Rabu, 03 September 2014

Arti Imamah dan Khilafah



Oleh Sayyid Said Akhtar R

Al-Imâmah secara literal (lughawi) berarti “kepemimpinan”. Al-Imâm berarti “pemimpin”. Dalam terminologi Islam al-Imâmah bermakna “otoritas semesta dalam seluruh urusan agama dan dunia, yang menggantikan peran Nabi Saw.[1] Al-Imâm berarti: “Seorang (pria) yang – menggantikan Nabi – memiliki hak untuk memerintah secara mutlak dalam urusan kaum muslimin baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Kata “seorang (pria)” menunjukkan bahwa seorang wanita tidak dapat menjadi seorang imam. “Memerintah secara mutlak” tidak termasuk mereka yang memimpin salat – mereka juga dipanggil imam – tapi  dalam konteks salat jamaah. Tetapi mereka tidak memiliki otoritas mutlak. Dalam suksesi nabi, suksesi tersebut menunjukkan perbedaan antara seorang nabi dan seorang imam. Imam menjalankan otoritas ini secara tidak langsung, melainkan menjalankan tugas ini untuk menggantikan kedudukan Nabi.

Kata “khilafah” berarti “pergantian” dan “al-khalifah” bemakna “pengganti”. Dalam terminologi Islam “al-khilafah” dan “al-khalifah” secara praktis menandakan arti yang sama dengan “al-imamah” dan “al-imam“. Adapun al-Wisayah berarti “pelaksanaan wasiat” dan “al-Wasi” bermakna “pelaksana wasiat”. Secara signifikan maknanya sama dengan “al-khilafah” dan “al-khalifah“. Menarik untuk diperhatikan bahwa banyak nabi-nabi sebelumnya juga khalifah dari nabi-nabi pendahulunya, jadi mereka adalah nabi dan khalifah; sementara nabi-nabi yang lain (yang membawa syari’at baru) bukan khalifah dari nabi-nabi sebelumnya. Dan diantara mereka ada yang menjadi khalifah nabi-nabi tetapi bukan nabi.

Masalah imamah dan khilafah telah meretas – memecah – keutuhan kaum muslimin dan mempengaruhi pola-pikir, falsafah dari kelompok yang berbeda yang telah sedemikian hebat sehingga persamaan yang ada yakni tauhid, meyakini Allah (at-Tauhid) dan nabi (nubuwwah) tidak lagi dapat diselamatkan dari pandangan-pandangan yang berbeda ini. Inilah subjek yang menjadi perdebatan yang paling hebat dalam teologi (ilmu kalam) Islam. Banyak kaum Muslim yang telah menulis ratusan kitab tentang masalah khilafah.  Masalah yang ada di hadapan penulis, bukan apa yang harus ditulis; melainkan apa yang tidak harus ditulis. Dalam karya kecil seperti ini – anda tidak dapat menyentuh seluruh ragam aspek dari permasalahan ini – biarkan mereka mencarinya sampai detail ihwal topik-topik yang dibahas di dalam buku ini. Buku ini hanya menyuguhkan sebuah garis besar dari ikhtilaf yang ada diantara beberapa madzhab dalam Islam tentang masalah khilafah.

Mungkin dengan menyebutkan bahwa dalam Islam terbagi dalam dua madzhab yang berbeda dalam menyikapi masalah ini, dapat membantu para pembaca dalam berurusan dengan masalah ini. Madzhab Sunni meyakini bahwa Abu Bakar adalah khalifah pertama selepas Nabi Saw. Madzhab Syiah meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Tâlib merupakan Imam dan Khalifah setelah wafatnya Nabi Saw. Perbedaan azasi ini telah menuntun kepada perbedaan-perbedaan yang ada yang akan dijelaskan pada bagian-bagian selanjutnya dari buku ini.

Ikhtisar Perbedaan

Nabi Saw bersabda dalam sebuah hadits yang validitasnya diterima oleh seluruh madzhab dalam Islam: “Umatku akan terbagi menjadi tujuh puluh firqah (bagian), seluruhnya akan binasa kecuali satu firqah “.[2] Pencari keselamatan akan selalu – tentu saja – tanpa lelah berusaha untuk mencari tahu masalah ini kemudian menemukan jalan yang benar – jalan keselamatan -, dan memang mesti bagi setiap orang untuk mencarinya, melakukan yang terbaik dan tidak pernah berputus asa untuk mencari kebenaran. Tapi ini hanya mungkin  bila ia memiliki sebuah pandangan yang jernih dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada di sekelilingnya, dan membuang segala bias dan prasangka, menguji suatu kebenaran dengan pemikiran yang matang dan dewasa, senantiasa berdoa kepada Allah Swt agar membimbingnya kepada jalan kebenaran. Atas alasan ini, saya mengajukan secara singkat di sini ikhtilaf-ikhtilaf yang penting dan konflik-konflik yang ada kita hadapi bersama dengan argumen-argumen, dalil-dalil dan penalaran yang sehat dari setiap madzhab, dalam rangka memudahkan kita mencapai kebenaran yang kita cari. Pertanyaan-pertanyaan utama yang mengemukan di sini adalah:

Apakah pengganti Nabi, pengangkatannya dari Allah Swt atau diserahkan sepenuhnya kepada umat untuk memilih siapa saja yang mereka kehendaki sebagai pengganti Nabi?
Dalam kasus terakhir, apakah Allah atau Nabi menyerahkan kepada umat kaidah-kaidah sistematis yang mengandung aturan-aturan dan prosedur bagi pengangkatan seorang khalifah, atau apakah umat dengan kesepakatan yang mereka capai sebelum mengangkat seorang khalifah, menyiapkan seperangkat aturan-aturan yang mereka terapkan dalam mengangkat seorang khalifah, atau apakah umat bertindak berdasarkan kepada apa yang mereka anggap perlu pada suatu waktu dan memanfaatkan kesempatan yang ada. Apakah akal dan dustur Ilahi menuntut adanya syarat-syarat dan kualifikasi dalam diri seorang imam atau seorang khalifah? Jika demikian, apa saja syarat-syarat dan kualifikasi tersebut? Apakah Nabi Saw menunjuk seseorang sebagai khalifahnya dan penggantinya atau tidak? Jika memang menunjuk seseorang, siapa orang tersebut? Jika tidak, mengapa? Setelah wafatnya Nabi Saw, siapa yang dikenali sebagai khalifahnya dan apakah orang ini memiliki kualifikasi-kualifikasi yang ada sebagai syarat untuk menjadi seorang khalifah?[3]

Perbedaan Azasi

Akan menghemat waktu, jika kita menjelaskan permulaan sebab azasi ikhtilaf ihwal tabiat dan karakter imamah dan khalifah. Apakah karakteristik utama yang ada pada urusan imamah? Apakah seorang imam, pertama dan utama, adalah seorang penguasa sebuah kerajaan? Atau ia merupakan khalifahtullâh dan khalifaturasul? Karena imamah dan khilafah diterima secara umum sebagai pengganti Nabi, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab hingga keputusan dibuat berdasarkan kepada karakter asasi seorang nabi. Kita harus memutuskan apakah seorang nabi adalah penguasa sebuah kerajaan atau merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Dalam sejarah Islam, kita temukan suatu kelompok yang bila ditinjau dari misi kedatangan Nabi Saw, terlihat sebuah usaha yang ingin mendirikan sebuah kerajaan. Pandangan mereka bersifat material, tidak maknawi; gagasan-gagasan mereka bertumpu pada pengumpulan harta, kecantikan dan kekuasaan. Mereka – secara tabiat – menisbahkan motif-motif yang mereka bangun kepada Nabi Saw.

Seperti pada kasus ‘Utbah bin Rabi’ah – bapak mertua Abu Sufyan – yang diutus untuk menjumpai Nabi menyampaikan pesan suku Quraisy. “Wahai Muhammad! Jika engkau menginginkan kekuasan dan wibawa, kami akan menjadikan engkau sebagai maharaja di Makkah. Apakah engkau berhasrat menikah dengan putri bangsawan? Engkau dapat meminang putri tercantik di negeri ini. Apakah engkau ingin emas dan perak? Kami dapat menyediakanmu segalanya bahkan lebih dari itu. Tapi engkau harus meninggalkan dakwahmu yang menyerang kami dan menghina nenek-moyang kami yang menyembah berhala.” Suku Quraisy hampir pasti yakin bahwa Muhammad akan menanggapi tawaran yang menggiurkan itu. Tapi Nabi Muhammad Saw membacakan sebuah ayat suci al-Qur’an sebagai jawaban beliau – berisikan ancaman – kepada suku Quraisy itu. “Jika mereka berpaling maka katakanlah: “Aku telah memperingatkanmu dengan petir yang menimpa kaum Aad dan kaum Tsamud. (Qs. Fussilat: 13).

‘Utbah sangat emosional dengan ancaman yang nyata ini. Ia tidak menerima Islam, tapi memberikan nasihat kepada kaum Quraisy supaya tidak mengganggu Muhammad dan melihat bagaimana ia akan berjalan dengan suku-suku lainnya. Suku Quraisy mengklaim bahwa ‘Utbah pun telah terpengaruh sihir Muhammad.[4] Kemudian ia ingin menyerahkan urusan Muhammad kepada suku-suku lain. Di satu sisi, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah dan suku Quraisy berperang satu sama lainnya, suku-suku yang lain berpikir lebih baik meninggalkan Muhammad kepada sukunya sendiri. ‘Amr bin Salamah, seorang sahabat Nabi berkata: “Bangsa Arab menantikan suku Quraisy menerima Islam. Mereka berkata bahwa Muhammad harus diserahkan kepada kaumnya sendiri. Jika ia muncul sebagai pemenang, tanpa ragu dia adalah seorang Nabi yang hak. Ketika Mekkah ditaklukkan, seluruh suku-suku berlomba-lomba untuk menerima Islam.”[5] Oleh karena itu, dan menurut mereka, kemenangan adalah kriteria kebenaran! Jika Muhammad Saw ditaklukkan, maka ia akan dipandang sebagai pendusta!!

Pandangan bahwa misi suci ini tidak lain kecuali sebuah urusan duniawi yang berulang kali diumumkan oleh Abu Sufyan dan kaumnya (Bani Umayyah, -penj.). Pada waktu kejatuhan Mekkah, Abu Sufyan meninggalkan Mekkah untuk menghindar dari kekuatan pasukan muslim. Ia terlihat oleh Abbas – paman Nabi – yang membawanya ke hadapan Nabi dan memberi nasihat kepada Nabi bahwa sebaiknya ia diberikan perlindungan dan penghormatan, dengan harapan semoga ia dapat menerima Islam. Untuk menyingkat cerita ini, al-‘Abbâs membawa Abu Sufyan untuk melihat-lihat laskar Islam. Ia menunjukkan kepada Abu Sufyan orang-orang besar dari suku yang berlainan dalam susunan pasukan Islam. Sementara itu, Nabi Saw melewati pasukannya yang berseragam hijau. Abu Sufyan berteriak: “Wahai ‘Abbâs! Sesungguhnya kemenakanmu telah memperoleh sebuah kerajaan!”. Al-‘Abbâs berkata: “Celakalah engkau! Ini bukan kerajaan; ini adalah kenabian.”[6]

Di sini, kita melihat dua pandangan yang saling berseberangan. Pandangan Abu Sufyan tidak berubah. Ketika ‘Utsman menjadi khalifah, Abu Sufyan datang kepadanya dan memberi nasihat, “Wahai putra Umayyah! Kini kerajaan ini telah datang padamu, mainkanlah ia sebagaimana anak kecil bermain bola dan serahkanlah secara turun- temurun kepada sanak keluargamu. Ini adalah hakikat kebenaran; kita tidak tahu apakah surga dan neraka ada atau tidak.”[7] Lalu, ia pergi ke Uhud dan menendang kuburan Hamzah (paman Nabi), dan berkata: ” Wahai Abu Ya’la! Lihatlah kerajaan yang engkau berperang atasnya akhirnya telah datang kepada kami.”[8] Pandangan yang sama diwarisi oleh cucunya yang berkata: Bani Hasyim telah bermain dengan kerajaan; namun akhirnya kini tidak ada kabar, juga tidak ada wahyu yang turun sama sekali.”[9] Jika pandangan seperti ini dianut oleh kaum muslimin, niscaya ia menyamakan imamah dengan penguasa. Sesuai dengan pemikiran semacam ini, fungsi utama Nabi adalah sebagai penguasa kerajaan, Oleh karena itu, siapa saja yang mengendalikan kekuasaan adalah pengganti sah Nabi Saw.

Tapi masalah yang mengedepan kemudian adalah lebih dari sembilan puluh persen nabi-nabi yang diutus tidak memiliki kekuasaan politik; dan kebanyakan mereka menjadi tumbal atau korban kekuasaan-kekuasaan politik pada masanya. Kejayaan mereka tidak terletak pada takhta dan mahkota, namun pada syahadah dan pengorbanan. Jika karakteristik utama kenabian adalah kekuasaan politik dan penguasaan, maka barangkali – bahkan – tidak ada 50  (dari 124.000) nabi-nabi yang diutus akan bertahan dengan gelar Ilahi mereka sebagai nabi. Jadi, sangat jelas bahwa karakteristik utama Nabi Saw tidaklah pada kekuasaan politik, tapi pada khalifatullah, dan bahwa perwakilan ini tidak dianugerahkan kepadanya oleh orang-orang; namun perwakilan ini dianugerahkan oleh Allah Swt sendiri. Demikian juga, pengganti Nabi, karakteristik utamanya juga tidak pada kekuasaan politik; melainkan pada kenyataan bahwa ia adalah wakil Allah Swt, dan perwakilan ini tidak akan pernah dianugerahkan oleh manusia, perwakilan ini niscaya dan mesti dari Allah Swt sendiri. Singkatnya, jika seorang imam adalah wakil Allah Swt, maka yang mengangkatnya sebagai wakil juga haruslah Allah Swt.

Sistem Kepemimpinan Dalam Islam

Pernah suatu waktu, sistem pemerintahan monarki adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang dikenal oleh manusia. Pada saat yang bersamaan, ulama-ulama muslim mengagungkan sistem monarki dengan berkata: “Raja adalah bayangan Tuhan,” seakan-akan Tuhan memiliki bayangan! Kini di abad kiwari, demokrasi sedang digemari dan ulama-ulama Sunni tanpa mengenal lelah menegaskannya dalam artikel-artikel, buku-buku dan risalah-risalah mereka, bahwa sistem pemerintahan Islam berdasarkan sistem pemerintahan demokrasi. Mereka bahkan terlalu cepat mengklaim bahwa demokrasi didirikan oleh Islam, dengan melupakan kota republik Yunani. Pada babak kedua dari abad ini, sosialisme dan komunisme telah mendapatkan perhatian khusus oleh negara-negara yang sedang berkembang atau pun yang sudah berkembang; dan saya tidak terkejut mendengar bahwa banyak cendekiawan muslim menegaskan bahwa Islam mengajarkan dan menciptakan sosialisme. Beberapa orang di Pakistan dan di beberapa tempat yang lain, telah menciptakan slogan “Sosialisme Islam”. Apa maksud dari “Sosialisme Islam” ini, saya tidak tahu. Tapi saya tidak akan terkejut jika dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan orang-orang seperti ini akan memulai mengklaim bahwa Islam juga mengajarkan komunisme.

Seluruh kecenderungan “berubah bersama angin” ini sedang membuat sebuah lelucon dari kepemimpinan Islam. Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah majelis kaum muslimin di sebuah negara di Afrika, seorang pemimpin muslim menyebutkan bahwa Islam mengajarkan: Taati Allah, taati Rasulnya dan penguasa di antara kalian”. Dalam jawabannya, seorang presiden (yang kebetulan adalah seorang penganut Katolik Roma yang setia) berkata bahwa ia sangat menghargai hikmah dari perintah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya; tapi ia tidak dapat mengerti logika dibalik perintah itu mentaati penguasa kalian ini. Bagaimana jika seorang penguasa itu tidak adil dan seorang tiran? Apakah Islam memerintahkan kaum muslimin untuk mentaatinya secara membabi-buta tanpa sedikit pun perlawanan. Pertanyaan yang rasional menuntut jawaban yang rasional pula. Hal ini tidak dapat dipandang remeh. Kenyataan bahwa orang yang mengundang kritikan pedas, melakukan hal itu karena kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an. Mari kita uji sistem kepemimpinan dalam Islam. Apakah ia berwarna demokratis? Definisi terbaik demokrasi diberikan oleh Abraham Lincoln (Presiden Amerika yang ke-16, 1861-1865) ketika ia berkata bahwa demokrasi adalah “Pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.

Akan tetapi dalam Islam, bukanlah pemerintahan dari rakyat, namun pemerintahan dari Allah Swt. Bagaimana manusia dapat memerintah diri mereka sendiri? Mereka memerintah diri mereka sendiri dengan membuat aturan-aturan sendiri; dalam Islam, hukum tidak dibuat oleh manusia, tapi oleh Allah Swt; hukum ini diajarkan tidak berdasarkan kesepakatan dan keputusan manusia, tapi oleh Nabi Saw sesuai dengan perintah dari Allah Swt. Manusia tidak memilki suara dalam legislasi; mereka diminta untuk mengikuti segala ketentuan yang dibuat oleh Allah Swt, tanpa ada komentar atau usulan tentang hukum-hukum ini dan legislasi. Sampai pada frase “oleh rakyat”,  mari kita timbang bagaimana manusia memerintah diri mereka sendiri. Mereka melakukannya dengan memilih penguasa mereka sendiri. Nabi Saw merupakan orang yang memangku badan eksekutif, hukum dan seluruh otoritas dalam pemerintahan Islam, dan beliau tidak dipilih oleh manusia. Dalam kenyataannya, jika penduduk Mekkah dibolehkan untuk memilih sendiri, mereka akan memilih, ‘Urwah bin Mas’ud (dari suku Taif) atau al-Maulid bin Mughira (dari Mekkah) sebagai nabi Allah! Menurut al-Qur’an, “Dan mereka berkata: “Mengapa  al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari satu dua negeri (Mekkah dan Taif) ini.”[10]

Jadi, Nabi Saw tidak hanya seorang kepala negara agung dari negara Islam yang ditunjuk tanpa konsultasi manusia, namun kenyataanya beliau dipilih bertentangan dengan keinginan mereka. Nabi Saw adalah pemegang otoritas tertinggi dalam Islam. Beliau menggabungkan personalianya dalam fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam pemerintahan; dan beliau tidak dipilih oleh manusia (rakyat). Dengan demikian, Islam bukan pemerintahan rakyat, bukan “oleh rakyat”. Tidak ada legislasi oleh rakyat; eksekutif dan yudikatif tidak bertanggung jawab kepada rakyat, juga bukan sebuah pemerintahan untuk rakyat”.

Sistem Islam , sejak awal hingga akhir, adalah untuk Allah. Segala sesuatunya harus dilakukan semata-mata untuk Allah; jika dilakukan untuk rakyat, maka ini disebut sebagai “syirik tersembunyi”.  Apa saja yang anda lakukan – apakah salat atau sadaqah, amal sosial atau keluarga, ketaatan kepada orang tua atau cinta kepada tetangga, memimpin salat berjamaah atau memutuskan sebuah perkara, memasuki medan perang atau menyepakati perdamaian – harus dilakukan “qurbatan ilallah” (sebagai pendekatan kepada Allah), untuk meraih keridaan Allah. Dalam Islam, segalanya untuk Allah. Singkatnya, bentuk pemerintahan Islam adalah pemerintahan Allah melalui perwakilan-Nya, untuk meraih keridaan Allah. Pemerintahan ini adalah pemerintahan teokrasi, dan merupakan tabiat dan karakter kepemimpinan Islam, dan bagaimana pengaruh makna ayat di atas berkenaan dengan ketaatan, akan kita lihat pada bagian terakhir dari buku ini.

Catatan:

[1]. Lihat, Al-‘Allamah al-Hilli: al-Babu ‘l-hadi ‘Asyar, Edisi Bahasa Inggris. penj. W. M. Miller, hal. 62; Mughniyyah: Falsafat Islamiyyah,  hal. 392.
[2] . Lihat, al-Khâtib at-Tabrizi: Mishkatu ‘l-Masabih,  Terjemahan Bahasa Inggris oleh James Robson, vol.l, hal. 45; al-Majlisi telah mengumpulkan dalam sebuah bagian yang lengkap, hadits-hadits yang bertalian dengan masalah ini dalam Biharu ‘l-Anwar, vol. 28, hh.2-36; al-Qummi, Syaikh Abbas: Safinatu ‘l-Bihar, vol. 2, hal-hal. 359-360.
[3] . Lihat, Najmu ‘l-Hasan: an-Nubuwwah wa ‘l-khilâfah, penj. Liqa’ ‘Ali Haidari, hal. 2-3
[4] . Lihat, Ibn Hisyâm: as-Sirah an-Nabawiyyah, vol.l, hal. 313-314.
[5] . Lihat, al-Bukhâri: as-Sahih, vol. 5, hal. 191; Ibn Katsir :al-Bidayah wa ‘n-Nihaya, vol. V, hal. 40.
[6] . Lihat, Abu’l-Fidâ:’  al-Mukhtasar , vol.1, hal-hal. 143-144; al-Ya’qubi : at-Târikh ,vol. 2, hal. 59.
[7] . Ibn ‘Abdi ‘l-Barr: al-lsti’âb,  vol. 4, hal. l679; Ibn Abi ‘l-Hadid mengutip akhir kalimat akhir sebagai berikut: “Dengan namanya Abu Sufyan bersumpah, tidak ada azab dan perhitungan (hisab), juga tidak ada Surga dan Neraka, juga tidak ada hari kebangkitan dan hari hisab. (Lihat, Syarh Nahju ‘l-Balâghah,vol. 9, hal. 53).
[8] . Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid: op. cit., vol. 16, hal. 136.
[9] . Lihat, Sibt ibn al-Jauzi: ‘Tadzkirah, peny. S.M.S. Bahru ‘l ‘Ulum, hal. 261; at-Tabari, at-Târikh, vol.13, hal. 2174.
[10] .Untuk penjelasan “Seorang besar” lihat, as-Suyuti: Lubabu u’n-nuqul fi asbabi’n-Nuzul dicetak bersama Tafsiru ‘l-Jalalayn, hal. 289, 649.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar