Selasa, 16 September 2014

Tasawuf Menurut Murtadha Muthahhari –Bagian Kedua



Salah satu perbedaan mendasar antara irfan dengan tasawuf (di dunia Sunni) adalah dalam tasawuf Sunni, posisi ma'rifat (pengenalan) tentang Allah sebagai realitas yang disembah diletakkan pada posisi puncak perjalanan (–yang akan kita lihat bahwa tasawuf Syi’ah lebih unggul dan yang paling mendekati dan paling pas dengan ajaran dan hikmah sang guru sufi pertama, yaitu Imam Ali bin Abi Thalib as yang gurunya adalah Muhammad Rasulullah)

Oleh Sabara Nuruddin al-Raniri (Doktor Filsafat UIN Alauddin Makassar)

Dalam pandangan mazhab Syi’ah Imamiah Itsna Asyariyah (Mazhab Ahlulbait as), istilah tasawuf diganti dengan istilah ‘irfan yang berarti pengenalan atau pengetahuan. Dalam literatur Barat, kata irfan sering diartikan dengan kata gnosis atau pengetahuan yang telah melampaui knowledge dan science. Irfan dalam Syi’ah adalah kecenderungan menguak rahasia mengenai pengetahuan-pengetahuan batiniah.[20] Berdasarkan pengertian tersebut, irfan merupakan dimensi spiritualisme Islam yang tidak memisahkan pengetahuan dengan spiritualitas, akal dengan hati, serta mensinergiskan antara pencapaian pencerahan mistikal dengan pemahaman rasional-filosofis mengenai pengalaman-pengalaman spiritualitas atau batiniah tersebut. Atau dengan kata lain irfan dalam Syi’ah merupakan nama lain dari tasawuf falsafi.

Menurut Murtadha Muthahhari, irfan sebagai sebuah disiplin ilmu terbagi ke dalam dua cabang –yaitu irfan ilmi atau irfan teoritis dan irfan amali atau irfan praktis.[21] Sebetulnya pembagian kedua jenis irfan di atas hanyalah untuk sekedar memudahkan saja. Jika seseorang ingin menggeluti dunia irfan sebagai jalan menuju pendekatan diri kepada Allah, mesti menggabungkan kedua jenis irfan tadi. Antara irfan ilmi dan irfan amali keduanya merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan.[22] Aspek praktis Irfan adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Irfan amali memiliki kemiripan dengan konsep akhlak dalam Islam –namun, dalam irfan amali aturan-aturan akhlak yang mesti ditaati sangat ketat. Dengan kata lain, itfan amali adalah akhlak yang secara khusus bersifat keagamaan (spiritual) dan membuat serta mengelola hubungan dengan prinsip keberadaan (Modus Existence atau Prime Causa) dalam urutan teratas.[23]

Dengan demikian tingkatan akhlak yang ditempuh oleh seorang yang menempuh jalan irfan (salik) jauh berbeda dengan kategori akhlak bagi kalangan awam. Bagi seorang salik –kategorisasi akhlak yang mesti dilaksanakan adalah kategori akhlak yang sangat khusus (akhlak al-khas al-khas).[24] Praktek dari pengamalan irfan amali disebut dengan sayr wa suluk (perjalanan ruhani).[25] Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang yang menempuh jalan ruhani (salik) yang ingin mencapai tujuan puncak kemanusiaan, yakni Tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan (maqamat) perjalanannya secara berurutan –dan keadaan jiwa yang dialaminya (hal) sepanjang ia melakukan perjalanan tersebut. Untuk tujuan perjalanan ini sangatlah penting perjalanan ini dilakukan di bawah bimbingan seorang pembimbing spiritual yang benar-benar telah mengalami sendiri perjalanan ini dan sangat mengetahui prosedur yang dilalui pada setiap tahapan. Tanpa adanya bimbingan dari pembimbing spritual (mursyid) yang berpengalaman, sang salik bisa saja tersesat dalam perjalanannya.[26]

Perbedaan mendasar antara safar (suluk) yang dilakukan oleh penempuh jalan tasawuf dan irfan, menurut Muthahhari, bahwa amaliah tasawuf yang biasa bersifat statis –tasawuf hanya berusaha untuk menghiasi jiwa kita yang kosong dengan men-tajalli atau men-tahalli-kan asma-asma Allah. Sementara irfan lebih menekankan pada upaya mengajak jiwa manusia untuk melakukan safar yang sangat panjang. Oleh karena itu, guru irfan biasa juga disebut dengan al-thayr al-qudsi (burung suci) yang mengajak jiwa manusia (salik) untuk mengembara melintasi alam-alam ruhani.[27]

Irfan ilmi memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah wujud (ontologi), mendiskusikan Tuhan, manusia, serta alam semesta –dengan demikian irfan ilmi mirip dengan pandangan teosofi. Berbeda dengan filsafat yang hanya mendasarkan pemikirannya pada prinsip-prinsip argumenatsi rasional (dalil burhani), irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya. Atau lebih jelasnya, kaum arif (ahli irfan) ingin menjelaskan apa yang telah mereka lihat dengan mata kalbu dan segenap eksistensi mereka dengan menggunakan bahasa rasional.[28]

Untuk mampu menjelaskan pengalaman intuitif tersebut ke dalam bahasa rasional –tentu saja sangat dibutuhkan pahaman tentang logika dan filsafat sebagai acuan untuk menjelaskan pengalaman intuitif tersebut. Hal ini meniscayakan seorang arif terlebih dahulu mesti menguasai logika dan filsafat –sebelum menuangkan pengalaman spiritualnya ke dalam kerangka teoritis yang rasional. Dengan ketersibakan kalbu terhadap realitas ruhani yang didapatkan selama melakukan pengembaraan spritual, maka pengetahuan esoteris dan wawasan emanatif tersingkapkan bagi kalbu pengikut jalan spiritual –sebagai buah dari perbaikan, pendidikan, dan penempaan diri. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as: "Hakekat pengetahuan menghunjam dalam lubuk kesadaran nurani mereka, sehingga tindakan mereka didasarkan pada ruh keyakinan…"[29]

Dengan perbedaan mendasar pada epistemologi antara filsafat yang menggunakan burhani dengan irfan yang mengandalkan pencerahan intuitif, maka konsep-konsep teoritik dari keduanya pun berbeda. Dalam beberapa hal pandangan irfan sangat berbeda dengan pandangan filsafat. Dalam filsafat, baik Tuhan maupun segala sesuatu selainNya sama-sama memiliki wujud. Namun hanya saja, sementara Tuhan merupakan Wujud Niscaya (Wajib al-Wujud) dan meng-ada dengan sendirinya dan wujud segala sesuatu selainNya bersifat mungkin dan me-wujud semata-mata karena bantuan selain diriNya (Tuhan). Sementara itu dalam irfan tidak ada segala sesuatu selain Allah, sekalipun mereka merupakan akibat dari pengaruh-pengaruhnya. Wujud Tuhan melingkupi dan meliputi segala sesuatu. Atau dengan kata lain, segala sesuatu tak lebih dari sekedar nama, sifat dan wujudnya, bukan “ada di sisiNya”.[30]

Tujuan seorang filosof juga berbeda dengan tujuan seorang arif. Sang filosof ingin memahami alam semesta. Dengan kata lain, ia ingin memiliki gambaran yang utuh tentang alam semesta yang ada di benaknya. Di mata seorang filosof, capaian tertinggi manusia terletak pada kemampuan rasionya untuk menangkap gambaran utuh tentang wujud sedemikian rupa –sehingga alam semesta (makro kosmos) menemukan cermin dirinya di dalam pikirannya. Sehingga ia akhirnya menjadi "cermin alam" (mikrokosmos). Bagi seorang arif kesempurnaan manusia tidaklah terletak pada gambaran mental yang utuh tentang alam semesta. Kesempurnaan manusia terletak pada kemampuannya untuk "kembali" melakukan perjalanan ruhani menuju sumber segala sesuatu, kemampuannnya untuk mengatasi "jarak" antara dirinya dengan Tuhan, dan sampai dalam "dekapanNya" untuk meleburkan diri hingga ia menjadi “abadi (baqa’) dalam ketakterhingganNya”.[31]

Sekalipun antara filsafat dan irfan memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Namun, dalam Syi’ah –antara irfan dan filsafat memiliki hubungan yang sangat erat.[32] Keduanya bagai dua sisi mata uang yang saling melengkapi –irfan adalah kelanjutan perjalanan epistemologis, ontologis, dan aksiologis manusia setelah akalnya memahami konsepsi-konsepsi teoritik tentang wujud Tuhan, alam, dan manusia. Irfan memperjelas dan menyempurnakan pengetahuan esoterik manusia dengan menggunakan kalbu (intuisi) sebagai alat epistemologi dengan melakukan riyadhah dan tazkiyah sebagai metodologinya.

Salah satu perbedaan mendasar antara irfan dengan tasawuf (di dunia Sunni) adalah dalam tasawuf Sunni, posisi ma'rifat (pengenalan) tentang Allah sebagai realitas yang disembah diletakkan pada posisi puncak perjalanan (–yang akan kita lihat bahwa tasawuf Syi’ah lebih unggul dan yang paling mendekati dan pas dengan ajaran dan hikmah sang guru sufi pertama, yaitu Imam Ali bin Abi Thalib as yang gurunya adalah Muhammad Rasulullah). Sedangkan dalam irfan, justru ma'rifat diposisikan sebagai permulaan dari perjalanan keberagamaan seseorang. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib dalam sebuah khutbahnya: "Adapun pokok pangkal agama adalah ma'rifah (mengenal) tentang Dia".[33] Ma'rifat yang dimaksud disini adalah pengenalan secara rasional dari seorang hamba tentang Tuhannya. Dengan kata lain, sekalipun irfan pada praksisnya lebih bercorak intuitif ketimbang rasional –namun, untuk menempuh jalan irfan basis ma'rifat burhani (filosofis) tentang Tuhan harus dituntaskan.

Setelah menyelesaikan ma'rifatullah sebagai pangkal agama –sebagaimana ditegaskan Imam Ali bin Abi Thalib as, maka langkah selanjutnya adalah dengan melaksanakan ibadah dengan penuh kesungguhnan sebagai implikasi logis ma'rifatullah. Ibadah adalah penghambaan secara totalitas kepada Tuhan Yang Maha Esa dan penolakan terhadap segala sesuatu yang lain sebagai objek sesembahan atau pemujaan.[34] Prinsip dasar dari ibadah kepadaNya adalah tulus dan Ikhlas dalam menyembahNya.[35] Dalam pandangan irfan melihat ibadah seorang manusia dalam tiga tingkatan, yaitu syari'at, tariqat, dan haqeqat. Meskipun ketiga pandangan tersebut memiliki kesamaaan dengan yang ada pada tasawuf Sunni –namun, irfan memiliki pandangan yang berbeda mengenai ketiga konsep tersebut. Menurut Murtadha Muthahhari, syari'at adalah sebagai batang tubuh hukum Islam megandung tujuan yang baik dan kebenaran. Kaum arif meyakini bahwa semua jalan akhirnya akan berujung kepada Allah sebagai tujuan terakhir dan paripurna dari perjalanan manusia. Semua kebenaran dan tujuan-tujuan yang baik hanyalah sarana, penyebab, atau perantara yang mengantarkan manusia sampai kepadaNya.

Para ulama fiqih pada umumnya berpandangan bahwa syari'at mengandung tujuan yang baik, dan tujuan-tujuan yang baik inilah yang menjadi spirit (atau menjadi sebab) adanya syari'at. Mereka juga berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik itu adalah dengan bertindak sesuai dengan syari'at itu sendiri. Tetapi, kaum arif memiliki pandangan lebih dari itu, mereka mengatakan bahwa berbagai tujuan baik itu merupakan tahapan-tahapan perjalanan menuju Allah dan proses-proses meraih kebenaran.[36] Syari'at adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh kaum mukminin –yang dengan itu kita mencapai kebanaran sesuai dengan kualitas ketaatan dan ibadah kita.[37]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar