“Menurut Muthahhari, jiwa manusia bagaikan organisme
yang dinamis. Manusia dalam melakukan perjalanan menuju Allah mestilah melewati
safar demi safar (perjalanan demi perjalanan) ruhaniah. Manusia harus melewati
perjalanan atau safar yang cukup jauh –yang di dalamnya ia harus singgah dari
satu terminal ke terminal lainnya”
Oleh Sabara
Nuruddin al-Raniri (Doktor Filsafat UIN Alauddin Makassar)
Kaum arif meyakini, bahwa
syariat memiliki sisi batiniah yang disebut dengan tariqat –yakni suatu jalan
menuju kebenaran sejati (haqiqah) atau pencapaian keesaan Allah yang
sesungguhnya (Tauhid).[38] Dalam
bahasa Fritjof Schoun (Muhammad Isa Nur al-Din), tareqat sebagaimana yang
disinggung dalam sebuah hadis adalah ihsan, yaitu tindakan kebajikan yang
memberikan kepercayaan dan melaksanakan nilai-nilai yang menyempurnakan. Dengan
kata lain, ihsan adalah mengintensifkan dan memperdalam iman dan amal. Ihsan
atau tareqat secara ringkas adalah ketulusan dari kehendak dan intelegensia –ia
adalah keterikatan total kita kepada hukum Allah.[39]
Menempuh jalan tareqat
tidaklah terpisahkan dari ketaatan pada syari'at. Dalam pandangan kaum arif,
tidak ada jalan lain dalam menempuh jalan tareqat –kecuali dengan melalui
penyelenggaraan ibadah-ibadah syar'i secara intensif. Atau dengan kata lain,
tingkat kearifan seseorang dalam irfan sangat ditentukan oleh tingkat
intensitas ibadah yang dilakukannya.[40]
Jika kaum awam menganggap ibadah kepada Allah semata-mata hanya aturan khusus
yang diwajibkan –sedangkan kaum arif menganggap ibadah kepadaNya sebagai pelekat
(tali kasih) yang menghubungkan antara pecinta (isyq) dan yang dicintai
(ma'syuq).[41] Ibadah yang dipahami
sebagai refleksi cinta seperti inilah yang akan mengantarkan seorang arif pada
bangkitnya kesadaran spiritualnya [42]
untuk melakukan perjalanan demi perjumpaan dengan Sang Kekasih.
Penempuhan jalan tareqat
selain dilakukan dengan mengintensifkan ibadah kepadaNya, juga mesti dilakukan
dengan mengikhlaskan hati secara paripurna –yang hanya bisa dilakukan dengan
"melenyapkan" ego sang arif. [43]
Seorang arif menggambarkan intisari penempuhan jalan tareqat adalah dengan
untaian kalimat berikut: "Tahap
pertama dari zikir adalah melupakan diri dan pada tahap terakhir adalah
hilangnya sang hamba ke dalam gerak ibadah kepadaNya".[44] Dengan lenyapnya ego sang arif
dalam gerak ibadahnya, maka itulah tujuan akhir dari proses menempuh jalan
suluk –yaitu ketika tercapainya kebersatuan atau kemanunggalan degan Allah (“manunggaling kawula lan gusti”).
Kebersatuan dengan Sang khalik tersebut adalah haqeqat dari ibadah dalam
pandangan kaum arif. Kaum arif mempercayai –syari'at, tareqat, dan haqeqat
adalah tiga hal yang saling berangkai dan terkait. Syari'at adalah sarana untuk
mencapai tareqat –dan tareqat adalah sarana untuk mencapai haqeqat. Syari'at
adalah kulit dari tareqat, dan tareqat adalah kulit dari haqeqat.[45]
Ketiga cabang tersebut
dianalogikan dengan manusia yang terdiri dari tiga bagian –yaitu tubuh, jiwa,
dan ruh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan bahkan membentuk satu
kesatuan utuh antara aspek-aspek lahir dan batin. Syari'at adalah kulit luar,
tareqat adalah biji dalam, sedangkan haqeqat adalah bijinya biji. Namun
demikian, kaum arif juga percaya bahwa eksistensi manusia bisa memiliki lebih
dari tiga tahapan. Yakni mereka percaya bahwa adanya satu tahap yang diluar
jangkauan intelek (akal) manusia.[46]
Dalam menempuh perjalanan
suluk, seorang salik (arif) pasti akan mengalami maqam dan hal.[47] Maqam dan hal dipahami secara
berbeda-beda oleh para sufi. Meskipun demikian, para sufi (arif) sepakat bahwa
maqamat (jamak dari maqam) adalah kedudukan seorang pejalan sprititual (salik)
di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras ibadah, bersungguh-sungguh
melawan hawa nafsu (mujahadah), melakukan latihan-latihan keruhanian
(riyadhah), sehingga ia mencapai keluhuran budi pekerti (adab) yang
memampukannya untuk memiliki persyaratan-persyaratan dan melakukan upaya-upaya
untuk melakukan berbagai kewajiban (dengan sebaik-baiknya) untuk mencapai
kesempurnaan. Sedangkan hal (jamak ahwal) adalah suasana atau keadaan yang
menyelimuti kalbu yang diciptakan oleh Allah dalam hati manusia –tanpa sang
sufi mampu menolak jika ia datang, dan tanpa mampu ia mempertahankan apabila
pergi.[48]
Konsep maqamat dan ahwal
diperkenalkan sebagai bagian dari pemahaman tasawuf sebagai suatu perjalanan
spiritual (suluk). Maqamat adalah terminal-terminal (station-station) yang
mesti dilewati seorang salik sebelum ia mencapai ujung perjalanan spiritual.
Sedangkan hal adalah keadaan spiritual sesaat yang dialami oleh para pejalan
spiritual di tengah-tengah perjalanan ini.[49]
Menurut Murtadha
Muthahhari, maqamat adalah apa yang dicapai oleh seorang arif melalui upayanya –sedangkan
hal adalah apa yang menghinggapi kalbu seorang arif tanpa diinginkannya. Hal
bersifat sementara sedangkan maqam bersifat permanen. Konon, hal dalam
pandangan kaum arif seperti kilatan cahaya yang cepat berlalu. Kaum arif
menyebut kilatan-kilatan cahaya itu dengan istilah lawaih, lawamih, dan
tawalih. Istilah-istilah tersebut dipakai untuk menandakan perbedaan tingkat
intensitas dalam lamanya berbagai kilatan cahaya yang dirasakan.[50]
Jika ditelaah lebih
mendalam keberadaan maqamat dan ahwal dalam tradisi tasawuf, tidak lain adalah
dalam rangka lebih mempertegas komitmen seorang muslim dalam syahadah
(persaksian) Tauhid. Dengan persaksiannya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
(la ilaha illallah). Atau dengan kata lain, maqamat merupakan penjabaran dari
syahadah Tauhid. Sedangkan hal tidak lebih merupakan bagian dari manifestasi
tercapainya maqam sesuai dengan hasil usaha spiritual yang sungguh-sungguh
dengan amalan-amalan yang baik dan dengan penuh kepasrahan kepada Allah [51]. Dengan kata lain antara maqam dan
hal adalah dua hal yang tak terpisahkan dalam rangkaian perjalanan suluk.
Tercapainya satu jenjang
maqam yang diperoleh oleh seorang salik meniscayakan hal sebagai konsekuensi
yang ia dapatkan dari rangkaian perjalanan spiritualnya. Perbedaan mendasar
antara konsep maqam dan hal antara tasawuf dualistik (tasawuf Sunni) dan
tasawuf monistik (tasawuf falsafi atau irfan –tasawuf Syi’ah) terletak pada
struktur maqam yang dilalui dan hal yang didapatkannya berdasarkan jenjang
maqam tersebut. Dalam tasawuf Sunni, jenjang maqam yang dilalui bersifat statis
–karena jiwa tidak melakukan pengembaraan spiritual menembus lintasan-lintasan
alam. Maqamat yang dipahami dalam tasawuf Sunni hanyalah keadaan jiwa yang
telah dihiasi dengan ter-tajalli dan ter-tahalli-kannya asma-asma Allah. Dengan
kata lain, maqamat sebenarnya hanyalah upaya penyempurnaan kualitas jiwa dalam
beribadah kepada Allah. Jenjang-jenjang maqamat dalam taswuf Sunni misalnya
taubah, wara, zuhud, faqir, Shabr, dan ridha.[52]
Jenjang maqamat dalam
irfan didasarkan pada pandangan filsofis tentang jiwa manusia yang merupakan
mikro dan sekaligus makrokosmos –dengan demikian jiwa manusia dapat melakukan
gerak secara dinamis menembus tingkatan alam-alam makro. Menurut Muthahhari, jiwa manusia bagaikan organisme yang dinamis.
Manusia dalam melakukan perjalanan menuju Allah mestilah melewati safar demi
safar (perjalanan demi perjalanan) ruhaniah. Manusia harus melewati perjalanan
atau safar yang cukup jauh –yang di dalamnya ia harus singgah dari satu
terminal ke terminal lainnya. Oleh karena itu, dalam pandangan irfan
seorang salik akan melalui maqam-maqam berupa tingkatan-tingkatn alam –dari
satu alam yang lebih rendah ke alam yang lebih tinggi. [53]
Jiwa manusia yang merupakan
organisme yang dinamis –yang oleh karena itu, menurut Muthahhari, kalau manusia
ingin mencapai satu tujuan yang sangat tinggi, maka ia harus mengikuti dan
melewati sistematika yang sudah ditentukan dalam alam ruhaniah tersebut.[54] Hal ini dilakukan dengan melakukan
ibadah, mujahadah, dan riyadhah yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran
dengan melalukan persepsi intuitif terhadap dua kalimat syahadat yang
dengannnya seseorang menyatakan diri sebagai seorang muslim.[55] Dengan bangkitnya kesadaran dan
persepsi intuitif tersebut maka seorang arif akan mampu melakukan perjalanan
menuju jenjang maqam dalam tingkatan alam semesta.
Dalam pandangan
Muthahhari, ada enam jenjang maqam yang mesti dilalui oleh seorang salik untuk
mencapai al-Haqq. Keenam jenjang maqam tersebut secara umum dibagi ke dalam dua
klasifikasi utama safar. Yang pertama
adalah maqam nafs, yaitu upaya langkah awal yang harus ditempuh oleh seorang
salik untuk membebaskan jiwanya dari kecenderungan-kecenderungan material.
Setelah itu perjalanan selanjutnya adalah mencapai maqam qalb –yaitu, alam
ruhani pertama yang mesti dilalui manusia, di satu sisi alam qalb merupakan
maqam, namun di sisi lain alam qalb merupakan hijab bagi seorang salik. Jika
alam nafs memberikan hijab berupa kenikmatan materi, sedangkan alam qalb
memberikan cahaya yang bisa menjadi anugerah tapi sekaligus bisa menjadi hijab
jika seorang salik terpukau padanya.
Selanjutnya adalah
mencapai maqam alam ruh. Setelah seorang salik mampu mengalahkan keterpukauan
terhadap cahaya-cahaya qalb (hal yang didapat dalam maqam qalb), maka jiwa
manusia akan melintas maqam menuju maqam ruh. Di maqam ruh inilah akhir dari
safar pertama manusia –yang dalam bahasa Mulla
Sadra, perjalanan dari makhluk menuju Tuhan.[56] Setelah melewati tiga maqam dalam safar pertama, seorang salik
akan memasuki safar kedua di alam lahut. Safar dalam alam ini terbagi atas tiga
jenjang maqam. Yang pertama, maqam
sirr, yaitu merupakan maqam fana fi al al-Dzat. Pada maqam ini para arif sering
mengalami ekstase atau syatahat (kemabukan) bersama dengan Sang Kekasih. Yang kedua adalah maqam khafy yaitu maqam
fana' dalam Sifat Allah. Dan yang ketiga
adalah maqam akhfa –yaitu maqam fana' pada Zat dan Sifat Allah sekaligus.[57]
Safar kedua ini seperti
safar kedua dalam al-asfar al-arba'ah Mulla Sadra –yaitu perjalanan di dalam
Tuhan bersama Tuhan. Keterlenaan pada hal yang didapatkan pada setiap jenjang
maqam tersebut akan mengakibatkan stagnasi spiritual yang dialami oleh sang
arif hingga ia tak mampu melanjutkan perjalanan hingga ke jenjang maqam
berikutnya. Kebanyakan para sufi atau kaum arif mengalami keterlenaan pada
kilatan-kilatan pesona cahaya qalb dan ruh –serta mengalami syatahat (ekstase)
pada maqam fana fi al-Dzat (maqam sirr) sebagaimana yang dialami oleh Mansur al-Hallaj.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar