Minggu, 07 September 2014

Filsuf dan Matematikawati dari Aleksandria



Agora (2009). Jenis Film: Drama/Sejarah/Romansa. Sutradara: Alejandro Amenabar. Skenario: Alejandro Amenabar dan Mateo Gil. Produksi: Newmarket Films. Pemain: Rachel Weisz, Max Minghella, Oscar Isaac, Ashraf Barhom, Michael Lonsdale, Rupert Evans, Homayoun, Ershadi. Durasi: 127 Menit.

Agora, tempat pertemuan terbuka di tengah kota ala Yunani kuno itu, menjadi tempat saling menghujat antara pengikut Paganisme dan Kristen. Tak jarang perdebatan itu menyerempet pada soal-soal ketuhanan.

Sampai pada suatu hari, pertikaian keyakinan itu berujung pada pertumpahan darah. Para pengikut Serapis—nama Tuhan-Nya masyarakat kota Alexandria– menyerbu orang-orang Kristen. Korban berjatuhan di kedua belah-pihak.

Pengikut Kristen melancarkan serangan balik. Perpustakaan Alexandria, tempat berlindungnya pengikut Serapis, menjadi sasaran. Tak sedikit produk pengetahuan yang tersimpan di perpustakaan itu menjadi korban pembakaran.

Di tengah konflik berbau agama itu, hidup seorang filsuf perempuan terkenal: Hypatia. Ia merupakan pemikir besar di kota Alexandria, Ibukota Mesir saat dibawah kekuasaan Romawi. Hypatia mengajarkan filsafat kepada murid-muridnya di perpustakaan Alexandria.

Kisah hidup filsuf perempuan inilah yang berusaha diangkat oleh sutradara film Spanyol, Alejandro Amenabar, dalam film berjudul “Agora”. Hypatia, yang diperankan oleh Rachel Weisz, seakan ingin mengabdikan hidupnya pada ilmu pengetahuan dan filsafat.

Hypatia, berabad-abad sebelum Kepler dan Galileo, sudah berjuang keras menemukan hukum-hukum yang mengatur gerakan planet. Sayang, ia hidup di tengah masyarakat yang seakan-akan meletakkan pengetahuan sebagai musuh dari keyakinan agama.

Akibatnya, Hypatia pun terancam. Cryil, seorang pemimpin kristen yang fanatik, dengan mengatas-namakan kata-kata Tuhan, menuding filsafat Hypatia sebagai kekafiran. Cryil berhasil membangkitkan emosi penganut kristen, yang sebagian besar memang bekas budak dan gelandangan, untuk menentang filsafat Hypatia.

Nyawa Hypatia terancam. Orestes (Oscar Isaac), bekas muridnya dan lelaki yang mencintainya yang kemudian jadi wakil kekuasaan Romawi di Alexandria, berusaha melindunginya. Sayang, usaha Orestes mendapat perlawanan keras dari penganut kristen yang fanatik.

Synesius, bekas murid Hypatia yang jadi uskup di Cyrene (Libya), berusaha membujuk Hypatia agar menyatakan imannya kepada Kristen. Hypatia, yang menyadari posisinya sebagai penganut filsafat, mengatakan: “Kau tak mempertanyakan, atau tak bisa mempertanyakan, apa yang kau imani. [Sedangkan] aku harus.”

Dalam sebuah sidang pembesar kota, seorang elit agama mempertanyakan keimanan Hypatia. Katanya, mengapa sidang pembesar kota harus mendengar pendapat dari seseorang yang tak percaya apapun. Hypatia memberi jawaban tegas: “Saya percaya kepada filsafat.” Ya, Hypatia hanya mempercayai filsafat.

Hypatia, seorang ahli matematika dan filsafat di jamannya, harus rela menemui ajal karena pendirian pemikirannya. Parabolani, milisi Kristen yang menggunakan jubah hitam, berhasil menangkap Hypatia di jalanan. Hypatia dibawa ke depan Altar dan ditelanjangi. Parabaloni mengumpulkan batu untuk merajamnya. Di saat itulah Davus, bekas budak yang mencintai Hypatia dan kemudian jadi orang Kristen, berusaha menolongnya. Davus membekap Hypatia hingga mati agar tak merasakan lemparan ratusan batu.

Selain mengangkat sosok Hypatia, sutradara Alejandro Amenabar juga berusaha mengangkat konflik ideologis di era itu. Juga, seperti kita lihat di film itu, bagaimana agama berusaha menjadikan kekuasaan politik sebagai senjata untuk membersihkan segala yang berbau “kafir” dan “sesat”.

Film ini juga menyelipkan kisah asmara segi-tiga: Hypatia, Orestes, dan Davus. Akan tetapi, Hypatia seakan menampik api cinta itu. Kepada Orestes, muridnya yang mencintainya, Hypatia berpesan: carilah yang lebih indah dari dirinya (Hypatia), yaitu musik.

Sedangkan cinta Davus, yang berstatus seorang budak, seakan kandas karena perbedaan klas. Davus, yang memilih menjadi Kristen, terkadang berada dalam posisi yang berlawanan dengan Hypatia. Maklum, agama kristen saat itu memperjuangkan pembebasan kaum budak.

Film ini sangat menarik untuk ditonton. Terlebih lagi, Rachel Weisz sanggup memerankan sosok Hypatia dengan sangat baik. Beberapa pesan filosofis dalam film ini juga sangat relevan untuk konteks masyarakat kita saat ini. (Rudi Hartono)

Sekilas Tentang Hypatia dari Alexandria

Hypatia dari Alexandria adalah wanita pertama yang memberi sumbangsih bagi perkembangan matematika. Hypatia adalah anak dari matematikawan, filsuf dan kepala Museum Alexandria bernama Theon. Belajar matematika lewat bimbingan dan ajaran sang ayah. Prestasi tertinggi Hypatia adalah menjadi kepala sekolah Platonist di Alexandria sekitar tahun 400.

Hypatia mengajar matematika dan filsafat, terutama filsafat Neoplatonisme, di mana mazhab ini dilekatkan kepada Plotinus yang dilengkapi oleh Lamblichus yang mendominasi pemikiran pada kisaran tahun 300. Pandangan filsafat mazhab ini mengajarkan bahwa realitas terakhir tidak dapat digambarkan oleh pikiran maupun bahasa.

Hypatia sendiri mengajar ide-ide filsafat dengan penekanan lebih banyak pada sisi ilmiah dibandingkan para pendahulunya. Hypatia digambarkan sebagai guru yang mempunyai charisma.

Hypatia belajar dan menekuni sains yang pada awal bangkitnya agama Kristen, yang oleh para penganut Kristen Hypatia diidentifikasikan dengan penyembah berhala (kaum pagan). Para muridnya kagum dengan dedikasi Hypatia terhadap ilmu pengetahuan dan sains. Salah seorang murid Hypatia yang terkenal adalah Synesius dari Cyrene –kelak menjadi uskup Ptolomais, yang menyimpan semua surat-menyuratnya dengan Hypatia adalah bukti pengabdian Hypatia pada ilmu pengetahuan dan kagum akan kecerdasannya.

Karya-karya Hypatia

Tidak ada bukti konkrit yang menyatakan bahwa Hypatia melakukan penelitian matematika. Hypatia membantu Theon dalam menulis komentar tentang karya Ptolemy Almagest. Diketahui bahwa Hypatia juga terlibat dalam merevisi karya Euclid Elements yang dilakukan oleh Theon, di mana kemudian menjadi basis atau acuan karya-karya Euclid yang ada setelah itu.

Kerjasama dengan sang  ayah, seperti tertulis dalam The Suda, adalah memberi komentar karya Diophantus, Arithmetica, Conics dari Apollonius dan karya astronomikal dari Ptolemy.

Semua karya Hypatia dinyatakan hilang kecuali diketahui judul dan beberapa buku acuan yang digunakan. Dari semua catatan yang ada menyebutkan bahwa Hypatia adalah penyusun (compiler), editor dan melestarikan karya-karya para matematikawan masa-masa sebelumnya.

Masa Akhir

“Kesalahan” utama Hypatia adalah dia terlahir sebagai wanita dan tidak menganut agama apapun (pagan) di tengah-tengah lingkungan Kristen yang sedang berkembang. Pada tahun 412, St. Cyril yang menjadi uskup di Alexandria berseteru dengan penguasa Alexandria yang bernama Orestes dari kekaisaran Romawi. Konflik itu tak lain ketegangan antara gereja dan negara. Orestes yang tidak disukai oleh para pengikut Kristen, adalah teman Hypatia. Juga muncul selentingan bahwa Hypatia adalah pemicu konflik itu.

Konflik memuncak pada awal tahun 415, di mana sekelompok rahib Kristen menangkap Hypatia di tengah jalan, memukuli, dan menyeret tubuhnya ke gereja terdekat, untuk kemudian –yang di sini tidak perlu diceritakan lagi. Ada versi yang menyatakan bahwa Hypatia dibunuh oleh penjahat Alexandria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar