Pada
tahun 260 Hijriyah, dunia Islam larut dalam duka atas kesyahidan Imam Hasan Askari
as. Beliau sepanjang 28 tahun umurnya telah menorehkan tinta emas dalam
lembaran sejarah Islam. Kehidupan para imam maksum as dan Ahlul Bait Nabi as
adalah kumpulan dari ilmu pengetahuan dan ajaran-ajaran praktis untuk pendidikan
individu di tengah masyarakat. Akan tetapi, mereka menghadapi kondisi sulit
dalam menyebarluaskan pengetahuan Islam karena rezim penguasa menerapkan
batasan tertentu.
Pembatasan
itu mencapai puncaknya pada masa Imam Muhammad al-Jawad as, Imam Ali al-Hadi as,
dan Imam Hasan Askari as. Dinasti Abbasiyah bahkan memaksa Imam Hadi as dan putranya
Imam Askari as untuk meninggalkan kota kakeknya, Madinah dan hijrah ke Baghdad,
pusat kekhalifahan Abbasiyah. Setelah syahidnya Imam Hadi as, Imam Askari as
memikul tanggung jawab imamah dan dalam waktu enam tahun, beliau mampu
menyampaikan pandangan dan ajarannya di berbagai bidang politik dan sosial
kepada para pengikutnya.
Kebijakan
represif dan pembatasan yang diterapkan oleh para penguasa Abbasiyah terhadap Imam
Askari as justru kian menambah popularitas beliau di tengah masyarakat. Itu
semua karena obor yang dinyalakan oleh Rasulullah Saw dan Ahlul Bait beliau adalah
cahaya kebenaran yang tidak akan pernah padam untuk selamanya.
Instabilitas
Dinasti Abbasiyah memasuki puncaknya pada masa kepemimpinan Imam Askari as. Ketidaklayakan para penguasa, pertikaian internal di lingkungan istana, ketidakpuasan
rakyat, aksi pemberontakan beruntun, dan penyebaran pemikiran sesat, termasuk
di antara faktor-faktor yang menganggu stabilitas politik dan sosial pada
masa itu. Para penguasa Abbasiyah memeras masyarakat demi membangun
istana-istana yang megah dan membiarkan mereka hidup sengsara.
Akan
tetapi, masyarakat mengetahui bahwa seorang juru selamat dari keturunan Imam Askari
as, akan lahir ke dunia untuk membebaskan mereka dari kezaliman dan ketidakadilan
penguasa. Dia adalah juru selamat umat manusia yang akan bangkit untuk melawan
kezaliman dan menegakkan keadilan di dunia. Berita kelahiran juru selamat mendorong
penguasa Abbasiyah untuk meningkatkan aksi represif dan membatasi kegiatan
masyarakat. Imam Askari as pada hari tertentu juga dipaksa untuk hadir di
istana penguasa agar bisa diawasi dari dekat.
Penguasa
Abbasiyah telah melakukan banyak upaya untuk mengawasi gerak-gerik Imam Askari as, akan tetapi Tuhan berkehendak lain dan juru selamat akan lahir ke dunia di tengah
keluarga Sang Imam. Setelah kelahiran Imam Mahdi as, ayah beliau mulai mempersiapkan
masyarakat untuk menghadapi kondisi sulit di masa-masa mendatang. Imam Askari
as di berbagai kesempatan, berbicara tentang keadaan pada masa keghaiban juru
selamat dan peran berpengaruh Imam Mahdi as dalam memimpin masa depan dunia.
Beliau menekankan bahwa putranya akan menciptakan keadilan dan kemakmuran di
seluruh penjuru dunia.
Di
era kegelapan pemikiran dan penyimpangan akidah, Imam Askari as bangkit menyampaikan
hakikat agama secara jernih kepada masyarakat. Beliau mengobati dahaga para
pencari ilmu dan makrifat dengan pancaran mata air kebenaran. Argumentasi-argumentasi
Imam Askari as dalam kajian ilmiah, sangat berpengaruh, di mana filosof Arab
Ya’qub bin Ishak al-Kindi mulai memahami kebenaran setelah berdebat dengan
beliau dan kemudian membakar buku-bukunya yang ditulis untuk mengkritik beberapa
pengetahuan agama.
Meskipun
Dinasti Abbasiyah bermusuhan dengan Imam Askari as, namun salah satu menteri rezim
penguasa dengan nama Ahmad bin Khaqan, mengakui keutamaan dan karamah keturunan
Nabi Saw itu. Dia berkata, “Di Samarra, aku tidak melihat sosok seperti Hasan
bin Ali. Dalam hal martabat, kesucian, dan kebesaran jiwa, aku tidak menemukan
tandingannya. Meski ia seorang pemuda, Bani Hasyim lebih mengutamakannya dari
kelompok tua di tengah mereka. Ia memiliki kedudukan yang sangat tinggi, di mana
dipuji oleh sahabat dan musuhnya.”
Semua
kehormatan dan kemuliaan itu dikarenakan ketaatan Imam Askari as kepada Allah Swt
dan kebersamaan beliau dengan kebenaran. Beliau berkata, “Tidak ada orang mulia
yang menjauhi kebenaran kecuali dia akan terhina dan tidak ada orang hina yang
merangkul kebenaran kecuali dia akan mulia dan terhormat.”
Kedekatan
dengan Tuhan dan sifat tawakkal telah membantu Ahlul Bait Nabi as dalam memikul
beban penderitaan dan membuat mereka berkomitmen dalam memperjuangkan kebenaran.
Ibadah dan kecintaan kepada Sang Kekasih, ada dalam fitrah manusia dan daya
tarik internal ini mampu membantu mereka dalam peristiwa-peristiwa sulit.
Manusia-manusia yang bertakwa dan taat, telah terbebas dari ikatan dan belenggu-belenggu
hawa nafsu dan godaan duniawi. Mereka telah mencapai puncak kemuliaan akhlak.
Rasul
Saw dan Ahlul Baitnya adalah pribadi-pribadi sempurna yang menduduki puncak kemuliaan
akhlak. Mereka dengan ketaatan penuh di hadapan kekuasaan Tuhan, mencapai
derajat spiritual yang tinggi dan sama sekali tidak merasa kalah dalam melawan
kemusyrikan dan kekufuran di tengah masyarakat. Dalam sirah Imam Askari as
disebutkan bahwa beliau saat berada di penjara, menghabiskan seluruh waktunya
dengan ibadah dan munajat kepada Tuhan. Pemandangan ini bahkan telah menyihir
para sipir yang ditugaskan untuk mengawasi dan menyiksa beliau.
Beberapa
pejabat Dinasti Abbasiyah memerintahkan Saleh bin Wasif, kepala penjara untuk bersikap
keras terhadap Imam Askari as. Mereka berkata kepada Wasif, “Tekan Abu Muhammad
semampumu dan jangan biarkan ia menikmati kelonggaran!” Saleh bin Wasif menjawab,
“Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah menempatkan dua orang terkejam dari
bawahanku untuk mengawasinya, keduanya sekarang tidak hanya menganggap Abu Muhammad
sebagai seorang tahanan, tapi mereka juga mencapai kedudukan yang tinggi dalam
ibadah, shalat, dan puasa.”
Para
pejabat tersebut kemudian memerintahkan Wasif untuk menghadirkan kedua
algojonya itu. Mereka berkata kepada para algojo tersebut, “Celaka kalian! Apa
yang telah membuat kalian lunak terhadap tahanan itu?” Mereka menjawab, “Apa yang
harus kami katakan tentang seseorang yang hari-harinya dilewati dengan puasa
dan seluruh malamnya dihabiskan dengan ibadah? Ia tidak melakukan pekerjaan lain
kecuali beribadah dan bermunajat dengan Tuhannya. Setiap kali ia menatap kami,
wibawa dan kebesarannya menguasai seluruh wujud kami.”
Imam
Askari as dalam sebuah riwayat menyinggung kedudukan orang-orang yang shalat, dan
berkata, “Ketika seorang hamba beranjak ke tempat ibadah untuk menunaikan
shalat, Allah berfirman kepada para malaikatnya, ‘Apakah kalian tidak
menyaksikan hamba-Ku bagaimana ia berpaling dari semua makhluk dan dating menghadap-Ku,
sementara ia mengharapkan rahmat dan kasih sayang-Ku? Aku jadikan kalian
sebagai saksi bahwa Aku khususkan rahmat dan kemuliaan-Ku kepadanya.”
Para
hamba saleh ketika mereka telah mencicipi kenikmatan ibadah dan munajat dengan Sang
Pencipta, maka mereka menemukan kebahagiaan dan kemuliaannya dalam sujud yang
penuh cinta dan ketaatan yang penuh rindu di hadapan Tuhan. Mereka percaya bahwa
sujud adalah media terdekat seorang hamba dengan Tuhannya. Imam Askari as senantiasa
mewasiatkan kepada para pengikutnya untuk memperpanjang sujud, dan berkata,
“Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa dalam agama kalian dan berusaha karena
Allah serta memperpanjang sujud.” (Kasfu al-Ghummah, jil 3, hal 290)
Pengaruh
pemikiran dan spiritualitas Imam Askari as membuat para penguasa Abbasiyah ketakutan.
Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk menghapus keberadaan beliau. Muktamid
Abbasi, penguasa tiran Dinasti Abbasiyah, akhirnya menyusun sebuah skenario
untuk membunuh Imam Askari as. Beliau syahid setelah beberapa hari menahan rasa
sakit akibat diracun oleh Muktamid. Seorang pembantu Imam Askari as berkata,
“Ketika beliau terbaring sakit dan sedang melewati detik-detik terakhir dari
kehidupannya, beliau teringat bahwa waktu shalat subuh telah tiba. Beliau
berkata, ‘Aku ingin shalat.’ Mendengar itu, aku langsung menggelar sajadah di
tempat tidurnya. Abu Muhammad kemudian mengambil wudhu dan shalat subuh
terakhir dilakukan dalam keadaan sakit dan selang beberapa saat, ruh beliau
menyambut panggilan Tuhan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar