakan adalah kategori akhlak yang sangat khusus
(akhlak al-khas al-khas).[24]
Praktek dari pengamalan irfan amali disebut dengan sayr wa suluk (perjalanan
ruhani).[25] Bagian ini menjelaskan
bagaimana seorang yang menempuh jalan ruhani (salik) yang ingin mencapai tujuan
puncak kemanusiaan, yakni Tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh
tahapan-tahapan (maqamat) perjalanannya secara berurutan –dan keadaan jiwa yang
dialaminya (hal) sepanjang ia melakukan perjalanan tersebut. Untuk tujuan
perjalanan ini sangatlah penting perjalanan ini dilakukan di bawah bimbingan
seorang pembimbing spiritual yang benar-benar telah mengalami sendiri
perjalanan ini dan sangat mengetahui prosedur yang dilalui pada setiap tahapan.
Tanpa adanya bimbingan dari pembimbing spritual (mursyid) yang berpengalaman,
sang salik bisa saja tersesat dalam perjalanannya.[26]
Perbedaan mendasar antara
safar (suluk) yang dilakukan oleh penempuh jalan tasawuf dan irfan, menurut
Muthahhari, bahwa amaliah tasawuf yang biasa bersifat statis –tasawuf hanya
berusaha untuk menghiasi jiwa kita yang kosong dengan men-tajalli atau
men-tahalli-kan asma-asma Allah. Sementara
irfan lebih menekankan pada upaya mengajak jiwa manusia untuk melakukan safar
yang sangat panjang. Oleh karena itu, guru irfan biasa juga disebut dengan
al-thayr al-qudsi (burung suci) yang mengajak jiwa manusia (salik) untuk
mengembara melintasi alam-alam ruhani.[27]
Irfan ilmi memfokuskan
perhatiannya pada masalah-masalah wujud (ontologi), mendiskusikan Tuhan,
manusia, serta alam semesta –dengan demikian irfan ilmi mirip dengan pandangan
teosofi. Berbeda dengan filsafat yang hanya mendasarkan pemikirannya pada
prinsip-prinsip argumenatsi rasional (dalil burhani), irfan mendasarkan diri
pada ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa rasional
untuk menjelaskannya. Atau lebih jelasnya, kaum arif (ahli irfan) ingin
menjelaskan apa yang telah mereka lihat dengan mata kalbu dan segenap
eksistensi mereka dengan menggunakan bahasa rasional.[28]
Untuk mampu menjelaskan
pengalaman intuitif tersebut ke dalam bahasa rasional –tentu saja sangat
dibutuhkan pahaman tentang logika dan filsafat sebagai acuan untuk menjelaskan
pengalaman intuitif tersebut. Hal ini meniscayakan seorang arif terlebih dahulu
mesti menguasai logika dan filsafat –sebelum menuangkan pengalaman spiritualnya
ke dalam kerangka teoritis yang rasional. Dengan ketersibakan kalbu terhadap
realitas ruhani yang didapatkan selama melakukan pengembaraan spritual, maka
pengetahuan esoteris dan wawasan emanatif tersingkapkan bagi kalbu pengikut
jalan spiritual –sebagai buah dari perbaikan, pendidikan, dan penempaan diri.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as: "Hakekat pengetahuan menghunjam dalam
lubuk kesadaran nurani mereka, sehingga tindakan mereka didasarkan pada ruh
keyakinan…"[29]
Dengan perbedaan mendasar
pada epistemologi antara filsafat yang menggunakan burhani dengan irfan yang
mengandalkan pencerahan intuitif, maka konsep-konsep teoritik dari keduanya pun
berbeda. Dalam beberapa hal pandangan irfan sangat berbeda dengan pandangan
filsafat. Dalam filsafat, baik Tuhan maupun segala sesuatu selainNya sama-sama
memiliki wujud. Namun hanya saja, sementara Tuhan merupakan Wujud Niscaya
(Wajib al-Wujud) dan meng-ada dengan sendirinya dan wujud segala sesuatu
selainNya bersifat mungkin dan me-wujud semata-mata karena bantuan selain
diriNya (Tuhan). Sementara itu dalam irfan tidak ada segala sesuatu selain
Allah, sekalipun mereka merupakan akibat dari pengaruh-pengaruhnya. Wujud Tuhan
melingkupi dan meliputi segala sesuatu. Atau dengan kata lain, segala sesuatu
tak lebih dari sekedar nama, sifat dan wujudnya, bukan “ada di sisiNya”.[30]
Tujuan seorang filosof
juga berbeda dengan tujuan seorang arif. Sang filosof ingin memahami alam
semesta. Dengan kata lain, ia ingin memiliki gambaran yang utuh tentang alam
semesta yang ada di benaknya. Di mata seorang filosof, capaian tertinggi
manusia terletak pada kemampuan rasionya untuk menangkap gambaran utuh tentang
wujud sedemikian rupa –sehingga alam semesta (makro kosmos) menemukan cermin dirinya
di dalam pikirannya. Sehingga ia akhirnya menjadi "cermin alam"
(mikrokosmos). Bagi seorang arif kesempurnaan manusia tidaklah terletak pada
gambaran mental yang utuh tentang alam semesta. Kesempurnaan manusia terletak
pada kemampuannya untuk "kembali" melakukan perjalanan ruhani menuju
sumber segala sesuatu, kemampuannnya untuk mengatasi "jarak" antara
dirinya dengan Tuhan, dan sampai dalam "dekapanNya" untuk meleburkan
diri hingga ia menjadi “abadi (baqa’) dalam ketakterhingganNya”.[31]
Sekalipun antara filsafat
dan irfan memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Namun, dalam Syi’ah –antara
irfan dan filsafat memiliki hubungan yang sangat erat.[32] Keduanya bagai dua sisi mata uang yang saling melengkapi –irfan
adalah kelanjutan perjalanan epistemologis, ontologis, dan aksiologis manusia
setelah akalnya memahami konsepsi-konsepsi teoritik tentang wujud Tuhan, alam,
dan manusia. Irfan memperjelas dan menyempurnakan pengetahuan esoterik manusia
dengan menggunakan kalbu (intuisi) sebagai alat epistemologi dengan melakukan
riyadhah dan tazkiyah sebagai metodologinya.
Salah satu perbedaan
mendasar antara irfan dengan tasawuf (di dunia Sunni) adalah dalam tasawuf
Sunni, posisi ma'rifat (pengenalan) tentang Allah sebagai realitas yang
disembah diletakkan pada posisi puncak perjalanan (–yang akan kita lihat bahwa
tasawuf Syi’ah lebih unggul dan yang paling mendekati dan pas dengan ajaran dan
hikmah sang guru sufi pertama, yaitu Imam Ali bin Abi Thalib as yang gurunya
adalah Muhammad Rasulullah). Sedangkan
dalam irfan, justru ma'rifat diposisikan sebagai permulaan dari perjalanan
keberagamaan seseorang. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Imam Ali bin
Abi Thalib dalam sebuah khutbahnya: "Adapun
pokok pangkal agama adalah ma'rifah (mengenal) tentang Dia".[33] Ma'rifat yang dimaksud disini
adalah pengenalan secara rasional dari seorang hamba tentang Tuhannya. Dengan
kata lain, sekalipun irfan pada praksisnya lebih bercorak intuitif ketimbang
rasional –namun, untuk menempuh jalan irfan basis ma'rifat burhani (filosofis)
tentang Tuhan harus dituntaskan.
Setelah menyelesaikan
ma'rifatullah sebagai pangkal agama –sebagaimana ditegaskan Imam Ali bin Abi
Thalib as, maka langkah selanjutnya adalah dengan melaksanakan ibadah dengan
penuh kesungguhnan sebagai implikasi logis ma'rifatullah. Ibadah adalah
penghambaan secara totalitas kepada Tuhan Yang Maha Esa dan penolakan terhadap
segala sesuatu yang lain sebagai objek sesembahan atau pemujaan.[34] Prinsip dasar dari ibadah
kepadaNya adalah tulus dan Ikhlas dalam menyembahNya.[35] Dalam pandangan irfan melihat ibadah seorang manusia dalam
tiga tingkatan, yaitu syari'at, tariqat, dan haqeqat. Meskipun ketiga pandangan
tersebut memiliki kesamaaan dengan yang ada pada tasawuf Sunni –namun, irfan memiliki
pandangan yang berbeda mengenai ketiga konsep tersebut. Menurut Murtadha
Muthahhari, syari'at adalah sebagai batang tubuh hukum Islam megandung tujuan
yang baik dan kebenaran. Kaum arif meyakini bahwa semua jalan akhirnya akan
berujung kepada Allah sebagai tujuan terakhir dan paripurna dari perjalanan
manusia. Semua kebenaran dan tujuan-tujuan yang baik hanyalah sarana, penyebab,
atau perantara yang mengantarkan manusia sampai kepadaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar