Selasa, 16 September 2014

Tasawuf Menurut Murtadha Muthahhari –Bagian Ketiga



“Menurut Muthahhari, jiwa manusia bagaikan organisme yang dinamis. Manusia dalam melakukan perjalanan menuju Allah mestilah melewati safar demi safar (perjalanan demi perjalanan) ruhaniah. Manusia harus melewati perjalanan atau safar yang cukup jauh –yang di dalamnya ia harus singgah dari satu terminal ke terminal lainnya”

Oleh Sabara Nuruddin al-Raniri (Doktor Filsafat UIN Alauddin Makassar)

Kaum arif meyakini, bahwa syariat memiliki sisi batiniah yang disebut dengan tariqat –yakni suatu jalan menuju kebenaran sejati (haqiqah) atau pencapaian keesaan Allah yang sesungguhnya (Tauhid).[38] Dalam bahasa Fritjof Schoun (Muhammad Isa Nur al-Din), tareqat sebagaimana yang disinggung dalam sebuah hadis adalah ihsan, yaitu tindakan kebajikan yang memberikan kepercayaan dan melaksanakan nilai-nilai yang menyempurnakan. Dengan kata lain, ihsan adalah mengintensifkan dan memperdalam iman dan amal. Ihsan atau tareqat secara ringkas adalah ketulusan dari kehendak dan intelegensia –ia adalah keterikatan total kita kepada hukum Allah.[39]

Menempuh jalan tareqat tidaklah terpisahkan dari ketaatan pada syari'at. Dalam pandangan kaum arif, tidak ada jalan lain dalam menempuh jalan tareqat –kecuali dengan melalui penyelenggaraan ibadah-ibadah syar'i secara intensif. Atau dengan kata lain, tingkat kearifan seseorang dalam irfan sangat ditentukan oleh tingkat intensitas ibadah yang dilakukannya.[40] Jika kaum awam menganggap ibadah kepada Allah semata-mata hanya aturan khusus yang diwajibkan –sedangkan kaum arif menganggap ibadah kepadaNya sebagai pelekat (tali kasih) yang menghubungkan antara pecinta (isyq) dan yang dicintai (ma'syuq).[41] Ibadah yang dipahami sebagai refleksi cinta seperti inilah yang akan mengantarkan seorang arif pada bangkitnya kesadaran spiritualnya [42] untuk melakukan perjalanan demi perjumpaan dengan Sang Kekasih.

Penempuhan jalan tareqat selain dilakukan dengan mengintensifkan ibadah kepadaNya, juga mesti dilakukan dengan mengikhlaskan hati secara paripurna –yang hanya bisa dilakukan dengan "melenyapkan" ego sang arif. [43] Seorang arif menggambarkan intisari penempuhan jalan tareqat adalah dengan untaian kalimat berikut: "Tahap pertama dari zikir adalah melupakan diri dan pada tahap terakhir adalah hilangnya sang hamba ke dalam gerak ibadah kepadaNya".[44] Dengan lenyapnya ego sang arif dalam gerak ibadahnya, maka itulah tujuan akhir dari proses menempuh jalan suluk –yaitu ketika tercapainya kebersatuan atau kemanunggalan degan Allah (“manunggaling kawula lan gusti”). Kebersatuan dengan Sang khalik tersebut adalah haqeqat dari ibadah dalam pandangan kaum arif. Kaum arif mempercayai –syari'at, tareqat, dan haqeqat adalah tiga hal yang saling berangkai dan terkait. Syari'at adalah sarana untuk mencapai tareqat –dan tareqat adalah sarana untuk mencapai haqeqat. Syari'at adalah kulit dari tareqat, dan tareqat adalah kulit dari haqeqat.[45]

Ketiga cabang tersebut dianalogikan dengan manusia yang terdiri dari tiga bagian –yaitu tubuh, jiwa, dan ruh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan bahkan membentuk satu kesatuan utuh antara aspek-aspek lahir dan batin. Syari'at adalah kulit luar, tareqat adalah biji dalam, sedangkan haqeqat adalah bijinya biji. Namun demikian, kaum arif juga percaya bahwa eksistensi manusia bisa memiliki lebih dari tiga tahapan. Yakni mereka percaya bahwa adanya satu tahap yang diluar jangkauan intelek (akal) manusia.[46]

Dalam menempuh perjalanan suluk, seorang salik (arif) pasti akan mengalami maqam dan hal.[47] Maqam dan hal dipahami secara berbeda-beda oleh para sufi. Meskipun demikian, para sufi (arif) sepakat bahwa maqamat (jamak dari maqam) adalah kedudukan seorang pejalan sprititual (salik) di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras ibadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), melakukan latihan-latihan keruhanian (riyadhah), sehingga ia mencapai keluhuran budi pekerti (adab) yang memampukannya untuk memiliki persyaratan-persyaratan dan melakukan upaya-upaya untuk melakukan berbagai kewajiban (dengan sebaik-baiknya) untuk mencapai kesempurnaan. Sedangkan hal (jamak ahwal) adalah suasana atau keadaan yang menyelimuti kalbu yang diciptakan oleh Allah dalam hati manusia –tanpa sang sufi mampu menolak jika ia datang, dan tanpa mampu ia mempertahankan apabila pergi.[48]

Konsep maqamat dan ahwal diperkenalkan sebagai bagian dari pemahaman tasawuf sebagai suatu perjalanan spiritual (suluk). Maqamat adalah terminal-terminal (station-station) yang mesti dilewati seorang salik sebelum ia mencapai ujung perjalanan spiritual. Sedangkan hal adalah keadaan spiritual sesaat yang dialami oleh para pejalan spiritual di tengah-tengah perjalanan ini.[49]

Menurut Murtadha Muthahhari, maqamat adalah apa yang dicapai oleh seorang arif melalui upayanya –sedangkan hal adalah apa yang menghinggapi kalbu seorang arif tanpa diinginkannya. Hal bersifat sementara sedangkan maqam bersifat permanen. Konon, hal dalam pandangan kaum arif seperti kilatan cahaya yang cepat berlalu. Kaum arif menyebut kilatan-kilatan cahaya itu dengan istilah lawaih, lawamih, dan tawalih. Istilah-istilah tersebut dipakai untuk menandakan perbedaan tingkat intensitas dalam lamanya berbagai kilatan cahaya yang dirasakan.[50]

Jika ditelaah lebih mendalam keberadaan maqamat dan ahwal dalam tradisi tasawuf, tidak lain adalah dalam rangka lebih mempertegas komitmen seorang muslim dalam syahadah (persaksian) Tauhid. Dengan persaksiannya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaha illallah). Atau dengan kata lain, maqamat merupakan penjabaran dari syahadah Tauhid. Sedangkan hal tidak lebih merupakan bagian dari manifestasi tercapainya maqam sesuai dengan hasil usaha spiritual yang sungguh-sungguh dengan amalan-amalan yang baik dan dengan penuh kepasrahan kepada Allah [51]. Dengan kata lain antara maqam dan hal adalah dua hal yang tak terpisahkan dalam rangkaian perjalanan suluk.

Tercapainya satu jenjang maqam yang diperoleh oleh seorang salik meniscayakan hal sebagai konsekuensi yang ia dapatkan dari rangkaian perjalanan spiritualnya. Perbedaan mendasar antara konsep maqam dan hal antara tasawuf dualistik (tasawuf Sunni) dan tasawuf monistik (tasawuf falsafi atau irfan –tasawuf Syi’ah) terletak pada struktur maqam yang dilalui dan hal yang didapatkannya berdasarkan jenjang maqam tersebut. Dalam tasawuf Sunni, jenjang maqam yang dilalui bersifat statis –karena jiwa tidak melakukan pengembaraan spiritual menembus lintasan-lintasan alam. Maqamat yang dipahami dalam tasawuf Sunni hanyalah keadaan jiwa yang telah dihiasi dengan ter-tajalli dan ter-tahalli-kannya asma-asma Allah. Dengan kata lain, maqamat sebenarnya hanyalah upaya penyempurnaan kualitas jiwa dalam beribadah kepada Allah. Jenjang-jenjang maqamat dalam taswuf Sunni misalnya taubah, wara, zuhud, faqir, Shabr, dan ridha.[52]

Jenjang maqamat dalam irfan didasarkan pada pandangan filsofis tentang jiwa manusia yang merupakan mikro dan sekaligus makrokosmos –dengan demikian jiwa manusia dapat melakukan gerak secara dinamis menembus tingkatan alam-alam makro. Menurut Muthahhari, jiwa manusia bagaikan organisme yang dinamis. Manusia dalam melakukan perjalanan menuju Allah mestilah melewati safar demi safar (perjalanan demi perjalanan) ruhaniah. Manusia harus melewati perjalanan atau safar yang cukup jauh –yang di dalamnya ia harus singgah dari satu terminal ke terminal lainnya. Oleh karena itu, dalam pandangan irfan seorang salik akan melalui maqam-maqam berupa tingkatan-tingkatn alam –dari satu alam yang lebih rendah ke alam yang lebih tinggi. [53]

Jiwa manusia yang merupakan organisme yang dinamis –yang oleh karena itu, menurut Muthahhari, kalau manusia ingin mencapai satu tujuan yang sangat tinggi, maka ia harus mengikuti dan melewati sistematika yang sudah ditentukan dalam alam ruhaniah tersebut.[54] Hal ini dilakukan dengan melakukan ibadah, mujahadah, dan riyadhah yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran dengan melalukan persepsi intuitif terhadap dua kalimat syahadat yang dengannnya seseorang menyatakan diri sebagai seorang muslim.[55] Dengan bangkitnya kesadaran dan persepsi intuitif tersebut maka seorang arif akan mampu melakukan perjalanan menuju jenjang maqam dalam tingkatan alam semesta.

Dalam pandangan Muthahhari, ada enam jenjang maqam yang mesti dilalui oleh seorang salik untuk mencapai al-Haqq. Keenam jenjang maqam tersebut secara umum dibagi ke dalam dua klasifikasi utama safar. Yang pertama adalah maqam nafs, yaitu upaya langkah awal yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk membebaskan jiwanya dari kecenderungan-kecenderungan material. Setelah itu perjalanan selanjutnya adalah mencapai maqam qalb –yaitu, alam ruhani pertama yang mesti dilalui manusia, di satu sisi alam qalb merupakan maqam, namun di sisi lain alam qalb merupakan hijab bagi seorang salik. Jika alam nafs memberikan hijab berupa kenikmatan materi, sedangkan alam qalb memberikan cahaya yang bisa menjadi anugerah tapi sekaligus bisa menjadi hijab jika seorang salik terpukau padanya.

Selanjutnya adalah mencapai maqam alam ruh. Setelah seorang salik mampu mengalahkan keterpukauan terhadap cahaya-cahaya qalb (hal yang didapat dalam maqam qalb), maka jiwa manusia akan melintas maqam menuju maqam ruh. Di maqam ruh inilah akhir dari safar pertama manusia –yang dalam bahasa Mulla Sadra, perjalanan dari makhluk menuju Tuhan.[56] Setelah melewati tiga maqam dalam safar pertama, seorang salik akan memasuki safar kedua di alam lahut. Safar dalam alam ini terbagi atas tiga jenjang maqam. Yang pertama, maqam sirr, yaitu merupakan maqam fana fi al al-Dzat. Pada maqam ini para arif sering mengalami ekstase atau syatahat (kemabukan) bersama dengan Sang Kekasih. Yang kedua adalah maqam khafy yaitu maqam fana' dalam Sifat Allah. Dan yang ketiga adalah maqam akhfa –yaitu maqam fana' pada Zat dan Sifat Allah sekaligus.[57]

Safar kedua ini seperti safar kedua dalam al-asfar al-arba'ah Mulla Sadra –yaitu perjalanan di dalam Tuhan bersama Tuhan. Keterlenaan pada hal yang didapatkan pada setiap jenjang maqam tersebut akan mengakibatkan stagnasi spiritual yang dialami oleh sang arif hingga ia tak mampu melanjutkan perjalanan hingga ke jenjang maqam berikutnya. Kebanyakan para sufi atau kaum arif mengalami keterlenaan pada kilatan-kilatan pesona cahaya qalb dan ruh –serta mengalami syatahat (ekstase) pada maqam fana fi al-Dzat (maqam sirr) sebagaimana yang dialami oleh Mansur al-Hallaj.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar